NovelToon NovelToon

Tuan Muda Penjaga Hati

Bab 1. Pemakaman

Awan kelabu menyertai kepergian wanita yang telah melahirkan Nadia Humaira ke peristirahatan yang terakhir. Para pelayat yang tadi ikut mengantarkan jenazah sang ibu tercinta mulai meninggalkan areal pemakaman umum, apalagi melihat cuaca yang sebentar lagi sepertinya akan turun hujan.

Nadia masih betah duduk di atas tanah dengan tangan yang bergerak di atas pusara ibunya, menggenggam tanah yang masih terlihat merah dengan berbagai bunga yang menghiasi kuburan ibunya. Teman-teman dan guru yang tadi sempat menyampaikan rasa sedih, juga turut berduka cita serta berbelasungkawa pun mulai meninggalkan gadis itu yang masih menatap gundukan tanah tempat tidur panjang ibu tercintanya.

“Nadia, ayo kita pulang ke rumah dan bersiap-siap untuk meninggalkan kampung ini karena om hanya mendapatkan cuti selama tiga hari!” Bagas memegangi pundak keponakannya yang saat ini sudah menjadi yatim piatu setelah kakak perempuannya itu ikut menyusul sang suami yang duluan pergi meninggalkan keponakannya ke alam baka.

Nadia masih bergeming dengan air mata yang lurus tanpa jeda sejak mengetahui Ibunya sudah tak lagi bernyawa, tepatnya beberapa jam yang lalu di rumah sakit umum daerah. Dirinya merasa sudah menjadi seorang diri tanpa ada orang lain lagi walaupun Bagas merupakan paman kandungnya, alias adik laki-laki dari ibunya tapi rasa sedih dan sebatang kara itu tetap saja bergelayut di dalam jiwanya.

“Nanti setiap tahun kita akan datang ke sini untuk ziarah ke kuburan ayah dan ibumu, tapi sekarang sebaiknya kita pulang karena sebentar lagi sepertinya hujan akan turun,” ajak Bagas kembali meraih tangan sang keponakan dan mengajaknya berdiri.

Sungguh Bagas tidak pernah menyangka jika akhirnya dia yang akan menjadi wali dari keponakannya itu, padahal dia masih sangat menyayangi kakak satu-satunya yang akhirnya juga pergi meninggalkan seorang anak gadis remaja yang harus dijaganya. Mampukan Bagas menjadi pengganti dari orang tua keponakannya sendiri yang selama ini hidup terpisah dengannya? Artinya Bagas harus mulai terbiasa karena hanya dirinya seorang yang tertinggal sebagai keluarga kandung seorang Nadia.

Nadia menengadahkan kepala melihat awan hitam yang masih berusaha menunda turunnya hujan, mungkin Alam juga mengerti bagaimana lara yang sedang ia alami saat ini. Dirinya sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali sang paman seorang diri yang bernama Bagas Saputra — adik kandung sang Ibu tercinta, bahkan sebentar lagi dirinya akan ikut diboyong ke kota Jakarta demi kelangsungan hidup dan juga pendidikannya. Itulah yang bisa ditangkapnya dari perkataan sang paman.

Di dalam perjalanan menuju rumah sederhana miliknya yang selama ini dihuni bersama sang ibu, Nadia hanya diam membisu tanpa suara, dan Gadis itu sama sekali belum menyetujui keinginan sang paman yang akan membawanya ke kota metropolitan — kota selama ini banyak diminati teman-teman di sekolahnya.

“Mandilah terlebih dahulu, setelah itu kamu makan dan beristirahat, besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke bandara menuju Jakarta!” beritahu Bagas sembari mengusap lembut surai hitam yang dikepang dua milik keponakan tersayangnya.

“Apa mau om bantu melepas kepang rambutnya?” tanya Bagas penuh sayang dan mulai membuka jalinan surai yang saling terkait.

“Gak usah, Om. Nadia sendiri aja, makasih karena Om bisa datang dan ketemu sebelum ibu pergi selamanya,” sahutnya dengan suara cicitan kecil dengan pilu.

Bagas hanya bisa menenggelamkan wajah sang keponakan ke dalam dekapannya. Dia pun juga merasa sangat terpukul dengan kepergian mendadak sang kakak dan menjadikannya sebagai wali untuk Nadia, menitipkan gadis remaja itu.

