Seorang pria dengan sneli nampak sangat serius memberikan konsultasi pada pasangan yang sudah menjadi pasiennya sejak 2 tahun belakangan. Pria dengan mata selalu membentuk bulan sabit saat tersenyum itu, memang terlihat masih muda untuk ukuran seorang dokter spesialis. Namun, jangan ragukan soal kemampuannya. Dia sangat kompeten sebagai seorang dokter spesialis kandungan. Sudah banyak pasangan yang berhasil mendapat momongan setelah melakukan konsultasi dan menjalani program kehamilan atas rekomendasinya.
Andra Pratama Kusuma. Dia dikenal sebagai dokter yang sangat ramah dan dermawan. Terkadang dia tak menerima bayaran dari keluarga yang memang tak punya uang. Dia juga membantu keluarga yang kesulitan membawa pulang bayi mereka karena belum membayar administrasi.
Terlahir dari keluarga kaya dengan sang ayah yang merupakan pemilik rumah sakit besar di daerah Jakarta. Juga, sang ibu yang memiliki klinik kecantikan di daerah Yogyakarta, tempat kelahirannya. Jangan lupakan sang kakak yang kini berhasil mendapat perizinan untuk rumah sakit jantungnya. Itulah yang membuat Andra terbiasa untuk membantu sekitar. Apalagi, sejak SMA dia memang aktif mengikuti volunteer-volunteer dalam kegiatan kemanusiaan.
"Sabar ya, bu, mungkin ibu bisa lebih banyak mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung asam folat. Bapak juga jangan lupa jaga makanannya," jelas Andra untuk mengakhiri sesi konsultasi hari ini. Sebenarnya dia cukup sedih karena pasangan tersebut tak kunjung mendapat keturunan dengan usia mereka yang semakin tua. Sebentar lagi istrinya juga menginjak 35 tahun dan tentu saja risikonya benar-benar tinggi.
"Dari pemeriksaan semuanya normal. Mungkin saya akan meresepkan beberapa vitamin dan jangan lupa untuk beristirahat yang cukup."
...***...
Andra masih melamun meski kakinya kini melangkah menuju kantin rumah sakit. Setelah harinya disibukkan dengan banyaknya persalinan serta konsultasi, dia akhirnya bisa menyantap makanan meski sudah cukup malam.
"Dra, gimana?" tanya seorang pria dengan tinggi sama dengan Andra. Namanya Mamat. Pria yang 10 tahun lebih tua dari Andra itu, memang tampak muda karena sering tersenyum. Dia sendiri merupakan seorang dokter spesialis anak yang sangat tertarik pada dokter spesialis muda seperti Andra.
Andra menaikan kedua bahunya. Dia kemudian membeli nasi beserta lauknya karena sudah terlampau lapar sejak tadi. Dia hanya sempat meminum jus yang dibuatkan oleh sang ibu sebelum berangkat tadi.
"Udahlah, Dra, mending lepas tangan."
Andra berhenti saat mengisi piringnya dengan lauk sayuran. Dia kemudian menatap Mamat dengan wajah datar. Dia juga ingin melakukannya. Namun, menyerah malah akan membuatnya merasa lebih bersalah nantinya. Sudah dia lakukan berbagai cara. Jika sampai pasiennya menginjak usia 35 tahun, dia akan mengatakannya dengan berat hati bahwa mereka mungkin takkan punya keturunan.
"Atau gini ... surogasi," ujar Mamat yang kemudian membuat Andra panik. Bagaimana tidak? praktek itu terasa cukup merugikan satu pihak. Kemudian, dari yang dia tahu surogasi belum ada regulasi hukumnya. Dia tak mau mengambil risiko sebesar itu untuk membantu pasiennya. Memang dengan begitu masalahnya mungkin bisa secepatnya selesai. Namun, dia takut itu malah akan jadi bumerang yang merusak kariernya nanti.
"Kang, jangan bercanda gitu deh."
Mamat tertawa melihat bagaimana Andra memasang wajah panik. Lagipula, dia hanya bercanda. Dia tahu itu melanggar kode etik mereka. Apalagi, praktik surogasi itu dianggap membahayakan ibu pengganti. "Santai, bro. Saya juga tau itu gak boleh."
"Kayaknya memang belum ada jalannya aja. Mudah-mudahan mereka bisa cepet punya keturunan. Saya udah nawarin bayi tabung tanpa mikirin biaya, tapi mereka nolak," jelas Andra sembari berjalan menuju sebuah meja kosong.
