Aura kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Rania, wanita yang sangat mencintai seorang pemuda bernama Barra. Putihnya gaun perkawinan, semakin membuat aura kebahagiaan mereka terpancar keluar dari diri mereka.
Rania melangkah dengan sangat hati-hati, menuruni anak tangga rumah Barra, dengan dibantu oleh Ara yang tak lain adalah adik dari Barra. Ara membantunya memegangi ekor gaun Rania yang sangat panjang, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak baik pada pesta pernikahan mereka kali ini.
Senyum manisnya selalu terukir, karena Rania benar-benar sangat bahagia bisa bersanding dengan orang yang tidak ia sangka bisa bersama dengannya.
Bermula dari perkenalan mereka melalui sebuah aplikasi pencari jodoh, yang sama sekali tidak disangka akan bisa bertemu dan sampai melanjutkan ke jenjang yang lebih serius lagi.
Kini, Rania sudah berdiri di hadapan Barra, dengan pandangan Barra yang tidak bisa lepas darinya. Tangan Barra mengulur ke arah Rania, membuat Rania segera menggenggam tangannya yang terlihat gemetar.
“Jangan gemetar seperti itu, dong!” ledek Rania, agar menghilangkan sedikit rasa gemetar pada Barra.
Barra menyunggingkan senyumannya tipis, “Cih, siapa yang gemetar?” bantahnya, yang tidak mau terlihat jelas oleh sang pujaan hati.
“Tanganmu sampai gemetar seperti itu,” ucap Rania lagi, membuat Barra menghela napasnya dengan panjang.
Barra tersenyum di hadapan Rania, “Sudah, jangan membuat acara berganti jadi acara adu tinju di sini,” candanya, membuat Rania sedikit tersenyum mendengarnya.
Mereka melangkah menaiki altar, dan berhadapan dengan pendeta yang akan memandu mereka untuk melangsungkan upacara pernikahan ini.
Dari sisi sana, seseorang terlihat sangat menyunggingkan senyuman sembari memandang ke arah mereka yang sedang menaiki altar. Ia sudah lama menantikan momen seperti ini terjadi, agar ia bisa dengan mudahnya melancarkan aksinya untuk membuat keluarga mereka malu dan tercoreng di hadapan publik.
Dengan sangat santainya, orang itu terlihat sedang mengambil handphone-nya, untuk menghubungi seseorang yang sudah bersiap di sana. Karena kerumunan yang ada, dan juga musik pendukung yang membuat suaranya tidak akan terdengar oleh siapa pun di sana.
“Segera lancarkan rencana kita. Mereka sudah menaiki altar,” ucapnya dengan nada yang seperti sudah sangat menantikan saat-saat seperti ini.
Mereka terus melakukan upacara pernikahan ini, dengan segenap rangkaian yang ada. Mereka pun sudah mengucap janji suci mereka, sehidup semati. Kini, saatnya momen mereka bertukar memakaikan cincin pada jari manis pasangan mereka.
Rania memandang dalam ke arah Barra, yang kini sedang mengambil cincin yang sudah disiapkan oleh Narra, sepupunya.
Ketika sudah berhasil mengambil cincin itu dari tempatnya, Barra lekas memandang dalam ke arah Rania, yang matanya sudah berbinar-binar saking bahagianya ia bisa mengucapkan janji suci bersama dengan Barra.
“Kau terkesima denganku?” tanya Barra, yang sedikit meledek Rania.
Sama seperti dirinya tadi, Rania sama sekali tidak ingin menunjukkan apa pun kepada Barra, tentang perasaan bahagianya saat ini.
“Mana mungkin? Kau mungkin keliru. Bukankah kau yang ingin meminangku?” ledek Rania, semakin membuat Barra tak bisa berkata-kata.
“Kau memang bisa saja membantah perasaanmu sendiri. Apa salahnya mengakuinya di hadapan suamimu ini?” goda Barra, Rania memandang Barra dengan senyuman tipisnya yang sedikit menyungging.
“Mungkin harus diawali dengan kau terlebih dahulu.”
Ucapan Rania sama sekali tidak bisa dibantah lagi oleh Barra, semakin membuatnya bahagia karena bisa memiliki wanita yang pintar sekali membantah pernyataannya.
