BRAK!
BRAK!
"Hei! Hentikan! Apa yang kamu lakukan?" pekik pria itu memelotot kaget.
Sedangkan seorang perempuan yang kini tengah meluapkan emosinya terus saja memukuli kaca mobil depan pria itu menggunakan tongkat bisbol.
Ia terus berteriak. Sama sekali tak memperdulikan kekasihnya yang beberapa waktu lalu ia pergoki sedang bercumbu di dalam mobil bersama wanita lain.
"Aarghh!!!"
BRAK!!!
"Kalian brengsek!" tongkat bisbol tersebut terus diayunkan, tak peduli pada jeritan ketakutan seorang perempuan yang masih berada di dalam mobil si pria.
"Aaarghhh!"
Wanita itu terus-menerus berteriak, seakan ingin mengungkapkan rasa sakit dan sesaknya melalui tindakannya sekarang.
Matanya sudah basah, menangis tanpa raungan. Tapi air mata itu terus mengalir deras, tak mampu ia sembunyikan.
"Shena! Sudah hentikan!"
"Tidak akan! Sebelum aku menghancurkan kendaraanmu, Sialan!" sambarnya menatap tajam.
Klang!!
Shena menarik tongkat bisbol tersebut, kemudian menghampiri pria yang kini perlahan mundur melindungi dirinya dengan kedua tangan. Takut jika wanita yang sudah ia khianati itu menghantamnya dengan tongkat berbahan besi hingga memecahkan kepalanya.
"Dengar ini baik-baik!" ucap wanita berwajah dingin itu dengan khidmat. "Kamu yang khianatin aku, kamu juga yang udah ninggalin aku. Dan aku benci kamu!"
Setelah berkata demikian, Shena mengayunkan tongkat bisbolnya terakhir kali ke depan body mobil pria itu hingga tak berbentuk.
KLANG!!
BRAK!!
"Oh. Shittt!" Shena mendesaah berat, ia menyesap kopinya yang sudah ia habiskan 2 gelas di sebuah kafe tak jauh dari kantor sahabatnya.
Meski kejadian itu sudah 2 tahun berlalu. Tapi tetap saja Shena kadang teringat kembali ke masa di mana dirinya dikhianati.
Entah apa yang terjadi pada kedua orang itu. Shena tidak tahu. Lantaran setelah kejadian itu, Shena tak lagi bertemu dengan keduanya. Shena juga meninggalkan tempat tinggalnya yang berada di kota B tak lama setelah ibunya meninggal karena bunuh diri.
Shena Morghia, ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah Shena seorang penjudi juga pecandu minuman keras. Hampir setiap hari Shena harus menyaksikan sehancur apa keluarganya.
Mendiang ibunya Shena sering kali mendapat kekerasan fisik maupun non fisik selama hidupnya. Bahkan setelah sang ayah tiada karena overdosis, masih saja meninggalkan masalah untuk keluarga yang ditinggalkan. Yakni berupa hutang-piutang sang ayah yang sebelumnya sering meminjam untuk kebutuhan berjudinya.
Akibat tekanan yang terus diterimanya, sang ibu akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Shena tak sendiri, ia masih memiliki 2 kakak yang sudah berkeluarga. Mereka masih berada satu rumah dengan Shena dan juga kedua orang tuanya. Entah apa alasannya, padahal harusnya mereka sudah pindah dan memiliki tempat tinggal sendiri.
Shena pikir, kedua saudaranya akan membantu kesulitan sang ibu membayar beban hutang yang ditinggalkan mendiang sang ayah. Namun, berbagai alasan mereka utarakan seperti biaya rumah tangga, kebutuhan sekolah anak dan lain sebagainya.
Mau tak mau akhirnya Shena menghabiskan semua tabungannya yang sudah bertahun-tahun ia kumpulkan. Meski rasanya itu tiada guna sebab sang ibu sudah pergi akibat tak tahan dengan keadaan.
Shena buntu, ia hancur dan frustasi. Beruntung ia mempunyai seorang teman yang membawanya ke luar kota dan menawarkan pekerjaan.
