Pagi telah tiba, terlihat sepasang suami-istri yang masih ber-gelung di dalam selimut dengan memeluk tubuh pasangan masing-masing. Keduanya kelelahan akibat pertempuran tadi malam yang mana membuat tenaga mereka terkuras habis. Bahkan, tiada ampun bagi sang istri ketika suaminya terus bermain dengan penuh rasa gai*rah. Ya, wajar saja mereka melakukan itu karena keduanya masih pengantin baru.
Bunyi ayam berkokok membuat tidur nyenyak dari seorang wanita bernama Qanita Maisarah atau sering di sapa Nita, terbangun dari mimpi indahnya. Dia melirik sang suami yang masih tertidur, perlahan tangannya terulur untuk membelai wajah tampan itu. Kedua sudut bibirnya pun ikut tertarik membentuk senyuman ketika dia mengingat kejadian tadi malam, betapa perkasa dan gagahnya sang suami jika di selimuti oleh ke*nikma*tan.
Cup!
Nita mengecup bibir Riko — suaminya, dia membuka selimut dan dirinya turun dari ranjang tanpa menggunakan sehelai benangpun. Pagi sudah tiba, Nita harus segera membuat sarapan untuk Riko.
Selesai mandi, Nita duduk di depan meja rias. Dia mengambil hairdryer dan mengeringkan rambutnya yang basah, tak lupa dia bersenandung menyanyikan lagu India. Sesudah mengeringkan rambut, Nita memoles wajah dan bibirnya dengan sedikit sentuhan make-up tipis. Dia tersenyum lalu bangkit dari kursi, Nita selanjutnya akan mengambil baju kerja milik Riko.
Saat dia hendak berbalik dari depan lemari, dirinya terkejut karena Riko sudah ada di depannya.
"Mas!" pekik Nita karena Riko menariknya dan tubuh Nita menabrak dada bidang.
Nita menelan ludah karena dia melihat dada bidang itu yang di tumbuhi bulu-bulu halus, dia memejamkan mata mencoba melupakan keinginannya.
"Mas, aku harus segera membuatkan sarapan untukmu."
"SST!" Riko meletakkan jari telunjuk di bibir Nita.
Riko pun menyelipkan anak rambut Nita di belakang telinga, dia juga mencium wangi rambut Nita yang sangat segar itu.
"Kau sudah mandi?"
Nita mengangguk.
"Sayang sekali," lanjut Riko memasang wajah sedih.
"Kenapa, Mas? Kau terlihat sedih."
"Padahal pagi ini aku ingin melakukannya lagi, tetapi aku rasa tidak apa kalau aku melakukannya kembali. Kau bisa mandi lagi, iya 'kan?"
Nita dengan cepat menggeleng. "Tidak-tidak! Kau bisa membuatku masuk angin."
"Ayolah, Sayang. Jika kau masuk angin, nanti kita akan pergi ke Dokter." Riko mendekatkan wajahnya, tetapi sayang sekali Nita menahan wajah itu.
"Sayang!'' tekan Nita penuh kelembutan.
"Ayolah," Riko memasang puppy eyes.
"No!" jawab Nita dan langsung berlari dari cengkeraman Riko.
Riko hanya menatap Nita yang sudah menghilang di balik pintu. Dia menghela napas dengan kasar lalu dirinya memukul udara dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan diri, Riko bersiap memakai pakaian yang telah Nita pilihkan untuknya. Namun, baru juga ingin memakai kemeja, Riko melihat ponsel milik Nita berkedip. Rasa penasaran mendorong Riko untuk mengambil ponsel Nita, lalu setelah itu dia melihat ada sebuah pesan yang masuk di aplikasi hijau milik Nita.
Riko dengan cepat membuka pesan tersebut, dia dan Nita sengaja tidak mengunci aplikasi apa pun agar mereka bisa saling percaya. Mata Riko melotot ketika sebuah pesan itu ternyata dari seorang pria. Ya, Riko terbilang memiliki sifat posesif, cemburu tinggi dan keras kepala. Dia bahkan kerap kali bertengkar dengan sang istri karena kesalahpahaman.
