Vania mematung ditempatnya ketika melihat seseorang yang turun dari sebuah mobil mewah. Sudah 5 tahun berlalu kenapa Vania harus bertemu kembali dengan pria yang telah menanamkan bekas luka yang dalam dihatinya. Nodanya masih sangat membekas dihatinya.
Vania segera berjongkok di dalam toko bunga itu, ketika dia melihat pria itu berjalan ke arahnya. Jantung Vania sudah sangat berdebar kencang.
Kenapa di bisa datang kesini? Ohh Tuhan apalagi ini? Aku sudah berlari sejauh ini.
Ya, Vania sudah berlari sejauh ini hanya untuk menghindari pria itu sesuai apa yang di inginkan oleh Ibunya dulu.
Vania sudah benar-benar menjauh dari pria itu dan dia benar-benar mengorbankan banyak hal dalam hidupnya. Hanya karena dia adalah wanita lemah yang tidak mempunyai kekuatan apapun. Membuat dia harus mengalah dengan banyak hal. Termasuk pergi dari pria yang dia cintai.
Namuan kini Vania sudah benar-benar kecewa dengan pria itu. Disaat dia benar-benar menjadi pria pengecut yang berlindung di balik kekuasaan orang tuanya hanya karena dia yang tidak mau bertebggung jawab atas apa yang telah dia lakukan padanya.
"Permisi, saya ingin membeli bunga"
Deg..
Suara pria yang sangat dia rindukan meski hatinya juga begitu kecewa padanya. Vania masih terdiam di bawah meja yang berjejer bunga-bunga diatasnya.
"Be apa tidak ada penjualnya ya?"
Vania terdiam dibawah meja, dia mendengar jelas suara lembut seorang wanita yang memanggil Gara dengan panggilan kesayangan. Jika bukan istrinya, mungkin tunangnnya. Diusianya sudah cukup untuk Gara menikah.
"Tadi sepertinys ada, aku jelas melihat seseorang di toko ini" jawab Gara
"Permisi,apa ada orang di dalam? Kami ingin membeli bunganya"
"Ya ampun maaf Tuan dan Nona, kalian sudah menunggu lama ya"
Seorang wanita datang menghampiri mereka. Dan Vania jelas tahu suara siapa itu. Dia adalah Jenny, pemilik toko bunga ini. Atasan yang begitu baik pada Vania.
"Vania, kamu ngapain malah diam disitu? Itu ada pembeli kenapa kamu malah diam saja, aku kira kamu kemana"
Vania memejamkan matanya ketika dia sudah tidak bisa lagi menghindar. Dia tersenyum masam pada Jenny yang sama sekali tidak mengerti keadaan yang sebenarnya. Lalu dengan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya.
Vania?
Gara terdiam ketika mendengar nama itu disebut oleh Jenny. Dan hatinya selalu merasa jantungnya berdebar ketika mendengar nama itu. Sosok yang tiba-tiba saja menghilang dalam hidupnya. Gara menatap punggu wanita yang baru saja keluar dari bawah meja. Dan ketika tubuh itu berbslik, Gara benar-benar mematung di tempatnya.
"Va-vania?"
Dan setelah 5 tahun berlalu, baru kali ini Vania kembali mendengar Gara memanggil namanya lagi. Keduanya terdiam dengan saling menatap lekat. Dan Vania yang lebih dulu mengalihkan pandangannya.
"Silahkan Tuan dan Nona, mau membeli bunga yang mana?"
Gara mengerjap saat tangannya tiba-tiba dirangkul seseorang. Ketika dia sadar jika disampingnya ada Yunita, istrinya.
"Be ayo kita pesan, bagusnya yang mana saja?"
Gara masih tidak bisa lepas dari tatapannya pada Vania. Entah mimpi apa sampai dia bisa kembali bertemu dengan wanita itu. Wanita yang selama beberapa tahun ini dia cari kberadaannya. Namun pantas saja dia tidak menemukan Vania dimana pun, karena ternyata gadis itu berlari begitu jauh dari Ibu kota.
"Terserah kamu saja, aku akan menuruti apa pilihanmu"
Yunita tersenyum mendengarnya, memang suaminya ini selalu menyerahkan semuanya pada keputusan Yunita, karena Gara bilang jika dia selalu percaya pada setiap keputusannya.
"Baiklah, kalau begitu aku saja yang memilihnya"
Vania hanya menundukan kepalanya ketika dia mendengar percakapan pasangan di depannya ini. Sementara terus menatap Vania dengan tatapan penuh kerinduan.
"Saya ingin membeli bunga cukup banyak untuk dekorasi resepsi pernikahan kita yang sempat tertunda suamiku ini yang sangat sibuk..." Yunti terkekeh kecil. "...Emm, apa bisa diantar bunganya ke lokasi acara kami nanti?"
Ternyata dia memang sudah menikah, istrinya juga sangat cantik dan tentunya sangat sepadan dengannya. Apalah aku dulu, yang hanya seorang gadis miskin.
"Bisa Nona, anda mau pesan berapa bunga? Nanti akan saya antarkan satu hari sebelum acara agar bunganya tetap segar"
Yunita tersenyum, dia memegang beberapa bunga dan mencumnya, wangi bunga-bunga disini benar-benar membuat indra penciuman sangat nyaman menghirup aromanya.
