Gadis cantik berusia delapan belas tahun itu baru saja merayakan kelulusannya. Euforia setelah lulus dari seragam putih abu-abu masih menghias di wajahnya yang begitu ceria. Tapi siapa yang menyangka jika di depan sana, perjalanan panjang penuh perjuangan sudah menantinya.
"Galuh, kamu jadi ambil beasiswa di kota?",tanya Santi pada Galuh.
Galuh yang di tanya seperti itu pun hanya menggeleng perlahan.
"Kayanya ngga San. Aku mau kerja aja. Biar bisa gantiin ibuku. Kasian ibu ku kerja terus!",jawab Galuh.
"Tapi, ibu mu masih muda lho Luh. Kenapa ngga suruh nikah lagi aja? Toh ayahmu sudah lama meninggal!",celetuk Anis.
"Itu urusan ibuku. Kalo emang mau nikah lagi, ya aku ngga masalah. Yang penting ibuku bahagia. Gitu aja sih!",sahut Galuh.
Di persimpangan jalan, mereka berpisah. Jika Anis dan Santi tinggal di perumahan sekitar kota kabupaten, berbeda dengan Galuh yang tinggal di perkampungan yang bahkan akses menuju ke sananya sedikit sulit karena memang berada di daerah perkebunan.
Motor butut yang di kendarai Galuh mendadak mogok.
"Aduh, ini motor kenapa sih? Bisa di ajak kompromi dikit ngapa! Masih jauh nih jarak rumah lho!",omel Galuh pada motornya. Yang tentu saja tidak akan ditanggapi oleh motor yang hanya benda mati.
Cuaca sore itu cukup mendung, bahkan gerimis pun sudah mulai turun.
Galuh pun turun dari motornya lalu mendorong semampunya. Sesekali ia beristirahat lalu setelah di rasa cukup mengisi tenaga, ia kembali mendorong motornya.
Sudah lelah dan terasa berat mendorong beban motornya, tiba-tiba hujan pun turun. Apalagi namanya kalo bukan ,sudah terjatuh tertimpa tangga pula! Galuh hanya pasrah dan menerima kenyataan jika hari ini dia sedang tidak beruntung. Dari kejauhan, ia melihat ada tempat untuk berteduh. Paling tidak, ia bisa menunggu hujan sedikit reda.
Galuh pun memarkirkan motor butut nya yang mogok di depan sebuah gubug. Suara guntur bersahutan memuji kekuasaan sang maha pencipta. Galuh mendekap tubuh nya dengan kedua tangannya sendiri karena sudah kedinginan.
Dia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menghalau rasa dinginnya. Ibu nya pasti merasa khawatir karena saat ini dia belum sampai ke rumah. Tapi bagaimana dia akan mengabari ibunya? Pulsa di hape bututnya saja sudah seperti IPK cumlot.
Tiba-tiba dari arah yang tak di sangka- sangka, sebuah mobil menerjang hujan yang tanpa sengaja menabrak motor yang di parkir di depan gubuk.
Gubrakkkkk.... motor butut itu terlempar begitu saja. Galuh yang sedang kedinginan itu pun terperanjat. Begitu pula si pengendara mobil yang langsung menghentikan mobilnya yang pasti lecet karena menabrak motor butut itu.
Perlahan hujan mulai mereda, pengendara mobil itu pun keluar dari mobilnya bersamaan dengan Galuh yang menghampiri mobilnya.
"Astaghfirullah! Motorku!",pekik Galuh menghampiri roda duanya yang sudah semakin mirip barang rongsokan.
Si pengendara mobil itu yang tak lain seorang laki-laki pun bertolak pinggang melihat mobilnya yang baret karena baru saja menabrak barang rongsokan menurutnya.
"Heh, kamu! Kamu harus tanggung jawab! Kamu udah nabrak motor aku!",pekik Galuh di depan seorang laki-laki yang sepertinya terlihat orang kaya. Tapi... untuk apa anak orang kaya berkeliaran di kampung seperti ini?
"Gue? Tanggung jawab? Yang ada Lo yang harus tanggung jawab! Mobil gue baret nih. Gara-gara barang rongsokan punya Lo ngalangin jalan gue!",kata si pengendara mobil sambil mendorong bahu Galuh.
"Enak aja. Jelas-jelas kamu yang ngebut! Nabrak motor ku yang ada di depan gubuk! Kenapa malah nyalahin aku?!",bentak Galuh tanpa rasa takut.
"Heh! Kalo Lo markir motor nya bener, ga bakal itu mobil kesayangan gue nabrak barang rongsokan kaya punya Lo!"