Riko menggenggam ponsel Nita dengan erat, dia keluar dari kamar hanya menggunakan celana pendek dan kemeja panjang. Setelah berada di lantai bawah, Riko melihat Nita yang masih berkutat di depan meja kompor. Langkah Riko mendekat ke Nita, dia menyodorkan ponsel milik Nita.
"Ada apa, Mas?" tanya Nita karena heran.
"Kau lihat sendiri!" tukas Riko memasang raut wajah kesal.
Nita mematikan kompor, dia mengambil ponselnya dan melihat apa yang membuat sang suami marah seperti ini. Seketika senyumnya terbit, dia yakin jika Riko sedang salah paham.
"Kau marah denganku? Mas, kau salah paham." Nita harus bersabar menghadapi sifat suaminya.
"Kau harusnya tahu apa yang bisa membuat aku marah atau pun tidak! Sudah berapa kali aku katakan jangan pernah berhubungan dengan pria mana pun, apalagi sampai membuat lelucon seperti itu. Kau tahu tidak jika pria itu bisa saja menyukaimu dan menghancurkan pernikahan kita?" Riko terlihat marah.
Nita hanya menghembuskan napas pelan.
"Ayo duduk," Nita menggandeng Riko untuk duduk di kursi.
Setelah duduk, Nita mulai menceritakan pada Riko tentang apa yang terjadi pada temannya itu.
"Mas, dia hanya curhat tentang kekasihnya. Ya, aku juga cuma memberikan masukan semampuku saja. Apa itu salah?"
Riko melirik wajah Nita sejenak lalu dia mengalihkan pandangan.
Teman satu kantor Nita bernama Jovan bercerita pada Nita tentang kekasihnya yang memiliki sifat berbeda. Nita pun sedikit memberikan lelucon agar Jovan tidak terlalu terpuruk, namun jawaban Jovan membuat Riko marah. Jovan mengatakan jika dia ingin memiliki istri yang sifatnya sama seperti Nita, atau daripada dia sulit mencari calon istri jika ujung-ujungnya disakiti, dia pun ingin menunggu Janda Nita.
•
•
TBC
Sementara itu, di tempat lain terlihat seorang gadis masih bergelung manja di dalam selimut. Matahari sudah merangkak naik untuk memanaskan bumi, tetapi dia masih terpejam dan enggan untuk membuka kedua matanya.
Sret, byur.
Tanpa di duga-duga, segayung air tumpah di wajah gadis tersebut membuat dia tersentak kaget.
"Astaga. Apa kamarku bocor?" gadis bernama Nisa itu sontak meloncat dari ranjang saat ada air yang mendarat tepat di wajahnya.
"Bocor kepalamu itu, wanita si*alan!"
Nisa langsung membalikkan tubuhnya saat mendengar umpatan dari seseorang. Ya, dia kenal betul siapa yang pagi-pagi sudah mencari keributan dengannya.
"Apa-apaan ini!" mata Nisa melotot tajam seakan ingin mencabik-cabik tubuh dua orang wanita yang saat ini ada di hadapannya.
"Dasar pemalas! Mau sampai kapan kamu tidur, hah?" teriak seorang wanita paruh baya yang si*alnya adalah ibu tiri Nisa.
Nisa mengepalkan tangannya dengan geram. Sungguh keberadaan wanita paruh baya itu benar-benar mengusik ketentraman jiwa dan raganya.
"Tau tuh, kerjaannya molor terus. Gak tau apa, kita mau kedatangan tamu!" ucap gadis yang ada di samping wanita paruh baya itu dengan ketus. Namanya adalah Mira, dia merupakan adik tiri dari Nisa.
"Emang kalian pikir, aku peduli?" Nisa mengibaskan rambutnya dengan sombong, padahal rambut itu sudah beberapa hari tidak dicuci.
"Dasar anak pembawa sial! Sebaiknya sekarang tutup mulutmu dan cepat turun, banyak pekerjaan yang harus kau lakukan," perintah wanita paruh baya bernama Mona sambil menunjuk tepat ke wajah Nisa. Maju sedikit saja, sudah jelas jarinya itu masuk ke dalam lubang hidung gadis itu.