Selama dirinya menjabat menjadi CEO di perusahaan yang ia pegang, tidak ada satu pun orang yang berani membantahnya. Hanya Rania, orang yang bisa membantah seluruh pernyataannya.
Barra pun menyunggingkan senyumannya dengan tipis, “Kau memang paling bisa. Kita lihat, apa setelah malam tiba kau bisa membantah kemauan dan ucapanku lagi?” tantangnya, sontak membuat Rania mendelikkan matanya dengan wajah yang sudah berubah warna menjadi merona.
Rania sangat malu, ketika ia mendengar ucapan Barra yang seperti itu padanya. Baginya, ini adalah kali pertama ia akan melakukan hubungan itu bersama dengan seorang pria. Berbeda dengan Barra, yang memang sudah sering melakukannya karena hasratnya yang memang tidak bisa tertahan jika melihat seorang gadis seksi yang ia inginkan.
Namun, semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Rania. Ia jadi ingin segera menikahinya, karena ia paham bahwa Rania adalah gadis lugu yang sangat berbeda dengan kebanyakan gadis yang pernah ia coba.
Rania juga tidak tergoda dengan kedudukan dan harta yang Barra miliki. Setelah Barra mengatakan akan meminangnya, di saat itulah ia mulai menyukai Barra, tanpa tahu lebih dulu siapa sosok Barra sebenarnya.
Barra memasangkan cincin emas itu, pada jari manis sebelah kanan milik Rania. Semua tamu bertepuk tangan, ketika ia berhasil memasangkannya pada jari Rania dengan benar.
Sekarang giliran Rania yang memasangkan cincin tersebut ke jari Barra. Ia mengambil cincin tersebut, yang masih dipegang oleh Narra, kemudian segera menatap ke arah Barra dengan sangat senangnya.
Saking senangnya Rania, ia sampai tidak berhati-hati dan tidak sengaja menjatuhkan cincin yang sudah ia pegang. Hal itu sontak membuat mereka terkejut, dan berusaha untuk menangkap cincin yang menggelinding ke arah hadapannya.
“Oh tidak!” pekik Rania, yang sangat kaget karena ia sangat ceroboh sekali, bahkan di hari pernikahannya.
Semua orang masih memandang ke arah cincin tersebut menggelinding. Mereka sangat tidak menyangka, akan ada kejadian semacam ini di hari pernikahan Barra dan juga Narra.
Cincin itu berhenti tepat di hadapan seseorang, yang sedari tadi memandang sinis ke arah pasangan pengantin itu. Ia menunduk untuk mengambilnya, kemudian memandang dalam ke arah mereka, membuat Barra memandangnya dengan tatapan yang sangat kesal.
‘Sial, lagi-lagi harus dia,’ batin Barra, yang memang sangat tidak senang dengan orang yang kini sedang berjalan ke arah altar.
Pria itu sampai di hadapan mereka, kemudian mengulurkan tangannya yang terdapat cincin tersebut. Barra memandangnya dengan sinis, tapi karena ini adalah hari pernikahannya bersama dengan Rania, ia jadi tidak ingin berbuat hal yang dapat merusak acara sacral seperti ini.
“Hati-hati,” ucap pria bernama Ludwig dan bermarga Holscher itu.
Rania mendelik kaget, ketika ia melihat Ludwig yang menyodorkan tangannya ke arahnya. Ia bingung, harus berbuat apa saat ini. Rania spontan memandang ke arah Barra, yang sedari tadi memadang sinis ke arah Ludwig itu. Hal itu semakin membuat Rania kebingungan dan khawatir.
‘Aduh ... bagaimana ini?’ batin Rania, yang malah jadi khawatir dengan keadaan dirinya sendiri.
Semua tamu berbisik, karena kejadian seperti ini dipercaya mereka akan ada kejadian yang tidak baik di dalam keluarga Barra dan Rania nantinya. Cincin itu tidak boleh sampai jatuh, dan apabila jatuh, mereka harus siap menerima konsekuensi yang mungkin akan terjadi pada rumah tangga mereka nantinya.
“Wah ... kenapa cincinnya bisa jatuh seperti itu?”
“Iya, kenapa dia ceroboh sekali, sih?”