Galuh menahan nafasnya naik turun. Dia biasa di hina. Tapi untuk kali ini, ia merasa tak terima di hina seperti itu.
Galuh menarik kerah kemeja anak laki-laki itu. Laki-laki itu melotot tak percaya jika ada gadis kampung yang berani padanya.
"Aku ngga mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab!",teriak Galuh di depan wajah si laki-laki itu.
"Gak! Gak ada tanggung jawab apa pun ya! Lo yang udah ngerugiin gue!",sahut si lelaki itu yang ternyata bernama Hans Arlingga.S.
Nama yang Galuh baca di nametag laki-laki itu.
"Aku juga rugi!",pekik Galuh. Aksi dorong mendorong pun tak terelakkan hingga mereka pun terhuyung dan jatuh bersamaan di semak yang berada di dekat kendali mereka.
"Astaghfirullahaladzim! Heh, kalian! Bisa-bisanya berbuat mesum di sini!!!",teriak seorang pria setengah baya.
Galuh dan Lingga pun bangkit bersama-sama dari posisi yang terlihat intim itu. Keduanya menggeleng bersama-sama.
Pekikan warga tadi memicu orang-orang yang melintas menjadi berhenti di tempat itu. Apalagi hujan sudah reda hanya tersisa gerimis kecil.
"Pak, ini ngga seperti yang kalian pikirkan!", kata Galuh.
"Kami ngga ngapa-ngapain pak!", lanjut Lingga.
"Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Udah, nikahin aja mereka. Dari pada nanti bikin 'bala' gara-gara perbuatan mesum mereka."
Galuh dan Lingga saling berpandangan lalu berteriak.
"Tidak!!??"
Tapi sayang nya apa pun yang Galuh dan Lingga jelaskan pada warga tak di dengarkan sama sekali. Warga yang menemukan kedua remaja itu berada di semak pun mengarak mereka berdua untuk pergi ke tempat sesepuh di kampung itu.
Di balai warga, dua remaja yang tak saling mengenal itu di dudukan bersama.
"Berikan kartu pengenal kalian!",kata seorang pria berusia lanjut. Galuh dan Lingga menyerahkan tanda pengenal mereka.
"Kamu anak kampung sebelah?",tanya pria itu pada Galuh.
"Iya pak!",jawab Galuh.
"Panggil bapak kamu ke sini, biar dia jadi wali kamu!"
Mata Galuh membulat tak percaya. Wali? Jadi benar mereka berdua yang tak saling mengenal itu akan di nikahkan??
"Tunggu pak? Maksudnya gimana?",tanya Galuh bingung.
"Kalian harus menikah dari pada kampung kami kena azab karena ulah keji kalian!"
, kata salah seorang laki-laki yang sama-sama berusia lanjut.
"Tapi kami tidak saling kenal pak! Bahkan saya hanya....!", Lingga menggantung kalimatnya. Tidak mungkin dia mengatakan sedang KKN di desa dekat sini. Itu artinya dia bunuh diri! Teman-temannya akan mengetahui tindakan bodoh ini.
"Hei anak muda! Kamu itu laki-laki! Jadi lah laki-laki yang bertanggung jawab!",pinta bapak tua yang lain. Akhirnya, Lingga hanya bisa pasrah. Dia ingin minta tolong pada siapa?
"Pak, percaya sama saya. Saya ngga kenal mas ini. Dan kami ngga ngapa-ngapain!",kata Galuh masih kekeh.
"Cepat telpon bapak kamu!",kata pria tua itu.
"Bapak mau menelpon bapak saya di kuburan pak? Silahkan!",kata Galuh ketus. Para sesepuh itu saling berpandangan. Begitu juga Lingga yang menatap lekat gadis kecil yang di taksir usianya sekitar empat atau lima tahun di bawahnya.
"Bapak kamu ngga ada?",tanya orang yang tadi menemukan kami dalam posisi itu.
"Iya, bapak sudah almarhum. Ibu saya kerja, ngga di rumah!",kata Galuh. Dia berbicara seperti itu, berharap agar nikah dadakannya itu batal.
"Ya sudah pakai wali hakim!",kata pria itu. Galuh terperangah tak percaya. Berbeda dengan Lingga yang menatap datar orang-yang tadi memojokkannya.
"Kamu bilang dong ga mau nikah! Kita ngga ngapa-ngapain!",bujuk Galuh pada Lingga.
Belum Lingga berucap, para sesepuh sudah menyahutinya lebih dulu.
"Sudah, ngga usah banyak basa basi! Hei anak muda, apa yang bisa kamu jadikan mahar?!",kata seorang pria. Lingga mengambil dompetnya. Tidak ada isinya! Hanya ada uang tiga puluh ribu dan ATM serta kredit card.
