NovelToon NovelToon

Pernikahan Tak Terduga

BAB 01 - Awal

Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.

Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.

Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.

"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama

...****************...

"Saya terima nikah dan kawinnya Zalina Dhiyaulhaq binti Husain Sanusi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai."

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah."

Bak mimpi di siang bolong, sama sekali tidak Sean duga malam ini dia akan menjabat tangan seorang wali dari wanita yang mungkin sedang menangis meratapi nasibnya. Dalam waktu sekejap, Sean telah merubah citra seorang Zalina yang terjaga sebagai wanita penuh dosa.

Sama sekali tidak ada niat untuk menikung, tapi faktanya Sean justru menikahi seorang wanita yang akan menikah dua hari lagi. Bahkan, jemarinya saja sudah dihias sedemikian indah agar tampil cantik di hari pernikahan.

Tujuan awal ke Bandung hanya untuk reuni, bukan cari istri. Memang, Sean menginginkan pernikahan lantaran keluarganya mulai resah karena tak kunjung menikah. Tapi bukan berarti dia bercita-cita menikah dengan cara memalukan begini.

Niat baiknya untuk menyelamatkan seorang wanita kemarin malam berujung sial dan membuatnya terjebak dalam masalah. Tidak hanya dirinya, tapi juga seorang wanita yang dia ketahui bernama Zalina itu.

Hari sial memang tidak ada di kalender. Sebuah kalimat yang benar-benar menggambarkan bagaimana Sean malam itu. Gerimis mulai mendera ibu kota sementara tujuannya baru setengah jalan, beruntung jaket tebal yang dia kenakan sedikit melindungi kulitnya.

Siapa yang menduga jika perjalanannya akan sesulit ini. Setelah beberapa saat lalu hampir menabrak pembatas jalan, kini motor yang dia kendarai terjatuh demi menghindari seseorang yang tampak tidak sadarkan diri di depan sana.

Sean meringis, kakinya sedikit sakit. Namun, bukannya mendahulukan sepeda motornya, Sean justru menghampiri seseorang yang terkulai lemas dengan tas dan juga ponsel yang jatuh tidak jauh darinya.

"Tabrak lari?"

Sean bergumam, memang tidak ada luka yang Sean lihat dengan mata telanjangnya. Namun, yang jelas wanita pucat itu tampak cantik dengan balutan hijab sedikit terbuka di bagian lehernya.

Beberapa kali Sean berusaha menepuk pelan wajahnya. Hingga tiga kali tidak juga mendapatkan respon, Sean membopong wanita yang sama sekali tidak dia kenal itu ke sebuah bangunan tak berpenghuni.

Tidak ada niat di hati Sean untuk melakukan hal buruk pada wanita ini. Walau, secara logika seorang Sean memang selalu terpesona dengan wanita cantik, tapi kali ini dia berbeda.

"Bangun, buka matamu."

Nalurinya memaksa wanita ini harus membuka mata. Dalam keadaan darurat mungkin akan lebih baik hijabnya dibuka, hanya itu yang Sean pikirkan sebelum kemudian memberikan napas buatan sebagai pertolongan terakhirnya.

Cukup lama Sean berusaha, hingga wanita itu perlahan membuka mata dan menatap Sean yang kini tampak bernapas lega karena dia membuka mata.

"Syukurlah ... bangun juga akhirnya, apa ada yang sakit?" tanya Sean kemudian dan Zalina hanya menggeleng pelan.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Zalina sama sekali tidak menaruh kecurigaan pada pria asing ini

"Kau pingsan, aku pikir ditabrak lari ... yakin tidak ada yang sakit? Aku bisa antar ke rumah sakit jika kau mau."

Sean benar-benar buta, dia lupa bahwa tidak semua hal baik akan dianggap baik di dunia. Entah kenapa dia sebodoh itu mengkhawatirkan wanita yang tidak dia kenali sama sekali dan berakhir dengan teriakan segerombolan laki-laki di belakangnya.

"Woey!! Kalian sedang apa?!"

Satu kalimat yang sontak membuat Sean menoleh seketika. Sean hendak menghadapi dengan tenang sebenarnya, akan tetapi bodohnya Sean justru memperlihatkan gerak-gerik yang semakin membuat mereka curiga.

"Tunggu, gadis itu? Astaghfirullah, Zalina!!"