Maka, di sinilah Shena berada. Sejak tadi mendesaah berat, mengetuk-ngetuk meja kafe karena rasanya sudah jenuh menunggu terlalu lama.
"Ishh! Kalau dia datang, kusunnat lagi anunya!" dumel Shena kesal.
"Ughh! Abis dong punyaku."
Pucuk dicinta si badjingan pun tiba. Pria dengan tubuh tinggi serta rambut yang dipotong pendek rapi itu melempar senyum tanpa dosa ke arah Shena.
Ia segera duduk berseberangan dengan wanita yang menatap sinis padanya lantaran menyeruput kopi sang gadis tanpa permisi.
"Zoe Mafarulls!" panggil Shena dengan penuh penekanan. "Dengar! Aku ini bukan pacar kamu, bukan asisten kamu. Lain kali tolong datang tepat waktu dan jangan buang-buang waktu aku," dengus Shena.
"Laura hamil," celetuk Zoe tanpa beban.
"Oh God!" pekik Shena tertahan. Dengan segera ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangan.
"Jangan keras-keras! Kamu tuh!" panik Zoe mengingatkan Shena.
Come on, ini tempat umum. Siapa suruh Zoe memberikan kabar tak terduga pada Shena yang bawel. Itu murni kesalahan Zoe.
"Bantu carikan dokter kandungan dong! Laura mau gugurin bayinya. Katanya sih untuk menjaga bentuk tubuhnya, dia 'kan model."
"Mending kamu ngilang aja deh selamanya dari bumi, Zoe! Brengsek banget tahu nggak."
Ayolah, hampir 2 jam Shena menunggu. Jadi pria itu membuat janji temu hanya karena ingin mengumbar dosa yang diperbuatnya? Shena benar-benar tidak habis pikir.
"Jahat banget. Kalau aku ngilang, nanti kamu juga yang sedih. Di mana lagi kamu bisa menemukan sahabat yang tampan, mapan dan pewaris tunggal? Ya nggak?" ujar Zoe menaik turunkan alisnya.
Ah. Itu sangat menyebalkan.
"Terserah kamu deh. Urusin tuh si Laura. Jangan bawa-bawa aku dan aku gak mau ikut campur!" tegas Shena melipat tangannya di dada.
Zoe menurunkan bahunya lemas, seraya mendengus.
"Huh! Sudah kuduga," gumamnya.
"Pusing banget ya jadi playboy badjingan dengan sejuta pesona," katanya lagi menyombongkan kelakuan buruknya.
"Lagipula gak ada ya yang nyuruh kamu jadi badjingan," sahut Shena jengkel.
Entahlah, ada rasa sesak dan nyeri yang merayap ke relung hati Shena. Ia sendiri tidak paham apa yang sebenarnya Zoe cari dalam hidupnya. Sampai kapan pria itu akan hidup tanpa arah seperti ini.
Zoe tidak pernah serius dalam hal apa pun, tidak ingin berkomitmen dan sering bergonta-ganti pacar. Semua karena masa lalu pria itu yang Shena tahu pernah merasakan kesakitan yang teramat dalam. Tapi, mau sampai kapan hidup berantakan tanpa tujuan?
Tiba-tiba ponsel di saku celana Zoe berbunyi. Dengan segera Zoe mengangkatnya. Tertera nama 'Shafira' di sana.
Dan perasaan Shena mulai tidak enak.
"Halo, Fira sayang," kata Zoe seraya mengedipkan sebelah matanya pada sang sahabat. Bermaksud meminta pengertian pada Shena yang sudah menatap tajam padanya.
"Ke apartemen kamu? Oke, aku ke sana sekarang. Tunggu ya, Honey."
Shena terperangah menatap Zoe tak percaya. Ia menggebrak meja kafe meminta perhatian Zoe, tapi pria itu malah menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
Kalau sudah seperti ini, Shena pasrah. Ia merapatkan punggungnya ke sandaran kursi. Kalau ada penghargaan pria paling brengsek dan badjingan di dunia ini maka Zoe Mafarulls-lah orangnya.
