Bab 1
Suara erangan kepuasan terdengar dari dua sejoli yang sedang memadu kasih. Qiana menutup matanya saat Emir memberikan kecupan di keningnya. Mereka sudah sering melakukan hal seperti ini semenjak satu setengah bulan yang lalu.
"Terima kasih, Sayang. Aku semakin mencintaimu," bisik Emir dengan mesra.
"Kenapa kamu selalu mengeluarkan benihmu di dalam setiap kali kita bercinta?" tanya Qiana dengan napas terputus-putus karena masih merasa lelah.
"Maafkan aku, Sayang. Sungguh aku lupa. Nanti kamu jangan lupa saja minum obat pencegah kehamilan, ya!" pinta Emir dengan ekspresi wajah penuh penyesalan.
Wanita itu hanya mengangguk saja, sejak dulu dia sering lupa meminum obat pil pencegah kehamilan. Mereka adalah sepasang kekasih yang baru terikat hubungan pertunangan bukan suami istri. Rencananya mereka akan menikah tahun depan.
"Ayang, besok aku diundang ke pesta pernikahan temanku, kamu antar aku, ya!" pinta Qiana yang kini sedang dalam pelukan Emir.
"Besok? Sepertinya aku nggak bisa, Yang. Aku ada acara penting yang tidak bisa ditinggal," sahut laki-laki berparas tampan dengan dagu terbelah.
"Ya, enggak apa-apa, deh. Aku bisa pergi sendiri, lagian tempatnya tidak terlalu jauh," balas perempuan bersurai panjang hitam itu dengan perasaan kecewa.
Qiana langsung terdiam dan memilih memejamkan mata. Perempuan berkulit putih mulus itu paling tidak suka jika harus berdebat dengan kekasihnya. Maka dia sering mengalah dari pada harus terjadi pertengkaran di antara mereka.
"Jangan cemberut begitu, dong. Sebagai gantinya bagaimana Minggu depan kita pergi ke pantai atau ke taman hiburan?" Emir mencolek hidung mancung milik Qiana dan membuat wanita itu tersenyum kembali.
Emir tidak mau membuat kekasih hatinya bersedih. Laki-laki itu terlalu cinta kepada perempuan yang sudah lama menjalin kasih dengannya. Mereka berpacaran semenjak duduk di bangku SMP kelas VII. Cinta monyet yang telah berubah menjadi cinta sejati, itu yang sering dikatakan oleh orang-orang yang mengenal keduanya.
Setelah lelah mengarungi surga dunia, keduanya tertidur sampai pukul 22:00 dan itu sudah menyalahi peraturan ayah Qiana, Bara. Orang tua Qiana melarang putrinya pulang lebih dari pukul 21:00 jika bepergian atau main ke luar rumah.
Begitu bangun keduanya langsung pontang-panting memakai pakaian yang berserakan di lantai. Setelah itu Emir mengantarkan Qiana pulang ke rumahnya.
***
Bara berdiri di depan pintu ketika Emir mengantarkan Qiana pulang. Terlihat jelas raut laki-laki paruh baya itu berwarna merah. Tanpa perlu di kasih tahu, Emir pun sadar kalau calon ayah mertuanya itu sedang marah kepada mereka.
"Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Bara sambil melotot kepada dua anak manusia yang berdiri kaku.
"Maaf, Ayah. Ban mobil bocor dan kita jauh dari bengkel," jawab Emir berbohong dan Qiana hanya mengangguk.
"Sudah malam, cepat masuk!" perintah Bara kepada Qiana.
Terlihat Nana ke luar dari kamar dengan wajahnya yang seperti bangun tidur. Wanita paruh baya itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul 22:10 dan putrinya baru pulang.
"Kenapa baru pulang jam segini?" tanya sang ibu.
"Katanya ban mobil Emir bocor," jawab Bara sambil duduk di sofa.
