Sebuah rutukan kekesalan edari tadi tak ada hentinya keluar dari seorang gadis cantik yang kini melajukan motor sport nya dengan kecepatan tinggi menuju sekolah nya. Kini jam sudah menunjukkan pukul 6.55 namun gadis tersebut kini malah masih bertarung dengan jalanan di sekolah nya. Padahal ini adalah hari senin dan ia harus melakukan upacara bendera.
“Sial, segala macet lagi. Pengen pindah planet aja gue rasanya ngeliat manusia bumi makin padet gini,” gerutu gadis tersebut yang kini terus menyalip kendaraan di depannya. Membawa laju motornya dengan kecepatan tinggi. Tidak mempedulikan suara klakson dari pengendara lain yang kini tengah memakinya.
Gerbang sekolah nya kini sudah terlihat di depannya. Namun saat ia akan mencapai gerbang, gerbang tersebut malah sudah tertutup.
“Terlambat lagi Lavanya?” tanya seorang guru laki-laki yang merupakan waka kesiswaan yang kini menatap gadis yang berada di balik pagar tersebut sambil berkacak pinggang. Gadis yang tak lain adalah Lavanya Isvara Kaneishia, atau yang akrab di sama Vanya itu kini menyengir mendengar pertanyaan guru laki-laki tersebut.
“Terlambat beberapa deting doang pak, bukain dong pak,” mohon Vanya pada guru laki-laki tersebut sambil menatapnya dengan wajah yang dibuat seimut mungkin. Bukannya luluh guru tersebut kini malah bergidik ngeri.
“Gak usah sok imut gitu kamu, ngeri saya liat nya,” hardik guru laki-laki bernama Pak Hendra itu pada Vanya yang kini menatapnya dengan tatapan datar sambil berdecih.
“Cantik gini juga,” sungut Vanya tak terima karena ia hina oleh guru laki-laki yang memang suka sekali menghukum nya itu, mengingat Vanya memang begitu langganan terlambat.
“Masuk ya pak,” mohon Vanya lagi dengan menaut kan tangannya didepan dada, berharap Pak Hendra akan luluh oleh nya.
“Berdiri di barisan murid terlambat,” tegas Pak Hendra sambil membukakan pintu gerbang untuk Vanya yang kini hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar menerima hukumannya, daripada ia harus pulang dan terkena marah dari kekasih nya.
Ya, kekasih nya. Gadis tersebut memang sudah memiliki kekasih. Kekasih nya begitu tampan, itu yang Vanya pikirkan. Namun mereka memiliki sikap yang berbanding terbalik. Ibarat nya Vanya itu kerak bumi, dan kekasih nya adalah langit ke tujuh.
Banyak yang mengatakan mereka tak pantas namun Vanya lebih memilih untuk menutup telinga dengan ucapan tersebut. Yang terpenting ia bahagia dengan kekasih nya, Vanya tak akan memikirkan tentang ucapan orang lain.
Vanya kini segera menuju ke parkiran untuk memarkirkan motornya. Setelah nya ia langsung berbaris di barisan murid terlambat juga memakai atribut tidak lengkap. Jelas saja tempat nya begitu panas.
Dari sana, Vanya bisa melihat kekasih nya yang kini menjadi pemimpin Upacara. Kekasih nya itu tampak begitu tampan dengan baju putih-putih nya. Melihat itu senyuman mengembang dengan begitu jelas di wajah Vanya.
“Panas gila,” sungut Vanya sambil menutupi matahari yang menyinari wajahnya dengan tangannya. Matahari pagi ini memang bersinar dengan begitu terik nya.
Selama upacara Vanya tampak hanya diam saja sambil menikmati matahari yang kini terus menyorotnya. Hingga tak lama upacara akhirnya selesai, Vanya menghembuskan nafasnya lega. Namun sepertinya guru laki-laki yang sedari tadi mengawasi nya tak ingin membuat Vanya bernafas terlalu lama karena kini guru tersebut langsung menghampiri barisan murid yang dianggap nakal itu.