"Mungkin mereka merasa gak enak. Soalnya bayi tabung, kan, lumayan. Wajar sih kalo mereka nolak."
Andra mengangguk kemudian memasukan sesendok nasi ke mulutnya. Namun, baru mengunyah sebentar, ponselnya sudah berbunyi. Dia segera mengangkat telepon tersebut karena sudah dipastikan itu adalah kondisi darurat.
Andra meneguk air mineral kemudian beranjak meninggalkan makanannya yang baru dimakan satu suap. Baginya, keselamatan pasien jauh lebih penting. Apalagi, dia mendengar dari dokter koas bahwa pasien yang baru datang adalah ibu hamil yang menjadi korban kecelakaan. Mereka harus melakukan operasi segera karena sang ibu diketahui sudah tak bernyawa saat tiba di sana.
Mamat hanya bisa menggeleng kemudian melanjutkan makan siang yang sudah tertunda menjadi makan malam itu. Dia harap setelah ini Andra bisa makan meski hanya sedikit.
...***...
Andra mencari ponselnya yang sejak tadi berdering. Hari ini kebetulan sekali dia tak ada jadwal di rumah sakit. Jadi, dia bisa berangkat lebih siang atau bahkan tak pergi ke tempat kerjanya.
Andra ingin tidur lebih lama. Namun, dia memaksakan diri untuk bangun kemudian melakukan sedikit peregangan. Bukan liburan atau apa. Andra lebih suka menghabiskan waktu liburnya untuk riset atau berolahraga agar tubuhnya tetap sehat. Terkadang dia juga menemui profesor Johnny untuk mendiskusikan beberapa kasus. Termasuk kasus yang saat ini belum bisa dia pecahkan yaitu soal program hamil yang seakan sama sekali tak berhasil.
Andra menghela napas saat mendapat balasan dari profesor Johnny yang tak bisa menemuinya hari ini karena ada urusan. Alhasil, Andra mau tak mau harus mencari kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
"Astaga! Untung prof lagi sibuk. Hari ini ada kegiatan ngunjungin desa." Andra segera beranjak dari tempat tidur. Dia langsung membersihkan diri karena jam sudah menunjukan pukul 8. Terlalu sibuk membuatnya lupa soal kegiatan kemanusiaan yang sudah dia lakukan bersama organisasi yang dia bentuk saat masih berkuliah.
Andra sudah keluar kamar dengan pakaian rapi. kemeja lengan pendek berwarna coklat yang memperlihatkan bisepnya serta celana kain panjang berwarna hitam dia padukan dengan cukup apik. Dengan wajahnya yang tampan, pakaian apa pun sepertinya akan cocok-cocok saja.
"Bi, Andra buru-buru. Kalo mama tanya, bilang aja Andra udah sarapan. Nanti Andra makan ini di jalan." Andra memang sudah menginjak usia 32 tahun, di mata sang mama dia tetaplah anak kecil. Maklum, Andra adalah anak bungsu di keluarganya. Maka tak heran dia masih dimarahi jika melewatkan sarapan bahkan wajib membawa bekal jika berangkat bekerja.
Andra meletakan tasnya di kursi samping kemudi. Selanjutnya, dia segera melajukan mobil hitamnya agar tak terlalu terlambat dan membuat teman-temannya yang lain menunggu. Sembari mengemudi, Andra memilih memutar musik untuk menemani perjalanannya.
Tiba-tiba Andra terpikirkan soal surogasi. Dia merasa itu mungkin bisa jadi solusi untuk kasusnya saat ini. Risikonya memang besar dan cukup merugikan bagi pihak ibu pengganti. Namun, rasanya praktik itu bisa dilakukan jika darurat.
"Ah, kenapa malah mikirin itu? Itu malah nambal masalah dengan masalah."
Andra semalam sempat membaca soal surogasi. Beberapa memang menganggap itu melanggar kode etik. Apalagi, berpotensi merugikan baik bagi ibu pengganti maupun bagi bayinya. Namun, beberapa juga ada yang mengaku menggunakannya karena alasan tertentu. Termasuk rahimnya yang tidak cukup kuat untuk mengandung atau karena hal lain.
"Di Indonesia kayaknya emang ilegal. Itu sama aja ngelanggar HAM. Apalagi, seorang perempuan harus hamil anak dari orang lain yang mau tak mau harus diberikan setelah lahir. Itu juga ngelanggar etika."