Zoe melempar senyum terbaiknya pada Shena yang selama ini ia gunakan untuk memikat para perempuan di luaran sana, hingga dengan mudahnya masuk ke perangkap playboy cap kadal itu.
"So sorry, Shena sayang. Aku janji lain kali kita jalan bareng. Tapi, biarkan kali ini sahabatmu yang rupawan ini bersenang-senang dulu, oke?"
Zoe beranjak dari duduknya, menghampiri Shena dan mengecup sayang kepala wanita bermuka masam itu seperti biasa. Kemudian pergi meninggalkan kafe.
Mata Shena mendadak perih, dadanya terasa sesak dan penuh. Dulu, Zoe selalu mengutamakan dirinya dari semua perempuan-perempuan itu. Tapi semenjak Shena mengungkapkan isi hatinya beberapa bulan lalu, sikap Zoe berubah.
Shena sadar betul, ini adalah konsekuensinya karena sudah jatuh cinta pada badjingan itu. Zoe seolah tahu bagaimana cara terbaik menghancurkan Shena pada tempatnya.
Shena pikir ia akan baik-baik saja, namun nyatanya kata-kata tak sejalan dengan luka gores di hatinya yang kian hari kian mendalam.
Sudah sejak lama Shena menempati apartemennya yang masih ia cicil. Shena mencoba mandiri berpisah dari keluarganya, sebab rumah yang dulu ia tinggali sedari kecil itu sudah semakin banyak penghuninya. Dan Shena tidak suka kebisingan.
Shena yang bekerja sebagai penerjemah novel Korea-Indonesia itu memerlukan ketenangan dan kedamaian setiap waktunya.
Sedangkan di rumah orang tuanya, semakin ramai dengan adanya 2 keluarga. Davina, kakak pertamanya tinggal di sana berikut suami, dan juga kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ditambah lagi Natteo, kakak laki-lakinya yang juga sudah berumah tangga, dan sekarang istrinya tengah hamil anak ketiga.
Memang Shena rasa ini adalah keputusan yang tepat, hidup sendiri menikmati detik demi detik keheningan setiap waktunya.
"Hem, iyaaa. Aku baik-baik aja. Udah makan juga, kakak jangan khawatir," ucap Shena pada seseorang melalui panggilan telepon.
Shena terus mengangguk-anggukkan kepalanya, menjawab setengah bergumam. Ia memegang ponselnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menuangkan gula pasir ke gelas yang sudah mengepulkan asap. Ia tengah membuat teh manis hangat untuk dirinya sendiri.
"Kulkasku penuh, uang bulananku masih cukup. Jadi, kakak gak perlu takut aku akan terkapar tak berdaya, miris sendirian tinggal tulang-belulang," ceplos Shena asal.
Ya, begitulah Shena si mulut bocor. Sesekali ia akan menjauhkan ponselnya, menghindari dengungan di telinganya mendengar ocehan panjang kali lebar kali tinggi dari kakak perempuannya.
"Iyaaa, aku paham, Kak," kata Shena bermaksud menghindar dari obrolan yang berlanjut tanpa henti.
Shena segera mematikan sambungan telepon, bahkan sebelum kakaknya selesai berbicara. Lalu ia mengatur ponselnya ke mode pesawat, guna mengembalikan kesenyapan yang selalu ia gemari.
Berjalan perlahan menuju kamar tidurnya, Shena berhenti sejenak menyeruput tehnya yang masih panas. Namun sejurus kemudian ia begitu terkejut melihat sepatu dan kaus kaki yang berceceran di lantai ruang tamu apartemennya, juga seorang pria paling menyebalkan yang kini duduk di sofa menjulurkan kakinya ke atas meja.
"Yak! Ige mwoya? Neo michyosseo? Jinjja!!!" pekik Shena dengan accent koreanya yang khas. Gadis itu memejamkan matanya menahan kekesalan akibat ulah sang sahabat. Ya, lagi-lagi Zoe. Pria itu seolah tak ada bosannya menguji kesabaran sahabat karibnya.
Zoe segera memperbaiki duduknya, dengan wajah sok polos dan kebingungan mendengar ocehan sambutan dari Shena.