"Qiana, besok hari pernikahan Zeline, sahabat baikmu. Tapi, Ayah sama ibu tidak bisa datang karena bertepatan dengan 1000 hari meninggalnya nenek. Ucapkan permintaan maaf kami untuk keluarga Zeline dan calon suaminya, ya!" ucap Nana dengan tatapan sendu karena tidak bisa menghadiri pesta pernikahan anak gadis yang sering bermain ke rumahnya ini.
"Zeline akan menikah sama siapa? Kok, terkesan mendadak begini," tanya Bara yang baru tahu hari kemarin tentang pernikahan sahabat baik putrinya.
"Aku juga tidak tahu, Ayah. Soalnya Zeline hanya kasih undangan lewat chat. Itu juga alamat gedung resepsi dan jam diselenggarakan acara," sahut Qiana dengan nada kecewa karena Zeline seakan sedang menutupi sesuatu darinya.
"Bukannya kalian berteman baik? Masa kamu tidak tahu siapa calon suami teman kamu," tukas Nana merasa heran.
"Aku juga sudah tanya sama Zeline, siapa laki-laki yang akan menikah dengannya. Dia malah jawab putra dari teman orang tuanya," kata Qiana yang kini beranjak masuk ke kamarnya.
"Tidak terasa mereka sekarang sudah dewasa. Qiana juga tahun depan akan menikah dengan Emir," kata Bara dengan lirih.
"Benar, semoga saja hubungan mereka langgeng sampai akhir hayat," lanjut Nana sambil menatap foto Qiana dan Emir yang diletakan di atas bufet.
***
Keesokan harinya Qiana mempersiapkan diri untuk pergi ke pesta pernikahan temannya yang akan diadakan mulai pukul 20:00. Perempuan itu pergi seorang diri karena Emir tidak bisa mengantarnya. Begitu juga kedua orang tuanya yang memilih menginap di rumah kerabat setelah acara 1000 hari mengenang sang nenek.
Senyum cantik Qiana terukir saat turun dari mobil dan melihat betapa megah dan mewahnya pernikahan Zeline. Sahabatnya sejak kecil yang sempat terpisah semenjak mereka masuk SMP dan kembali bertemu setelah lulus kuliah.
Banyak sekali tamu undangan dari kalangan kelas atas. Maklum, karena keluarga Zeline adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Qiana juga bekerja di perusahaan milik keluarganya.
"Lak-laki seperti apa yang bisa mencuri hati Zeline, ya?" tanya Qiana bermonolog.
Selama ini Zeline tidak pernah memberi tahu siapa kekasihnya. Jika ditanya sering bilang tidak punya. Namun, dua hari yang lalu tiba-tiba memberi kabar kalau dirinya akan menikah dan menyuruhnya untuk datang ke gedung Gloria, tempat diadakannya pesta pernikahan dia.
"Mempelai prianya tampan sekali, beruntung sekali Zeline bisa menikah dengannya," bisik salah seorang tamu undangan yang berpapasan dengan Qiana.
Mendengar ucapan mereka membuat perempuan itu semakin penasaran seperti apa suami dari sahabatnya itu. Banyaknya tamu undangan membuat Qiana kesulitan melihat dengan jelas wajah laki-laki yang sudah menjadi suami Zeline.
"Mami … Papi? Ke–napa mereka ada di sini?" tanya Qiana kepada kedua calon mertuanya yang berdiri di depan kursi yang biasa ditempati oleh orang tua mempelai laki-laki.
Seperti terkena sambaran petir, Qiana diam mematung saat melihat Emir yang menjadi mempelai pengantin laki-laki. Tunangannya itu berdiri di samping Zeline yang begitu cantik hari ini dengan balutan gaun pengantin yang terlihat sangat mahal.
Dengan langkah lebar Qiana menaiki panggung, di mana pasangan pengantin dan keluarganya sedang tersenyum manis kepada para tamu undangan yang datang dan mengucapkan selamat untuk mereka.