‘Om akan memberikan pendidikan setinggi mungkin seperti apa yang telah dilakukan oleh kakak padaku dulu! Om janji akan menyayangimu seperti kakak yang menyayangimu sendiri!’ gumam Bagas di dalam hati ketika masih berdiri di pintu kamar keponakannya yang terlihat masih bersedih dengan lelehan air mata yang selalu membasahi pipinya.

Bagas berjalan ke arah dapur membuka kulkas untuk mencari sesuatu yang bisa dimasak demi makan malamnya nanti bersama Nadia. Pria itu sudah lama tinggal sendirian dan sudah bisa melakukan apa saja tanpa bantuan orang lain. Semua itu terjadi karena Bagas selama ini memang kuliah di kota Jakarta hingga dirinya sukses dan mampu membeli rumah sendiri walaupun tidak mewah seperti kebanyakan teman-teman sekantornya, tetapi paling tidak semua hasil jerih payahnya juga berkat jasa dari kakak perempuannya selama ini.

Bab 2. Pindah ke Jakarta

Pagi ini cuaca terlihat begitu cerah yang berbanding terbalik dengan suasana hati Nadia yang masih bersedih dengan kepergian ibu tercinta. Gadis itu baru saja mendarat di bandar udara Soekarno Hatta bersama sang paman setelah menempuh perjalanan udara sekitar satu setengah jam.

Bagas belum mau memaksa sang ponakan untuk sekedar tersenyum karena dirinya sendiri juga ikut merasa terpuruk dengan kepergian sang kakak, apalagi Nadia sebagai anak kandung yang pasti jauh lebih sedih setelah kepergian wanita yang telah melahirkannya. Setengah jam kemudian, taksi telah mengantarkan Bagas bersama keponakannya hingga sampai di jalan Cendrawasih tepat di depan rumahnya, terlihat seorang asisten rumah tangga berlari ke depan saat mendengar dan melihat taksi yang berhenti.

“Selamat datang di Jakarta, Non Nadia, mudah-mudahan non betah di rumah Den Bagas, ya. Bibi ikut berduka cita atas meninggalnya ibunda non Nadia. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memberikan tempat yang terbaik di sisinya, aamiin,” ucap asisten rumah tangga itu yang bernama Bibi Upi.

“Aamiin,” sela Bagas ikut mengaminkan do’a sang pelayan.

Nadia memang sudah diberitahu oleh pamannya jika di rumah mereka nanti yang ada di Jakarta sudah ada seorang asisten rumah tangga yang akan menemani Nadia ketika Bagas sibuk bekerja. Nadia bersalaman seperti layaknya gadis dari kampung, menjabat tangan Bibi Upi serta mencium punggung tangan perempuan paruh baya itu dengan takjub.

“Terima kasih ya Bi atas do’anya, insya Allah Nadia bakal membetah-betahkan diri tinggal sama Om Bagas di sini. Bibi juga jangan sungkan menasehati kalau Nadia melakukan kesalahan,” sahut Nadia dengan memaksakan senyum tipis di bibirnya walau jauh di dalam lubuk hati rasanya Dia benar-benar tidak sanggup untuk sekedar mengangkat garis bibirnya.

“Ocee deh, Non. Siap atuh kalau masalah nasehat menasehati, bibi mah paling jago hehehe.” Bibi Upi mengangkat kedua ibu jarinya memberikan tanda setuju.

Bagas hanya tersenyum melihat ulah sang pelayan yang memang selalu bisa mencairkan suasana sejak bekerja di rumahnya.

“Bibi, tolong antarkan Nadia ke kamarnya, ya!” suruh Bagas pada pelayannya. Pria itu terlihat sangat lelah, belum lagi dirinya merasa kurang istirahat sejak kepulangannya satu hari sebelum sang kakak menghembuskan nafas terakhir.

Bahkan rasa lelahnya seolah-olah membuat semangat hidup seorang Bagas sedikit terkuras dan merasa malas untuk bekerja esok harinya. Namun, sepertinya Bagas tidak boleh bermalas-malasan lagi dalam mencari nafkah karena sekarang sudah ada keponakannya yang harus dinafkahi hingga Nadia bisa mencicipi bangku pendidikan yang tinggi.

“Nadia, kamu langsung istirahat aja ya, nanti saat makan siang tiba akan Om bangunkan atau biar Bibi Upi yang membangunkanmu,” ucap Bagas sembari mengusap-usap surai hitam keponakannya yang hanya menganggukkan kepala menurut begitu saja tanpa ada bantahan.