"Apa sih? Ninja, ninja, aku masih manusia biasa, Shena sayang. Belum jadi ninja tuh," ucap Zoe yang terdengar semakin menyebalkan di telinga Shena.
Shena mendengus, ia meletakkan teh manis hangatnya ke atas meja dengan kasar.
Takkk!
"Maksudkuuu ini apa, ha?? Apa kamu udah gila? Kamu mengacaukan apartemenku, Zoe!" omel Shena sembari mengangkat salah satu sepatu milik Zoe, kemudian melemparnya dengan kasar ke arah pintu di ujung sana.
"Ih! Mahal itu, Na. Main lempar-lempar aja," balas Zoe tak mau kalah.
"Kamu!"
Shena sudah mengambil bantal sofa miliknya bermaksud memukul Zoe dengan benda tersebut, namun terhenti lantaran Zoe seketika mengangkat kantung plastik yang ia bawa sejak tadi.
"Aku bawa martabak telur spesial kesukaan kamu, dari langganan kita yang biasa lho." Terang Zoe seraya menampilkan senyum paling menawannya.
Namun nyatanya Shena tak terpengaruh, ia tetap menghajar sahabatnya itu tanpa ampun.
"Dasar cowok kardus! Menyebalkan!"
"Aakk! Ampun, Na. kasar banget sih. Ini tuh termasuk kekerasan dalam persahabatan tahu enggak." Keluh Zoe pada Shena, namun pada akhirnya ia pasrah menerima amukan dari sahabatnya itu.
...*...
...*...
Kebersamaan, kesetiaan, dan persahabatan. Tiga kata itu terus-menerus memenuhi isi pikiran Shena. Seolah ia sedang berusaha memikirkan bagaimana caranya menyelipkan kata 'cinta' di antara ketiganya. Atau kata mana yang bisa ia hilangkan.
Sedari tadi Shena mencuri pandang pada Zoe yang kini tengah sibuk berkaca di ponselnya seraya bergumam.
"Untung cuma bantal sofa, coba kalau kamu mukulnya pake balok kayu, bisa gawat 'kan wajah tampanku, Na," keluh Zoe yang masih terus memperhatikan wajahnya, memastikan agar salah satu aset kebanggaannya itu aman, tak tergores sedikit pun.
Shena cuek saja, ia tak menanggapi ucapan narsis Zoe di atas meja makan apartemennya. Shena tetap fokus memakan martabak telor spesial kesukaannya sembari menatap ponsel memeriksa jurnal mengenai hal yang berkaitan dengan linguistik bahasa korea.
"Na, kok kamu diem aja sih, masih marah kah sama aku?" tanya Zoe dengan tampang menyebalkannya. "Maaf deh, aku kan gak sengaja," katanya lagi berpura-pura menyesali perbuatannya.
"Menurutmu???" tanya Shena menatap dingin pada sahabatnya. "Kamu udah buat aku nunggu lama di kafe, terus ninggalin aku gitu aja tanpa rasa bersalah sedikitpun. Kamu pikir aku apa? Brengsek tahu enggak."
"Ya elah, Na. Aku pikir kamu udah lupain kejadian tadi. Iya oke aku minta maaf. Kamu marah-marah terus aku takut tau, Na. Sensi terus sama aku," sahut Zoe merasa heran pada tingkah Shena.
"Gak cukup sampai di situ. Kamu juga tiba-tiba datang ke sini dan ngeberantakin ruang tamuku. Kamu juga ngeledekin bahasa koreaku. Kamu ngeremehin kerjaan aku, Zoe?" balas Shena mengeluarkan emosinya.
"Aku bercanda, Shena sayaaang. Ngomel terus ih. Lagian ya, kayaknya dari dulu selera humor kita juga selalu sama ah, sekarang kenapa jadi begini. Kamu kasar terus sama aku."
"Karena dulu aku blo'on," cetus Shena blak-blakan.
"Ih. Jadi sekarang kamu ngatain aku blo'on nih. Ya Tuhan, Na. Tega banget."
Shena mengedikkan bahunya acuh. Rasanya ia tak perlu lagi menjawab sesuatu yang sudah jelas.
