1 Gadis Nomor 1
Qyara berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Baru satu minggu ini dia menjadi mahasiswi di universitas yang diidam-idamkan banyak orang.
Rambut panjangnya tergerai indah, pinggangnya yang ramping dan bentuk bokong yang bulat membuat mata banyak pria tak mau berkedip.
Secara fisik gadis itu sempurna.
Tidak ada yang bisa dikritik dari penampilannya. Aroma tubuhnya tercium dari jarak beberapa meter, entah minyak wangi apa yang dia gunakan.
Qya memasuki kelasnya, membuat orang-orang mengalihkan perhatian mereka untuk gadis itu. Daya tariknya memang sangat kuat.
“Tumben baru datang?” Maura, teman yang juga baru satu minggu ini dia kenal bertanya pada Qya, karena tidak biasanya gadis itu baru datang lima menit menjelang masuk.
“Kesiangan, gara-gara tadi malam sibuk chat dengan my prince.”
Selama satu minggu mengenal Qya, Maura tahu bahwa banyak pria yang mendekati Qya, bahkan dari luar kampus dan berbagai umur, tapi tidak tahu siapa yang dipanggil my prince itu oleh Qya.
Kedatangan dosen membuat obrolan di dalam kelas itu berhenti. Bahkan dosen yang telah berusia empat puluh lima tahun itu selalu terpana saat melihat Qya.
Dosen yang telah memiliki anak yang kini telah SMA itu kadang berpikir, seperti apa orang tua Qya hingga bisa memproduksi anak perempuan seperti ini?
Mata kuliah pertama selesai, Qya dan Maura menuju kantin yang pastinya telah penuh dengan para mahasiswa.
Lagi-lagi, kedatangan Qya menarik perhatian. Hal itu membuat sebagian besar gadis merasa kesal. Bagaimana tidak, jika pria yang mereka sukai terlihat sangat tertarik dengan gadis seksi itu.
Saat ini Qya hanya memakai kemeja lengan panjang dan celana panjang yang ketat, namun dua hari yang lalu dia menggunakan dress yang memperlihatkan paha mulusnya.
Qya memakan bakso dengan lima sendok sambal, membuat bibirnya yang merah alami semakin merah karena kepedasan. Ponselnya berdering, mengalihkan perhatiannya dari semangkok bakso yang hampir habis itu.
[Beb, jam 10 malam aku tunggu kamu di tempat biasa.]
Pesan dari Vano itu membuatnya tersenyum.
Asik, nanti malam aku dapat apa lagi ya? Uang atau mobil?
Qya tidak sabar menunggu hingga malam tiba.
...💦
...
“Kamu sudah siap, Qy?”
“Alwasy.”
“Siapa lagi malam ini?”
“Steven, dia akan memberikan mobil keluaran terbaru. Gimana?”
“Oke, aku setuju?”
Qy bersiap-siap di salah satu ruangan. Dia mengganti pakaiannya dan mengikat rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih mulus. Tidak lama kemudian pintu terbuka, menunjukkan wajah Vano dengan senyum takjub melihat penampilan Qya.
“Bersenang-senanglah, mobil baru menantimu.”
Sebelum Qya melangkah, Vano memeluk gadis itu dan mengusap punggungya dan tak lupa mengacak rambutnya.
“Hei, aku sudah berdandan rapih, jangan merusak pesonaku!”
Vano tertawa melihat gadis cantik di hadapannya itu mengerucutkan bibirnya.
Jam tiga Qya tiba di kosannya. Kamar kosannya ini tidak besar, namun lingkungannya rapih dan yang paling penting bebas. Memang tempat yang seperti ini yang Qya butuhkan.
Pekerjaannya mengharuskan Qya untuk pulang malam. Sudah bertahun-tahun dia seperti ini, namun dia tidak peduli.
Tidak ada orang tua yang akan mengkhawatirkannya karena dia anak yatim piatu. Satu-satunya yang tahu akan pekerjaan khususnya ini hanya Vano. Vanolah yang mencarikan lawan untuknya, meskipun kebanyakan mereka sendiri yang menginginkan bermain dengan Qya.
Mobil, uang, bahkan apartemen telah Qya dapatkan dari pekerjaan ini. Bukankah hidupnya sangat bebas?
Jam enam Qya terpaksa bangun dari tidurnya. Badannya terasa pegal akibat aktifitasnya tadi malam.
Bau rokok dan minuman berakohol tercium dari badannya. Dia segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Kamar kosannya ini seperti rumah petakan yang ada dapur kecil dan kamar mandi yang juga kecil. Tidak ada sekat sebagai kamar tidur. Jadi jika ada yang datang, mereka langsung disuguhkan dengan kasur lantai dan lemari pakaian.