Itulah awal bencana yang membuat hidup Zalina berubah 180 derajat. Dia juga tidak mengerti apa yang terjadi, tapi yang pasti pasca kejadian itu Zalina bersama pria asing itu dibawa paksa layaknya pasangan yang telah melakukan perbuatan dosa.

Meski keduanya sudah bersumpah atas nama Tuhan, semua orang seakan menutup mata dan telinga. Terutama keluarga calon suaminya. Tidak hanya tamparan yang Zalina terima dari calon ibu mertua, tapi juga hinaan dan cacian.

Kekecewaan membelenggu banyak pihak, meski Zalina sudah berlutut di bawah kaki Irham - calon suaminya, tetap saja mereka menganggap Zalina telah ternoda.

Semua Sean saksikan di depan matanya. Bagaimana wanita itu memohon bahkan meraung di hadapan orang tuanya, sayangnya takdir baik tidak memihak Zalina. Pun tidak berbeda dengan Sean, dia mencoba membela diri, tapi keluarga Zalina justru bermaksud melaporkan Sean ke pihak berwajib.

Beruntung saja Zean bersama Mikhail datang tepat waktu tadi siang. Didampingi kiyai Hasan yang masih merupakan keluarga dekat Husain Sanusi, masalah keduanya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

.

.

"Sean, ayo."

"Hah?"

Sean menatap bingung orang-orang di sekelilingnya. Lamunannya tentang hari kemarin terlalu jauh, jika saja pundaknya tidak ditepuk oleh Zean, mungkin dirinya akan terus terdiam sampai subuh besok pagi.

"Ayo apa?"

"Cium istrimu, dengar tidak peghulu bilang apa?" bisik Zean pelan, tapi dapat terdengar jelas oleh Zalina yang sejak tadi hanya bisa menunduk dan bergetar berada di sisinya.

"Harus?"

Sean mendapati tatapan tak terbaca kiyai Hasan dan juga mertuanya. Berkat pengaruh Zean, tindakannya berhasil diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tepatnya menjadi keluarga sungguhan.

"Lakukan sebisamu, cium keningnya dan bacakan doa seperti Yudha ajarkan tadi siang."

Cium? Sangat bisa, lebih dari itu Sean bisa. Tapi untuk doa? Mana bisa. Lagi pula dia tidak pernah pernah melakukan hal semacam itu dengan menyebut nama Tuhan. Hati Sean sulit menghapal, otaknya memang agak standar untuk hal semacam itu. Waktu yang diberikan kiyai Hasan hanya beberapa jam, dan dia lupa.

"Lupa, kiyai."

Sebuah jawaban spontan yang membuat semua orang di sana saling menatap. Bak langit dan bumi, Sean begitu berbeda dari calon suami Zalina sebelumnya.

"Al-Fatihah saja."

"Al-Fatihah ... yang awalnya bagaimana?"

Duar

Entah dibuat-buat atau memang tidak tahu, yang jelas Mikhail saat ini ingin berlari dan tenggelam di balik batu. Putranya tidak memalukan, tapi dia yang merasa gagal menjadi seorang ayah.

"Astaghfirullah, Sean ... ini akibatnya kalau di otakmu isinya cuma ganti oli dan tambal ban."

.

.

- To Be Continue -

Hai-hai, masih anak-anak Mikhail ya di sini. Semoga masih suka dan bisa dinikmati, jan lupa tambahkan ke favorit❣️

BAB 02 - Selepas Akad

Selepas kata akad Sean tegaskan beberapa jam lalu, Zalina masih terus meratapi hidupnya. Dia menatap sendu sebuah cermin yang memperlihatkan seberapa menyedihkan dirinya.

Impiannya untuk menjadi istri ustadz Irham pupus sudah, jawaban atas doa Zalina selama ini tampaknya berganti sekejap mata. Tuhan maha membolak-balikan hati hamba-Nya. Meski nyerinya masih terasa, tapi Zalina sama sekali tidak bisa memaksa.

"Mohon maaf sekali, Kiyai ... pernikahan ini kita batalkan saja, putri Anda telah ternoda dan dalam silsilah keluarga kami pantang menerima seorang wanita bekas pria lain."

Sakit, tutur kata Bramanto masih terbayang begitu jelas di telinga Zalina. Pernikahan yang hanya menghitung hari batal semudah itu, pria asing dengan pakaian yang lebih pantas disebut pembunuh bayaran menghancurkan mimpi Zalina dalam waktu kurang dari 24 jam.