"Tapi gini-gini kamu juga suka kan," kata Zoe dengan enteng.
Sontak saja Shena menghentikan kunyahannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah Zoe dengan pandangan yang tidak bersahabat.
Shena benar-benar tak suka dengan perkataan Zoe barusan. Pria itu selalu saja membahas kata 'suka' seakan dijadikan bahan candaan. Apa perasaan Shena dianggap sereceh itu?
Huhh! Dasar badjigan!
Ponsel milik Zoe bergetar, menandakan adanya pesan masuk melalui aplikasi si hijau. Dan pria itu ... tersenyum lebar.
"Oh. Ini Nessa," ucapnya dengan sumringah.
Shena mengerutkan dahinya. Merasa familliar dengan nama wanita yang keluar dari mulut Zoe.
"Nessa? Nessa editor penerbit di tempat kerjaku?" tanya Shena memastikan.
Zoe menganggukkan kepalanya dengan santai. "Iya, minggu lalu pas aku jemput kamu di depan lobi kantor, dia sok kenal gitu sama aku. Terus minta nomor teleponku. Ya udah aku kasih aja," terang Zoe seraya tetap fokus pada layar ponselnya.
Shena menggeleng tak percaya. Zoe tetaplah Zoe. Sepertinya kambing di bedakin pun Zoe akan suka.
Memang benar, beberapa kali Nessa sering kali mendekati meja kerjanya. Wanita itu menanyakan siapa pria yang hampir tiap hari menjemput Shena. Pikir Shena, Nessa tak segencar itu mendekati pria incarannya. Padahal berulang kali Shena mengatakan bahwa Zoe adalah pria playboy yang selalu bergonti-ganti perempuan.
Namun ya, begitulah wanita. Semakin brengsek pria, maka semakin tertantang untuk mendapatkannya. Entah itu sudah menjadi hukum alam, atau memang sudah buta karena paras Zoe yang rupawan.
"Aku rasa nomor teleponmu lebih murah dari pada harga bawang di pasar, Zoe," cetus Shena asal.
"Apa salahnya sih ramah sama cewek. Mulutmu ya, Na. Minta kukaretin," balas Zoe sebal.
Shena meletakkan ponselnya, menatap serius pada sang sahabat.
"Sekarang aku tanya, mau sampai kapan kamu kayak gini? Seminggu ini aja kamu udah sama Utari, Laura, Shafira, Salsa, Riri, Dini, lalu barusan ... Nessa? Besok siapa lagi korbanmu, ha?"
"Ih! Kok gitu sih mgomongnya."
"Apa?" tantang Shena emosi. "Kamu gak bisa begini terus, Zoe. Perempuan bukan objek yang bisa kamu mainkan sesuka kamu," kata Shena dengan wajah dinginnya.
Shena paham, hati kecil Zoe tidak ingin seperti ini. Bahkan di balik keburukan tingkah laku pria itu, terselip luka yang tak mudah terobati. Zoe seolah tak lagi percaya pada yang namanya ketulusan cinta dari seseorang.
"Aku belum bisa berhenti, Shena. Aku belum bisa mencintai satu perempuan dengan segenap perasaanku. Kamu tahu aku masih trauma," ucap Zoe dengan serius.
Shena menarik sudut bibirnya, seraya mendengus pelan. "Huhh, pecundang! Sudah aku bilang, jangan jadikan traumamu sebagai alasan untuk menyakiti hati wanita mana pun. Itu enggak adil."
"Dan itu ... menyakitiku."
Shena tersentak dari tidurnya. Ia terkejut dengan alarm yang berbunyi nyaring memenuhi seisi penjuru kamarnya. Shena menyentuh dadanya yang berdebar keras karena kaget.
Ia mengusap wajahnya berkali-kali, sedetik kemudian ia tersadar, terbangun di atas ranjangnya. Siapa yang memindahkannya? Seingat Shena, tadi malam ia tertidur di atas meja kerjanya. Apa ini ulah Zoe?
Tadi malam, Shena bekerja hingga larut. Ia menerjemahkan salah satu novel korea yang sedang digarapnya, sebab pekerjaannya sudah di ujung deadline.