"Emir … Zeline, apa maksudnya ini? Kenapa kalian bisa menikah?" teriak Qiana penuh emosi.
Kulit wajah perempuan itu terlihat memerah. Qiana tidak memedulikan orang-orang yang menatap ke arah mereka.
"Qi–ana, bagaimana bisa kamu datang ke sini?" tanya Emir heran dengan wajahnya yang pucat, karena tidak menyangka kalau kekasihnya itu akan datang ke pesta pernikahannya dengan Zeline.
"Zeline, kenapa kamu menikah dengan Emir? Bukannya kamu sudah tahu kalau aku dan Emir itu sudah tunangan sejak tiga tahun lalu!" bentak wanita bertubuh tinggi semampai.
"Kalian baru tunangan, bukan suami istri. Jadi, bebas aku dan Emir kalau mau menikah," balas Zeline dengan nada sombong.
Qiana mengerutkan kening seperti tidak mengenali sosok perempuan yang kini sedang berdiri di depannya. Zeline yang dia kenal itu adalah orang yang sangat baik dan murah senyum. Namun, yang kini sedang berdiri di depannya adalah wanita sombong dengan tatapan angkuh.
"Ada apa ini?" tanya laki-laki paruh baya yang Qiana kenal sebagai ayahnya Zeline.
"Om, tahu enggak kalau laki-laki yang dinikahi oleh Zeline itu adalah tunangan aku dan kami akan menikah tahun depan," jawab Qiana.
"Bukannya kalian sudah putus?" Kali ini papinya Emir yang bicara.
"Putus? Sejak kapan kami putus. Semalam kami masih pergi berkencan," balas Qiana dan membuat kedua orang tua Emir menatap tajam ke arah putra mereka.
"Pi, Qiana masih mencintaiku. Jadi, dia tidak terima saat aku meminta putus hubungan pertunangan itu. Padahal kedua orang tuanya sudah setuju," aku Emir dengan meyakinkan.
"Apa? Kapan kamu bilang pertunangan kita putus. Bukannya bulan lalu keluarga kita masih liburan bersama," bantah Qiana.
Para tamu undangan saling berbisik-bisik membicarakan keributan di panggung pelaminan.
Orang-orang di atas panggung saling menatap satu sama lain. Kedua orang Emir minta penjelasan kepada putranya, begitu juga dengan kedua mertua dia.
"Mami dan Papi jangan cemas. Sebenarnya Qiana dan Emir itu sudah putus, hanya saja dia ingin kembali lagi merajut cinta mereka. Namun, Emir menolaknya karena sudah tidak mencintainya. Makanya aku meminta pernikahan ini secepatnya di gelar agar suami ini terbebas dari kejaran Qiana. Dia itu 'kan, wanita gatal yang suka gonta-ganti pasangan," ucap Zeline dengan suaranya yang nyaring agar bisa didengar oleh para tamu undangan.
"Gonta-ganti pasangan? Sejak 12 tahun yang lalu, hanya Emir yang menjadi kekasihku!" balas Qiana tidak kalah nyaring dan itu malah membuat orang-orang menjadi penasaran.
"Qiana, bukannya aku sudah bilang beberapa bulan yang lalu kalau hubungan kita tidak bisa diteruskan lagi. Sifat kamu yang keras kepala dan kekanak-kanakan sering membuat aku muak. Begitu juga dengan keluarga kamu yang suka mengatur," aku Emir dan itu membuat hati Qiana sangat sakit.
"Jadi, begitu. Aku baru tahu nilai diriku di matamu. Oke, aku terima keputusan kamu. Semoga saja kebahagiaan segera menghampiriku dan kehancuran menimpa kalian!" Sumpah Qiana yang membuat orang-orang langsung terdiam.
Kenyataan yang baru dia ketahui terasa sangat berat untuk diterima. Kepala Qiana terasa berputar dan dadanya sesak. Sampai dia tidak bisa lagi menjaga keseimbangan tubuhnya.