Nisa sendiri tidak bergeming, dia hanya diam sambil menatap tajam kedua benalu dalam rumahnya itu.
Mona semakin geram dengan kediaman Nisa. "Apa kau tuli?"
"Berhenti berteriak dan keluar dari kemarku!" usir Nisa kemudian, "Setiap melihat kalian pasti umur ku semakin memendek."
"Kau-"
"Keluar kataku!" akhirnya Nisa mengeluarkan teriakan mautnya membuat Mona dan Mira menutup telinga mereka.
"Cih, awas saja kau kalau tidak turun." Mona berbalik dan langsung keluar dari kamarnya dengan diikuti oleh Mira.
Brak.
Nisa langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya. Jangan sampai dua benalu itu kembali masuk ke dalam kamar, atau akan terjadi perang dalam rumah itu.
Begitu lah keseharian yang terjadi dalam hidup Annisa Nadhira. Gadis cantik berkulit putih yang punya dua lesung pipi di wajahnya, membuat siapa saja yang melihat pasti akan langsung terpana. Apalagi dengan tubuh mungil yang menambah keimutan dalam diri Nisa, membuat siapa pun tidak kuasa untuk memalingkan pandangan.
Namun, jangan tanya bagaimana sifat gadis itu. Sangat bertolak belakang sekali dengan wajah cantiknya, bahkan orang-orang yang ada disekitarnya harus esktra sabar untuk menghadapi semua yang dia lakukan.
Setelah pertengkaran tadi, Nisa segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini dia ada peninjauan lapangan untuk proyek baru di perusahaan tempatnya bekerja. Padahal keluarganya terbilang kaya, tetapi Nisa tidak sudi memakai fasilitas milik sang ayah walaupun dia masih tinggal di rumah itu.
Setelah selesai bersiap , Nisa tampak sangat rapi dengan setelan kemeja dan celana panjang berwarna Navy. Tidak lupa polesan makeup tipis yang semakin menambah kecantikan paripurnanya.
"Oke, perfect." Nisa tersenyum lebar melihat penampilannya di depan kaca, dia lalu menyambar tas dan kunci motor untuk segera berangkat kerja.
Nisa menuruni anak tangga sambil bersenandung ria. Dia berharap kalau saat ini tidak akan bertemu dengan dua wanita penghuni rumah ini, agar nantinya tidak terkena si*al.
"Berhenti di situ!"
Nisa langsung mendessah frustasi, bahkan keinginan sekecil itu saja tidak dikabulkan oleh Tuhan.
Mona yang saat itu sedang memberi arahan pada pembantunya beralih mendekati Nisa dengan geram. Apalagi saat melihat penampilan gadis itu, padahal dia sudah mengatakan untuk tetap tinggal di rumah.
"Bukannya ayahmu sudah mengatakan untuk tidak bekerja, kenapa kau tetap pergi juga?" tanya Mona dengan kesal, tangannya bahkan sudah ingin sekali menjambak rambut anak tirinya itu.
Nisa membalikkan tubuhnya dengan helaan napas terakhir dalam hidup, sungguh dia lelah sekali jika setiap hari harus melewati medan perang seperti ini.
"Wahai Bunda Mona yang terhormat, izinkanlah saya untuk pergi mencari uang. Apa Anda tahu, jika saya tidak kerja maka saya tidak akan bisa makan." dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, lalu kembali berbalik dan hendak keluar dari rumah itu.
"Dasar kau-"
"Nisa!"
Nisa yang sudah melangkah lagi-lagi harus mengurungkan niatnya, padahal dia hanya ingin bekerja dengan damai tetapi ada saja yang memghalangi jalannya.
"Ayah sudah bilang untuk tetap diam di rumah! Apa tidak bisa, sekali saja kau mendengarkan orang tuamu?" bentak laki-laki paruh baya bernama Irwan, dia adalah ayah kandung dari Nisa.
Nisa tidak bergeming saat mendengar ucapan sang ayah. Bukannya dia takut, tetapi dia sudah cukup lelah dengan semua orang yang ada di rumah itu, termasuk ayahnya sendiri.