"Buang mimpimu untuk menjadi istri putraku ... wanita murahan sepertimu memang cocok dengan berandal seperti dia."

Zalina ikhlas menerima, mau tidak mau memang harus begitu. Namun, air matanya tidak dapat berbohong dan terus mengalir hingga menetes dari dagunya. Wajah kecewa Irham masih terbayang jelas, dan hal itu membuat Zalina turut kecewa pada dirinya sendiri.

Tangisan pilu Zalina tertangkap juga oleh seseorang yang kini berdiam diri di depan pintu kamar. Sudah lima belas menit Sean berdiri di sana, bingung dan dia kembali merasa bersalah.

Menyesal? Entahlah, Sean juga bingung sendiri. Sejujurnya dia siap-siap saja dilaporkan ke pihak berwajib, kecil kemungkinan Sean mendekam di penjara karena memang dia tidak merasa bersalah.

Namun, yang justru berusaha keras agar Sean jangan sampai berurusan dengan pihak berwajib adalah keluarganya, terutama Zean. Hingga, terpaksa pernikahan menjadi jalan tengah yang harus Sean jalani.

Sementara dia akan memberikan waktu lebih dulu untuk Zalina menangisi takdirnya. Ya, walau sebenarnya Sean juga perlu menangis karena dia korban juga. Hingga, dia memutuskan mendorong pintu itu perlahan kala Suara tangis sang istri tidak lagi terdengar.

.

.

Tatapan Sean sejak tadi tertuju padanya, dia bisa menangkap gerak-gerik Zalina yang tampak mengusap kasar air mata kala dirinya mendekat. Apalagi, dari pantulan cermin terlihat jelas bagaimana wajah sang istri yang tampak sembab itu.

"Ehem, aku ingin bicara."

"Si-silahkan, Mas."

"Mas?"

Sean menggigit bibir mendengar panggilan itu, matanya kini terpejam sebelum kemudian mengusap wajahnya kasar. Hanya karena panggilan, entah kenapa dia gusar sendiri.

"Sean saja."

"Apa sopan hanya Sean saja?" tanya Zalina yang kini memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya.

"Hm, aku tidak terbiasa ... selain itu, tidak cocok dengan namaku," jawab Sean kemudian mengalihkan pandangan.

Zalina hanya mengangguk pelan mendengar alasan Sean. Mungkin memang dirinya yang terlalu kampungan, pikir Zalina yang paham jika Sean bukan orang biasa.

"Oh iya, tadi mau bicara apa ya?" tanya Zalina memecah keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka. Entah karena Sean yang lupa, atau karena dia menunggu Zalina bertanya.

"Maaf, aku membuatmu berada di posisi sulit."

Sadar betul bagaimana imbas dari tindakannya. Pernikahan yang dibatalkan sepihak, kekecawaan orang tuanya, caci makin dan hinaan serta kebencian keluarga Zalina terlihat jelas di mata Sean.

Meski dia tidak memiliki niat jahat, tapi pada akhirnya imbas dari tindakan Sean membuat wanita ini benar-benar buruk. Bahkan, tuduhan bahwa Zalina telah hamil anak Sean mereka lontarkan tanpa khawatir akan menyakiti Zalina atau tidak.

"Tidak masalah, kau juga korban di sini," ucap Zalina merasakan sesak seolah terdapat bongkahan batu besar tetap di dadanya.

"Tidak, aku pelakunya. Benar kata mereka ... harusnya kau menikah dengan laki-laki itu, tapi aku mengacaukan semuanya."

Bukan hal mudah bagi Zalina kala mimpinya menjadi istri Irham harus terkubur dalam-dalam. Pria itu cinta pertamanya, dia menyukai Irham jauh sebelum rencana perjodohan kedua orang tua mereka terjadi.

Sungguh, sama sekali dia tidak menyangka bahwa cinta dalam diam yang hampir saja bersatu dalam ikatan halal hancur secepat itu. Zalina ingat betul bagaimana Irham turut menatap jijik padanya, terlalu sakit dia mengingat itu tangis Zalina pecah tepat di hadapan Sean.

Sean tidak salah lihat, istrinya tengah menangisi pria lain. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena jika posisi mereka berbalik, mungkin Sean akan gila.

Dia yang selalu tidak tega melihat perempuan menangis, sontak merengkuh tubuh Zalina yang rapuh. Tidak peduli sekalipun tangisan itu untuk pria lain, Sean tetap harus bertanggung jawab atas luka yang dia ciptakan.

