Peramal kuno telah mengungkapkan bahwa keturunan dari klan Yamamoto telah melahirkan seorang anak yang akan menjadi Shogun sekaligus pahlawan tuk membebaskan negeri ini.
“Benarkah? Syukurlah!” Shogun negeri Shinpi-tekina. Bernama Hatekayama, merasa senang dengan berita bahagia itu.
Anak yang lahir dari klan Yamamoto menjadi cahaya bagi seluruh penduduk maupun klan di negeri Shinpi-tekina ini. Dinamakan Yamamoto Akio, sebagai penghormatan kelak ia yang akan menjadi pahlawan negeri ini.
Meskipun bakatnya berpedang diakui. Sejak kecil pun gerakannya sudah gesit dan penuh taktik. Melawan orang dewasa juga bukanlah tandingannya lagi. Namun, sifat buruknya perlahan menyebar.
“Anak itu menjahili anak sebayanya? Ah, sudahlah. Itu hal yang wajar bagi anak-anak.” Shogun menganggap itu hanyalah kejahilannya semata.
Seiring berjalannya waktu hingga Akio berusia 10 tahun. Lagi-lagi kenakalannya telah membuat anak sebayanya terus mengadu pada orang tua mereka masing-masing sampai ke telinga Shogun saat ini.
“Eh? Dia mencuri? Itu tidak dibenarkan. Pastikan kau menjaga anak itu dengan hati-hati. Jangan ajari yang buruk-buruk,” ucap Shogun Hatekayama.
“Tetapi—”
Akio memang anak seperti itu pada dasarnya. Sudah nakal dan ilmu berpedangnya pun kerap kali disalahgunakan.
Ketika menginjak usia remaja,
“Apa? Dia menghajar Yakuza? Sendirian?” tanya Shogun yang sudah semakin tua, nampak ia tak percaya.
“Ya, benar.”
Lalu, usia yang semakin dewasa pun sifat buruknya selalu terdengar bahkan hingga ke setiap sudut wilayah dalam negeri. Shogun Hatekayama mendesah lelah seraya memijat keningnya perlahan guna meredakan emosi.
“Sekarang dia berusia 18 tahun. Bagaimana kabar Akio?” tanya Shogun.
“Buruk. Maksud saya sifatnya jauh lebih buruk dari sebelumnya. Tempo hari, Akio menghajar penegak hukum.”
“Hah?!”
Stres ini tidak dialami hanya Shogun seorang. Melainkan klan Yamamoto pun klan yang lainnya. Mereka sudah angkat tangan semua jika menyangkut Akio yang bermasalah itu.
“USIR DIA!”
Pada akhirnya ramalan yang menunjuk Akio sebagai pahlawan pembuka negeri Shinpi-tekina harus ditepis sebab sifat keburukannya itu.
Yamamoto Akio, tidak. Sekarang nama klan-nya pun harus dicabut agar tak menodai klan itu lebih lama lagi. Hanya dengan nama Akio, ia kini diusir ke puncak gunung jauh dari wilayah manapun termasuk klan Yamamoto yang berada di kaki gunung tersebut.
Meski terdengar Akio masih berada di daerah wilayah gunung, namun jalan yang ditempuh menuju puncak itu berbeda dari wilayah Yamamoto.
Sekarang, sudah dua tahun berlalu. Akio sampai saat ini tidak diketahui bagaimana kabarnya kecuali rumor mengenai Samurai Oni mulai tersebar.
***
Shinpi-tekina, berarti gaib. Negeri ini berdiri di sebuah pulau sendiri yang dikelilingi laut dengan arus deras. Tidak ada yang bisa masuk juga keluar. Negeri yang sekarang dikatakan hanyalah dongeng atau juga sebagian orang berkata bahwa negeri ini menghilang dari peta.
Ada satu alasan lain mengapa disebut Shinpi-tekina ialah kehadiran para yokai (siluman dan sejenisnya) yang seringkali memorak-porandakan puluhan rumah.
“Nak, jangan keluar, sudah malam! Nanti ada yokai datang dan memakanmu,” peringat seorang Ibu pada anaknya yang masih kecil.
“Baiklah, Ibu. Tapi, aku pikir mereka tidak akan muncul sekarang. Apalagi di saat bunga sakura bermekaran,” pikirnya.
“Yokai 'kan tidak peduli tentang hal itu. Lalu kalau malam biasanya akan muncul Oni juga, dan sangat berbahaya jika keluar di malam seperti ini.”