“Saya liat yang terlambat tuh muka nya ini-ini aja. Gak ada bosen nya ya kalian kena hukum?” tanya Pak Hendra sambil menggelengkan kepalanya melihat murid-murid nya itu.
“Besok saya ganti muka kak, biar ada perubahan,” ucap Vanya dengan cengirannya yang membuat Pak Hendra kini menatap tajam pada murid nya yang satu itu.
“Lari keliling lapangan lima kali, khusus Vanya tujuh kali,” perintah Pak Hendra menatap murid nya itu satu persatu. Baru saja Vanya akan membuka mulut nya untuk menyuarakan protesnya. Pak Hendra sudah lebih dulu menyela ucapannya.
“Lari sekarang atau saya tambah hukumannya,” ucapan Pak Hendra yang begitu tegas dan penuh ancaman membuat tak ada yang berani untuk menentang nya.
Pada akhirnya Vanya kini hanya bisa untuk tetap berlari seusai hukumannya.
“Awas aja besok gue jadi guru, gue hukum mulu anak dia,” kesal Vanya dengan gerutunya yang membuat laki-laki di samping nya kini ikut tertawa mendengar nya.
“Lo mah bego Van jadi gak usah begaya punya cita-cita jadi guru segala,” ucap laki-laki tersebut yang tak lain adalah teman satu perkumpulannya.
“Berisik lo nyet, penuh telinga gue dengar omongan lo,” ucap Vanya pada temannya itu lalu berlari lebih cepat lagi agar ia bisa menyelesaikan hukumannya bersama dengan temannya yang lain.
Selama Vanya menjalani hukumannya, di pinggir lapangan kini begitu banyak yang membicarakannya. Meskipun sudah terbiasa dengan ucapan penuh hinaan itu namun tetap saja, jika ucapannya sudah keterlaluan Vanya akan kesal mendengar nya.
“Masih gak nyangka cewek modelan Vanya dapet nya yang spek Dipta”
“Gue rasa cewek spesies good looking, good attitude belum punah deh, ngapain juga Dipta mau sama Vanya”
“Minus kasih sayang kali ya, sampek tingkah nya udah kek cewek malem gitu”
“Apa bagus nya dari Vanya? Cantik doang, tapi tingkah udah kek mantan napi”
Masih banyak lagi ucapan yang terdengar di telinga Vanya namun gadis tersebut tetap melanjutkan hukumannya. Hingga ia selesai dengan hukumannya. Vanya berjalan dengan begitu santai menuju ke arah empat gadis yang tengah membicarakannya itu.
“Gue ada pernah buat salah ya sama kalian?” tanya Vanya tanpa mau berbasa-basi pada keempat gadis tersebut yang kini langsung menoleh ke arah Vanya dengan tatapan tak suka nya, tanpa bisa menjawab pertanyaan Vanya karena memang Vanya tak pernah membuat salah pada mereka.
“Gak ada kan? Jadi mending gak usah sewot deh. Kalian juga gak berperan dalam menghidupi gue. Jadi gak perlu capek-capek tuh mulut buat ngomongin gue, apapun yang gue lakuin juga gak merugikan elo,” sarkas Vanya dengan tatapan sinisnya pada keempat perempuan yang kini menatapnya dengan tatapan tak suka.
Setelah nya Vanya memilih untuk pergi dari sana dengan wajah kesal nya. Saat membalikkan tubuhnya. Kini ia dapat melihat kekasihnya yang kini berdiri tak jauh dari nya. Menatap Vanya dengan tatapan lembut nya sambil menggelengkan kepalanya. Vanya dengan segera menghampiri kekasih nya itu.
“Kenapa lagi?” tanya laki-laki tampan yang kini menatap Vanya dengan tatapan penuh tanya. Laki-laki itu adalah Dipta, kekasih nya yang selama ini selalu sabar menghadapi tingkah Vanya.