...^^^...^^^...****************...^^^...^^^...
Andra tiba di lokasi tempat penyuluhan akan dilakukan. Bersama rekan-rekan dokter serta relawan lain yang sudah mendaftar sebelumnya. Suatu tantangan bagi Andra untuk mengubah pandangan orang-orang di desa tentang kesehatan. Dengan pengalamannya yang sudah sering mengadakan penyuluhan dan bekerja sama dengan pemerintah setempat, membuat Andra merasa dengan segala pandangan yang ada.
Andra masih sangat ingat saat pertama kali melakukan penyuluhan. Dia dan timnya diusir dan dianggap sebagai orang mata duitan karena melakukan penyuluhan itu. Padahal, mereka ingin membantu warga desa untuk mendapatkan akses kesehatan yang sama. Namun, perjuangan Andra memang selalu membuahkan hasil. Para warga desa rutin memeriksakan kesehatan mereka. Bahkan, tak ada yang berpikiran buruk tentang bidan atau tenaga medis.
"Jadi ya ... bapak ibu sekalian ...." Andra menjelaskan soal alat kontrasepsi dan risiko wanita yang hamil di atas usia 35 tahun. Awalnya mereka sedikit menyanggah. Bahkan, mengatakan Andra mengada-ngada. Anda tahu sendiri bagaimana pandangan mereka. Apalagi, mereka membandingkannya dengan zaman dulu. Tak apa, dia sangat mengerti pandangan mereka.
Setelah selesai menyampaikan penyuluhan, Andra duduk bersama relawan lain sembari meneguk air mineralnya. Dia mempersilakan perwakilan dari pemerintahan untuk ikut melakukan penyuluhan terkait keluarga berencana. Memang program ini sedikit demi sedikit terealisasi. Namun, masih banyak yang punya anggapan jika makin banyak anak maka akan semakin banyak pula rezeki mereka.
"Pak, monggo dimakan," ujar salah satu relawan yang duduk di sampingnya. Andra hanya melempar senyum kemudian menawarkannya kembali.
Sementara itu, seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda dan memakai rompi lengkap khas relawan, membulatkan mata kala melihat sosok Andra. Tadinya, dia akan membagikan konsumsi pada orang-orang yang ada di sana. Namun, melihat Andra membuatnya memilih memutar balik arah langkahnya dan kembali ke posko yang ada di depan.
Gadis dengan mata bulat dan wajah bak boneka itu, bernama Tania Ayu. Dia seorang gadis berusia 25 tahun yang kini sedang bingung mencari pekerjaan. Dia merupakan seorang lulusan Ilmu Komunikasi. Namun, hingga saat ini dia masih belum menemukan pekerjaan yang dia rasa sepadan.
Dengan rasa kesal, Tania mencoba menghubungi temannya. Beberapa kali temannya tak kunjung mengangkat teleponnya. Hingga akhirnya telepon itu tersambung.
"Lu gak bilang ada Andra," kesal Tania dengan nada rendah. Sebenarnya dia ikut karena menggantikan temannya. Itu sebabnya dia sama sekali tak tahu soal siapa yang mengadakan acara itu. Dia terlalu senang mendapatkan uang hanya dengan pekerjaan yang ringan. Hingga dia lupa mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam pekerjaan itu.
"Lu gak nanya, Tan. Udahlah, lagian kalian udah lama putus kali."
"Masalahnya ...." Tania mengerutkan dahi saat mendengar nada putus dari ponselnya. Segera dia berdecak dan meletakan ponselnya ke saku. Sudah telanjur ada di sana, mana mungkin dia melupakan tugasnya.
Tania dan Andra awalnya dipertemukan saat Tania pertama kali menjadi seorang relawan. Mungkin karena sifatnya yang ceria, Andra langsung tertarik pada gadis itu. Hanya berselang satu bulan, pria itu akhirnya mendekati Tania dan mendapatkan hatinya di bulan ke-5 perkenalan mereka.
Mereka sebenarnya berpisah bukan karena orang ketiga. Namun, karena mereka sama-sama merasa tak lagi sejalan. Tania yang ingin Andra selalu ada bersamanya sedangkan Andra yang disibukkan dengan segala macam praktik dan antek-anteknya. Hingga kemudian mereka memutuskan untuk berpisah.