Saat tubuh perempuan itu jatuh dari panggung pelaminan, dengan sigap seseorang dibawah menangkapnya. Orang itu panik saat tahu Qiana tidak sadarkan diri.
"Hei, sadarlah!" Laki-laki itu menepuk muka Qiana dengan dengan pelan.
"Jangan-jangan dia mati!" pekik salah seorang tamu undangan dan itu membuat keadaan di aula itu semakin kacau.
***
Assalamualaikum, teman-teman. Kali ini aku buat karya bergenre perselingkuhan 😁. Tema yang baru pertama kali aku buat, semoga kalian suka. Ambilah nilai kebaikan dalam karya ini dan jangan ikuti keburukan yang ada di dalamnya. Jangan lupa dukungannya untuk aku biar semangat terus dalam berkarya.
Bab 2
Teriakan para tamu memenuhi area di dekat panggung pelaminan, sehingga memancing orang-orang yang memang berada agak jauh dari sana. Seorang pemuda yang berhasil menangkap tubuh Qiana, membopong tubuh perempuan itu dan membawanya ke luar gedung.
"Ada apa ini? Kenapa wanita itu tidak sadarkan diri?"
Para tamu undangan saling bertanya karena mereka tidak tahu akan adanya pertengkaran tadi di atas panggung. Wajah-wajah dari kaum hawa yang ada di sana banyak yang berubah pucat.
"Katanya wanita tadi itu tunangan mempelai laki-laki. Dia tidak terima dengan pengkhianatan ini."
"Tadi dengar-dengar mempelai wanitanya adalah teman baik perempuan yang pingsan itu."
"Apa, keterlaluan sekali merebut tunangan temannya sendiri."
"Iya. Apa dia tidak takut kena karma nanti."
Kasak-kusuk masih saja terus menggema di ruangan itu. Terutama dari mulut para wanita yang kini melihat ke arah pengantin. Tatapan merendahkan dan hina terlihat terpancar jelas dari netra mereka.
Tentu saja hal ini membuat Zeline marah. Rasanya dia ingin mengamuk dan mencaci-maki orang yang sudah mengatai dirinya. Wanita itu merasa kalau kalau dia tidak bersalah, karena status Emir dengan Qiana masih tunangan.
***
"Dokter tolong wanita ini!" teriak Keenan yang masuk ke ruang UGD sambil menggendong Qiana.
"Dia kenapa?" tanya perawat yang membantu Keenan saat membaringkan tubuh Qiana.
"Tidak tahu. Dia tiba-tiba saja tidak sadarkan diri," jawab pemuda yang sudah menangkap tubuh Qiana tadi.
Dokter pun memeriksa keadaan perempuan bergaun pesta itu. Sementara itu, Keenan mencari handphone milik Qiana. Pemuda itu menghubungi nomor yang diduga adalah orang tua perempuan yang dia tolong.
"Halo, maaf ini dengan siapa yang punya nomor handphone ini?" tanya Keenan begitu sambungan telepon terhubung.
"Ini nomor handphone putri saya, Qiana. Saya ini ibunya, kenapa handphone putriku ada padamu?" tanya Nana.
"Putri ibu sekarang sedang berada di rumah sakit Harapan. Dia tadi pingsan saat di pesta pernikahan."
"Apa? Ayah … Qiana masuk rumah sakit!" Keenan menjauhkan handphone dari telinganya saat suara teriakan Nana begitu melengking dan terasa masuk ke telinga semua.
Tidak sampai 15 menit kedua orang tua Qiana sudah sampai ke rumah sakit terbesar di ibu kota. Mereka pun mendatangi ruang UGD untuk mencari keberadaan sang putri.
"Qiana!" panggil Nana histeris saat melihat putrinya berbaring di atas brankar.
Keenan yang duduk di samping ranjang pasien langsung berdiri dan digantikan oleh Nana. Pemuda itu pun tersenyum kepada Bara, ayahnya Qiana.