"Menangislah, atau jika ingin marah padaku lakukanlah ... aku penyebab utamanya."

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Meski Zalina kehilangan segalanya, bahkan dituduh telah ternoda, tapi dia yakin betul bahwa Sean sama sekali tidak mejamah tubuhnya ketika dia masih dalam keadaan terpejam malam itu.

"Kenapa mas Irham tidak percaya padaku? Dia bahkan menuduhku telah berzina sampai hamil, kenapa, Mas?"

Selang beberapa saat Zalina meratap seolah tengah berada dalam pelukan Irham, tapi dia lupa jika saat ini tengah berada dalam pelukan Sean. Entah kenapa, dia merasa tersayat, padahal wajar saja jika Zalina menangisi pria itu.

"Jangan khawatirkan soal itu, aku tidak akan menyentuhmu ... jika suatu saat dia memintamu kembali, maka kau bisa pergi dalam keadaan masih suci, Zalina."

Deg

Baru Zalina sadar, dia membuka mata dan benar saja yang saat ini memeluknya adalah Sean, pria asing yang dengan lantangnya mengucapkan sighat akad tanpa tersendat.

"Maaf, bu-bukan begitu maksudku."

"Seseorang yang meracau biasanya jujur, aku tidak becanda ... kau jangan khawatir, aku tidak akan menjeratmu dalam pernikahan ini. Jika kau ingin kembali mencari imammu dan pria itu menerimamu. Kau boleh pergi, Zalina."

Mungkin karena belum ada cinta, yang Sean lihat saat ini baru tanggung jawab. Terlebih lagi, kala dia menyaksikan wanita ini tampak tersiksa berpisah dengan cintanya.

"Kenapa begitu? Bukankah saat ini kau sudah menjadi imamku?"

"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." Sean tersenyum getir seraya menyeka air mata Zalina untuk kesekian kalinya.

.

.

- To Be Continue -

BAB 03 - Pertama

Malam pertama tanpa menyentuh, tidur pun berjarak dengan guling yang berada di antara mereka. Sean tampak lelap, dia tertidur nyenyak seakan benar-benar betah di rumah ini. Udara dingin dan suasana yang begitu berbeda mungkin menjadi alasannya.

Kumandang azan hampir selesai, dan ini adalah kali ke-sembilan Zalina memanggil namanya. Wanita itu menghela napas panjang, apa mungkin tidak pernah bangun subuh hingga sesulit ini.

"Mas ... bangun, azannya hampir selesai."

Meski sempat dilarang memanggil dengan sebutan Mas, Zalina tetap melakukannya. Dia merasa kurang sopan saja memanggil Sean hanya dengan nama, terlebih lagi dia tahu usia mereka terpaut cukup jauh.

"Bisa-bisanya dia nyenyak begini," tutur Zalina menghela sejenak berhenti.

Bisa dipastikan laki-laki yang ada di rumah ini sudah keluar rumah untuk menunaikan shalat subuh. Khawatir jika Sean tertinggal dan justru membuatnya dipandang buruk semua, Zalina berusaha sekeras itu untuk membuka mata pria tampan ini.

Ganteng, Al-Fatihah saja tidak bisa, Abi ... mau jadi apa Zalina nanti?

Sedih, Zalina mengingat perkataan kakak kandungnya. Bukan karena hal itu adalah fakta, tapi dia hanya tidak bisa terima Sean dipandang sekecil itu. Terlebih lagi jika dia melihat bagaimana tenangnya wajah Sean di saat tidur, rasa bersalah seakan muncul begitu saja dalam benak Zalina.

"Mas ... Sean, bangun."

"Eeuungh nanti, Ma."

Zalina meneguk salivanya susah payah kala mendengar lenguhan Sean. Sentuhan di wajahnya berhasil membuat pria itu sedikit terganggu, kini Zalina kembali mengulanginya walau jujur saja hatinya tak karu-karuan melihat Sean yang memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Rengekan itu terdengar sedikit manja, hanya sedikit.

"Bangun, Mas ... nanti Abi cariin, buka matanya."

Sean mengerjap pelan, hidup segan mati tak mau dan matanya memang benar-benar betah seakan enggan terbuka. Dia menguap lebar dan sejenak merenggangkan ototnya. Namun, bukannya menuruti kemauan istrinya untuk bangun, Sean justru kembali menarik selimut untuk menutupi wajahnya.