Tania menggeleng dan mencoba untuk mengenyampingkan urusan pribadinya. Dia kemudian meraih topi yang ada di sana kemudian melangkah masuk sembari membawa beberapa nasi kotak. Dia membagikannya dengan hati-hati agar tak ketahuan. Rasanya mungkin akan sedikit canggung bila mereka bertemu lagi setelah sekian lama. Apalagi, Tania sadar betapa kekanakannya dirinya waktu itu.
Tiba saatnya Kinan harus memberikan nasi kotak itu pada Andra. Hatinya berdegup kencang bukan karena perasaan lama yang belum selesai. Namun, karena dirinya malu jika harus bertemu lagi dengan Andra setelah 5 tahun berlalu.
Tania memberikan nasi kotak itu sembari memalingkan wajah dan berusaha agar Andra tak melihat wajahnya. Namun, penyamarannya sia-sia karena seorang anak kecil tiba-tiba melepaskan topi yang sedang dia kenakan.
"Ah, sial pake kebuka segala lagi," gumam Tania dalam hati. Dia kemudian tertawa canggung sembari memberikan nasi kotak itu. Setelahnya, dia segera pergi dan memilih untuk tak memedulikan pria itu.
...***...
"Makasih, ya." Andra mengucap terima kasih pada setiap orang yang membantunya agar acara tersebut berjalan lancar. Matanya mencoba mencari keberadaan Tania karena setelah memberikan nasi kotak, gadis itu benar-benar menghilang.
Andra tak membenci Tania setelah hubungan mereka selesai. Bahkan, sebagai pria yang pertama kali menjalin hubungan, Tania adalah cinta pertamanya. Seperti kata pepatah, cinta pertama memang selalu punya tempat yang berbeda. Apalagi, sampai detik ini Andra merasa tak bisa mencari pengganti Tania. Sudah dapat dipastikan bagaimana peran Tania dalam hidup Andra 'kan?
Namun, ego menguasai pria itu. Meski perasaannya terkadang masih merindukan Tania, dia memilih untuk tak mengejar. Apalagi, sang mama mengatakan kalau ada baiknya dia melepaskan sesuatu yang dia inginkan. Bila dia mendapatkannya artinya itu merupakan takdirnya.
"Bro, apa kabar. Lama nih gak ketemu," sapa seorang pria dengan kemeja kotak-kotaknya. "Gimana kabar?"
"Baik. Lu gimana?"
"Gua jadi dokter umum di RSUD. Lu sendiri?"
"Dokter spesialis kandungan."
"Ternyata cita-cita yang lu tulis di balon pas ospek kesampean ya. Gua do'ain lancar-lancar deh semuanya. Kalo ada waktu bisa lah kita ngopi bareng," ujar Aksa diakhiri senyum dan dahi yang mengangkat. "Eh iya ... Tania?"
"Lu lupa? Gua udah putus sebelum beres koas."
Aksa memukul pelan dahinya. Benar juga. Dia lupa. "Duh sorry, gua lupa. Jadi gimana nih sekarang? Single atau double atau malahan triple?"
"Lu sendiri?"
"Gua OTW double nih," ujar Aksa diakhiri tawa. Namun, tawanya terhenti saat melihat wajah Andra yang nampak kebingungan. "Ada apa, Dra?"
"Ini ... Gua ada kasus yang gak bisa dipecahin. Udah gua coba banyak cara tapi gak berhasil. Pasangannya juga nolak buat pake IVF. Terus usia mereka juga udah gak muda," jelas Andra yang membuat Aksa mengangguk. Dia tentu mengerti mengapa wajah Andra bisa begitu bingung.
"Ini mungkin agak gimana gitu ya ... tapi, gua pernah nih liat soal ibu pengganti. Mungkin ada masalah sama reproduksi pasangan itu, makanya pake ibu pengganti. Emang ilegal sih, tapi ada yang berhasil katanya."
"Gua gak mau ngambil jalan pintas gitu."
"Gua ada agent yang pernah nawarin ke temen gua di RSUD. Semoga aja bisa bantu sih. Soalnya dalam keadaan darurat. Apalagi pasangannya udah gak muda 'kan? Coba aja dulu."
"Tapi itu ngerugiin sepihak, Sa."
"Ada aturan khusus jadi 2 pihak gak ada yang rugi. Gua pernah nemuin kontraknya dan pihak yang pengen punya bayi, ngasih kompensasi yang gede. Termasuk kalo misalkan si ibu penggantinya meninggal, nanti uangnya dikasih ke keluarganya."