"Kamu, siapa?" tanya Bara.
"Saya, Keenan. Kebetulan tadi ada di pesta itu dan membawa Qiana ke sini," jawab pemuda berbadan tinggi tegap saat merasa laki-laki paruh baya itu melihatnya dengan penuh selidik.
"Terima kasih sudah menolong Qiana," ucap Bara dengan senyum ramah, tetapi tatapan matanya nanar.
Dokter pun datang sambil membawa hasil pengecekan. Laki-laki berjas putih itu tersenyum tipis ketika Bara dan Nana melihat ke arahnya.
"Selamat, Pak. Nona Qiana saat ini sedang mengandung. Usia kehamilannya sekitar 5 minggu," kata Dokter sambil menyerahkan hasil USG dan laboratorium.
Bagai terkena pukulan godam yang dipukulkan ke kepala, Bara dan Nana sangat terkejut mendengar kabar ini. Mereka marah, kecewa, malu, dan tidak percaya. Mana mungkin putri mereka bisa hamil, sementara dia belum menikah. Nana merasa dadanya sakit sekali, dia takut penyakit jantung akan kambuh kembali.
"Saat ini hemoglobin dalam tubuh Nona Qiana agak rendah, jadi dia harus dirawat dahulu," jelas dokter dan kedua orang paruh baya itu hanya mengangguk karena masih shock.
Kini Qiana dirawat di ruang kelas satu. Wanita itu sudah menghabiskan satu kantung labu darah dan keadaanya sudah jauh lebih baik. Saat dini hari dia pun tersadar dan terkejut saat mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Kenapa aku bisa di rawat?" batin Qiana sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan serba putih ini. Terlihat ibunya yang berjalan ke arah dia.
"Kamu sudah sadar," ucap Nana dengan dingin dan ketus.
"I–bu, kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Qiana dengan suaranya yang masih lemah.
"Katakan pada ibu, siapa bapak anak dari janin itu?" tanya Nana dengan sedikit membentak perempuan yang sedang berbaring.
Untuk kedua kalinya Qiana terasa terkena sambaran petir. Ketakutan dalam dirinya kemarin kini terbukti sudah. Seharusnya beberapa hari yang lalu dia datang bulan, tetapi sampai sekarang belum juga dia dapatkan. Air mata perempuan cantik itu langsung meluncur di pipinya yang putih.
"Katakan siapa yang sudah menghamili kamu, Qiana?" teriak Nana dengan suaranya yang menggelar, karena hari masih dini hari dan orang-orang sedang istirahat.
Bara yang sedang tidur pun terbangun. Lalu laki-laki paruh baya itu mendatangi putri dan istrinya.
"Nak, siapa yang sudah membuat kamu seperti ini? Emir?" Bara menduga, karena dia tahu hanya pemuda itulah yang dekat dan dicintai oleh Qiana.
"E–mir, Bu." Qiana menangis tergugu.
"Kalau begini pernikahan kalian harus segera dipercepat," ucap Bara dan dibenarkan oleh Nana.
Qiana menggelengkan kepalanya. Perempuan itu sudah sangat sakit hati akan pengkhianatan tunangan dan sahabat baiknya yang sudah dia anggap saudara sendiri.
"Apa maksudnya, Qiana?" tanya Bara lagi dengan suaranya yang lembut.
"Emir sudah menikah, Yah," jawab Qiana sambil menangis tergugu.
"Apa?" Bara dan Nana sangat terkejut mendengar ucapan putrinya.
"Iya, Bu. Tadi aku datang ke pernikahan Zeline, ternyata yang menjadi mempelai laki-lakinya adalah Emir. Sekarang dia sudah menjadi suami Zeline, Yah."
Bahu Qiana terguncang hebat akibat dari tangisannya semakin terdengar pilu. Sekarang dia baru menyadari kebodohan dirinya yang mau saja diajak bercinta oleh laki-laki yang belum sah menjadi suami baginya.