“Baik!”
Si anak akhirnya menurut dan masuk ke dalam sementara sang Ibu nampak sedang membereskan sesuatu, setelah beberapa saat ia membawa sebuah karung kecil dan pergi ke dapur.
Di sana ia bertemu dengan seorang lelaki yang tengah asik menyantap buah-buahan dalam keranjang.
“Hah ...siapa?” Wanita itu ketakutan, kedua kakinya enggan melangkah karena pria asing masuk ke dalam dapur miliknya. Tentu saja ia jadi sulit berpikir dan takut.
Namun, setelah cahaya rembulan masuk ke celah jendela lantas menyorot lengan kirinya yang berwarna merah, ia terjatuh di tempat.
Bruk!
“ONI!??!”
“IBU! Ada apa?!”
Anaknya pun sampai terkejut mendengar teriakan Ibunya, lantas bergegas menuju ke dapur.
“Ah, gawat.” Bahkan sudah ketahuan, ia masih mengambil beberapa buah-buahan di sana. Lalu pergi melewati pintu depan.
Dengan kaki cepatnya, ia berlari kencang. Pergi dari satu rumah ke rumah lainnya sembari memakan makanan yang sudah ia curi. Tangan kiri yang berwarna merah terang itu sangat mencolok di bawah sinar rembulan. Dan perlahan sosoknya diketahui oleh beberapa warga yang kebetulan keluar setelah mendengar jeritan keras.
“Gawat, aku tidak boleh berlari ke jalanan. Aku harus ke atap!”
Pria berambut panjang dan acak-acakkan itu lantas melompat ke atas, berlarian di setiap atap rumah para warga yang jauh lebih pendek dari rumah tinggi di seberangnya guna menghindari cahaya bulan serta agar tidak dikejar lebih cepat dari amukan warga yang melolong bagai mahluk buas.
“Hei, siapa pun! Berikan senjata padaku! Aku akan menusuknya!”
“Percuma melawannya, kita harus menangkapnya. Gunakan jebakan!”
“Hei, kau pikir itu hanya seekor kera atau anjing saja? Lihat tangannya! Tangannya merah menyala, sudah jelas dia adalah yokai oni!” pekik salah satu warga.
“Kalau begitu kita semakin tidak boleh menyerang sembarang, argh! Apa itu?!”
Tiba-tiba saja para warga yang tengah dalam pengejaran si tangan merah justru terhenti karena sesuatu datang mendekat ke arah mereka. Di satu sisi pula, seorang samurai dari Klan Uchigoro bersama bawahannya datang dan memperingatkan para warga untuk tidak berkeliaran di saat malam hari.
“Hei, kalian semua! Cepat masuk! Yokai akan datang!!” peringatnya dengan suara lantang.
“Tuan! Yokai terkutuk juga muncul dari arah sana!” teriak salah satu pengikutnya sambil menunjuk ke belakang Uchigoro.
“Apa?!”
Hanya Klan Uchigoro yang baru saja turun tangan sebab ini adalah wilayahnya. Namun ia nampak kesulitan, terlebih kedatangan si tangan merah yang diduga menjadi satu gerombolan yokai membuat mereka kerepotan.
Si tangan merah telah terlepas dari amukan para warga dan sekarang ia telah berusaha keras untuk menghindari klan Uchigoro. Meski dirinya sudah berhasil bersembunyi, sayangnya ia malah terjebak dalam kepungan para yokai.
BRAK!!
Tubuhnya terlempar hingga menabrak beberapa susunan kotak kayu di dekat perumahan warga. Semua barang curiannya pun terlepas dari genggamannya.
“Yo-yokai? Aduh! Kenapa s*al sekali aku ini?!” gerutunya lantas bergegas lari dari sana.
Dan seperti yang diduga, beberapa yokai telah mengepung si tangan merah dari belakang juga. Depan, belakang dan sisi samping pun tak ada celah baginya tuk melarikan diri.
Mahluk-mahluk yang berasap hitam, yokai terkutuk sudah siap mengoyak daging si tangan merah. Geramannya terdengar seperti orang kelaparan.
Pada saat yang bersamaan pula, sosok samurai bertopeng Oni datang dari arah belakang si tangan merah.
“Siapa?!”
Angin kencang menerbangkan banyak kelopak bunga sakura, kedatangannya yang begitu jelas terasa membuat para yokai bergidik. Namun sosok bertopeng oni yang hanya memakai pedang kayu tetap menebas semua yokai terkutuk itu di depan si tangan merah.