“Mereka aja yang cari masalah duluan, aku juga gak pernah ngerepotin mereka. Tapi mereka menuhin telinga aku sama omongan gak bermutu mereka,” sungut Vanya mengadukan apa yang baru saja terjadi pada kekasihnya itu yang kini menatap Vanya dengan begitu lembut nya.
“Udah tau gak bermutu kenapa di dengerin? Harusnya diabaikan aja. Kalau kamu ngelabrak satu persatu orang yang ngomongin kamu, itu ga bakalan selesai. Pembenci akan tetep jadi pembenci apapun yang kamu lakukan akan tetep salah dimata mereka, jadi lebih baik kamu menggunakan kedua tangan kamu ini untuk menutup telinga mereka,” saran Dipta menasihati kekasih nya itu sambil menggenggam tangan Vanya dengan begitu lembut nya.
Ini lah yang Vanya sukai dari Dipta. Ia tak pernah melihat apapun dari satu sisi. Ia akan menanyakan terlebih dulu kebenarannya baru ia akan membuat keputusannya. Vanya yang kesabarannya memang setipis tisu di bagi dua di pertemukan dengan Dipta yang kesabarannya seluas lapangan golf memang sebuah keberuntungan untuknya.
“Udah ya, jangan di ladenin lagi. Sekarang mending kamu masuk ke kelas kamu dan belajar yang bener, jangan bolos lagi,” pesan Dipta yang sudah terbiasa mendapati laporan jika kekasih nya itu sering membolos. Vanya yang mendengar ucapan Dipta kini hanya tersenyum memamerkan deretan gigi putih nya sambil menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Dipta.
***
Pelajaran Bahasa Inggris yang menjadi penutup *** hari ini cukup membuat kepala Vanya pening. Kepalanya seperti ingin meledak mendengar gurunya yang full menjelaskan menggunakan Bahasa Inggris. Untuk meredakan pusing, Vanya memutuskan mengiyakan ajakan Eva untuk berkumpul bersama di warmindo dekat sekolah. Segelas es teh dan sepiring indomie telur di sana sepertinya akan meningkatkan mood-nya.
Bersama Eva, Ino, dan David, Vanya berjalan menuju warmino dekat sekolah. Mereka tidak menggunakan motor karena malas harus membayar parkir lagi jika diparkirkan di sana. Oleh karena itu, dengan merelakan menghabiskan tenaga yang lebih, mereka berjalan kaki saja. Lagipula, cuaca hari ini tidak panas malah cenderung mendung.
"Udah bilang cowok lo belum, Van?" celetuk Ino di tengah perjalanan mereka.
"Oh iya tuh, nggak asih ah kalau tiba-tiba disuruh balik," tambah David.
"Udah, santai aja. Tapi belum dibales sama Dipta. Biarin dah, yang penting gue udah bilang," jawab Vanya santai.
"Tadi kelasnya juga belum bubaran, sih, Van, kelihatannya," timpal Eva.
"Kalau udah bubaran ya pasti si Dipta nyamperin Vanya lah. Ketos lo yang satu itu bucinnya nggak ada obat. Bucin sama modelan kayak begini lagi," ucap Ino dengan melirik Vanya.
Vanya melotot. "Kayak 'begini' gimana maksud lo?!" semprotnya.
Vanya dan Ino memang sering cek-cok. Ino yang jahil dan senang mengerecoki orang lain. Sedangkan Vanya memiliki kesabaran setipis tisu.
"Ya itu si Dipta brandingnya nggak kaleng-kaleng. Image baiknya udah diakui banyak orang. Jadi ketos lagi. Lo pakai pelet apa dah kok bisa Dipta mau sama lo?" cerocos Ino.
Vanya mendecih sinis. "Nggak usah pelet-peletan, pesona Lavanya emang kuat banget tau. Tuh si Dipta aja kepincut," jawabnya percaya diri sambil tersenyum jemawa.
"Ye, itu mah si Dipta aja yang seleranya jelek," timpal David.
Eva mengangguk. "Bener, sih, Pid, aturan mah sama gue aja ye kan?" ucapnya. Pelafalan huruf 'V' pada nama David, sering dilafalkan sebagai huruf 'P' oleh teman-temannya.