"Qiana, apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi. Kenapa kamu mau melakukan perbutan dosa itu, hah!" bentak Nana dengan napas tersengal-sengal.
"Maafkan aku, Bu. Aku memang bodoh sudah terperdaya rayuan mulutnya. Aku menyesal, sungguh menyesal!"
Nana menangis dalam pelukan Bara. Sebagai seorang ibu sekaligus orang tua, dia sudah merasa gagal. Putri satu-satunya itu kini sudah membuat aib dan mencoreng keluarga mereka.
"Sudah, Bu. Semua sudah terlanjur terjadi, waktu tidak bisa lagi diputar," ucap Bara.
"Yang ibu tidak mengerti adalah kenapa Emir bisa menikah dengan Zeline? Bukannya Heni dan Hari tahu kalau Emir dan Qiana itu sudah tunangan," tanya Nana dan Bara pun merasa aneh. Apalagi tadi saat dia menghubungi, tidak ada satu pun nomor dari mereka yang aktif.
"Aku juga baru tahu kalau Emir dan keluarganya sudah memutuskan hubungan pertunangan ini. Tadi aku sempat berpikir kalau dia mengatakan pembatalan tunangan itu kepada Ayah dan Ibu," balas Qiana.
Bara dan Nana saling melirik, mereka jelas sangat kecewa dan sakit hati. Mereka sama sekali tidak menerima berita itu.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus minta pertanggungjawaban mereka, terutama Emir. Enak saja dia sudah membuat masa depan Qiana rusak, sementara dia enak-enakan dengan wanita baru," ujar Bara dengan sewot.
Hari masih subuh Qiana dan kedua orang tuanya mendatangi hotel tempat Emir dan Zeline menginap. Mereka ingin menuntut keadilan untuk putrinya, agar laki-laki itu mau bertanggung jawab.
Setelah mendapatkan informasi kamar tempat Emir dan Zeline, mereka pun bergegas mendatangi tempat itu. Nana menekan bel dengan tidak sabaran sampai pintu dibuka.
"I–bu?" Wajah Emir mendadak pucat saat tahu orang yang menekan bel seperti orang gila. Dilihatnya juga ada Qiana dan ayahnya.
"A–yah?"
Tanpa banyak bicara Bara langsung menonjok muka Emir, sampai laki-laki itu terhuyung ke belakang. Suara erangan kesakitan keluar dari mulutnya. Darah pun keluar dari hidung dan ujung bibirnya yang sedikit tergigit oleh gigi.
"Sayang, siapa yang pagi-pagi sudah mengganggu?" Zeline keluar hanya dengan menggunakan gaun malam.
"Kau!" Nana menunjuk teman putrinya yang di kenal dengan tatapan tidak percaya.
***
Apakah Emir akan mau mempertanggungjawabkan perbuatanya dan mengakui janin dalam rahim Qiana? Ikuti terus kisah mereka, ya!
Bab 3
"Sayang, kamu kenapa?" Zeline panik saat melihat darah yang keluar dari hidung Emir.
"Tidak apa-apa, tenang aku baik-baik saja," ucap Emir yang meringis kesakitan.
Nana membelalakkan matanya saat melihat sahabat baik Qiana berada di dalam kamar hotel yang sama dengan Emir. Tadi, saat anaknya bilang Zeline yang menikah dengan Emir, dirinya menyangka kalau itu orang lain. Namun, ternyata wanita itu adalah orang yang dia kenal karena sering main ke rumah.
"Kau, dasar wanita tidak diri! Calon suami sahabat sendiri kamu rebut. Ada apa dengan otak dan hati kamu, hah!" hardik Nana dengan penuh emosi.
"Tidak ada yang salah dengan otak dan hati aku Ibu. Emir itu sudah tidak cinta sama Qiana sejak lama. Dianya saja yang enggak mau putus. Qiana itu terlalu mengekang Emir dengan keegoisan dirinya, maka dia muak dan ingin berpisah dengannya," cerocos Zeline yang kini berdiri saling berhadapan dengan Nama.
