Kinar ga sanggup pak!
Kinar, maafkan bapak! tapi semua ini demi kebaikanmu, kamu harus meluruskan dimana mendiang kakakmu tidak pernah menyakiti Lunar, keluarga dari Alex si pria baik itu nak. Bapak yang salah telah banyak berhutang pada ayah Alex, ayah mohon dan minta maaf!
Mendengar kata sang kaka, Kinar pun menyetujui pernikahan itu yang dalam sepekan mereka telah sah.
Dan kini Kinar harus rela, berpisah dari sang ayah di kampungnya dan menurut serta mengabdi pada keluarga Alex Hariyanto.
"A-apa ini kediaman kamu Alex?"
"Mulailah tinggal dan patuh pada ibuku, dan disana adalah kakak iparmu Rina, Aku hanya berbelas kasih pada ayahmu karena dia baik, sebagai kepala kantin aku hormati dia di sekolah ku dulu. Jadi pandai pandailah membawa diri, karena kita tidak sejalan untuk menjadi pasangan suami istri." jelasnya dan Alex pun berlalu.
Hati mana tidak sedih, kini Kinar harus pasrah, dan mencoba untuk membuat percaya pada Alex, jika mendiang kakaknya Lunar tidak pernah membully adiknya di saat sekolah, tapi dimana Lunar? mata Kinar menoleh ke sekeliling.
Dan tepatlah satu tahun pernikahan, dimana mertuanya meminta Kinar merawat seorang bayi, yang diyakini jika banyak orang bicara itu adalah anaknya, bahkan Kinar nampak tidak mengerti dengan semuanya, karena sang ibu Mertua tak menjelaskan bayi siapa ini.
Bayi itu bernama Raya, dalam asuhan Kinar selama beberapa bulan membuat Kinar tampak tidak kesepian, dimana ia tinggal dengan Alex, hanya sebuah identitas saja. Bahkan kamar mereka terbagi dua skat, yang kadang kala Kinar tak boleh pergi melampaui batas meski satu kamar.
Esok Harinya.
"Haduh, tolong ya Kinar. Kalau nyuci gak usah pake pengering, bayar listrik mahal tau. Terus kamu kalau jemur itu coba agak geser ke sanaan, jangan disebelah sini. Ini khusus tempat jemuran ibu, yang kamu ke arah sana aja! Trus, kamu punya ember, ya pake punya sendiri." ketus mertuanya, yang saat itu terlihat kesal melihat Kinar.
"Iya bu, maafin Kinar. Ember nya nanti saya bersihin, untuk kali ini boleh pinjam ya bu, sebab barang barang di gudang ga ada kuncinya, sama mas Alex itu belum semua ke ambil."
"Halah, ya udah deh. Nih uang 15rb kamu cari ember baru model kaya gitu, bedain aja warnanya. Ibu enggak mau pake ember bekas cucian kamu itu pasti bekas Lem atau bekas pups Raya kan."
Deg.
"Iya bu, maafin Kinar."
Setelah Inggrid tak terlihat, Kinar nampak merendam cucian bayi Raya dan pakaian dalam itu dengan pewangi, meletakkannya di pojokan. Kinar kembali menahan air mata, dimana kini ia beranjak berdiri, lalu ke arah kamar melihat Raya, setelah sampai kamar. Kinar menatap cermin, dirinya memang terlihat kucel dan berbeda dari Kinar yang dahulu, hanya saja Kinar enggan meminta sesuatu pada Alex, jika bukan diberi.
Kinar pun berganti baju, berniat ke pasar terdekat membawa Raya, hanya untuk membeli ember berukuran sedang.
"Sayang, ikut ibu ya nak."
Terlihat Raya terbangun, menangis sebentar. Kinar menyempatkan memberikan susu untuk Raya, sebab tak ada pendingin. Dimana Kinar berada di rumah ini melakukan kegiatan terbatas, jika bukan miliknya ia tidak boleh menyentuh barang manapun.
Beberapa jam kemudian, Ada rasa sesak, dimana pasar terlihat. Da-danya terasa sakit, dan bagian perutnya terasa perih, Kinar duduk di trotoar pinggir jalan, dimana ada Halte ia segera menarik nafas. Perih, gatal sakit dan kram kakinya saat ini, membuat Kinar menahan sabar.
"Di butuhkan lowongan kerja."
Lupakan saja Kinar, lagi pula jika bekerja membawa bayi, itu pasti akan sulit dan memakan waktu yang luar biasa, dimana nantinya ia akan di cerca oleh sang ibu mertua. Dan semoga saja harapan Kinar saat ini adalah, mas Alex segera pulang.