“Ya, sangat ceroboh menurutku! Di hari pernikahannya, dia membuat masalah sebesar ini!”
“Biasanya kejadian yang seperti ini, akan ada pertanda yang tidak baik di dalam hubungan mereka nantinya.”
“Hush! Jangan bicara seperti itu!”
“Aku berbicara dengan jujur. Banyak kejadian yang seperti ini, dan berujung dengan penderitaan dan perceraian.”
“Aku juga pernah mendengarnya dari temanku, mengenai hal ini.”
“Kita doakan saja yang terbaik untuk mereka. Biar semesta yang bekerja untuk takdir yang akan mereka jalani.”
“Ya, baiklah.”
Para tamu berbisik sinis, dan secara tidak langsung mengutuk apa yang akan terjadi dengan keluarga mereka nantinya. Ucapan mereka sangat tidak baik, sehingga membuat Rania sangat terguncang saat ini.
Rania menjadi ketakutan, dan khawatir mendengar ucapan asal orang-orang, yang menghadiri pesta ini.
‘Bagaimana ini? Mereka mengatakan itu, seakan mereka mengutuk pernikahan kami agar tidak bahagia!’ batin Rania, yang sangat memikirkan tentang ucapan mereka yang tidak disaring lebih dulu.
Walaupun ada beberapa orang yang membela mereka, tetap saja perasaan dan hati Rania sangat hancur saat ini. Ia sangat memikirkan ucapan jahat mereka, yang membuat kesehatan mentalnya terganggu.
Barra melihat ekspresi wajah Rania yang terlihat sangat ketakutan. Hal itu yang membuatnya tidak bisa menerima perkataan buruk mereka, yang bisa membuat istrinya terganggu dan memikirkannya.
‘Beraninya mereka membuat kekacauan di pesta pernikahanku ini,’ batin Barra, yang merasa sangat kesal dengan ucapan mereka, yang secara tidak langsung ia rasa mengutuk pernikahan mereka.
Barra kembali memandang ke arah Ludwig, ‘Semua itu karena orang ini! Aku harus segera membuatnya pergi dari hadapan kami,’ batinnya yang merasa sangat terganggu dengan Ludwig yang memang memiliki niat jahat pada pernikahan mereka.
Karena tak tahan dengan ocehan aneh para tamu undangan, Barra pun segera mengambil cincin itu dengan kasar, sehingga membuat semua orang terkejut dengan perlakuan Barra terhadap putra dari Tuan Holscher itu.
“Jangan pernah sentuh cincin atau apa pun lagi, dengan tangan kotormu itu!” ujar Barra dengan sangat sinis, tak menghiraukan perasaan Ludwig, dan juga pemikiran para tamu undangan.
Ludwig hanya bengong, melihat respon yang ia dapatkan dari Barra. Secara tidak langsung, ia sudah memenangkan keadaan, tanpa harus bertindak lebih banyak dari rencananya.
‘Ya ... aku jadi tidak harus capek bertindak lebih, sih! Lagipula, kejadian ini tidak ada di dalam rencanaku, jadi ini hanya suatu kebetulan yang terjadi,’ batin Ludwig, yang merasa tidak rugi dalam hal apa pun.
Melihat kelakuan sepupunya yang di luar batas itu, Narra menjadi sangat bingung harus berbuat apa.
“Aduh ... si bodoh itu!” gumamnya, yang langsung mengambil sikap untuk membereskan keadaan yang sudah simpang-siur itu.
“Maaf, Tuan Ludwig. Apa kau bisa kembali ke tempatmu?” pinta Narra, yang merasa harus segera menyelesaikan permasalahan yang ada.
Ludwig hanya bisa menyunggingkan senyumannya, karena dirinya masih belum waktunya bertindak.
“Baiklah, itu tidak masalah! Tuan Nara.” Ludwig segera pergi dari hadapan Barra yang sudah tidak bisa menjaga amarahnya itu.
Situasi kembali membaik, setelah mereka melihat Ludwig yang sudah kembali ke tempatnya semula. Narra pun mengambil alih keadaan, agar suasana tidak selalu menyudutkan Barra.