"Saya ngga punya uang cash pak!",kata Lingga. Galuh hanya pasrah menghadapi situasi yang tidak kondusif di depan matanya.
"Itu saja, kamu punya jam tangan kan? Bisa di pakai buat mahar. Toh hanya formalitas!",ujar seseorang yang sepertinya siap menikahkan mereka berdua.
Lingga pun melepaskan jam tangan nya yang harganya lumayan mahal. Tapi ya sudahlah mungkin sebaiknya memang begini.
Acara ijab qobul dadakan pun selesai dengan kata 'sah' yang menggema.
"Kalian memang menikah siri. Secepatnya lakukan nikah di KUA untuk menghindari fitnah!",ujar salah seorang lelaki tua.
Lingga hanya terdiam. Dia menoleh pada Galuh yang terlihat membeku di tempatnya tanpa ekspresi apa pun.
"Nak!", seorang laki-laki berjanggut putih menepuk bahu Galuh dan Lingga bersama-sama. Sepasang pengantin baru itu pun menoleh.
"Mungkin kalian merasa ini sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Tapi, asal kalian tahu. Apa yang kalian alami saat ini adalah ketentuan dari yang kuasa. Jadi, jalani lah pernikahan ini. Kalian harus belajar untuk saling membuka diri. Ingat, tidak ada yang kebetulan di dunia ini."
Usia menepuk bahu keduanya, lelaki berjanggut putih itu pergi. Tinggallah sepasang pengantin baru yang sama sekali tak saling mengenal itu.
"Gue anterin Lo pulang?!",kata Lingga. Galuh pun hanya mengangguk setuju. Toh, hari sudah mulai gelap. Nanti, dia hanya tinggal menjelaskan pada ibunya tentang apa yang baru saja terjadi.
*******
Hai... selamat datang di tulisan receh mamak berikutnya. Semoga bisa dilirik dan diminati sama para reader's ya.
Terus dukung mamak ya, apalah artinya othor tanpa kalian para reader's. Makasih ✌️✌️🙏🤭
Seorang wanita dewasa berjalan terseok-seok dibawah hujan. Ia menangis sepanjang jalan menuju ke rumah sederhananya.
Wanita itu baru saja menjadi korban pelecehan seksual yang di lakukan oleh orang berkuasa di pabrik dimana ia bekerja selama ini.
Status nya yang seorang janda beranak satu selalu di pandang sebelah mata. Dia selalu di remehkan karena statusnya. Apalagi wajahnya masih cantik di usianya yang sudah tiga puluh enam tahun. Sedang anak gadis nya baru saja merayakan kelulusan di bangku SMA hari ini.
Sekar, nama wanita malang itu. Sesampainya di rumah ia membersihkan diri di bawah guyuran hujan. Wanita dewasa itu hanya mampu menangis di bawah guyuran hujan yang ada di belakang rumah peninggalan suaminya yang amat sederhana itu.
"Ya Allah, apa salahku! Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini! Kenapa!!!",teriak Sekar di sela tangisnya. Rumah tetangga di kampung ini memang agak berjauhan.
Sekar pun mengakhiri tangisannya sebelum putrinya sampai kerumah. Dia tidak ingin, Galuh bersedih karenanya. Sekar tahu sekali seperti apa tabiat putrinya. Tapi...Sekar merasa malu dan merasa bersalah. Sekar merasa dirinya sudah mengkhianati Galuh dan almarhum suaminya.
Sekar sudah mengganti pakaiannya. Dia duduk bersandar di lantai sambil menekuk kedua kakinya. Air matanya masih meleleh tapi tangisnya tak bersuara.
Bayangan dimana dia tadi di lecehkan pun membayangi pelupuk matanya. Sosok laki-laki yang usianya tak berbeda jauh dengan nya dengan memaksa sudah melecehkan dirinya. Bahkan dengan entengnya dia melemparkan sejumlah uang yang bagi seorang Sekar sangat lah banyak. Tapi Sekar tak mengambil sepeserpun. Baginya, harga dirinya jauh lebih mahal di banding dengan uang yang lelaki itu lemparkan padanya.
Melawan seorang penguasa sepertinya hanya lah sia-sia! Orang miskin sepertinya tidak mungkin akan dianggap. Tidak akan ada yang membelanya meski dirinya benar.
Argggghhhh....
Sekar berteriak seperti orang gila. Bersamaan pula dengan Galuh yang membuka pintu ruang tamunya.
"Ibu!!!!",pekik Galuh yang terkejut mendapati sang ibu duduk di lantai dengan kondisi yang berantakan.