"Apa pake ini aja ya? Tapi ini bener-bener melenceng dari aturan dan merugikan satu pihak," gumam Andra dalam hati. Dia akan mencoba jalan lain dulu. Jika dia tak bisa menemukannya, mungkin dia harus mencoba cara itu.
...****************...
Tania menghela napas saat menatap saldo tabungannya. Setiap dia mendapat uang, seakan ada lubang penyedot di dalam rekeningnya hingga yang bersisa selalu saja sedikit. Bahkan, saldonya yang seharusnya 2 digit, ini tinggal 3 angka.
"Kenapa?" tanya sahabatnya sembari memberikan minuman dingin padanya. Hal yang cukup menyeramkan memang pada saat seperti ini. Sang adik harus melakukan registrasi kuliah. Itupun jalur reguler. Padahal, dia sudah memohon pada sang adik agar mengambil jalur beasiswa. Namun, sebagai anak bungsu tentu saja sang adik memilih jalur reguler karena tahu akan dibiayai penuh.
"Saldo gua," ujarnya kemudian mengacak rambut. Dia sungguh bingung harus berjuang seperti apa lagi. Melamar ke beberapa perusahaan tak membuahkan hasil. Dia hanya bisa kerja seadanya itu pun dengan gaji yang tak memadai. Mau sampai kapan dia meminjam pada Sonia?
Gadis dengan pakaian khas orang kantoran itu ikut menghela napas. Gadis dengan kecantikan khas wanita jawa itu tentu tahu betul bagaimana perjuangan Tania sejak masih berkuliah. Dia rela bekerja sambil kuliah hanya karena tak ingin membebani orang tuanya dengan uang kuliah. Dia selalu berpikir Tania mungkin punya nasib bagus setelah lulus. Namun, siapa sangka? Perjuangan Tania masih harus berlanjut hingga detik ini.
"Coba bilang baik-baik sama ade lu. Lu gak mungkin biayain dia 100% karena emang uang kuliahnya gak semurah itu. Belum lagi biaya hidup dia nantinya. Lu juga belum dapet kerjaan jadi mungkin ortu lu juga paham."
"Masalahnya yang mereka tau, gua berkecukupan di sini."
"Lu sih pake acara bohong segala."
Hidup di pedesaan memang cukup berbeda dari kehidupan di kota. Mereka masih sangat memperhatikan bahkan jeli terhadap apa pun yang terjadi di sekitar mereka. Dengan merantau, anggapan mereka adalah orang tersebut berkecukupan. Kemudian, Tania juga salah karena berbohong pada orang tuanya sudah mendapat pekerjaan yang cukup bagus dan nyaman. Dia lupa, itu malah akan semakin memberatkannya karena dia anak pertama.
Sonia beranjak kemudian mengulurkan tangannya pada Tania. "Udah, daripada sedih-sedih gitu, mending kita cari makan yuk. Gua traktir."
"Gua ... gantiin bulan depan deh."
Sonia terkekeh mendengar ucapan Tania. Padahal, dia tak pernah meminta ganti dari setiap uang yang dia beri. Baginya, memiliki Tania di sisinya adalah lebih dari cukup. Hanya Tania yang mau berteman dengan tulus tanpa melihat apa yang dia punya. Berbeda dari yang lainnya, mereka selalu melihat segala harta yang Sonia miliki.
Mereka berdua melangkah menuju sebuah resto makanan Jepang yang terletak tak jauh dari kantor Sonia. Awalnya Tania menolak dengan alasan tak mau membuat sahabatnya mengeluarkan uang banyak. Namun, Sonia memaksanya dengan alasan perayaan karena gaji yang selama ini Tania kumpulkan, cukup untuk membayar biaya kuliah sang adik.
"Lu sih ditawarin kerja sama gua gak mau," ujar Sonia yang tentu mengundang kekehan dari Tania. Dia bukannya tak mau. Namun, dia merasa tak enak karena terus menempel dengan Sonia. Apalagi, dia tahu Sonia akan mempekerjakannya dengan berbeda.
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Tania. Dia mengerutkan dahi saat sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk dan menawari sebuah pekerjaan dengan jumlah gaji yang cukup besar. Namun, tak ada keterangan lain seperti pekerjaannya apa, alamat perusahaannya di mana. Hanya tertulis kualifikasi kandidat yang dirasa sangat mudah.
"Ade lu?" tanya Sonia sembari memilih menu.