Qiana tidak terima dengan tuduhan itu. Selama ini dia tidak pernah mengekang Emir dalam melakukan atau berbuat sesuatu sesuai keinginannya. Dirinya bukan tipe pacar yang posesif, justru Emir yang sebaliknya. Pemuda itu mudah cemburu dan sering melarang Qiana dekat-dekat dengan teman laki-laki. Semenjak zaman sekolah sampai kuliah, pria yang menjadi temannya bisa dihitung jari.
"Emir, apa benar yang dikatakan oleh Zeline barusan? Atau itu hanya karangan wanita gatal ini," tanya Qiana kepada laki-laki yang berdiri hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawah.
Emir bingung harus bicara apa kepada wanita yang dia cintai dengan hati yang tulus. Namun, jika dia mengatakan yang sebenarnya maka kehidupan keluarga Brawijaya akan hancur.
"Jawab, Sayang!" perintah Zeline sambil menatap tajam kepada laki-laki yang kini sudah berstatus suaminya.
"Maaf Qiana, sekarang wanita yang aku cintai adalah Zeline," aku Emir dengan tatapan nanar saat mereka beradu pandang.
Hati Qiana yang sudah retak itu kini menjadi hancur lebur membentuk serpihan kecil. Baru sekarang dia menyadari kalau dirinya sudah buta oleh cinta. Bahkan perasaan cinta dari orang yang menjadi kekasih dia sendiri tidak terlihat dengan jelas.
"Jadi selama ini kamu hanya menganggap aku sebagai apa, hah?" bentak Qiana sambil melangkah ke arah Emir lalu menjambak rambutnya dengan kuat.
"Qiana lepaskan!" teriak Zeline sambil mencoba memisahkan wanita itu dari suaminya yang mengaduh kesakitan.
Kegaduhan mereka di pagi hari itu mengundang kedua orang tua mereka yang tidur di kamar sebelah. Mereka terkejut dengan kedatangan keluarga Qiana dan sedang terjadi pertengkaran serta adu mulut antara dua wanita muda.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya Hari yang baru datang bersama Heni dengan wajahnya yang terlihat jelas baru bangun tidur.
"Hei, Hari! Apa kamu tahu perbuatan putramu itu?" Nana langsung membentak mantan calon besannya.
"Memangnya apa yang sudah dilakukan oleh Emir?" tanya Heni dengan tatapan cemas.
"Emir sudah menghamili Qiana!" jawab Nana dan sukses membuat semua orang terdiam.
Tubuh Heni limbung untung jatuh ke dada suaminya. Hari hanya diam mematung seperti orang yang terkena sambaran petir.
Sementara itu, kedua orang tua Zeline yang bernama Baron dan Merlin hanya diam dengan mulut terbuka.
"Katakan kalau itu hanya bohongan agar Qiana bisa kembali sama Emir," ucap Heni dengan suaranya yang mencicit.
"Tidak. Semua ini adalah kebenaran. Saat ini usia kandungan Qiana sudah 5 Minggu," balas Nana dengan napasnya yang berat. Wanita itu bahkan menekan-nekan dadanya yang sakit.
"Benarkah itu Emir?" tanya Hari dengan suara yang lantang.
"A–ku." Emir melirik ke Qiana dan Zeline.
"Itu bukan anak Emir," ucap Zeline tiba-tiba.
Kini perhatian semua orang terpusat kepada Zeline. Perempuan itu tersenyum tipis mengejek temannya.
"Kalian tahu 'kan kalau aku dan Qiana berteman baik. Tidak ada rahasia apa pun di antara kita berdua. Selain berpacaran dengan Emir, dia juga sering berkencan dengan laki-laki lain. Makanya aku kasihan dengan Emir yang sering dibodohi oleh Qiana," lanjut Zeline.