"Ayah sudah bilang kalau hari ini akan ada tamu penting yang datang, jadi ayah harap semua keluarga berkumpul untuk menyambut mereka," sambung Irwan. Nada suaranya sudah tidak sekeras tadi, tetapi tetap tajam dan penuh penegasan.
Nisa menghembuskan napas pelan sambil membalikkam tubuhnya. "Maaf, Ayah. Hari ini ada pekerjaan penting yang harus aku lakukan. Jadi aku tidak-"
"Berhenti membuat alasan dan ikuti saja apa yang Ayah ucapkan," potong Irwan dengan cepat membuat Nisa tersenyum sinis.
"Maaf." Nisa kembali berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat, dia tidak menghiraukam teriakan sang ayah yang terus memintanya untuk berhenti. Bahkan saat ini laki-laki tua itu sudah memakinya habis-habisan.
"Cih, persetan dengan tamumu itu. Aku sama sekali tidak peduli." Nisa segera naik ke atas motor kesayangannya dan melajukannya dengan kencang.
•
•
•
Tbc.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹
JANGAN LUPA MAMPIR KE NOVEL TEMAN OTHOR 🌹
Setelah Riko pergi, Nita pun segera keluar dari rumah karena pedagang sayur keliling di kompleknya sudah datang. Dia biasa berbelanja di pedagang keliling daripada harus ke pasar. Meski terbilang kaya, akan tetapi Nita tidak ingin menghambur-hamburkan uang dengan cara berbelanja di supermarket. Ya, Nita ingin fokus menabung karena perjalanan rumah tangganya masih panjang dan untuk anak-anak mereka kelak.
Di ujung gang kompleks perumahan elit itu, terlihat pedagang sayur sudah berada di lapak biasanya. Bahkan, Ibu-ibu lain juga telah memilih sayur mayur.
"Selamat pagi, Ibu-ibu," sapa Nita ketika dia sudah berada di gerobak sayur.
"Selamat pagi, Bu Nita. Waduh, pengantin baru ini makin hari semakin terlihat segar saja, ya?" ucap salah satu Ibu yang memakai kacamata dan rambut di sanggul ke atas.
"Ibu seperti tidak pernah merasakan pengantin baru saja." jawab Nita di selingi senyuman tipis.
Mereka mengobrol sembari memilih sayur mayur, dan perbincangan ke empat wanita itu terhenti karena Anisa lewat di depan mereka.
Nita melirik Nisa dengan sinis, entah memiliki masalah apa dirinya hingga membuat dia tidak menyukai Nisa.
"Selamat pagi, Ibu-ibu. Wah, pagi-pagi begini sudah rame, ya?" Nisa mencoba mengakrabkan diri.
"Iya, neng. Biasa, tugas negara ibu rumah tangga di pagi hari." jawab sang Ibu yang berpakaian sederhana.
"Mau berangkat kerja, neng?"
Anisa mengangguk.
"Kok kerja Mulu sih yang di pikirkan? Kau itu 'kan anak orang kaya, sebaiknya jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Carilah suami karena usiamu sudah tua." sindir Nita tanpa memikirkan perasaan Anisa.
Anisa memutar bola matanya jengah, dia baru saja di buat naik darah ketika berada di rumah dan saat ini Nita memancing emosinya kembali.
"Saya tidak peduli jika di anggap sebagai perawan tua, Mbak Nita. Toh saya tidak merugikan siapapun," Nisa tidak mau kalah dengan sindiran yang Nita katakan.
"Di bilangin kok ngeyel! Kau begitu bangga ya di cap sebagai perawan tua? Bahkan, di kompleks ini, perempuan yang usianya lebih muda dari pada kau sudah pada menikah semua." tukas Nita kesal.
"Kenapa saya harus merasa malu? Intinya, saya itu tidak terlalu memikirkan pernikahan. Saya bahagia dengan hidup yang saya jalani saat ini, jadi teruntuk Mbak Nita, pikirkan saja masalah rumah tangga Mbak dan jangan pernah mengurusi hidup saya. Permisi!" Nisa segera berlalu pergi dari pada membuang waktu dengan cara melayani ocehan dan sindiran dari Nita.