"Pak ember bunga, ukuran sedang itu saya mau berapa ya satunya?"
"55 ribu bu. Yang biru atau merah?" tanya penjual.
Eh, Kinar terlihat diam. Kala ibu mertuanya saja memberikan 15 ribu rupiah, sehingga Kinar menatap dompetnya yang saat itu terlihat sekali uang belasan ribu rupiah saja.
"Pak bisa enggak empat puluh delapan ribu lima ratus, uangnya ada segini. Tapi saya mau yang itu."
"55 ribu net bu. Dah murah juga." gerutu sang penjual, membuat Kinar meminta maaf.
"Ya udah, maaf ya pak. Saya hanya disuruh soalnya."
Kinar nampak kembali berjalan, mencari tukang perabotan dipinggir jalanan, yang memang lokasi itu adalah pasar berkah, dimana setiap hari akan ada pasar dari pagi sekali hingga sebelum dzuhur.
"Mas, ember itu warna kuning, kira kira uang saya empat puluh delapan ribu lima ratus, dapat enggak ya?"
"Ibu mau yang ini, panglaris lah. Ambil bu, doain aja dagangan saya laris." senyum mas mas penjual yang berbaik hati itu.
Hingga saat itu, nampak Kinar tersenyum dan meraih ember sedang, yang sudah dikantongi.
"Makasih mas, semoga dagangan mas laris setelah saya pergi tak tersisa." lirih Kinar.
"Amiin. Balik lagi bu, biar jadi langganan."
"Tentu pak." pamit Kinar dengan ucapan salamnya.
Kinar pun nampak berjalan pulang, dimana ia haus tapi ia menahan karena ia ke pasar saja jaraknya belasan kilo meter, dimana saat ini ia menoleh ke penjual perabotan tadi. Dan Kinar nampak senyum kala penjual itu di kerumuni banyak orang, dan terlihat banyak dari mereka membawa kantong plastik, terbukti doa yang sedang kesulitan akan di doakan karena kemurahannya mendapat balasan.
Kinar pun nampak berjalan ramah, dimana saat itu terlihat pedagang yang ketus kesal melihat dagangan dibelakang ramai, sementara dagangannya sepi.
Kinar pun sampai rumah, ia mengucapkan salam. Hingga dimana ia ke dapur meraih gelas, mengisinya sambil memberikan Raya saat itu susu kembali setelah mencuci botol lama yang habis.
Gleuuk.
"Duh lama banget sih, dapet kamu embernya?"
"Udah bu, tapi warnanya ini."
"Baguslah, dapat berapa kamu pasti murah ya. Lima ribuan, biasa kalau lagi promo. Untung sepuluh ribu kan, sini sisanya!"
"Eh enggak bu, lima puluh lima ribu. Itu pun .." Kinar terhenti, ketika sang mertua sudah kembali ketus.
"Ah, dasarnya aja kamu enggak pandai jadi menantu." gerutunya dan berlalu, membuat Kinar nampak harus ekstra sabar pada ibu mertuanya itu.
TBC.
"Bu maaf, tapi tadi harganya rata rata semua 55 ribu, itu pun Kinar tambahin sisa uang beli bahan dapur, yang sisanya belasan ribu. Maaf Kinar ga pegang uang lagi."
"Alah, kamu mah ga bisa nawar Kinar. Ya udah sana pergi gih, ibu mau masak buat makan siang. Dasarnya kamu itu menantu enggak berguna, enggak pandai kaya menantu ibu yang lain." gerutunya kembali terdengar oleh Kinar yang menepuk menepuk ember baru.
"Iya bu."
Tentunya sang menantu hanya bisa beranjak, dimana ibu mertuanya akan masak untuknya sendiri, andai Kinar banyak uang mungkin keadaan akan berbalik, dimana saat ini hati Kinar remuk terancam sakit hati yang tertahan.
Kinar sendiri nampak tidak bisa melakukan hal bebas, ketika ia berada di rumah mertua. Andai ingin sekali Kinar pulang ke rumah orangtuanya di kampung, atau mungkin Kinar coba minta izin ke kampung, untuk melihat rumah lamanya yang ayahnya tinggali. Yang mungkin bisa ia gunakan untuk tinggal, rehat sejenak.
Beginikah hidup dengan mertua, dimana sang menantu sangat miskin dan tergolong tidak banyak membantu ekonomi di rumah mertuanya itu. Tapi sebenarnya mas Alex kemana sih, kenapa meeting sudah sepekan tidak kabari. Bahkan uang yang diberikan mas Alex sudah habis hari ini.