“Baiklah, acara tukar cincin kembali dilakukan. Dimohon tamu undangan untuk menikmati acara dengan khikmat,” ucap Narra, yang berhasil membuat suasana menjadi terkendali kembali.
Barra masih dengan wajah sinisnya, menyodorkan cincin yang Rania jatuhkan tadi. Rania memandangnya dengan perasaan yang sangat takut, karena ia sangat mengetahui sifat Barra yang keras saat ia marah.
“Jangan dijatuhkan lagi!” ucap Barra agak keras, berusaha memberikan peringatan kepada Rania, agar tidak mengulangi kesalahannya kembali.
Rania menelan salivanya lalu mengangguk kecil di hadapan Barra. Ia menerima cincin tersebut dari tangan Barra, kemudian segera mempersiapkan diri untuk mencoba memasangkan kembali cincin tersebut pada jari manis Barra.
Dengan perasaan yang sangat gemetar, Rania sangat hati-hati untuk memegang cincin tersebut. Ia bahkan sangat pelan, untuk memasangkan cincin tersebut ke jari manis Barra.
Cincin tersebut pun berhasil terpasang pada jari manis Barra, membuat semua orang bertepuk tangan di bawah perintah Narra yang memandu. Mereka sebenarnya sudah hilang rasa respect pada Barra, karena sikapnya yang kurang baik kepada orang yang membantu mengambilkan barangnya itu.
Tentu saja itu sebuah keuntungan bagi Ludwig. Ia merasa banyak orang yang memihak padanya, sehingga ia tidak merasa malu sama sekali dengan perlakuan Barra yang seperti itu terhadapnya.
“Baiklah, acara tukar cincin sudah berjalan dengan baik. Mari kita doakan, supaya mereka hidup dalam keluarga yang sangat bahagia, dan memiliki keturunan yang berguna bagi mereka,” ucap sang pendeta.
Rania dan Barra pun saling berhadapan, dengan Barra yang bersiap-siap untuk mencium bibir manis Rania di hadapan para tamu yang sudah hilang respectnya terhadap mereka.
Barra memandang Rania dengan dalam, tak memedulikan pandangan orang lain terhadapnya lagi. Ia hanya berfokus pada Rania, yang kini berada di hadapannya.
“Jangan pedulikan mereka! Ada aku di sini, perkataan mereka jangan dihiraukan!” ucap Barra, berusaha untuk mengingatkan ini kepada Rania.
Karena Rania sangat mempercayai Barra, ia pun berusaha tersenyum dan mengangguk merespon ucapan Barra padanya.
Barra tersenyum, kemudian meletakkan telapak tangannya ke arah wajah Rania. Ia mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir manis Rania. Debaran jantung Rania terus terdengar dengan jelas, membuat Rania semakin malu terhadap Barra.
Ini merupakan pertama kalinya ia melakukan hal seperti ini bersama dengan seorang pria, yang kini sudah menjadi suaminya itu. Mereka bertepuk tangan kembali, tetapi tidak dengan Ludwig.
Pria itu semakin memandang sinis ke arah mereka, yang saat ini sedang berciuman di hadapan semua orang yang menghadiri acara pernikahan mereka. Matanya semakin menajam, karena ia benar-benar tidak bisa menerima semua yang ia lihat ini.
‘Aku tidak bisa terima dengan yang kalian lakukan ini! Rania, kau sudah berani menolakku, dan masih melanjutkan pernikahanmu dengan Barra. Aku akan membuat kalian menyesal, karena sudah mempermainkanku!’ batin Ludwig, yang sejak dulu memang sudah berusaha untuk mengejar Rania.
Alih-alih ingin memisahkan Rania dengan Barra, Ludwig malah jatuh hati karena melihat kesederhanaan Rania selama ini. Ketika ia mendekati Rania pun, ia sangat setia menjaga hatinya untuk Barra. Hal itu malah membuat Ludwig semakin tidak bisa menerimanya. Ia bersumpah untuk menghancurkan keluarga kecil mereka, dengan sedikit sentuhan tangannya yang kotor itu.
Ludwig kembali menghubungi seseorang di sana, “Sudah waktunya kalian muncul!” ucapnya, yang sudah memberikan aba-aba kepada orang yang ia suruh untuk mengacaukan pernikahan Rania dan juga Barra.