Samurai yang hanya memakai pedang kayu, dengan menggunakan topeng oni ia bergerak secepat angin. Setiap para yokai terkutuk lenyap hanya dalam sekali tebasannya. Seolah sosok itu sedang menggunakan pedang sungguhan, bahkan kelopak bunga sakura seakan mengikutinya lalu bersama tuk ditebasnya jadi dua.
Gaya berpedang yang sangat ringan namun juga indah karena kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Topeng oni yang seharusnya menyeramkan justru membuat si tangan merah berdecak kagum atas kehebatan berpedangnya.
Yokai terkutuk pun lenyap tak bersisa. Merasa sudah selesai, ia kembali menurunkan pedangnya lalu menyembunyikan itu di dalam pakaiannya. Tanpa bercakap apa pun, ia pergi.
“Apa itu? Saking indahnya aku sampai tidak bisa bergerak. Dan bukankah dia oni yang dimaksud selama ini?” pikirnya.
***
Di suatu tempat. Rumah di puncak gunung yang hanya sepetak saja.
“Katakan alasan yang bagus sebelum aku memotong lenganmu, Akio!”
Seorang kakek tua yang bertubuh kecil dan bertopeng tengu tengah berbicara langsung pada seorang pria bertopeng oni yang sedang duduk bersila di depannya.
Kakek bertopeng tengu berdiri sambil menunggu jawaban, dengan mengacungkan pedang pendek ke arahnya.
Si tangan merah, ternyata sejak tadi ia sudah mengikuti sampai kemari. Ia masih bersembunyi di balik dinding guna mendengar pembicaraan mereka berdua.
Namun, karena kakek itu terlihat akan melakukan sesuatu yang buruk, lekas ia menyelonong masuk ke dalam dan menghentikan aksinya.
“Hentikan!” Sambil berteriak ia melintangkan lengan kirinya ke depan orang yang telah menjadi penolongnya malam ini.
Sontak saja kakek tua itu terperangah, ia terkejut karena pria ini tiba-tiba masuk serta secara tak sadar telah menunjukkan identitasnya.
“Orang ini telah menolongku! Kau tidak bisa seenaknya menghukum dia!”
“Kau siapa? Dan apa urusanmu? Akio sudah dilarang menggunakan pedang untuk bertarung, dia juga dilarang bicara tanpa seizinku!” pekiknya.
“Aku Akashi! Dan orang ini telah menolongku! Kau tidak bisa seenaknya menghukum hanya karena dia menggunakan pedang untuk bertarung!”
“Katakan, untuk apa kau menolongnya, Akio?!” pekik si kakek.
“Seperti yang aku bilang! Orang ini menebas yokai hanya untuk menyelamatkanku! Jadi kau tidak perlu menghukumnya!!” teriak Akashi yang semakin lantang terdengar.
Yang dibicarakan oleh si kakek bertopeng tengu itu benar adanya. Bahwa sosok pria bertopeng oni ialah Akio sudah dilarang menggunakan pedang sungguhan, namun sejatinya ia adalah samurai ronin, ia hanya diberikan pedang kayu itupun tidak digunakan untuk bertarung.
Selain hal itu, ada hukuman tak langsung lainnya; Akio dilarang mengungkapkan sepatah kata sampai kapanpun kecuali mendapat izin dari kakek bertopeng tengu itu. Diketahui kakek ini adalah guru Akio.
Namun, sekarang. Kakek itu akan menghukum Akio yang telah melanggar hukumannya. Dan sesuai apa yang dilanggar maka lengan Akio menjadi bukti pertarungan akan dipotong.
Tetapi, si tangan merah yang menyebutkan namanya—Akashi telah membela Akio secara langsung.
“Aku tidak butuh jawaban darimu! Aku hanya butuh jawaban dari Akio saja! Hei, Akio! Jawablah pertanyaanku!”
Untuk yang ketiga kalinya, kakek bertanya dengan suara meninggi dan untuk yang kedua kalinya si kakek mengacungkan ujung pedang ke arah Akio seorang.
“Hentikan! Orang ini menolongku! Kenapa kau tidak mengerti juga, sih! Orang tua!” teriak Akashi.
“Diamlah, yokai! Aku tidak sedang berbicara dengan mahluk rendahan sepertimu!”