Galuh menghampiri sang ibu yang terlihat sangat kacau. Lingga yang ada di belakang Galuh tadi pun hanya mendekati kedua perempuan itu tapi masih berjarak.
"Ibu kenapa?",tanya Galuh sambil memeluk Sekar yang masih meraung-raung. Galuh pun nampak menitikkan air matanya.
"Ibu kotor Luh! Ibu kotor!", teriak Sekar di sela tangisnya. Galuh yang tak paham hanya mampu memeluk ibunya. Tapi beberapa detik kemudian, Sekar jatuh pingsan.
"Ibu!??", pekik Galuh. Lingga pun reflek menghampiri kedua perempuan itu.
"Ibu Lo cuma pingsan."
Lingga mengangkat tubuh Sekar dari lantai.
"Dimana kamar ibu Lo?",tanya Lingga pada Galuh.
"Disitu!",jawab Galuh. Lingga pun membopong tubuh ibu mertuanya ke dalam kamar yang baginya amat sangat sederhana sekali.
Usai meletakkan sang ibu mertua, Lingga hanya memandangi kedua perempuan itu.
"Bu, siapa yang udah nyakitin ibu?",tanya Galuh di sela isaknya.
"Biarin ibu Lo istirahat, gue mau ngomong sama Lo!"
Lingga mengajak Galuh keluar dari kamar ibunya. Gadis itu menghapus air matanya yang menetes di pipinya.
Sepasang suami istri itu kini duduk di ruang tamu. Lingga menatap sekeliling ruangan itu. Dia pernah di ajak ke rumah art nya di kampung, tapi rumah art nya jauh lebih layak di banding dengan rumah istrinya ini.
"Gue cuma mau bilang!",Lingga menjeda ucapannya.
"Hari ini gue balik ke kota. Urusan gue di kampung ini sudah selesai!",kata Lingga. Galuh tak merespon apa pun.
Hari sudah mulai gelap. Meski hujan sudah reda, tapi suasana dingin masih menyelimuti.
"Gue tahu, pernikahan dadakan ini ngga pernah kita inginkan sebelumnya. Tapi....!"
Lingga menggantung ucapannya, Galuh menatap suaminya.
"Kalo kamu mau pergi, silahkan! Aku tidak akan melarang mu!",kata Galuh.
Lingga menelan salivanya. Sungguh dia merasa seperti laki-laki yang tak bertanggung jawab. Padahal orang tuanya mendidiknya untuk menjadi sosok yang baik dan bertanggung jawab selama ini. Tapi...kalau dia kembali ke kota dengan tiba-tiba membawa istri dan mertua, apa respon mereka???
Lingga menyerahkan jam tangan yang ia jadikan mahar tadi. Lalu sebuah cincin, meski bukan emas tapi soal harga mungkin setara dengan dua gram emas. Dia mengingat ada cincin yang ia jadikan liontin kalung rantai titaniumnya barusan saat menurunkan sang ibu mertua. Liontin nya yang sebuah cincin hampir menyangkut di kancing daster ibu mertuanya.
"Aku akan kembali! Jadi, pakai cincin ini! Tadi aku lupa kalau aku punya cincin untuk ku jadikan mahar."
Galuh masih bergeming. Lingga meraih jemari Galuh yang lentik dan sangat mungil di matanya. Ia memasukkan jari itu ke jari manis Galuh.
"Aku harus pergi!",ujar Lingga. Keduanya saling menatap satu sama lain.
Pernikahan macam apa ini? Keduanya masih sama-sama muda. Oke, soal usia mungkin bukan masalah tapi... keduanya tak saling mengenal sebelumnya. Lalu bagaimana bisa mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga?
Tiba-tiba hujan deras pun turun. Cuaca di luar juga cukup ekstrim. Angin kencang dan guntur bersahutan.
"Kalau kamu mau pergi, silahkan! Tapi tunggu hujan reda dulu!",kata Galuh. Gadis itu pun berlalu meninggalkan Lingga yang masih duduk di bangku reyot.
Mata Lingga mengamati hujan yang masih nampak deras dari balik jendela kaca rumah ini yang sangat kusam. Ia berharap, setelah ini tidak akan ada lagi masalah besar yang akan menimpanya.
Galuh membawa segelas teh panas yang tampak mengepul.
"Silahkan di minum!",kata Galuh mempersilahkan. Gadis berambut panjang dan imut itu menyodorkan teh di hadapan Lingga.
"Makasih!",sahut Lingga.
Tadi siang, mereka berdua seperti tikus dan kucing. Tapi sekarang, keduanya di liputi kecanggungan.