Di kamar Kinar hanya minum saja, terakhir ia makan bersama dengan kerupuk dan kecap. Niat hati sisa kembalian pagi, akan ia gunakan untuk membeli mie diwarung untuk makan siang tapi .., kali ini Kinar harus menahan lapar mungkin sampai malam, mas Alex akan pulang.
Meski kediaman mertuanya ini besar, benar saja saat makan selalu masing masing, apalagi jangan ditanya soal apapun Kinar benar benar tidak bisa leluasa, bahkan dirinya benar benar lelah karena tidak mendapat kenyamanan dalam pernikahannya ini. Tapi jika ia mengeluh pada Ayah, Kinar tak ingin membuat sang Ayah kepikiran di kampung.
Eaaaak ...
'Raya sayang jangan nangis ya nak, cepat besar! Maafin ibu yang ga bisa berikan kamu kehidupan yang layak. Bagaimanapun kamu anak ibu Kinar.' batinnya, yang mencoba tenang, dimana dengan keadaan tenang ia tidak akan panik.
Tak berselang lama, terlihat juga notif pesan diponsel jadul, yang membuat Kinar nampak terkejut akan isi pesan itu.
"Kinar, maaf mas harus pergi bersama klien hari ini juga, bersama rekrutan lainnya. Jaga diri kamu baik baik ya! Titip si kecil Raya jangan sampai sakit!"
"Iya, hati hati di jalan ya mas Alex." balas pesan Kinar kala itu juga, hingga ia meneteskan air mata.
Karena melihat jam, sudah pukul enam sore, dan terasa lapar Kinar saat ini.
Kinar kali ini nampak memegang perutnya, ia membuka bajunya terlihat goresan merah pada bekas jahitan yang runyam bekas usus buntu dahulu, tapi Kinar tempelkan saja bedak tabur milik Raya.
Raya yang saat itu tidur di kasur, Kinar mencoba tinggalkan dimana ia mencari ibu mertuanya.
Nampak di dapur ada dua mie instan, dimana Kinar ingin meminta izin sang ibu mertua jika Kinar memintanya untuk ia masak satu, karena sedang lapar.
"Bu .. ibu .."
"Bu, Kinar boleh izin minta satu mie nya ya bu untuk dimasak." teriak panggil Kinar, nampak melihat seisi kamar dan ruangan tak ada ibu inggrid.
Rumah sebesar ini, nampak sekali tak ada pembantu. Aneh, semenjak beberapa bulan pembantu diberhentikan. Datang seorang bayi yang harus Kinar rawat, meski ia tak komen karena ia begitu menyukai anak kecil. Tapi yang aneh adalah tidak boleh banyak bertanya dan cukup katakan saja itu anaknya dengan Alex.
Kinar bahkan mengetuk pintu kamar pun tak ada jawaban saat itu juga.
"Aku masak aja apa ya? Tapi .."
Kinar yang tak tahan, terakhir makan itu pukul 05 pagi gelap buta, ia segera mengambil panci dan memasak mie, meletakkan mangkok dan terlihat dalam beberapa menit mie itu mendidih, Kinar tuangkan kedalam mangkok hingga saat ia aduk aduk untuk ia cicipi sedikit tapi ditebas, ketuslah seseorang dari sampingnya.
Praaang.
"Astagfirullah bu." terdiam Kinar, kala mangkok itu sengaja di senggol bu Inggrid sang mertua.
"Kamu benar benar gila ya, lancang sekali pake mie instan yang bukan milik kamu, kamu ga peka atau buta, ya. Itu punya siapa?"
"Bu .. maaf, tapi Kinar tadi lapar. Dan Kinar udah ketuk ketuk pintu kamar ga ada jawaban buat izin, Kinar minta maaf bu! nanti setelah mas Alex pulang, Kinar janji akan membelikan bahan mie yang kosong."
"Ibu haramkan kamu makan mie ini, karena enggak izin. Apalagi kedapati seperti ini, aku malu punya menantu yang bisanya ngoprek dapur, cari dan makan mie hasil colongan." teriak Ibu Inggrid, yang nampak membuat Kinar menangis, dimana mie itu di injak dan membuat teriakan kencang, yang membuat Raya diatas kamar menangis dari Kamar, mungkin pecahan mangkok tadi dan suara ibu Inggrid yang teriak amat berisik.
Tak lama kakak ipar datang bernama Vina, dengan kantong tas belanjaannya baru saja masuk ke dalam rumah, menyaksikan ibu dan menantu yang terlihat cekcok.