Zoe memaksa menginap, dengan alasan yang didramatisir. Yakni tak ingin menyetir tengah malam dalam keadaan mengantuk. Itu cukup masuk akal, dan Shena tak lagi bisa melarang. Terlebih, selama ini Zoe memang sudah terbiasa keluar masuk apartemennya tanpa mengenal waktu.
Shena mengubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang. Ia mengerutkan alis, melihat sekeliling kamarnya namun tak menemukan keberadaan Zoe. Tak ada yang bisa menebak kapan pria itu akan datang dan pergi, mungkin itu adalah tekhnik terbaiknya sebagai seorang playboy.
"Aaarrhh. Siaal!" umpat Shena mengacak-acak rambutnya.
Ingatan Shena kembali pada percakapannya dengan Zoe tadi malam. Ia tak ubahnya manusia yang baru tersadar dari mabuk berat karena alkohol.
"Zoe, ramah sama mainin itu beda. Mau berapa puluh perempuan lagi kamu jadikan mangsa, ha?" tanya Shena dengan nada seriusnya.
Zoe berhenti memainkan ponselnya, dan beralih menatap Shena dengan tatapan berbahayanya. Seketika Shena membasahi bibir, ia mendadak gugup tanpa alasan.
"Tapi perempuannya mau tuh," sahut Zoe seraya kembali menundukkan wajahnya ke layar ponsel.
"Ah. Shittt!" umpat Shena.
Ya, Shena akui apa yang dikatakan Zoe ada benarnya juga. Perempuan yang sudah tahu menyukai pria brengsek namun tetap melanjutkan hingga berharap bisa bersama kemudian si pria bisa menjadi insyaf, berarti ia sudah siap untuk disakiti.
Siapakah perempuan itu? Shena adalah salah satunya. Siaal! Ingin rasanya Shena pura-pura lupa atau amnesia saja sekalian.
"Arhh! Brengsekkk!" pekik Shena mengacak-acak tempat tidurnya.
...*...
...*...
Suasana hati Shena cukup baik hari ini, walaupun ia masih sedikit kesal pada si badjingan Zoe, tetapi ia akan memaafkan pria itu. Sebab pagi tadi lagi-lagi Zoe sudah baik mau menjemput dan mengantarkannya berangakat ke kantor.
Bodoh, bukan? Mau semarah apapun dirimu pada orang yang disuka, kamu akan tetap memaafkannya tanpa syarat.
"Gak kerasa ya, ternyata udah jam 8 malam aja," keluh seorang perempuan berambut blonde yang berada di samping meja Shena. Erika Manoe. Seorang editor buku yang diterjemahkan oleh Shena.
Semua orang mulai membereskan kertas-kertas dan mematikan layar infocus pada monitor yang masih menyala. Sedang Shena merogoh ponselnya dari dalam tas, sebab sejak siang tadi ia belum mengecheck apakah ada pesan masuk atau tidak.
Zoe : "Kamu di mana? Masih lama keluarnya?"
Zoe : "Woyy!! Balas dong. Lama-lama lumutan aku nih!"
Zoe : "Aku dari tadi nunggu di depan lobi kantormu, kata pak satpam hari ini penerjemah dan editor pada lembur ya. Buruan, aku tungguin!"
Zoe : "Shenaaaaaa balas doooooong!"
Shena tersenyum samar membaca pesan Zoe, kemudian ia mengetikkan sesuatu.
Shena : "Aku udah selesai, tunggu di sana. Bentar lagi aku turun."
Dengan segera ia membereskan meja kerjanya, membuat semua orang terheran melihat Shena yang nampak terburu-buru.
"Malam Mbak Shena, mau langsung pulang ya? Gak mau ikut kami makan malam dulu?" tanya seseorang menghampiri meja Shena.
Ia adalah Nessa Pratiwi. Tubuhnya tinggi kurus, dengan rambut yang dicat biru tua. Sang primadona kantor yang sering dibicarakan banyak kaum karyawan.
"Malam, Ness." Sahut Shena memberikan senyum yang tak sampai ke mata. Ia mematikan komputer, lalu menarik diska lepasnya dan dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya.