"Kalo hujan masih belum reda, menginap lah. Besok kamu bisa pulang ke kota mu! Aku akan membersihkan kamar dulu. Maaf, mungkin gubug kami tak ada apa-apanya di banding istana mu di kota!",kata Galuh sambil berdiri meninggalkan Lingga.
Galuh masuk ke sebuah kamar yang pasti kamarnya. Meski tidak bagus, tapi kamar itu rapi. Hanya ada gorden sebagai penutup kamar, tanpa pintu.
Beberapa saat kemudian, Galuh pun keluar dari kamarnya.
"Aku mau ke belakang sebentar! Kamu bisa istirahat di dalam kamar!",kata Galuh kembali meninggalkan Lingga.
Sepeninggal Galuh, Lingga pun memasuki kamar istrinya. Ia merebahkan diri di sana. Kasur kapuk yang mengeras tentu membuat rebahan Lingga tak nyaman. Apalagi setiap harinya Lingga tidur di kasur yang empuk.
Tapi, satu bulan ini dia KKN di kampung sebelah. Meski tidak semewah rumahnya, tapi tempat dia menyewa tempat tinggal jauh lebih layak di banding rumah istri nya ini.
Azan magrib terdengar. Galuh memasuki kamarnya tanpa canggung meski ada Lingga yang sedang mencoba merebahkan diri di sana. Galuh seolah tak merasa terganggu dengan kehadiran Lingga di sana.
"Ke mana?",tanya Lingga.
"Sholat di kamar ibu!",jawab Galuh singkat. Mendengar jawaban sang istri, Lingga pun bangkit.
Lingga yang dari tadi belum membersihkan diri pun memberanikan diri ke belakang. Matanya menatap ke sekeliling. Dia mencari keberadaan kamar mandi. Tapi tak ia temukan. Lalu ia membuka pintu dapur. Barulah ia menemukan sumur dan kamar mandi yang sudah berlumut. Kamar mandi itu terpisah dari rumah.
Bagaimana jika hujan tengah malam terus kebelet ya? Batin Lingga.
Lingga pun mencuci muka dan lengannya. Cuaca sudah sangat dingin. Dia sama sekali tak ada keinginan untuk mandi. Mungkin besok pagi, sebelum ia bertolak ke kota.
Usai mencuci muka, dia kembali ke rumah induk. Saat menutup pintu dapur, Galuh sedang menyalakan tungku.
"Kamu mau apa?",tanya Lingga.
"Masak."
Galuh menjawab singkat. Setelah itu, Lingga kembali ke kamar. Ia meraih ponselnya. Ada beberapa pesan yang dikirim oleh teman-temannya. Tapi Lingga memilih tak membalasnya. Jadi, biarkan saja! Setelah sampai di kota nanti, barulah ia menghubungi teman-temannya.
"Bu, makan dulu!",kata Galuh membangunkan ibunya. Sekar pun bangkit dengan tatapan kosongnya.
"Makan ya Bu?"
Sekar pun mengangguk tanpa bersuara. Galuh menuntun sang ibu untuk duduk di meja makan sederhananya.
Sepiring nasi hangat dan telor ceplok serta sambal kecap ala kadarnya terhidang di meja makan.
"Sebentar ya Bu, Galuh panggil mas Lingga dulu!",kata Galuh. Mata Sekar mengikuti ke mana putri nya melangkah.
"Em...mas Lingga, kita makan!",ajak Galuh pada suaminya. Lingga yang sedang memainkan ponselnya pun mendongak. Mungkin terkejut karena Galuh memanggil nya 'Mas'. Tanpa menunggu suaminya menjawab, Galuh meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian, Lingga menyusul istri nya ke meja makan.
Sekar menatap Lingga dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Siapa?",tanya Sekar. Lingga mengulurkan tangannya pada Sekar. Tapi tak ada sambutan dari ibu mertuanya, membuat Lingga menurunkan tangannya.
"Saya Lingga, Bu. Suami Galuh!"
Mata Sekar melebar langsung menatap putrinya.
"Apa maksudnya Galuh?",tanya Sekar. Galuh meraih tangan ibunya.
Gadis itu pun menjelaskan kejadian yang tadi siang ia alami hingga berakhir menikah dengan Lingga. Laki-laki yang baru tadi ia temui.
Badan Sekar langsung lemas. Hari ini ia mendapat banyak kejutan dalam hidupnya.
"Bu, maafin Galuh Bu!",Galuh mengguncang bahu Sekar. Lingga pun tak bisa berbuat banyak. Andai kejadian tadi siang bisa di cegah, mungkin tidak akan seperti ini.
Sekar menangis tanpa suara. Galuh sendiri masih memeluk ibunya.
"Kalian makanlah, ibu mau ke kamar!",Sekar bangkit dari kursinya.