Tidak ada meja belajar. Buku-bukunya tergeletak di lantai bersama tasnya. Yang ada hanya meja kecil untuk meletakkan makanan dan minuman, juga peralatan makan minum yang jumlahnya sangat sedikit.
Selesai bersiap-siap, Qya memakan roti tawar dengan selai coklat kacang. Lima menit kemudian dia langsung menuju kampus dengan taksi online yang telah dipesannya.
Senyum tak lepas dari bibir merahnya. Dia teringat dengan mobil yang dia dapatkan tadi malam, menambah deretan koleksi mobil-mobil mewahnya.
...💦
...
Brugh
Badan Qya terhuyung dan jatuh begitu saja saat menabrak seseorang.
“Heh, jalan tuh lihat-lihat!” Bentak seorang perempuan.
Dia adalah Vanya, mahasiswi yang tadinya menjadi primadona di kampusnya, namun dalam sekejap mata posisinya itu tergantikan oleh Qyara, mahasiswi baru dengan sejuta pesona.
Qya menatap Vanya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tersenyum. Senyum mencemooh.
“Sebaiknya kamu memperbaiki penampilanmu dulu!” balas Qya tak kalah sengit.
“Apa maksudmu?”
“Mataku terbiasa melihat yang indah-indah, jadi kalau aku tidak melihatmu, ya salahkan saja dirimu sendiri. Mungkin badanmu yang terlalu lebar.”
Orang-orang membisu mendengar perkataan Qya.
Cantik, tapi ternyata bermulut pedas.
“Hei, kamu pikir dirimu cantik?”
“Memang aku cantik. Aku juga seksi dan cerdas.”
Vanya tak habis pikir dengan perempuan di hadapannya itu.
Orang-orang semakin berkerumun untuk melihat pertikaian dua mahasiswi cantik itu.
“Jangan sombong, kamu itu bisa kuliah di sini karena beasiswa, bukan karena kekayaanmu.”
“Nah, itu tahu. Berarti aku pintar, kan? Aku bisa kuliah di sini karena kemampuanku, bukan karena mengandalkan kekayaan orang tua, seperti kamu. Kalau orang tuamu tidak kaya, lantas kamu bisa apa? Dandan?”
Speachless, itulah yang orang-orang terutama Vanya alami.
Bukankah itu berarti Vanya telah menghina sekaligus mengakui kelebihan Qya?
Vanya tak ingin lagi berkata-kata, tidak ingin menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Tapi dia juga tidak ingin kalah begitu saja, apalagi di hadapan orang-orang.
“Jangan kurang ajar, kamu itu hanya mahasiswi baru di sini!”
“Heh, gadis nomor sekian, kamu itu ....”
Belum sempat Qya menyelesaikan perkataannya, Vanya langsung memotongnya.
“Apa maksudmu gadis nomor sekian? Memangnya kamu pikir siapa yang pantas menyadang nomor satu?”
“Tentu saja aku.”
“Lalu nomor dua?” tanya Maura.
“Baru kamu, Maura.”
Qya dan Maura tertawa tanpa beban. Para pria menahan tawa mendengar perkataan Qya sekaligus melihat ekpresi Vanya yang wajahnya sudah sangat merah menahan marah dan malu.
Vanya melihat Gael yang berdiri tidak jauh dari mereka, ikut menyaksikan tontonan itu sejak awal.
“Gael, perempuan ini menghinaku.”
Vanya menghentak-hentakkan kakinya, memasang wajah teraniaya.
“Gael, perempuan ini menghinaku,” beo Qya yang juga ikut menghentak-hentakkan kakinya.
Sikap tersebut membuat Qya terlihat menggemaskan. Tawa langsung memenuhi jalanan di depan fakultas ekonomi.
Sudut bibir Gael tertarik sedikit, membentuk senyuman yang tidak dilihat oleh siapapun.
“Ayo Ra, sebentar lagi mata kuliah kita dimulai.” Qya melihat Vanya lalu mengibaskan rambutnya bagai iklan sampo.
Setelah Qya tidak terlihat lagi, Gael juga meninggalkan tempat itu bersama teman-temannya, meninggalkan sisa tawa dari beberapa mahasiswa. Mereka memertawakan Vanya yang tidak dihiraukan oleh Gael, justru ditinggalkan begitu saja. Jangannkan dibela, menegur Vanya saja tidak.
“Kamu berani banget, Qya?”
“Dia duluan yang mulai. Jelas-jelas dia yang nabrak, aku yang jatuh, malah dia yang marah-marah dan sombong.”