"Ada apa sih bu?" tanya Vina.
"Menantu ke dua ini benar benar nyolong hobinya, dia main makan seduh enggak bilang. Bener bener menantu ga ada yang bisa dibanggakan." teriak Inggrid membuat Vina menaikan alis.
"Kamu tuh Kinar, memalukan. Ya udah bu, kita kedalam ya bu. Nanti tensi ibu naik lagi, ayo ikut Vina ke kamar. Vina bawain ibu oleh oleh.'
"Benar itu Vina. Baguslah, kamu emang menantu paling di andalkan, enggak kaya yang ono noh." sebal Inggrid ke arah Kinar.
Kinar sendiri nampak terdiam kaku, dimana ia harus kembali bersabar. Dimana kali ini ia harus membersihkan lantai bekas mangkok berisi mie panas, bahkan percikan air kuahnya terasa sekali pada tangan putih Kinar, terlihat buru buru karena terdengar suara tangisan Raya dari dapur.
Tsuk.
Auw.
Tangan Kinar pun berdarah, terkena pecahan beling mangkok tadi tak sengaja karena terburu buru.
TBC.
Membuatkan teh manis, Kinar yang awalnya senyum pada ibu mertua, beringsut begitu saja.
"Ga usah buat minum manis manis, gula mahal. Emang semua enggak pake dibeli apa? udah miskin, buat susah suami seret rejeki lagi. Kalau di pikir pikir, kamu tuh istri pembawa seret rejeki loh Kinar sejak nikahi putraku." ujar ibu mertua, membuat Kinar menelan saliva terasa pahit.
"Kinar yakin, sebentar lagi mas Alex mau interview, semoga diterima." lembut Kinar lembut.
"Alah, sok tahu kamu. Mau gimana. Orang tiap hari minta duit aja kerjaannya, kamu juga disini beban nyepetin mata ibu mertua enggak kaya menantu ibu yang lainnya kaya super duper best, minggir sana! biar suruh Alex cari perempuan lain, yang bisa kasih anak buat putra ibu, biasanya dia bakal lancar tuh rejekinya kalau ganti istri dari kalangan keluarga kaya." oceh ibu mertua, hingga tak terlihat.
Istighfar Kinar mulai bersabar, karena sudah jadi makanan sehari hari ibu mertuanya bersikap demikian.
Kinar, diam bersabar di dalam kamar menangis, hingga beberapa jam kemudian mas Alex pulang. Kinar bahagia pun menghampirinya.
"Mas udah pulang? apa mas diterima kerja, kalau diterima kita cari rumah sewa yuk mas. Meski petak."
"Ih .. kamu ini baru juga dateng, udah ngelantur terus."
"Mas, Tapi ibu selalu salahin aku terus seperti biasanya, meski petak kecil. Kita bisa nyaman tinggal mas, aku mohon mas."
"Kinar, mas mau berangkat lagi. Lagi pula tinggal disini enak, enggak pake bayar semua biaya. Udah anggap aja angin lalu ok! aku pamit."
Kinar menatap suaminya, benar membuatnya gila semakin lama.
Hingga dimana ia merapihkan beberapa uang lembar biru simpanannya yang nyelip ke dalam tas, mengekor tempat interview mas Alex, dimana pernikahan mereka memang terpaksa, tapi Kinar yakin Alex adalah pria baik untuknya.
'Aku kasih semangat mas Alex aja deh.' batin.
Kinar pun pamit pada ibu mertuanya, hingga dimana ia meminta sang ojek pangkalan, mengikuti taksi suaminya pergi.
'Dih mas Alex, bukannya ngirit kok malah naik taksi?' gerutu Kinar, membenarkan helm ojek.
***
"Mas, nambah! aku masih mau lagi!"
"Hey! sayang kita sudah berkali kali melakukannya, kamu tidak capek?"
"Mas, katanya kita mau sesuatu untuk generasi baru. Setelah lahir, Kinar aja yang rawat. Kamu janji kan, terus lahirnya caesar! bukankah Kinar itu hanya istri penebus hutang yang kamu enggak anggap seorang istri?"
"Tentu sayang, dan soal Kinar memang benar. Aku tidak tertarik dengannya."
Kinar bagai tersambar petir, tubuhnya kaku meleset, seperti tercongkel benda tajam. Tumpul menusuk di hati. Kinar pun mendobrak pintu. Begitu terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini, suami yang ia cintai dan hormati sedang berselimut manja dengan separuh penutup kain.