"Astaghfirullah, aku pikir bangun."

Melihat Sean yang seperti ini, Zalina seakan mengingat para santri yang biasanya baru masuk ke pesantren selama satu hari. Ya, persis begini, dan tentu saja bagi seorang Zalina hal ini sudah biasa terjadi ketika awal tahun ajaran baru.

"Mas, bangun ... shalat nanti keburu siang."

Tidak punya cara lain, terpaksa Zalina membuka selimutnya hingga menampilkan wajah Sean yang kini memelas karena terpaksa membuka mata. Dia menatap Zalina dengan tatapan tak terbaca, ngantuk dan kesal tampaknya menyatu di dalam sana.

"Shalat subuh, azannya sudah selesai tuh."

Kapan terakhir Sean melakukan itu, selama kembali ke rumah orang tuanya Zia memang kerap memaksa bangun pagi-pagi untuk menunaikannya. Namun, sama sekali tidak Sean turuti dan biasanya hanya berakhir dengan menggelar sajadah kemudian tidur di atasnya.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Sean memang benar-benar bangun dan menuruti kemauan sang istri. Meski jujur airnya dingin dan membuat Sean benar-benar ingin lari, pria itu tetap mencuci wajahnya lebih dahulu.

"Wudhu sekalian?"

Dia lupa urutannya, lupa juga niatnya dan apa sebenarnya yang Sean bisa. Dia memang pernah melakukan semua ini, hanya saja dia yang memang lalai mungkin Tuhan biarkan terlena hingga pria itu benar-benar dibuat dibuat lupa.

"Baca niat dulu."

Suara Zalina tiba-tiba membuyarkan lamunan Sean, dia menoleh dan menatap bingung lantaran sang istri tiba-tiba mendekatinya.

"Awalnya bagaimana? Apa cukup bismillah saja?"

Dia tidak berbohong, memang benar-benar tidak bisa mengingatnya. Meski ini sedikit memalukan, tapi Sean lebih baik jujur karena nanti akan lebih malu lagi. Tanpa Sean duga, tidak ada gelak tawa atau meremehkan dari Zalina.

Wanita itu membimbingnya pelan-pelan. Lidah Sean juga yang kaku dan membuatnya mengulang kesekian kali tidak membuat Zalina lelah sepertinya. Di posisi ini, Sean kembali mengingat masa kecilnya dalam bimbingan Zia, sayangnya semua itu hilang begitu saja.

"Kanan, Mas ... itu kiri."

Sejak tadi sabar, pada akhirnya tertawa juga kala Sean justru salah membasuh kakinya. Sudah ditahap akhir dan dia salah, baru kali itu Sean melihat istrinya tertawa hingga mata Zalina hanya segaris begitu.

"Baiklah, aku ulang kalau begitu."

Wudhu pertama setelah sekian lama permukaan kulitnya tidak dibasuh dengan nama sang pencipta. Sean pikir masalahnya sudah selesai, akan tetapi tampaknya belum karena kini dia menatap Zalina sudah menyiapkan sarung dan baju koko di atas tempat tidur.

"Laki-laki shalatnya di mushola," tutur Zalina yang membuat wajah Sean mendadak suram. Membayangkan bagaimana dia di sana saja Sean gugup.

"Harus ya?"

"Iya, kan dekat ... cuma jalan sedikit."

Baiklah, Sean kembali menurut. Walau langkahnya ke sana benar-benar berat lantaran khawatir semakin terlihat bodohnya, Sean tidak akan kabur dari tanggung jawab.

Ditempatkan di posisi ini, dunia Sean benar-benar berbalik dan sulit menyusaikan diri. Apa lagi, ketika melihat yang ada di mushola tidak hanya satu atau dua orang, melainkan banyak.

Wajahnya terlihat tenang, tapi jujur saja hatinya kini berkecamuk. Tidak ada yang dia kenal di sini, Sean hanya sendiri karena setelah akad, Zean dan juga Mikhail pamit begitu saja. Memang dasar keluarga kejam, pikir Sean.

Ketika masuk rumah ibadah tersebut, jujur hati Sean bergetar. Perasaan ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Lebih tepatnya merasa tidak pantas, dia malu menginjakkan kakinya di sini.

"Kenapa shalatnya begini? Bukannya sama-sama? Sudah selesai atau bagaimana?"

.

.

- To Be Continue -

Gimana Abang Se kita? Wkwkwk semangat Abwaang🤣

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!