Maura mengangguk setuju.
Sejak saat itu, dimulailah perang dingin antara Qyara dan Vanya.
Vanya merasa tersaingi sejak kehadiran Qya, karena hampir semua orang merasa terpesona dengan sosok Qya, yang bagi Vanya tidak ada apa-apanya. Selama ini, Vanya lah yang menjadi primadona di kampus itu.
Suara siulan mengiringi langkah Qya. Pinggulnya yang berlenggak-lenggok bagai model yang sedang berjalan di cat walk dengan high heels berwarna merah menyala membuat mata para pria langsung cerah seketika, seolah lupa kalau baru saja menghadapi dosen killer yang siap memberikan nilai jelek jika mereka tidak mengumpulkan tugas besok pagi.
Qya menggunakan rok mini ketat dengan blues berbentuk sabrina. Membuat para pria seperti akan meneteskan air liurnya.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Gael melihat penampilan Qya dari atas hingga bawah.
Rambut panjangnya dikuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang yang putih mulus.
Yang ada dalam pikiran Gael, jika ini dunia imajinasi, beruntung sekali drakula yang menggigit lehernya itu.
Pundak mulus tanpa ada noda.
Yang ada dalam pikiran Gael, lalat akan merasa berdosa jika hinggap di kulit itu dan mencemarinya.
Blus yang digunakan cukup pendek, jika Qya mengangkat tangannya, Gael yakin perut rata Qya akan terlihat.
Benar saja, perut Qya terlihat dan Gael bisa melihat tindik yang ada di pusarnya.
Gael menelan ludahnya dan sesaat lupa untuk bernafas.
Turun lagi ke bawah, paha mulus itu rasanya sayang sekali jika tidak dielus-elus.
Lalu, betis dengan ukuran yang pas di kaki jenjangnya itu pun memukau. Padahal hanya betis.
Mata Gael seperti lift yang turun naik, turun naik tanpa henti mengamati body Qya.
Bentuk bokong dan dada yang bulat.
Hidung mancung dan bibir yang menggemaskan.
Bola mata bening berwarna hitam cerah dengan bulu mata lentik, ditambah alis yang tebal.
Benar-benar maha karya Tuhan yang sempurna.
Terdengar suara tawa Qya yang renyah. Entah apa yang dibicarakan gadis itu dengan sahabatnya, Maura.
Gael biasanya tidak peduli dengan penampilan perempuan. Mau perempuan itu berpakaian seksi atau tertutup.
Dia juga tidak peduli dengan wajah-wajah perempuan yang ada di sekitarnya. Mau berdandan menor,tipis, atau bahkan tanpa riasan.
Dia tidak peduli dengan suara tawa orang, mau mengakak, cekikikan, atau apa pun istilahnya.
Dia tidak peduli apa pun.
Lalu sekarang?
Dia penasaran.
Gael melihat Qya dan Maura yang menuju kantin. Tanpa pikir panjang, pria tampan itu mengikuti mereka. Berada di meja yang sama.
Tidak ada lirikan dari Qya untuk Gael. Apalagi tatapan memuja seperti yang selalu wanita lain lakukan.
Tidak ada senyum malu-malu yang diberikan untuk Gael. Membuat Gael semakin penasaran tentang Qya dan apakah pesonanya menurun?
Ponsel Qya berbunyi, menunjukkan panggilan masuk. Dengan wajah senang Qya langsung mengangkatnya dan di-speaker.
“Halo Dimas, kapan kamu pulang?”
“Hai Cantik, nanti siang aku pulang. Malam ini kita ketemuan ya. Aku bawakan oleh-oleh untuk kamu.”
“Oke.”
“See you.”
Qya mulai memakan makanannya.
“Siapa?” tanya Maura sambil melirik Gael dan teman-temannya yang curi-curi pandang pada Qya.
“Dimas.”
“Prince kamu itu?”
“Bukan.”
Tidak lama ponsel Qya kembali berdering.
“Hai Beb, i miss you.”
“I miss you too. Kamu jalan-jalan ke Sidney kenapa tidak mengajak aku?”
“Kan kamu mau kuliah. Liburan semester nanti kita ke Sidney. Semua biaya aku yang tanggung.”
“Asik, jangan bohong.”
“Kapan sih aku pernah bohong sama perempuan secantik kamu.”
“Dasar gombal!”
“Aku gombalnya hanya pada wanita cantik.”
“Hahaha.”
“Ya sudah ya. Hari Minggu nanti aku pulang, nanti aku traktir kamu.”
Qya kembali melanjutkan makannya dengan tenang.
“Prince kamu?” Maura kembali bertanya.