Nita sudah selesai berbelanja, setelah membayar, Nita pun pamit kepada Ibu-ibu untuk pulang terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah, dia meletakkan plastik berwarna hitam di atas meja. Dirinya ber-sunggut kesal karena tidak pernah berhasil mempermalukan Nisa.
"Sial! Kenapa sulit sekali membuat gadis itu malu?" Nita mengambil gelas, lalu dia menuang air ke dalam gelas tersebut dan mulai menenggaknya hingga tandas.
Setelah itu, Nita membereskan barang belanjaannya untuk di masukkan ke dalam kulkas.
🌺🌺🌺🌺
Di kediaman keluarga Anisa, Irwan tersenyum senang ketika menyambut tamunya. Dia mempersilahkan tamu tersebut masuk ke dalam rumah dengan tangan terbuka.
''Akhirnya Anda sampai juga di rumah sederhana saya ini. Ayo masuk, Tuan Abian." ucap Irwan ramah.
Abian masuk ke dalam rumah itu dengan tenang, dia duduk di sofa diikuti oleh Irwan.
"Ma! Mama!" teriak Irwan memanggil sang Istri.
Dari arah dapur, Mona berjalan menghampiri sang suami.
"Eh, Tuan Abian sudah datang." Mona tersenyum lebar.
Dirinya mendudukkan diri di samping Irwan dan begitupun dengan Mira.
"Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Bagaimana, jika kita langsung ke intinya saja?" ucap Bian to the point.
"Baik, Tuan. Tetapi, sebelumnya, izinkan istri saya membuatkan minuman untuk Tuan. Jangan terlalu buru-buru, mungkin kita bisa mengobrol sebentar." Irwan tersenyum.
Abian hanya mengedikkan bahu dan Irwan memerintah Mona untuk pergi ke dapur membuatkan hidangan untuk tamunya, Mira pun mengikuti sang Mama dari arah belakang.
Abian Anderson, dia adalah pengusaha ternama di Asia. Dirinya menyandang status duda setelah enam bulan bercerai dari istrinya, parasnya tampak, rahang yang tegas, tubuh tegap atletis, hidung mancung dan bibir sedikit tebal membuat Bian sangat disukai oleh banyak wanita. Bahkan, Mira sempat terkesima dengan ketampanan dan kewibawaan Abian itu.
Dia datang ke rumah Irwan untuk menyelesaikan kerja sama antar perusahaan mereka, dirinya datang sendirian karena sekretaris lamanya baru saja resign. Bian tidak bisa mencegah sebab sekertaris itu akan menikah dan dilarang bekerja oleh calon suaminya. Meski terbilang berat karena sekertaris bernama Widya itu keluar, tetapi Bian harus bisa menjaga harga diri perusahaannya.
Saat ini, di perusahaan milik Bian sedang membuka lowongan pekerjaan dah mencari sekertaris yang tentunya sudah berpengalaman.
"Jadi bagaimana? Apa sudah deal untuk segala persyaratan yang saya katakan tadi?" Abian akhirnya membuka suara setelah mereka selesai berdiskusi.
Irwan terdiam sejenak, dia tentu saja sangat setuju karena sangat disayangkan jika perusahaannya tidak jadi bekerjasama dengan perusahaan Grid Company milik Abian.
"Baiklah, saya setuju. Jadi, kapan kita bisa mulai proyek kerja sama ini?" tanya Irwan tidak sabar, dia memiliki rencana untuk mendekatkan putrinya dengan Abian.
"Saya akan mengabari Anda nanti," jawab Abian sekenanya.
Mira datang membawa nampan berisi dua gelas teh hijau hangat dan satu piring roti bolu. Dia meletakkan nampan itu di atas meja dan tak lupa dirinya bersikap baik juga sopan.
''Silahkan di cicipi, Tuan Abian."
Abian hanya mengangguk.
Irwan mulai mengobrolkan hal lain di luar pekerjaan, Abian hanya menanggapi dengan singkat karena dia sudah terbiasa bertemu dengan klien seperti Irawan yang pada ujungnya akan menawarkan anak mereka.
•
•
**TBC
🌹🌹🌹🌹🌹🌹
JANGAN LUPA MAMPIR KE NOVEL KARYA DARI TEMAN OTHOR 🤗**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!