Beberapa kali kakek itu berteriak dan bertanya pada Akio, Akio tetap diam dalam posisi duduk bersila di hadapannya. Tanpa berbicara, dan juga tanpa melepaskan topeng oni-nya.
“Jawablah, Akio!”
“Cih, kakek tua ini selalu saja berteriak dan membuat telingaku sakit!”
“Omong kosong apa yang kau bicarakan, bocah yokai? Kau benar-benar tidak bisa diam ya!”
Emosi kakek semakin meninggi, sementara pria bertopeng oni bernama Akio selalu saja terdiam.
“Yokai-oni seperti kau seharusnya tak usah ikut campur! Lebih baik kau mati saja!”
SLASH!
Pedang pendek si kakek menebas lengan merah itu, darah pun terciprat ke mana-mana bahkan ke diri sendiri. Sontak Akashi tercengang, ia terhenyak dan bingung terhadap situasi yang telah terjadi saat ini.
“A-a ...tanganku ...tidak, aku bukan yokai. Aku juga bukan oni! Jadi kenapa kau ...memotong lenganku?”
Tangan Akashi yang telah terpotong itu gemetaran, ia hampir tak percaya bahwa ada seseorang yang berani memotong lengannya. Ia juga jarang sekali menemui orang yang begitu berani sama seperti kakek satu ini.
“Bukan, bukan!”
Ia terus berteriak ketakutan sampai pada akhirnya tangan tersebut menyatu kembali. Tak ada penyebabnya kecuali kehendak tangan itu sendiri.
“Apanya yang bukan yokai dan apanya yang bukan oni? Lihat tanganmu sekarang!”
Yokai, ialah sebutan monster, siluman atau sejenis hantu. Mahluk-mahluk seperti mereka kerap kali memangsa manusia dan sekarang sedang menghantui negeri ini. Sebutan Shinpi-tekina memanglah paling cocok karena keberadaan mereka yang muncul entah dari mana sebenarnya.
Sosok seperti itu sudah di luar nalar. Seperti pria satu ini.
“Bukan, bukan! Aku bukan yokai!” Sekeras apa pun ia berteriak dan menyangkal dirinya bukanlah yokai oni, si kakek tetaplah menganggap Akashi seperti itu.
“Nah, sekarang. Jawablah, Akio! Apa benar yang dikatakan oleh yokai ini?” tanyanya seraya mengibaskan bilah pedang yang berlumur darah itu ke samping.
“Akio, katakan! Yokai ini mengaku bahwa kau telah menyelamatkannya dari yokai terkutuk. Padahal orang yang kau selamatkan itu sejenis dengan mereka, tapi kenapa kau malah menyelamatkannya!”
Belum cukup segala amarah membludak di rumah sepetak itu, hidung merah dan panjang dari tengu itu terangkat bersamaan dengan dirinya yang mengangkat pedang itu ke atas.
“Mahluk setengah-setengah sepertinya, sudah pasti sama saja seperti yokai terkutuk lainnya, Akio!!” teriak kakek itu lantas mengayunkan pedangnya yang berniat menebas Akashi.
Namun, gerakan si kakek itu terhenti karena tangan Akio menahannya. Terlihat ia melindungi Akashi dari amukan kakeknya yang beringas.
“Kenapa kau menahanku? Dia sudah sepatutnya dibunuh!”
“Aku ...aku ...bukan yokai! Aku manusia ...kenapa? Tapi kenapa ...” gumam Akashi sembari menatap lengan merahnya.
Lengan merah terang, kulit yang kaku dan kuku hitam yang panjang. Hanya Akashi saja yang memilikinya. Jujur saja Akashi sendiri bingung kenapa ia terlahir seperti ini.
Sebutan yokai, oni sudah biasa baginya.
“Kalau aku yokai, lalu orang ini apa? Banyak orang membicarakannya, oni yang memakai topeng oni adalah oni yang sebenarnya! Dan membuat teror di negeri ini!” pekik Akashi.
“Kau benar, tapi kau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Jadi untuk apa aku menjelaskannya. Sedangkan dia sekarang sedang berjuang hanya untuk melindungimu!”
“I-itu karena ...aku ...aku manusia!”
“Bukan! Kau bukan manusia! Hei, bocah! Untuk saat ini kau akan kulepaskan. Lalu ...,”
Amukan kakek bertopeng tengu itu pada dasarnya memang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Ia sejenak menghela napas pendek lantas menyarungkan pedangnya.
“Akio, aku belum mendengar jawabanmu!”