Vanya memukul bahu Eva. "Lo jangan ada bibit-bibit pelakor deh. Pacar gue ya itu," protesnya.
"Ceilah, cemburu lo," ejek Ino.
"Ino lo mending diem dah. Gue pusing abis Bahasa Inggris tadi, jangan sampai rambut lo gue botakin, ya!" ancam Vanya.
Setelahnya, Ino masih tidak diam. Cowok itu masih gencar mengusili teman-temannya yang lain sehingga perjalanan ke warmindo itu dipenuhi umpatan untuk Ino dan juga gelak tawa.
Akhirnya mereka sampai juga di warmindo dan memesan makanan. Tidak lama kemudian pesanan datang dan mereka mulai menyantap mie instan itu.
"Eh lo udah denger kabarnya belum?" celetuk Eva di sela kegiatan makan.
"Yang kayak gini biasanya mancing ghibah," sahut David.
"Bener. Padahal gak boleh ya ghibah. Btw, denger kabar apa, Va?" timpal Vanya yang mendapat sorakan dari teman-temannya.
"Nanti malem ada balapan lagi tau. Tapi nggak yang ada taruhan. Cuma seru-seruan aja sekalian welcoming anak baru yang join Aderfia," jelas Eva. Aderfia adalah klub motor yang diikuti mereka termasuk Vanya. Hanya saja, Vanya sudah tidak begitu aktif sejak hampir 1,5 tahun terakhir.
"Lah jadi join dia?" ujar Ino.
"Siapa, sih?" Vanya tidak mengerti.
"Lo makanya buka grup dong!" sinis Ino.
"Ya sorry. Siapa, sih, yang mau join lagi?" Vanya masih penasaran meski tatapannya masih sibuk dengan mie instan di piringnya.
"Anak sekolah kita juga. Ipa 5, namanya—"
Penjelasan Eva terhenti begitu seorang pemuda bergabung ke meja mereka seraya menyapa, "Halo! Gue join bentar ya."
***
"Ini harus banget, ya, ke sini?" Vanya menghela napas tak bersemangat begitu sampai di toko buku yang terbilang cukup besar dan berada di dalam mall ini.
Cowok itu mengangguk. "Harus. Aku mau cari buku buat UTBK."
Vanya membelalak. "Kamu masih kelas sebelas."
Masih dengan matanya yang fokus menelisik satu per satu buku ujian, cowok itu tetap merespon Vanya. "Sebentar lagi kita UAS terus naik kelas dua belas. Cepet banget jalannya waktu tuh, nggak kerasa aja."
"Pradipta, jangan ingetin aku soal itu ya kepalaku nyut-nyutan rasanya," jawab Vanya dengan nada lemas.
Dipta tertawa. "Biar kamu belajar. Ini kamu mau beli juga nggak? Aku beliin," tawar Vanya.
Vanya menggeleng. "Aku mau masuk swasta langsung."
Dipta terkekeh saja dan tidak melanjutkan percakapan dengan topik itu. Setelah selesai mencari buku dan membayar, mereka membeli makanan dan minuman. Kemudian, keduanya duduk di foodcurt.
Tadi Dipta menyusul Vanya ke warmindo. Bergabung ke meja Vanya dan teman-temannya, menunggu kekasihnya selesai makan, lalu mengajaknya ke mall. Ia tidak membonceng Vanya karena gadis itu membawa motornya. Vanya bersikeras tidak mau mengembalikan motornya dahulu. Jadilah mereka memutuskan untuk iring-iringan.
"Kamu bentar lagi purna, ya, Dip?" celetuk Vanya.
Gerakan Dipta yang tengah membolak-balikkan buku yang baru saja ia beli mendadak terhenti. "Iya, ya? Nggak kerasa."
"Seneng nggak kamu?" tanya Vanya.
Dipta mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau deh. Nano-nano rasanya."