“Bukan.”
Lagi-lagi ponsel Qya berbunyi.
“Qya, kenapa chat aku tidak dibalas?”
Kali ini yang meneleponnya seorang perempuan.
“Lupa, tadi malam juga aku sibuk.”
“Sibuk apa?”
“Sibuk membalas chat Romy dan Diko.”
“Dasar!”
“Mau apa meneleponku?”
“Andre baru pulang dari Korea. Nanti malam kita party di tempat biasa.”
“Aku sudah ada janji dengan Dimas.”
“Ajak saja.”
“Oke.”
“Ya sudah, lanjutkan kegiatanmu. Jangan lupa kalau ada pria tampan di hadapanmu kenalkan kepadaku.”
Qya mengarahkannya pandangannya ke depan dan menatap Gael dan teman-temannya.
“Tidak ada pria tampan di sini menurut versiku.”
Miko terbatuk, sedangkan Reno tersedak makanannya. Miko dan Reno adalah sahabat Gael yang sebenarnya juga tampan.
Gael mengernyitkan alisnya dan berpikir apakah dia jelek?
Maura sendiri meringis mendengar perkataan Qya.
Lalu orang-orang yang ada di sekitar mereka menahan nafas. Tentu saja sejak tadi mereka juga mencuri dengar pembicaraan Qya dengan orang-orang itu.
“Terserah kamu, deh. Jangan lupa nanti malam wajib datang ke tempat biasa.”
Kali ini Qya berhasil menghabiskan makanannya tanpa interupsi dari siapa pun.
Sambil menunggu jam kuliah selanjutnya, Qya dan Maura tetap di kantin.
Mata Qya dan Gael beradu pandang. Gael berusaha sekuat mungkin menahan gejolaknya, sedangkan Qya menaikkan alisnya dengan sedikit senyuman. Membuat jantung Gael serasa cenat-cenut, namun dia tetap berusaha bersikap tenang.
“Ayo, Qya.”
Qya dan Maura meninggalkan kantin diiring tatapan dari Gael.
“Gila, Qyara cantik dan seksi sekali,” ucap Reno.
Gael menahan kekesalannya mendengar perkataan Reno. Meskipun apa yang dikatakan oleh Reno itu benar, entah kenapa dia merasa tidak menyukainya.
...💦...
Rintik hujan membasahi kota. Udara yang dingin menusuk kulit Qya yang tidak ditutupi kain. Rok mini dan pakaian berlengan pendek dengan bentuk leher sabrina tentu saja membuat gadis itu kedinginan.
Dari jauh Gael melihat Qya yang berdiri di depan warung kecil yang sudah tutup. Gael melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam sepuluh malam.
Dia menghentikan mobilnya teoat di depan Qya dan membuka jendela mobilnya.
“Qya, kamu sedang apa sendirian di sini?”
Qya memandang Gael dengan tatapan bingung.
Sial, apa dia tidak mengenaliku?
Gael langsung turun dari mobilnya dengan payung di tangannya.
“Qy, aku Gael.”
“Gael?” tanya Qya bingung.
Dia benar-benar tidak tahu aku?
“Aku seniormu, kita satu kampus.”
“Oh.”
Hanya itu yang Qya ucapkan, membuat Gael menjadi gemas dan ingin sekali mencubit pipi mulus Qya.
Entah mencubit atau mengelus yang sebenarnya dia inginkan.
“Kamu mau ke mana?”
“Mau pulang, tapi ....”
“Tapi kenapa?”
“Tas aku ketinggalan di mobil teman aku. Ponsel, dompet dan kunci kamar kosan aku ada di sana semua.”
“Oh, ya sudah kamu tidur sama aku saja.”
Qya melebarkan matanya.
“Eh, maaf. Ma ... maksud aku, kamu malam ini menginap di apartemen aku saja.”
Sialan, kenapa bicaraku jadi kacau begini.
“Duh, maksud aku, malam ini kamu bisa menginap di tempat aku. Atau apa kamu mau aku temani ke hotel?”
Qya tak berhenti menatap Gael dengan tajam.
“Jangan salah paham, maksud aku baik, kok.”
Qya langsung tertawa renyah melihat kegugupan Gael.
Benar-benar cantik.
“Ya sudah, ke apartemen kamu saja, boleh?”
Serius?
Gael langsung mengangguk mantap dan menuntun Qya memasuki mobil sportnya.
Gael seperti mendapat durian runtuh bisa bicara dan duduk sedekat ini dengan Qya.
Qya duduk dengan tenang di samping Gael. Justru Gael yang tidak bisa tenang karena Qya yang memakai rok mini semakin menunjukkan paha mulusnya saat duduk.