Bibi Upi akhirnya mengantarkan Nadia ke kamar yang memang sudah dipersiapkan setelah mendapatkan telepon dari Bagas tentang kepindahan keponakannya itu pada sang asisten rumah tangga.

“Ini kamarnya non Nadia, kalau butuh apa-apa panggil Bibi aja ya, Non!” ujar Bibi Upi sebelum ke luar dari kamar yang akan ditempati Nadia selama tinggal bersama pamannya.

Nadia melihat sebuah ranjang dengan sprei berwarna merah muda serta ada meja belajar disertai lemari kayu tiga pintu berwarna coklat berbahan dari Jati. Gadis itu melangkahkan kaki menuju ke atas ranjang lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Kedua matanya menerawang memandangi langit-langit kamar dengan pikiran yang juga ikut melayang pada sang ibu yang telah pergi meninggalkannya.

Tanpa terasa air mata Gadis itu kembali turun meleleh melewati pipinya, membayangkan langkah demi langkah di masa depan tanpa ada lagi tempatnya untuk berkeluh kesah karena tidak mungkin dirinya akan selalu curhat pada sang paman yang notabene selama ini tidak terlalu dekat dengannya, sebab Bagas tinggal di kota yang berbeda dengannya.

Tiba-tiba saja, Gadis itu teringat akan sesuatu. Dengan cepat Nadia bangkit lalu meraih tas selempang yang tadi dibawanya serta mengeluarkan ponsel yang ada di dalam sana.

“Halo, assalamualaikum. Maaf aku lupa mengabarimu kalau aku sekarang ini sudah pindah ke Jakarta dan tinggal bersama Om Bagas!”

Bab 3. Tinggal Sama Paman

“Halo, assalamu’alaikum. Maaf aku lupa mengabarimu kalau aku sekarang ini sudah pindah ke Jakarta dan tinggal bersama Om Bagas!” sapanya saat orang yang dihubungi itu mengangkat panggilan teleponnya.

Pemuda itu adalah Pras – cowok yang selalu mengejarnya dan berakhir menjadi teman baiknya dalam segala hal. Suka dan duka dijalaninya bersama bahkan sering kali mereka menghabiskan waktu bersama di rumah Nadia hanya sekedar untuk belajar walau kelas mereka berbeda.

[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu dan memberikan jawaban pasti padaku, Nad? Apa sebegitu terburu-burunya kamu pergi ninggalin aku?] nada kesal terdengar resah saat Pras menyahuti dan menjawab salamnya.

Nadia memang pernah berjanji pada Pras untuk menjawab pertanyaan tentang perasaannya sebelum gadis itu mendapatkan musibah dengan meninggalnya wanita yang telah melahirkannya itu.

[Jadi …?] lanjut Pras masih mengharap jawaban itu tetap didengarnya walau saat ini mereka telah dipisahkan oleh jarak, waktu dan pulau.

Pras hanya belum merasa sanggup untuk berpisah secepat ini karena mereka sudah mirip bagai amplop dan perangko hampir setiap hari selalu bersama, entah apa yang akan terjadi padanya nanti.

“Jadi … kamu nggak usah mengharapkan aku lagi. Semua sudah tak mungkin untuk kita bersama walaupun aku memberikan jawaban pasti. Aku mungkin tak akan pernah kembali lagi ke desa,” jawab Nadia membuat desah napas terdengar kasar di ujung telepon sana.

Pras menggelengkan kepala walau Nadia tidak melihatnya. Pemuda yang masih duduk di kelas 12 SMA itu sebagai kakak kelas Nadia, merasakan dadanya sangat sesak sebab Nadia merupakan gadis pertama yang membuatnya berdebar. Pemuda yang selalu ada untuknya dengan status sebagai sahabat baik. Pemuda itu merasa tidak bisa menerima dengan keputusan yang disampaikan Nadia barusan. Hatinya terlalu perih untuk merasakan cinta yang tak kesampaian.

[Kalau kamu memang udah gak bisa balik ke kampung kita maka aku yang akan berusaha untuk menyusulmu ke Jakarta. Beberapa bulan lagi aku tamat SMA dan kupastikan harus bisa diterima di salah satu universitas di dekat tempat tinggal pamanmu. Apa jika aku menyusul ke sana kamu akan menerima cintaku?] Pras memberikan janjinya demi bisa bertemu lagi dengan Nadia.