"Seneng aja, Dip. Habis ini waktu kamu buat kita bakal lebih banyak. Selama ini kamu lumayan sibuk banget sama prokermu itu," ucap Vanya.
"Lumayan sibuk juga sih denger aduan-aduan orang-orang soal kelakuan kamu di sekolah. Yang telat lah, nggak ngerjain PR lah, nyontek di google terus suara google-nya kedengaran lah, ribut sama kelas lain lah." Dipta menyebutkan semua keluhan yang sering disampaikan anak-anak sekolahnya.
"Buset, banyak juga. Padahal kamu bukan guru BK, ya. Tapi gapapa lah, Dip, kalau kamu purna kan kamu nggak bakal dilaporin ini-itu lagi soal kelakuan aku. Lagian, kenapa orang-orang ekspetasi tinggi banget ke aku sebagai pacar kamu. Sering tuh aku denger, mereka bilang aku jauh dari ekspektasi mereka. Mereka kira aku sebelas dua belas sama kamu, ternyata berbanding 180 derajat. Ya siapa suruh mereka ekspetasinya tinggi banget ke aku," cerocos Vanya panjang lebar.
Dipta tertawa. "Nggak usah didengerin deh omongan orang nggak ada habisnya. Lagian seru kok pacaran sama kamu, walau kadang ngeselin sih kamu. Apalagi kalo diem-diem balap motor lagi padahal pamitnya kerja kelompok," ucapnya dengan sindiran di akhir.
Vanya nyengir. "Sekarang kan udah nggak lagi, Dip. Nggak tau deh kalau nanti."
"Jangan aneh-aneh lo ya," peringat Dipta.
"Dihh, sok galak, mana pake lo-gue lagi," cibir Vanya.
"Tapi serius, kamu nggak usah balap-balapan lagi ya apalagi sampai malem-malem gitu," ucap Dipta.
"Ya pasti malem dong, Dip. Kalau siang mah rame, cepet ketangkepnya," jawab Vanya.
Melihat Dipta yang melotot, Vanya tertawa. Pacarnya itu terlihat lucu sekali jika sedang kesal. Ia ajukan jari telunjuk kanannya untuk menusuk-nusuk pipi Dipta.
"Iya-iya, enggak balap-balapan lagi. Jangan gitu ah ekspresinya, gemes tau," ujar Vanya.
Dipta hanya mengembuskan napas pelan. Sudah terbiasa dengan kelakuan Vanya. Dipta tau bahwa Vanya memang bergabung klub motor dan ikut balapan. Mengingat gadis itu sudah sempat celaka, Dipta jelas melarang Vanya ikut balapan lagi.
Dipta tidak mau kekasihnya celaka. Dipta tidak mau kehilangan Vanya. Mau sejelek pandangan orang tentang Vanya, Dipta akan menutup mata dan telinga. Segala kekurangan Vanya dapat Dipta terima.
***
Vanya masih kepikiran ucapan Eva sewaktu di warmindo soal anak baru yang bergabung di Ardefia. Yang menarik perhatiannya bukan sekedar anggota baru, tetapi fakta bahwa anak baru itu berada di sekolah yang sama dengannya dan yang lain. Soalnya, tidak banyak anak sekolahnya yang tertarik dengan hal seperti itu.
Sayangnya, penjelasan Eva tidak dilanjutkan karena Dipta yang tiba-tiba datang di antara mereka. Mereka langsung mengubah topik begitu ada Dipta karena tau cowok itu tidak suka dengan hal seperti itu. Teman-teman Vanya pun tau Dipta tidak mengizinkan Vanya untuk ikut balapan lagi ataupun terlibat dengan hal semacam itu. Meskipun begitu, Vanya tidak juga keluar dari grup itu. Ia hanya jarang menimpali percakapan di sana.
Malam ini, grup yang sudah Vanya arsipkan itu kembali ia buka. Matanya membulat begitu melihat notif yang belum ia baca bahkan tembus 500 pesan. Tidak mau scroll satu-satu, Vanya langsung membaca bagian akhir-akhiran saja. Dan benar, grup itu antusias membicarakan anak baru yang bergabung di sana.