"Bu...!",Galuh ingin mencegah ibunya, tapi gelengan dari Lingga membuat Galuh mengurungkannya.
Kini, sepasang suami istri yang masih sama-sama muda itu kembali berdua.
"Kita makan saja dulu, mas! Maaf, aku cuma bisa membuat lauk itu."
Galuh menyiapkan nasi ke dalam piring yang ia sajikan di depan Lingga. Nasi hangat dan telor ceplok sambal kecap.
Lingga menerima menu makan malamnya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Nasi hangat dan telor ceplok! Jika biasnya dia makan dengan beberapa lauk, tidak kali ini. Menu ini pengganjal perutnya. Uang di ATM nya banyak, tapi ia tak memegang uang kas selain tiga puluh ribu tadi.
Niatnya, dia akan keluar dari kampung menuju ke kota kabupaten untuk mengambil uang. Tapi naas, di tengah jalan ia terpaksa menjadi pengantin dadakan.
Lingga mulai menyuapkan nasinya, meski pelan lama-lama Lingga menikmati menu sederhananya itu.Entah beneran enak, atau karena lapar membuat Lingga cepat menghabiskan makannya.
Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Galuh membereskan bekas makan malam mereka berdua. Setelah itu, ia membawa nya ke dapur.
Tak lama kemudian, Galuh membawa nasi untuk ibu nya ke kamar. Lagi, Lingga hanya menatap sosok perempuan mungil yang statusnya sudah sah menjadi istrinya.
Laki-laki muda yang hampir berusia dua puluh tiga tahun itu tak tahu berbuat apa sekarang. Dia pun kembali ke kamarnya.
Dari kamarnya, ia mendengar obrolan ibu dan anak sedang mengobrol serius. Sesekali terdengar isakan dari sang ibu mertua. Sampai akhirnya, Lingga mendengar bahwa sang ibu mertua baru saja mengalami pelecehan oleh petinggi pabrik di mana ia bekerja.
Tapi sebagai orang baru di kehidupan mereka, tentu saja Lingga tak berhak untuk ikut campur urusan mereka berdua.
Karena kelelahan, Lingga pun tertidur di kasur kapuk yang sangat menyiksa punggungnya.
Berbeda dengan Galuh. Gadis itu menemani ibunya di kamar yang bersebelahan dengan kamar yang Lingga gunakan.
"Jadi gimana kedepannya Luh! Kamu sudah menikah, apa kamu akan ninggalin ibu di sini?",tanya Sekar dengan nada frustasi.
"Ngga Bu. Nada akan selalu sama ibu!",kata Galuh. Sekar mengusap kepala putrinya yang bersandar di perutnya.
Dulu, saat ia seusia Galuh pun sudah menikah. Makanya di saat usianya tiga puluh enam tahun, Galuh sudah berusia delapan belas tahun. Tapi, ia menikah dengan Prastian karena mereka memang saling mencintai. Bukan karena pernikahan terpaksa seperti yang Galuh dan Lingga jalani.
"Bagaimana pun, pernikahan bukan mainan Luh!"
Galuh hanya diam tak menanggapi ucapan ibunya.
"Bu, ibu tahu siapa yang sudah melecehkan ibu?",tanya Galuh setelah ia berusaha memberanikan diri bertanya.
Sekar menggeleng.
"Ibu ngga kenal. Tapi sepertinya dia salah satu petinggi pabrik Luh!",kata Sekar dengan suara nya yang lirih dan disusul dengan isakan kecil. Galuh langsung menenangkan ibunya.
"Maaf Bu, Galuh ngga akan tanya-tanya lagi."
Sekar pun mulai tenang, perlahan ia memejamkan matanya. Sebenarnya Galuh lelah. Lelah dengan aktivitas nya tadi siang sekaligus lelah dengan kenyataan yang serba mendadak.
Galuh mengecas ponsel bututnya. Meski bukan merk mahal, minimal ponselnya android seken yang ia cicil di konter kampung depan.
Matanya beralih pada sosok lelaki muda dan tampan yang tidur tak nyaman di kasurnya.
Hanya karena kesalahpahaman dan masalah sepele, keduanya harus terlibat pernikahan yang terpaksa.
Galuh memutuskan untuk tidur di ruang tamu. Posisi tidur ibunya yang ada di pinggir ranjang membuat Galuh enggan mengganggu tidur sang ibu.
Mau tidur di kamar nya pun tidak mungkin. Ada sosok asing yang menguasai tempat tidurnya. Dan tidak mau juga jika Galuh harus tidur dengan laki-laki yang belum ia kenal meski secara agama dia sah suaminya.