Pemuda itu juga meminta kepastian jika kedatangannya tidak sia-sia menemui gadis itu. Namun, apakah semua itu semudah yang ada di dalam pikirannya? Sepertinya itu hanya sebuah komitmen dan janji yang belum tentu bisa ditepatinya, sebab kehidupan Pras juga tidak jauh berbeda dengan perekonomian yang dialami Nadia. Keluarga mereka sama-sama memiliki ekonomi sederhana.

“Ka-kamu serius? Kamu nggak cuma lagi menghibur aku aja, kan?” Nadia sampai menggigit bibir bawahnya, merasa haru karena orang yang paling peduli padanya selama ini akan datang menyusulnya ke Jakarta.

“Jika kamu beneran datang ke sini … aku janji akan menerima cintamu, asal jangan hanya memberikan janji tanpa ada bukti,” balas Nadia memberikan secercah harapan buat pemuda itu.

[Insya Allah aku akan mencoba masuk ke sana lewat jalur beasiswa agar biayanya tidak terlalu besar, maaf aku tadi sempat mendahului untuk berjanji padamu … padahal belum tahu apakah Allah nanti menyetujuinya atau malah menolak harapanku] Pras meralat janji yang tadi sempat diucapkannya karena terburu-buru akibat rasa yang ada di hati.

Pemuda itu mendesah pasrah dengan suara lirih. Nadia yang diharapkannya bisa menemani dalam meraih masa depan bersama untuk menggapai cita-cita tapi sekarang malah pergi meninggalkannya ke kota metropolitan yang sangat jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Apa mungkin dirinya beneran akan bisa menyusul gadis pujaan hatinya itu? Entahlah, Pras sendiri merasa ragu dengan janji yang baru diucapkannya, membuat Nadia langsung merasa sedikit kecewa.

“Aku akan ikut berdo’a agar Allah memberikan rezeki terbaik untukmu dan keluarga dan in syaa Allah aku akan menunggumu sampai batas yang kusampaikan tadi,” timpal dengan nada hampa. Sesaat kemudian telinga mendengar pintu kamar yang diketuk.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek!

“Kamu nggak jadi istirahat, Sayang?” tanya Bagas yang masih bisa ikut didengar oleh Pras. Dia sedikit risih mendengar ada suara lelaki memanggil gadis yang disukainya itu dengan sebutan ‘Sayang’.

“Belum, Om. Ada apa om masuk nyari Nadia? Apa Om butuh sesuatu?” Gadis itu meletakkan ponsel dengan posisi terbalik agar sang paman tidak mengetahui kalau dirinya masih tersambung panggilan dengan pemuda di kampungnya.

“Om hanya mau ngasih tau kalau di ruang tamu ada bos dan beberapa teman om dari kantor yang mau kenalan denganmu. Apa kamu mau menemuinya atau mau istirahat di kamar aja?” tanya Bagas tidak ingin memaksakan kehendak pada keponakannya.

“Apa teman Om yang datang itu ada perempuannya?” tanya Nadia memastikan.

“Nggak, Sayang. Kebetulan semua teman yang datang adalah laki-laki. Kamu risih ya?” Bagas mengusap kepala Nadia dengan lembut, lelaki itu memang harus membiasakan diri memperlakukan Nadia seperti anaknya sendiri.

Sejenak Nadia terlihat berpikir tapi akhirnya dia memutuskan tidak ikut ke ruang tamu karena merasa tak punya kepentingan bertemu dengan bos dan juga teman pamannya. Dia takut yang ada pamannya malah merasa malu dengan kehadirannya yang berasal dari pelosok desa.

“Kalau boleh tau, Om Bagas jadi apa di perusahaan itu?” Nadia mengambil bantal lalu meletakkan di atas pangkuannya, menatap netra sang paman untuk menunggu jawaban.

“Om ini hanya kacung alias asisten pribadi dari seorang CEO bernama Perusahaan Singgalang. Yakin kamu nggak mau nemuin teman om? Bos nya ganteng lho,” goda Bagas yang hanya membuat Nadia mencebik tak peduli.

“Aku ini masih remaja, Om … Nadia belum mikirin gantengnya seorang pria. Om mau aku cepat nikah ya?” tanya Nadia menelisik tatapan sang paman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!