'Yok yang belum kesini, bisa merapat. Udah ada Ethan nih.'
Dahi Vanya mengerut membaca pesan itu. Ethan? Sepertinya itu nama anak barunya.
Kemudian ada yang mengirim foto suasana markas, arena balapan, dan foto bersama. Mendadak, Vanya jadi rindu nuansa seperti itu. Ia ingin ikut untuk menonton. Tapi, apakah pacarnya akan memberi izin, ya?
"Coba tanya Dipta ah," monolog Vanya.
Jarinya beralih membuka roomchat Dipta.
Vanya : dipta, aku mau keluar dulu yaa
Tidak butuh waktu lama, Dipta sudah membalas pesan itu.
Dipta (pacar) : Mau kemana? Aku anter, udah malem.
Vanya : nonton doangg
Dipta : Mau nonton apa kamu jam segini? Bioskop udah mulai nayangin film sesi terakhir itu.
Vanya : bukan bioskop kokk
Dipta : Terus apa?
Dipta : Jangan bilang balapan?
Vanya : hehehehe boleh yaaaaa?
Dipta : Enggak, udah malem.
Vanya : ya mana ada orang balapan siang-siang sih?????
Dipta : Pokoknya enggak ya Vanya. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana?
Vanya : ada apa-apa apa sih? aku cuma nontonn, engga ikut balapan. lagian ada eva, ino, sama david juga kokk
Dipta : Udahlah di rumah aja.
Vanya : ga asik lu
Setelahnya Vanya keluar dari roomchat pacarnya. Kesal karena Dipta masih saja tidak mengizinkannya padahal Vanya sudah bilang bahwa dirinya hanya menonton.
"Gue pergi diem-diem aja kali ya. Nggak usah aktifin HP, biar Dipta nggak nelpon-nelpon," pikir Vanya.
Kemudian Vanya menggeleng. "Itu cowok tapi kadang bisa nekat. Nggak seru kalau tiba-tiba disamperin, mana dia udah tau tempatnya lagi." Ia menyangkal pemikiran pertamanya.
Vanya yang tidak sengaja melihat notifikasi pesan dari Eva segera membuka roomchat dengan sahabatnya itu.
Eva : ikut kaga lo?
Vanya : biasa
Eva : yaelahh. ga mau kenalan sama ethan lo?
Vanya : kan kata lo anak sekolah kita juga. gampang lah itu
Vanya : TAPII GUE KANGEN PENGEN KESANAAAAA
Eva : wkwkwkwk makanya sinii, udah rame nii
Vanya : paduka dipta tidak memberi izin🙏🏻
Eva : sulit jika paduka sudah berbicara. gue ngeri aja itu orang tiba-tiba nyamperin kayak dulu🙏🏻
Vanya : emang rese itu cowo
Eva : yeuu gitu-gitu juga lo demen
Vanya : hehehe ya gimana yaaaaa
Eva : gue live streaming aja dahh. ke akun ig gue yang isinya cuma lo, david, sama ino aja. mau gaa?
Vanya : MAUUUUU
Eva : okkk, move ig
Dengan perasaan antusias yang membuncah, Vanya segera beralih ke second account instagramnya dan menonton live streaming yang sudah dimulai oleh Eva. Rasanya sudah lama tidak melihat hal semacam ini secara real time, walaupun dirinya tidak berada di sana.
Suasana arena malam itu cukup ramai. Rata-rata memakai baju berwarna hitam atau abu-abu. Riuh sahut-sahutannya terdengar seru di telinganya.
"Van, itu Ethan yang lagi sama Ino tuh ngobrol-ngobrol." Suara Eva sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi Vanya masih bisa memahaminya.
Oke, Vanya sudah melihat Ethan walaupun tidak jelas karena sinyal yang membuat layar jadi agak blur ditambah suasana malam.