Dengan perlahan, Galuh memasuki kamarnya untuk mengambil bantal dan selimut. Ia membawa benda itu ke ruang tamu sederhananya. Setidaknya, untuk malam ini ia bisa mengistirahatkan tubuhnya. Urusan besok, akan ia pikirkan lagi nanti.
Azan subuh berkumandang di surau yang cukup jauh dari rumah Sekar. Gadis berusia delapan belas tahun itu pun bangkit dari tidurnya. Tapi...dia menyadari ada hal yang berbeda. Bukankah semalam dia tidur di sofa? Kenapa saat bangun justru dia ada di kamarnya?
Matanya menelisik ke sekitar kamar sampai netranya menangkap sosok lelaki yang baru kemarin menjadi suaminya tidur di sofa sambil meringkuk. Mungkin dingin atau mungkin juga memang sofa nya terlalu pendek untuk tubuhnya yang tinggi itu.
Galuh bangkit dari kasurnya. Ia langsung menuju ke kamar sang ibu. Ibunya sedang berzikir usai solat subuh. Tapi yang Galuh lihat, sepertinya sang ibu menangis. Mungkin peristiwa kemarin sangat menyakitkan baginya. Dia saja ikut merasakan seperti apa rasanya sakit hati ibu.
Sepuluh menit berlalu, Galuh sudah selesai solat. Tapi ibunya masih bergeming di sajadah lusuhnya. Galuh tak ingin mengganggu kekhusyukan ibu. Dia pun memilih ke belakang untuk menyalakan tungku.
Gadis itu mulai menanak nasi. Bingung dengan lauk yang akan di masak pagi ini. Jika biasanya setiap pulang kerja dari pabrik, ibu selalu menyemangati belanja. Tidak dengan sore kemarin. Ya, karena peristiwa kejam dan menjijikan itu.
Galuh buka lemari yang biasa di pakai untuk menyimpan makanan. Hanya ada ikan asin.
Dia menurunkan bahunya. Tak apa mungkin pagi ini sarapan dengan ikan asin dulu.Dia pun mencuci ikan asin tersebut sebelum ku goreng.
Hari masih cukup gelap. Gadis berambut panjang itu keluar dari pintu dapur. Melihat sekeliling kamar mandi masih ada daun kemangi dan daun singkong.
Memetik daun itu untuk di rebusnya dan di jadikan lalapan mungkin bukan ide buruk. Tak lupa ia memetik cabai untuk di buat sambal.
Setelah mendapatkan semuanya di 'warung hidup ', gadis cantik itu pun langsung mengeksekusi.
Aroma ikan asin yang khas membuat polusi di gubuk kecil itu. Tak terkecuali Lingga yang masih tidur meringkuk di sofa lusuh itu.
Laki-laki tampan itu mengucek matanya. Hidung mancungnya mencium aroma ikan asin.
Di lihat nya sang ibu mertua masih duduk bersimpuh dengan mukenanya yang sudah tak terlalu berwarna putih. Pintu kamar ibu mertuanya di biarkan terbuka. Sedang kamar istrinya, sudah kosong tak berpenghuni. Sudah di pastikan jika sang istri ada di dapur.
Lingga merentangkan kedua tangannya sambil melemaskan persendiannya yang kaku karena tidur di sofa yang pendek.
Lelaki tampan itu beranjak ke belakang. Di dapatinya sang istri yang sedang mengulek cabai untuk membuat sambal.
Mata keduanya beradu pandang saat Lingga melintas di depan Galuh. Tak ada sapaan atau teguran apa pun. Ya, mereka memang belum terlalu mengenal. Hanya kenal nama. Sudah!
Lingga membersihkan dirinya sebentar. Niat nya untuk mandi pun ia batalkan. Dia akan mandi di rest area saja nanti.
Saat lelaki tampan itu kembali ke dapur, Galuh sudah tidak ada. Api di tungku juga sudah kecil dan mungkin sudah di padamkan. Saat ia masuk ke ruang makan, istri dan ibu mertua nya sudah duduk di sana.
"Sarapan dulu Nak Lingga!",kata Sekar dengan suara serak. Lingga pun menuruti nya. Matanya langsung beralih pada menu yang belum pernah ia makan sama sekali.
Galuh menangkap keterkejutan Lingga dengan menu yang ada di meja makan.
"Maaf, hanya ini yang bisa aku sediakan."
Galuh mengambilkan nasi untuk Lingga. Meski kemarin malam Galuh melakukan hal yang sama, tapi entah kenapa batinnya merasa sesuatu yang beda.
"Terimakasih!",ucap Lingga. Kalimat yang terlontar saat bertengkar siang kemarin seperti terlupakan begitu saja. Dua sosok muda yang mendadak jadi sepasang suami istri ini benar-benar berbeda.