Setiap malam Shinpi-tekina akan kedatangan banyak yokai terkutuk, di setiap sudut wilayah hingga masuk ke dalam rumah. Itulah mengapa setiap klan akan bekerja sama tuk berkeliling bersama para penegak hukum guna memberantas para yokai.
Dulu, negeri ini tak seperti ini. Itulah kalimat yang diutarakan oleh para pendiri negeri yang terdiri 10 klan tertinggi. Namun, beginilah jadinya. Negeri yang bersih, segar dan hangat berubah menjadi negeri yang penuh akan malapetaka.
Setiap malam mereka akan diteror oleh banyak yokai terkutuk. Tidur pun akan terjaga setiap detik karena ketakutan.
“Akio, jawablah.”
Lalu, sekarang yang ada di depan dua samurai ini adalah mahluk setengah-setengah. Setengah manusia dan yokai, mereka rasa begitu.
Si kakek bertopeng tengu tentu ingin membunuhnya namun entah dengan alasan apa sehingga membuat pria bertopeng oni melindunginya.
Akashi si tangan merah lantas pergi karena ia pun mulai takut dengan dirinya sendiri.
“Akio, kau membiarkannya pergi?”
“Akio, jawablah! Aku mengizinkanmu untuk berbicara tapi kau sejak tadi tidak berani membuka mulutmu!?”
Berulang kali si kakek meninggikan suaranya, berteriak keras di dalam rumah sepetak itu guna mendapatkan jawaban dari muridnya yang telah melanggar sesuatu.
“Akio! Kau mungkin adalah samurai tak bertuan karena Shogun Hatekayama mengusirmu. Namun jangan lupakan perjanjian di antara keluarga kita, kau diperintah untuk tidak mengangkat pedang sungguhan,” ungkapnya.
Langkah yang berat dari kaki sekecil itu bergerak menjauh, sedikitnya genangan darah mengenai telapak kaki berkeriput itu hingga membuat jejak di tatami.
“Aku biarkan pedangmu berkarat di atas atap sampai dua tahun lamanya. Lalu aku berikan pedang kayu namun bukan untuk bertarung. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau harus turun tangan sendirian?” ujarnya.
Tak ada jawaban sepatah kata dari si samurai ronin itu. Seolah lidah kelu, tanggapan apa pun mungkin akan tertelan sebelum diucapkan.
“Boleh saja kau menggunakan pedang kayu untuk melindungi warga dari para yokai terkutuk. Tapi apa yang aku dengar malam ini?”
Kakek yang sudah lama membalikkan badan dan menengadahkan kepala ke langit kini kembali berbalik dan menatap tajam pada samurai bernama Akio itu.
“Yokai-oni datang dan berkata bahwa kau telah melindunginya. Coba katakan, bahwa dia salah, Akio!”
Sebenarnya si kakek pun tidak mempermasalahkan Akio untuk menggunakan pedang kayu, terlebih jika alasannya adalah alasan yang mulia seperti melindungi. Namun mata sang kakek tak pernah salah, sejauh apa pun ia pasti akan melihat apa yang dilakukan Akio.
Tak hanya melihat, bahkan mendengar pun juga. Kakek bertopeng tengu itu terus menjelaskan apa kesalahannya yakni melindungi mahluk setengah-setengah itu.
“Dilarang bertarung, sekali kau menggunakan ilmu berpedangmu maka tanganmu akan aku potong. Kedua, dilarang berbicara dan jika kau melanggar itu maka aku akan memotong lidahmu.”
Belum selesai ia berbicara, kakek menatap kesal pada muridnya yang sama sekali tak menghadap ke arahnya. Seolah acuh.
“Tapi kau boleh melakukan dua hal itu asalkan aku memberimu izin. Seingatku itu yang aku katakan. Dan sejak kapan kau mulai berkeliaran, hah?”
Sama sekali tak ada sepatah kata terdengar. Akio sepenuhnya bungkam tanpa menunjukkan ekspresinya langsung. Namun kakek tahu apa yang sedang ia tahan, ia melihat cara Akio mengepalkan kedua tangannya di atas paha.
“Kau marah.”
Kakek itu mengungkap bahwa Akio sedang marah, ya itu terlihat sangat jelas karena Akio mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.
“Hah! Sampai sekarang kau tidak mau berbicara! Terserah kau!”