Dapat Vanya lihat Ino menepuk bahu Ethan lalu keduanya terlibat obrolan singkat. Setelahnya, Ethan cukup dikerubungi oleh anak-anak Aderfia. Di sela-sela kegiatan menontonnya, notif dari Dipta muncul cukup banyak membuat hpnya berbunyi terus. Dan itu cukup mengganggu kegiatannya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengaktifkan mode silent.
Kembali ke live streaming, kerumunan itu sudah mulai memencar. Ethan dan satu anak Aderfia yang bernama Bima mulai beranjak ke motor masing-masing. Kebetulan, Bima adalah lawan balap Ethan hari ini. Ethan dengan motor hitamnya, dan Bima dengan motor merahnya.
Vanya yang semula rebahan, beralih menjadi posisi duduk. Ia begitu antusias ingin melihat.
"VAN NANTI KALO UDAH SAMPE UJUNG LO TUNGGU AJA YA, GUE GAK MUNGKIN LARI BUAT NGEREKAM!" teriak Eva dari sana.
Vanya tertawa lalu mengangguk dan mengetikkan balasan di komentar.
"OKE."
Suasana semakin ramai. Sungguh, Vanya berdebar seolah ikut merasakan euforianya secara langsung.
Begitu Ethan dan Bima menarik gas, Vanya ikutan bersorak dari kamar bersama dengan anak-anak Aderfia yang menonton secara langsung di sana.
Dipta (pacar) is calling ....
"ADUH DIPTA APA SIHHH INIII." Vanya kesal karena pacarnya ini mengganggu aktivitas menonton live streamingnya. Telepon pertama ia tolak. Baru beberapa saat ingin kembali menonton, Dipta menelepon lagi. Kali ini, justru panggilan video.
"DIPTA KENAPA SIH."
Dengan kesal, Vanya akhirnya mengangkat video call itu.
"Kenapa, sih, Dip?!" Vanya tidak bisa menyembunyikan raut kesalnya.
"Kamu yang kenapa. Aku chat gak dibales. Ditelepon malah direject. Kamu marah sama aku gara-gara nggak aku bolehin ke tempat itu?" semprot Dipta.
Vanya berdecak. "Marah juga gak ada gunanya. Marahku nggak bisa bikin kamu izinin aku pergi kan. Jadi ya udah, nggak usah ganggu bisa nggak, sih? Aku mau nonton!"
"Kamu tetep mau berangkat ke sana?" tanya Dipta sedikit emosi.
"Kan elo gak ngizinin. Gimana dah," kesal Vanya.
"Ya terus itu lo mau nonton apa? Lagi ngapain, sih?" Dipta ikutan emosi dan mulai menggunakan 'lo' daripada 'kamu'. Begitulah kebiasaan mereka jika sebal satu sama lain.
"Ini gue nonton live streaming Eva yang lagi di sana. Nggak boleh juga gue nontonin dari rumah?" ucap Vanya.
Dipta terlihat mengusap wajahnya. Perlahan raut wajahnya melunak. "Sorry ya. Aku takut kamu nekat ke sana. Soalnya kamu kamu gak bales chatku setelah aku gak bolehin kamu. Aku telpon malah gak dibales juga. Ya udah, nonton dulu aja. Maaf tadi ganggu." Setelah itu, Dipta memutuskan sambungannya.
Vanya mengembuskan napas kasar.
"Ribut lagi, ribut lagi."
Sebelum beralih ke instagram, Vanya membuka WhatsApp terlebih dahulu. Ada satu pesan dari Dipta menarik perhatiannya.
Dipta (pacar) : Aku mau cerita
Vanya memutuskan untuk membalas pesan itu.
Vanya : ini kamu mau cerita apaaa?
Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan balasan Dipta.
Dipta (pacar) : Nggak jadi, kapan-kapan aja.
Vanya : gapapaa sekarang aja, aku baca kok
Centang satu. Dipta tidak online.
Vanya memutuskan melanjutkan nonton live streaming Eva lagi. Meskipun tidak bisa fokus sepenuhnya karena pikirannya juga melayang pada Dipta dan apa yang ingin diceritakan pacarnya itu.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!