Terdengar suara tembakan yang sangat kencang, sehingga membuat semua orang terkejut dan berteriak karena merasa kaget mendengar suara tembakan itu.
Barra memandang ke arah kerumunan tamu, yang saat ini sudah berlarian ke segala arah untuk menyelamatkan diri masing-masing. Keadaan tak terkendali, membuatnya merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di luar ruangan.
“Ada apa itu?” pekik Barra. “Penjaga, penjaga!” teriaknya, tetapi tidak ada yang datang untuk mengawasi keadaan.
Rania mendelik bingung, dengan air mata yang tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk matanya. Ia tidak mengerti, dengan apa yang terjadi dan apa yang harus ia lakukan.
Tangannya menggenggam erat tangan Barra, membuat Barra memandang Rania dengan bingung.
“Ayo cepat pergi dari sini!” ajak Barra, Rania pun menurut karena sudah terlalu takut dengan apa yang terjadi.
Namun, belum sempat Rania dan Barra pergi dari sana, beberapa berandal sudah memasuki aula pernikahan. Mereka membuat kerusuhan dengan cara yang sangat brutal, sehingga mereka yang ada di sana sangat takut dan hanya bisa berjaga-jaga keselamatan mereka sendiri.
Di sana, terlihat Narra yang sedang menghadapi beberapa dari berandal itu. Ia terlihat kewalahan, membuat Barra mendelik kaget dan tak bisa meninggalkan sepupunya sendirian di sana.
“Narra!” pekik Barra, yang hendak menuju ke arah Narra untuk menolongnya.
Namun, langkah Barra berhenti karena ia tertahan dengan beberapa berandal yang tiba-tiba saja menyerangnya. Barra yang refleks, segera menghindar dari sana.
Barra teringat dengan Rania yang berada di belakangnya. Ia memandang ke arah Rania dengan sangat khawatir.
“Pergi! Lari, Rania!” pekik Barra.
Kaki Rania sudah gemetaran, saking takutnya ia dengan kejadian yang terjadi itu. Ia sama sekali tidak bisa meninggalkan Barra dan Narra di sana, karena ia sangat khawatir dengan keadaan mereka.
“Aku gak bisa, Barra!”
Barra tak menghiraukan ucapan Rania. Sebisa mungkin ia melawan para berandal itu, dengan perasaan yang sangat kesal.
Rania hanya memandang takut ke arah keadaan, dengan kedua tangannya yang menutupi mulutnya.
‘Kenapa malah begini jadinya?’ batin Rania ketakutan dengan keadaan yang terjadi.
Terjadi huru-hara yang sangat membuat semuanya ketakutan. Jerit tangis mereka terdengar semakin mengacaukan suasana, dengan diri mereka yang tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Beberapa dari berandalan itu menodongkan pistol ke arah mereka, sehingga mereka hanya bisa berjongkok dan mengikuti perintah si berandal.
“Rania, ayo pergi dari sini!” ujar seseorang yang langsung mencengkeram tangan Rania.
Rania memandangnya dengan rasa takut, dan ternyata ia adalah Ludwig. Lelaki yang pernah ia tolak, dan sekarang menolongnya untuk keluar dari huru-hara ini.
“Aku gak bisa, Ludwig.” Rania masih tetap ingin melihat keadaan Barra dan Narra di sana, yang masih meladeni para berandalan itu.
“Gak ada waktu lagi, Ran! Ayo! Kita keluar dari sini!” ajak Ludwig, yang segera menarik tangan Rania.
Karena menyadari keadaan yang berbahaya, Rania pun segera mengikuti ke mana Ludwig membawanya. Walaupun tidak mengetahui keadaan yang akan terjadi, Rania juga tidak ingin terjadi apa pun padanya.
Ludwig membawanya keluar ruangan, dengan Barra yang sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Ia membawa Rania menuju ke arah mobilnya, dan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Saking takutnya, Rania sama sekali tidak bertanya ke mana Ludwig akan membawanya. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatannya, jangan sampai ia menyusahkan Barra di sana, yang memang sudah menyuruhnya pergi dari sana.