Nampaknya kakek mulai menyerah dengan Akio. Ia berjalan keluar dari rumah ini, tanpa mengatakan apa pun lagi. Sendiri ia meninggalkan Akio yang tengah terduduk entah menatap ke arah mana.
***
Sampai fajar menyingsing. Lantai tatami sudah dalam keadaan bersih semenjak semalam Akio membersihkannya. Begitu cahaya matahari menyorot masuk ke dalam rumah, dirinya terbangun.
Setelah beberapa saat ia kemudian merapikan pakaiannya lalu mengenakan topeng oni dan seperti biasa ia menyimpan pedang kayu ke dalam pakaiannya sendiri.
Angin yang hangat membuatnya sedikit segar. Melewati perairan sungai yang bersih, Akio lekas meminumnya dengan hati-hati. Tak lama ia lekas pergi dari sana sebelum orang-orang datang.
Melewati beberapa wilayah, Akio menelusuri setiap sudut yang jarang dilewati. Ia menggunakan gang-gang sempit untuknya dilewati agar lebih aman dan keberadaannya tidak akan diketahui oleh orang-orang.
Tetapi, ketika ia mulai memasuki wilayah klan Uchigoro, Akio merasakan keberadaan seseorang yang mengikutinya.
“Aku yang salah tapi aku malah pergi. Aku benar-benar tidak sopan,” gerutu seorang pria di balik dinding, yang tengah bersembunyi dan memperhatikan sosok Akio dari belakang.
Akio sudah sadar dari semenit yang lalu, dan sudah berusaha menempuh jalan sulit lalu selalu bergerak lebih cepat darinya namun tetap saja pria itu menemukannya.
Namun tak lagi setelah berbelok ke kanan, akhirnya penguntit itu kehilangan jejak Akio.
“Eh? Di sini 'kan jalan buntu. Tapi perasaan dia ada di sini.” Pria itu adalah Akashi si tangan merah.
Wujudnya benar-benar tak berubah dari semalam, dan sekarang posisi antara Akashi dan Akio tertukar dengan Akio yang memperhatikan Akashi di atap rumah.
Akio juga sempat memperhatikan perbuatannya, seperti mencuri buah-buahan, menangkap ikan dengan tangan, terkadang pula Akashi tertidur tiba-tiba di tengah jalan. Namun saat seseorang akan datang Akashi selalu mengetahuinya lantas pergi.
Bersamaan dengan kepergiannya, senja sudah tiba secepat ini. Akio pun segera pulang ke puncak gunung, tempat di mana ia dibuang oleh semua orang.
***
Sesampainya di depan rumah, Akio dikejutkan oleh keberadaan Akashi yang sudah berada di dalam sambil tersenyum lebar.
“Entah siapa kau sebenarnya! Aku datang untuk meminta maaf padamu, dan juga aku harus berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku!”
Akio terdiam mematung.
“Aku benar-benar minta maaf!” teriak Akashi dengan posisi berdiri yang seakan-akan ia bersiap tuk bertarung.
Setelahnya Akio berbalik badan, berniat pergi dan tak jadi pulang ke rumah. Namun, kakek tengu muncul tepat di depan mata setelah dirinya membalikkan badan.
“Kau mau ke mana setelah berkeliaran lagi?!” amuknya.
Dan lagi-lagi Akio sama sekali tidak menjawab pertanyaan si kakek, bahkan barusan ia mengacuhkan Akashi.
“Aku tanya kau mau ke mana?!” amuknya, seraya membanting tubuh Akio hingga menubruk tubuh Akashi, keduanya pun terjatuh.
“Dan juga, usir Yokai ini!” Kembali si kakek berteriak keras, memerintah Akio agar segera mengusir Akashi dari dalam rumahnya.
“Eh, kakek sinting itu lagi? Argh, s*alan. Aku benar-benar tidak beruntung,” ucap Akashi memaki.
“Diamlah, bocah yokai! Kenapa pula kamu menunjukkan dirimu lagi di sini? Pulang sana! Atau kau benar-benar ingin aku bunuh secara perlahan?!”
Kejadian yang sama kembali terulang malam ini juga. Padahal sebelumnya sungguh tenang, terutama sebelum bertemu dengan pria bernama Akashi ini.
Segera Akio bangkit, berdiri di antara kakek dan Akashi. Untuk sesaat ocehan mereka berdua berhenti, dan pedang yang sudah ditarik itu pun tertahan.
Lalu Akio berucap, “Dia manusia. Aku tidak bisa membunuhnya.” Katanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!