Kinar! ka-mu kenapa disini? Alex terdiam, menutupi sebagian lekukan tubuh Sira.
"Mas, tega kamu! kenapa kamu lakukan ini semua?" teriak Kinar, matanya tak bisa lagi membendung air mata dan kekecewaan.
Tapi Alex hanya santai, mengambil kaos. Lalu memakai penutup bawah diakhiri dengan perekat pinggang, dengan santainya ia berjalan mendekat ke arah Kinar.
"Jangan mendekat mas! aroma mu terlalu busuk!"
"Kinar ingat posisimu apa! ingat aku ini suamimu. Kamu harus nurut sama aku. Aku dan Sira sudah nikah kontrak. Sira janji akan berikan kita keturunan. Tapi aku akan berlaku adil sampai semuanya berhasil. Demi ibuku juga, biar ga ngomel terus ke kamu."
"Apa? kamu pikir dunia itu hanya ranjang saja mas. Apa kamu lupa, sudah beri apa kamu untukku selama delapan tahun ini?" teriak Kinar masih mode emosi bercampur kecewa.
Alex dengan enteng meludah di depan wajah Kinar, dengan gaya petenteng kedua tangan bertolak pinggang. Dan menunjuk wajah Kinar untuk pergi dari sini.
"Kamu lupa, kamu belum memberi aku apa, tangisan anak Kinar karena aku enggak campur denganmu!Keluargaku sudah kebanyakan tanya! capek, aku bahkan bosan juga setiap orang dan keluarga bertanya. Yakin, kalau kamu akan mempertahankan semua ini."
"Maksud mas, aku?"
"Yah! jelas kamu bermasalah Kinar."
"Jadi dengan seperti ini jalannya mas?"
"Ya! kamu harus berterimakasih. Setelah Sira hamil dan melahirkan. Kita bisa bersama, kamu bisa urus fokus sama anak kita."
Mas!
Kinar tak percaya, ia sudah lelah dengan urusan kantor WO keluarga seharian, bahkan sering lembur, jarang berada di rumah. Kini harus di hadapi dengan tingkah pola pikir suaminya yang tidak matang. Terus terang Kinar lah yang selama ini mengurusi seluruh kebutuhan hidup.
Bahkan ibu mertua, ia tahunya jika uang bulanan puluhan juta untuk menafkahi dan menyekolahkan adik suaminya itu, dari jerih payah anaknya selama ini. Padahal Kinar lah semuanya, bahkan tagihan air, listrik dan gas yang sering membludak setiap bulan. Belum lagi di rumah itu ia tinggal, dengan mertua dan adik ipar yang jaraknya sepuluh meter di batasi tembok menjulang.
Kinar terkadang sering lelah, untuk patungan seluruh tagihan di rumah ibu mertuanya, meski sedikit kadang sering gantian. Tetap saja perlakuan ibu mertua selalu menyalahkannya.
"Cukup mas! kalian lanjutkan saja. Aku capek, aku perlu memutuskan semuanya." isak tangis Kinar, pergi.
"Silahkan saja, kamu yang rugi Kinar." cetus Alex dengan tatapan membencinya.
Di Rumah.
Kinar masih tak bisa memikirkan hal, sepulang WO. Ia tak ingin makan, hanya karena mengingat mas Alex. Tapi begitu sampai rumah, makanan yang ia beli, begitu saja basi dan tak berselera. Apalagi mas Alex ikut pulang, membawa wanita itu dan gamblang mengenalkan pada ibu mertuanya.
"Eh ini yang kamu bilang Alex, bawa ke kamar tamu aja gih!" ujar ibu.
"Apa ini balasannya untuk aku mas. Aku mengabdi dan berusaha menjadi istri terbaik. Apa itu kurang?" lirih Kinar, ia menutup kuping karena ******* itu kembali terdengar dengan jelas di sebelah kamarnya.
Sehingga Kinar kembali teringat memori dirinya bersama Alex pertama kali bertemu.
Kinar pun langsung tertidur, akibat sembab tangisan kesedihan yang bercampur. Dimana rumah tangga tak seindah yang dibayangkan, dimana hal seperti ini Kinar harusnya tak menerima perjodohan sang ayah karena hutang, dan itu membuat hidup Kinar semakin runyam selalu di ungkit oleh keluarga suami.
Namun ketika esok pagi, Kinar terkejut kala matanya berusaha membuka, suaminya sedang mengambil beberapa pakaian kemeja yang menggantung.
"Mas, kamu mau kemana, bawa koper?" tanya Kinar, yang bangkit dari ranjang kasur masih mode kebingungan bangun tidur.
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!