Semakin lama, Ludwig semakin melajukan kendaraannya untuk menjauhi tempat pernikahannya. Rania heran dengan Ludwig yang tidak menghentikan kendaraannya, padahal mereka sudah tidak berada di dalam lingkup tempat kejadian perkara.
Rania memandang bingung ke arah Ludwig. “Tolong hentikan kendaraannya sekarang. Mungkin di sini sudah aman,” ujarnya, tetapi Ludwig malah menyunggingkan senyumannya.
“Aku pikir di sini masih kurang aman. Bagaimana jika mereka tiba-tiba saja datang menyergap? Apalagi kau memakai gaun pernikahan seperti ini, yang pastinya mengundang perhatian mereka,” ujar Ludwig, Rania berpikir bahwa perkataannya ada benarnya juga.
“Baiklah kalau begitu. Tolong carikan tempat yang aman, sampai semua kekacauan ini selesai,” pinta Rania, Ludwig semakin menyunggingkan senyumannya.
“Dengan senang hati, Nona.”
Mereka pun melaju ke sebuah daerah yang cukup jauh dari kediaman Barra. Rania tidak sepenuhnya salah, karena Barra yang memintanya untuk pergi dari tempat kejadian. Rania menurut, dan akhirnya menerima tawaran Ludwig untuk pergi bersama dengannya.
Tibalah mereka di sebuah tempat yang sangat asing bagi Rania. Rumah tersebut terlihat sangat megah, sehingga Rania merasa sangat aneh memandangnya.
“Di mana kita, Ludwig?” tanya Rania kebingungan, sambil memandang ke sekeliling rumah bak istana ini.
Ludwig sesekali memandang ke arahnya, “Kita sedang berada di rumahku,” jawabnya dengan senyuman yang tak pernah luntur.
Mendengar ucapan Ludwig, Rania sangat dibuat tercengang olehnya. Bagaimana mungkin di hari pernikahannya dengan Barra, Ludwig malah membawanya ke kediamannya?
Memang, selama Ludwig mengejar Rania, ia sama sekali tidak pernah membawanya ke kediamannya, sehingga Rania pun tidak mengetahui kalau ini adalah rumah dari Ludwig.
“Mau apa kita ke tempat ini?” tanya Rania sedikit takut dengan apa yang terjadi.
Ludwig memarkirkan kendaraannya dengan benar, lalu memandang ke arah Rania dengan hangat.
“Jangan takut, Rania. Aku mencoba menyelamatkanmu dari huru-hara yang terjadi. Aku akan meminta Barra untuk menjemputmu ke tempat ini. Aku yakin dan sangat percaya, Barra akan menyelesaikan permasalahan kecil seperti itu, dan datang ke sini dengan selamat untuk menjemputmu,” ujar Ludwig menjelaskan, sebisa mungkin mengatakan hal yang membuat Rania tenang dengan keadaan ini.
Rania hanya bisa memandangnya dengan bingung, karena mungkin saja Barra akan sangat marah pada Ludwig tentang hal ini. Namun hati Rania yang lainnya merasa tenang, karena ia berpikir bahwa Barra akan sangat berterima kasih dengan Ludwig, karena sudah menolongnya dari kerusuhan yang ada.
‘Aku akan baik-baik saja bersama dengan Ludwig. Aku percaya, Barra akan datang menjemputku dengan keadaan yang selamat,’ batin Rania, merasa sangat tenang memikirkannya.
Ludwig membukakan pintu mobil untuk Rania, dan mengulurkan tangannya untuk Rania. Rania pun meraih tangannya dengan lembut, karena memang ia sangat mengerti tata krama di hadapan bangsawan seperti Ludwig. Walaupun Ludwig memiliki sikap yang kurang baik, tetapi darah kebangsawanan masih mengalir di dirinya.
Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah bak istana itu, dengan perasaan Rania yang sedikit tenang karena menurutnya, ia sudah berada di tempat yang paling aman.
Setelah masuk ke dalam rumah, Ludwig pun perlahan mengunci pintu rumahnya, lalu memandang Rania dengan senyuman yang menyungging.
Ludwig menyimpan kuncinya di saku celananya. ‘Mari kita bersenang-senang, Rania,’ batinnya, sembari menatap Rania dengan senyuman yang menyungging.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!