"Bohong. Aku tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Kamu sudah memfitnah aku," bantah Qiana dengan tatapan nyalang kepada mantan sahabatnya.
"Apa benar itu anak kamu, Emir?" tanya Baron kepada menantunya.
"Bukan, Pa. Aku nggak pernah melakukan hal seperti itu," jawab Emir.
"Hei, Emir. Aku tahu putriku tidak akan berani berbohong kepada kami, orang tuanya. Dia selalu jujur meski itu sesuatu yang buruk dan tidak dia sukai. Qiana orang yang jujur dalam hidupnya," ucap Bara dengan emosi yang meluap-luap.
"Aku tidak bohong, Ayah. Untuk apa aku melakukan hal yang bisa merusak masa depan Qiana. Tidak mungkin berani berbuat buruk kepada perempuan lain, karena aku juga punya adik perempuan," aku Emir bersikukuh.
"Tanya saja sama Qiana dia sudah melakukan hal itu dengan siapa?" lanjut Emir sambil menatap ke arah perempuan yang diam dengan tatapan marah.
Seperti dihantam oleh godam, kepala Qiana terasa sakit dan berat saat mendengar pengakuan Emir. Wanita itu langsung memukuli dada polos laki-laki itu.
"Tega kamu Emir berbohong seperti itu. Bulan lalu kamu merayu aku agar kita bercinta dan aku menyerahkan keperawanan itu kepadamu! Bahkan kita bukan hanya sekali melakukan itu." Qiana bicara dengan berteriak.
"Dasar wanita murahan! Hamil dengan laki-laki lain, tapi kamu limpahkan kepada Emir," tukas Zeline sambil mendorong tubuh Qiana dengan kuat sampai jatuh.
Dada Nana semakin terasa sakit dan napasnya juga sudah putus-putus. Hal ini baru di sadari oleh Bara.
"Bu. Ibu … kenapa?" tanya Bara sambil merangkul bahu sang istri.
"Ibu!" Bara berteriak saat Nana jatuh pingsan.
Qiana yang mendengar teriakan ayahnya langsung menghampiri ibunya. Keringat membasahi sekujur tubuh dan wajah Nana menjadi pucat.
"Ayah, bawa ibu ke rumah sakit!" titah Qiana takut terjadi apa-apa kepada wanita yang sudah membesarkannya.
***
Qiana dan Bara langsung membawa Nana ke UGD agar secepatnya mendapatkan penanganan. Meski hari masih pagi, tetapi di sana sudah banyak pasien dan dokter jaga juga sedang sibuk menangani para pasien.
"Dokter, tolong dulu ibuku. Dia punya riwayat sakit jantung," kata Qiana kepada dokter yang sedang menjahit luka pasien.
"Suster, tolong tangani dulu pasien itu. Nanti aku menyusul setelah selesai ini," kata wanita berjas putih yang tangannya masih sibuk mengobati pasien yang terluka akibat kecelakaan.
Bara dibantu oleh suster itu membaringkan tubuh Nana. Saat perempuan muda itu hendak melakukan pemeriksaan denyut nadi, wajahnya berubah. Lalu, dia pun meletakan stetoskop di dada Nana dan dilanjutkan dengan memeriksa pupil matanya.
"Sepertinya pasien sudah meninggal," ucapnya dengan lirih.
"Tidak mungkin," kata Qiana dengan pelan dan tubunya pun jatuh ke lantai, karena kaki dia mendadak terasa lemas.
Bara mengguncangkan tubuh Nana sambil memanggil namanya dengan pilu. Laki-laki itu tidak percaya kalau sang istri telah meninggalkan dia untuk selama-lamanya.
'Emir ... Zeline, aku tidak akan pernah memaafkan kalian. Gara-gara kalian kehidupan aku dan keluargaku hancur,' batin Qiana.
***
Apakah Qiana bisa bangkit kembali setelah kepergian ibunya? Apa Emir dan Zeline akan mendapatkan karma? Tunggu kelanjutannya, ya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!