"Sorry, kayaknya kali ini aku gak bisa deh. Udah ditungguin teman soalnya. Lain waktu aja ya," kata Shena lagi.
Nessa masih berdiri di samping kursi Shena, ia mengukir senyum tipis di wajah menawannya. Nessa sudah lama bekerja di sana sebagai editor senior romansa-remaja, dan memang seringkali bergabung, juga menghampiri meja penerjemah yang belum memiliki ruangan pribadi.
"Teman? Maksud Mbak ... sahabat Mbak yang ganteng itu ya? Bang Zoe?" tanya Nessa memastikan rasa ingin tahunya, sekaligus memulai pembicaraan.
"Bang Zoe siapa?" tanya Erika pada Nessa.
"Itu lho, yang ganteng itu. Yang suka antar jemput Mbak Shena," jawab Nessa antusias.
Seketika Shena mengerutkan dahinya. "Huh, si ganteng?" dengus Shena pelan. "Biasa aja tuh," imbuhnya seraya menarik sudut bibir, namun nampak acuh tak acuh.
"Kok, Mbak bilang kayak gitu? Bang Zoe tuh ganteng banget tahu," balas Nessa menggebu-gebu.
"By the way, Bang Zoe lagi cari pacar baru enggak ya?" tanya Nessa lagi sembari tersenyum malu-malu.
Shena menghentikan pergerakan tangannya, kemudian mengangkat bahunya acuh. "Kamu mau jadi salah satu pacarnya? Bisa aja sih, tapi entah yang ke berapa," jawab Shena terlihat tak peduli.
"Masa Bang Zoe begitu sih, Mbak. Yang aku lihat dia pria yang baik, sopan, dan juga lucu, plus ganteng banget. Bikin gak nahan buat natap lebih dari 5 detik," ucap Nessa tersipu.
"Pria baik?" dengus Shena tidak percaya mendengar pujian yang dilantunkan Nessa untuk si badjingan Zoe.
"Gak ada pria baik yang menghancurkan banyak hati perempuan, Ness. Aku udah kenal dia dari lama, dan dia gak pernah betah hanya dengan satu wanita. Maklum lah, otaknya udah pindah ke tengkuk!" lanjut Shena sinis.
"Jangan ngomong begitu, Mbak. Biarpun kalian udah sahabatan lama aku yakin banyak hal yang gak Mbak Shena ketahui tentang Bang Zoe," balas Nessa dengan senyuman manisnya yang penuh makna.
Shena mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia tersinggung dengan perkataan Nessa. Apa maksudnya? Perempuan itu berbicara seolah sudah mengenal Zoe lebih dari dirinya. Seakan setengah hidup Nessa sudah dihabiskan dengan pria brengsek itu.
Shena berdeham tertahan, "Apalagi yang harus dicari tahu. Zoe memang sebrengsek itu kok," jawab Shena seraya mengeraskan rahangnya.
"Entahlah yaaa, tapi aku rasa Bang Zoe gak kayak gitu tuh." Nessa mengangkat bahu dan menipiskan bibirnya. Ia begitu percaya serta yakin dengan penilaiannya.
Shena membasahi bibirnya, ia menarik napas dan membuangnya sedikit kasar. Gadis itu bahkan sampai lupa akan janjinya yang akan segera turun menemui manusia kardus yang sejak tadi menunggunya di depan kantor. Mungkin saja saat ini Zoe sudah berubah jadi lumut betulan?
"Rata-rata pria brengsek itu emang pada ganteng sih, Mbak Nessa. Tapi kalau pria brengseknya modelan Bang Zoe sahabat Mbak Shena sih bisa lah dibicarakan baik-baik," timpal Erika dengan sisa kekehannya.
"Iya, kamu benar, Erika," kata Nessa dengan riang.
Shena tak lagi menanggapi obrolan absurd keduanya. Ia segera pergi dari sana dengan suasana hatinya yang berubah jadi buruk. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Entahlah, semua yang bersangkutan dengan si badjingan Zoe selalu mampu memporak-porandakan hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!