Terdengar suara perut Qya yang bunyi.
“Kita makan dulu, ya?”
Qya mengangguk tanpa malu-malu, membuat Gael tersenyum dengan sikap Qya yang menurutnya apa adanya.
Tidak ada sikap jaim, apalagi berpura-pura. Gadis itu sudah tidak berusaha menarik perhatian Gael, seolah Gael hanya pria biasa di hadapannya.
Gael dan Qya memasuki restoran mewah yang masih buka. Suasana masih terlihat ramai. Gael dan Qya memesan steak untuk makan malam mereka. Gael terus menatap wajah Qya yang sangat cantik. Merasa diperhatikan, Qya ikut menatap Gael. Mata mereka saling beradu dalam keheningan. Merasa tidak sanggup untuk lebih lama menatap manik mata Qya, Gael mengalihkan pandangannya.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya Gael basa-basi.
“Baik.” Jawaban singkat dari Qya membuat Gael harus—untuk pertama kalinya—memutar otak bagaimana caranya menarik perhatian lawan jenis.
“Kamu pasti sangat pintar sehingga bisa mendapat beasiswa di kampus.”
“Tentu saja. Selama ini aku selalu mendapat beasiswa untuk pendidikanku.”
Gael dapat merasakan bahwa Qya merupakan gadis yang cerdas.
Dia sangat sempurna, pikir Gael. Tidak lama kemudian makanan datang. Gael melihat Qya yang makan dengan anggun, dia yakin Qya sudah sering makan di tempat seperti ini. Mungkin dengan kekasihnya. Gael ingat kalau Maura pernah bertanya pada Qya tentang seseorang yang disebut dengan Prince. Entah itu namanya atau hanya panggilan sayang saja. Mengingat itu membuat hati Gael menjadi panas.
Melihat bibir Qya yang bergerak mengunyah makanan membuat Gael tidak mampu berpaling dari bibir itu. Gael sangat menikmati makan malam ini, bukan karena makanannya, tapi karena siapa yang menemaninya makan.
Selesai makan, mereka langsung menuju apartemen Gael yang berada di pusat kota. Apartemen itu memiliki dua puluh lantai, dan unit Gael berada di lantai paling atas. Tidak sembarang orang bisa memasuki kawasan apartemen ini.
Gael bisa melihat wajah Qya melalui kaca lift. Hanya ada keheningan saat lift naik menuju lantai dua puluh, membuat suasana menjadi canggung.
Gael membuka pintu apartemennya, dan lampu otomatis menyala, menerangi ruangan yang sangat besar. Qya melihat ruang tamu yang didominasi dengan warna abu-abu. Dua unit sofa yang berukuran besar dengan warna coklat tua disertai meja kaca berbentuk persegi. Lampu ruang tamu terbuat dari kristal. Melihat lebih ke dalam, ada ruang tengah dengan sofa bed yang diletakkan di depan televisi berukuran besar. Ada juga mini bar yang terbuat dari marmer berwarna putih gading.
Qya dapat melihat beberapa pintu, entah ruangan apa di dalamnya. Apartemen ini sangat nyaman, besar namun tidak terlalu banyak barang di dalamnya. Di sudut ruang tengah, ada lemari kaca yang dipenuhi oleh miniatur mobil mewah.
“Kamu duduk dulu, aku akan menyiapkan kamar untukmu. Oya, kamu mau minum apa?”
“Tidak usah, terima kasih banyak.”
Gael langsung menuju lantai atas. Qya kembali mengamati sekitarnya, di dinding ruang tamu itu ada foto mobil mewah. Qya yakin, Gael adalah penggemar mobil mewah yang harganya tidak perlu ditanyakan.
Tidak lama kemudian Gael kembali turun dan menghampiri Qya.
“Kamarnya sudah siap, ayo aku antar.”
Sebenarnya Gael tidak perlu menyiapkan apa-apa, karena kamarnya memang tidak perlu dirapihkan lagi. Di lantai atas, Qya dapat melihat taman yang ada di luar melalui dinding kaca, juga pemandangan kota. Di sudut yang lain ada kolam renang dan gazebo.
Gael membuka salah satu pintu dan menyuruh Qya masuk. Di dalamnya ada tempat tidur king size dengan sofa berwarna putih. Kamar ini memang didominasi dengan warna putih.
“Ini kamarmu, kamu mandi saja dulu.”
“Kamu punya baju ganti?”
“Banju ganti?”
“Iya. Pakaian perempuan, mungkin. Jika tidak ada pakaianmu saja.”
“Aku ambilkan dulu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!