"Penipuan," jawab Tania. Dia sudah berulang kali terkena jebakan seperti itu. Bahkan, hingga uang tabungannya habis. Dia tahu betul alur perekrutan seperti itu. Dia akan diminta datang dengan sejumlah uang dan dijanjikan akan bekerja di perusahaan ternama. Ternyata semua itu hanya sebuah siasat dan akhirnya orang itu membawa kabur uang Tania.
"Apa gua pastiin dulu ya?" gumam Tania dalam hatinya. Mungkin saja ini bisa jadi langkah terakhir agar dia bia membiayai kuliah sang adik hingga lulus. Dia heran mengapa sang adik malah gengsi mengambil jalur beasiswa dengan alasan takut dikucilkan.
...***...
Soal jasa itu, Andra pikir sepertinya itu keputusan terbaik. Dia tak keberatan jika harus menyalahi sedikit kode etiknya. Lagipula, tak ada jalan lain. Pasangan itu sudah cukup tua dan berisiko jika harus hamil. Mungkin itu juga alasan mengapa pasiennya tak kunjung hamil.
Andra menghubungi sang sahabat, mengatur pertemuan untuk membahas soal ini. Dia perlu bertemu dengan pemilik agensi itu dan melakukan hal terbaik untuk pasiennya. Masa bodoh dengan hukuman atau konsekuensinya. Dia akan memikirkan itu nanti.
"Dok, ada pasien yang mau melahirkan. Sudah saya pindahkan ke ruang persalinan," ujar seorang perawat yang kemudian membuat Andra meletakan ponselnya.
"Untuk pembukaannya?"
"Sudah hampir lengkap."
"Saya segera ke sana."
...***...
Di depan sebuah gedung dengan cat berwarna putih dan bertuliskan 'Kasih Bunda' di dindingnya, Andra berdiri. Dia berkali-kali menatap ponsel bertuliskan alamat yang dikirimkan oleh sang sahabat kemudian menatap gedung di depannya. Setelah yakin, dia berjalan masuk ke sana untuk menemui langsung sang pemilik agensi.
"Bisa bertemu dengan pak Tanu?"
"Tunggu sebentar, ya," ujar seorang wanita yang duduk di meja resepsionis. Dia berjalan ke sebuah ruangan kemudian kembali setelah beberapa saat. "Boleh langsung ke ruangannya."
"Terima kasih." Andra berjalan menuju ruangan yang bertuliskan 'Pak Tanu' itu. Sebelumnya, dia mengetuk terlebih dahulu kemudian masuk.
Baru masuk saja Andra merasa nyaman dengan ruangannya. Mungkin karena catnya yang putih sehingga ruangan tersebut terlihat sangat rapi. Pemilihan furniturnya juga terlihat sangat pas. Jangan lupakan soal pencahayaan dari jendela besar yang ada di sebelah kiri.
Andra tersenyum kemudian menjabat tangan pria paruh baya itu. "Saya Andra, pak, yang menghubungi bapak tadi pagi."
Andra sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini demi menemui pemilik agensi itu. Menurutnya, lebih cepat memang akan semakin baik. Dia dikejar waktu.
"Bapak sudah menikah?"
Pertanyaan itu membuat Andra segera menggeleng dan tertawa canggung.
"Bukan, pak. Kebetulan saya mencari jasa ibu pengganti untuk orang lain."
"Ah ... kirain buat bapak sendiri."
Andra terkekeh. "Bukan, pak. Untuk biayanya ada biaya apa saja kalau boleh tau? Kebetulan saya juga seorang dokter. Apa saya bisa mendampingi ibu penggantinya selama praktek ini berlangsung atau bagaimana?"
"Biasanya ada dokter khusus, kenalan saya dan sudah bekerja sama. Tapi kalau bapak mau, boleh," ujar pak Tanu dengan sangat ramah. "Juga ... untuk kerahasiaan, kami bisa menjaminnya."
Andra tersenyum, merasa bebannya cukup terangkat jika begini. Pasiennya mungkin akan segera mendapatkan anak seperti impian mereka. Dia benar-benar kasihan melihat pasangan pasiennya yang satu ini. Mereka berkali-kali konsultasi namun hasilnya tetap sama.
"Tapi untuk saat ini kami belum ada calon kandidatnya. Apa bapak mau menunggu? Saya akan menghubungi segera jika kandidatnya sudah ada."
"Boleh, pak, mungkin saya bisa kasih kartu nama saya." Andra merogoh sakunya kemudian memberikan sebuah kartu nama. "Saya tunggu kabar baiknya, pak."
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!