Jika kemarin Lingga angkuh dengan kata Lo Gue nya, begitu pula dengan Galuh yang tak ada takut-takut nya melawan Lingga pagi ini keduanya kicep. Aneh bukan?
Sarapan sederhana itu usai. Ketiganya kini duduk di ruang tamu.
"Jadi, gimana nak Lingga? Kalian akan tetap meneruskan pernikahan tanpa sengaja ini?",tanya Sekar pada menantunya. Lingga mengangguk pasti.
"Iya Bu. Lingga akan terus melanjutkan pernikahan ini!"
Galuh hanya menghela nafas pelan. Lingga mengeluarkan kertas yang membuktikan bahwa mereka sudah menikah siri.
"Kamu saja yang simpan ya Galuh!",Lingga menyodorkan kertas itu. Lalu Lingga mengambil selembar uang pecahan dua puluh ribu serta dua lembar pecahan lima ribu. Ia menuliskan namanya dan Galuh serta tanggal pernikahan keduanya di lembaran uang tersebut.
"Ini mahar yang aku berikan kemarin!",Lingga meletakkan jam tangannya.
Galuh memandangi benda itu yang tergeletak di meja.
"Maaf, mungkin sementara hanya itu yang bisa aku kasih. Aku ...minta nomor ponsel kamu dan nomor rekening kamu!",kata Lingga.
Galuh pun mengambil ponselnya. Lalu ia memberikan nomor ponselnya itu pada Lingga.
"Aku ngga punya nomor rekening",kata Galuh.
"Lalu, gimana cara aku buat ngasih uang ke kamu?",tanya Lingga bingung. Mungkin benar, tidak ada cinta dalam pernikahan mereka. Tapi tanggung jawab nya sebagai seorang suami di pertaruhkan di sini!
"Kamu bisa datang ke sini sewaktu-waktu kan?",tanya Galuh pada suaminya.
Lingga menatap intens gadis mungil itu. Lalu dia pun mengangguk.
"Baiklah, dua Minggu lagi aku balik ke sini!",kata Lingga. Galuh hanya mengangguk. Sekar pun tak komentar apa-apa.
"Aku...balik ke kota sekarang ya, Ga...Luh!",kata Lingga. Galuh mengangguk pelan.
Entah insting atau apa, Galuh menyalami tangan Lingga lalu di mencium nya takzim. Layaknya seorang istri pada suaminya. Lingga sempat tercengang tapi sebisa mungkin ia menguasai perasaannya. Setelah itu, Lingga berpamitan pada ibu mertuanya.
Dengan berat hati, Lingga meninggalkan rumah itu. Mobilnya ia parkirkan di kebun yang agak jauh dari rumah istrinya.
"Maaf!",gumam Lingga lirih sambil menatap rumah sederhana itu dari jauh. Lelaki muda itu langsung melajukan kendaraannya menuju ke kota.
Berbeda dengan Lingga, ada sosok yang pria dewasa yang masih mondar-mandir di salah satu ruangan sahabatnya.
"Udah lah Glen! Ngga usah mikirin itu terus. Lo udah kasih dia duit. Segitu buat orang kere kaya dia mah gede Glen!", celetuk Roni, sahabat Glen.
"Bukan masalah duitnya Ron. Tapi Lo tahu sendiri besok gue mau merit sama Helena. Gue ngerasa udah khianatin dia tahu ngga!"
"Glen! Ayolah, Lo laki. Wajar nakal sebelum punya bini. Anggap aja ini aib yang harus Lo simpan baik-baik! Biar suatu saat ngga jadi Boomerang buat Lo sendiri!"
"Ini semua ulah Lo pada. Rese Lo semua! Coba kalo gue ga mabok, gue ga bakal apa-apain tuh cewek!",kata Glen lagi.
"Santai aja kali Glen. Temen tidur Lo item janda beranak satu. Udah gede pula anaknya. Bukan anak gadis kemaren sore! Paling juga dia suka di pake sama yang lain. Ya ngga!",Roni meminta persetujuan teman-temannya.
"Ayolah Glen! Lupain aja!",ajak teman yang lain.
Niatnya untuk merefresh otaknya karena banyak pekerjaan di luar perusahaan yang ada di kota, justru Glen terjebak dalam kesalahan yang tak sengaja ia buat.
Pria berusia tiga puluh tahun itu hanya bisa menjambak rambutnya sendiri.
Apa aku samperin aja ke rumah nya ya? Gimana juga, aku harus tanggung jawab udah lecehin dia. Tapi.... bagaimana dengan Helena??
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!