"Kalau begitu saya pesan ini, ini dan ini. Oh, itu juga bagus" Yunita menunjuk beberapa jenis bunga yang menurutnya sangat indah dan cocok untuk hiasan di acara resepsi pernikahannya dengan Gara.
"Baik Nona, akan saya catat semuanya"
Yunita menoleh pada suaminya yang sejak tadi hanya diam ditempatnya berdiri. "Be aku sudah memilih beberapa bunga. Kamu tinggal membayarnya"
Gara mengerjap, dia tersadar dari setiap pemikirannya tentang Vania. Kenapa gadis itu ada disini dan kenapa dia bersikap seolah tidak mengenalnya dan mengacuhkannya. Padahal seharusnyakan dia yang marah karena Vania yang tiba-tiba saja menghilang dari kehidupannya.
"Baiklah aku akan membayarnya. Apa bisa aku meminta nomor rekeningnya?"
Vania mengangguk, lalu di berbalik dan berjalan ke arah tangga untuk memanggil Jenny yang berada di lantai atas ruko ini.
"Kak, Kak Jenny ini sudah mau pembayaran"
"Iya"
Jenny turun ke lantai bawah ruko ini dan menghampiri pelanggan toko. "Baik Tuan apa akan melakukan pembayaran dengan cash?"
"Tidak, aku akan transfer saja. Tolong berikan nomor rekeningmu"
Jenny mengangguk, dia segera memberikan apa yang Gara minta. Dan proses pembayaran selesai. Jenny membungkukan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih pada pelanggannya itu.
"Nanti akan aku kirimkan alamatnya dan tanggal bunganya harus dikirim ya" kata Yunita
Jenny mengangguk. "Baik Nona, terima kasih karena sudah mempercayai toko kami"
Vania hanya melirik sekilas pada pasangan itu. Langsung mengalihkan pandangannya ketika Gara yang menoleh dan menatap ke arahnya sebelum dia pergi dari toko bunga ini.
Jenny berbalik dan menatap Vania dengan sedikit heran. Karena baru kali ini dia melihat Vania yang melakukan hal seperti tadi. "Vani, kamu ngapain ngumpet dibawah meja tadi?"
Vania menatap ke arah Jenny dengan helaan nafas panjang. "Tidak papa Kak, tadi ada tikus dibawah meja jadi aku berniat membunuhnya. Tapi tikusnya keburu kabur. Hehe"
Jenny tersenyum sambil menggelngkan kepala pelan. "Dasar kamu ini, yaudah sekarang kamu jaga toko dulu. Aku ada urusan keluar sebentar"
"Iya Kak"
######
Diperjalana Gara hanya diam saja, dia masih memikirkan tentang pertemuannya dengan Vania di kota ini. Dan diamnya Gara sudah menjadi hal yang biasa bagi Yunita. Karena memang dia adalah pria dingin yang sangat irit bicara menurut Yunita.
"Emm. Yu, aku harus pergi lagi. Ada urusan sebentar" kata Gara ketika dia telah mengantar Yunita ke apartemen.
Yunia mengangguk pelan. "Baiklah, hati-hati dijalan ya"
Cup..
Yunita mengecup pipi Gara sebelum dia turun dari dalam mobil.
Bersambung
Vania yang sedang merapikan beberapa bunga di atas meja di ruko itu, langsung terdia saat sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti didepan toko. Vania terdiam saat melihat orang yang keluar dari mobil itu. Dia sudah menduganya jika tidak mungkin kalau Gara tidak kembali datang menemuinya.
Gara langsung masuk ke dalam toko tanpa mengucapkan apapun. Vania hanya berdiri diambang ditempatnya dan menatap Gara dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jadi kenapa?"
Vania menatap bingung pada Gara yang menanyakan hal itu. "Untuk apa datang kesini lagi?"
Gara menatap Vania dengan tatapan dingin, sungguh hatinya tetap berdebar ketika Gara kembali melihat keberadaan Vania di depannya. Gara berjalan mendekati Vania yang seketika langsung memundurkan langkahnya. Hingga Vania benar-benar tidak bisa lagi bergerak ketika tubuhnya terpojok di meja tempat bunga-bunga berjejer. Gara langsung mengukung tubuh Vania. Kedua tangannya berada di sisi tubuh Vania, bertumpu pada meja.
Debaran jantung keduanya saling berlomba cepat. Vania menatap Gara dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Sungguh meski Vania sangat kecewa pada apa yng dilakukan oleh Gara padanya di masa lalu. Tapi hatinya tetap tidak bisa berbohong jika masih merindukan pria di depannya ini.
"Kenapa kau pergi meninggalkan aku? Kenapa kau menghilang begitu saja dari kehidupanku? Apa alasannya Vani? Apa? Jawab aku!"
Vania menatap Gara dengan lekat, dari tatapannya benar-benar tersirat luka yang mendalam. "Kamu tanya aku, kenapa aku meninggalkan kamu? Apa kamu lupa atau hanya pura-pura lupa? Jelas kamu sendiri yang meminta aku untuk pergi dari kehidupanmu. Tapi kamu benar-benar sangat pengecut, karena kamu tidak beerani mengatakan secara langsung padaku"
Gara mengrutkan keningnya, dia benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh Vania barrusan. "Apa maksudmu? Aku jelas terus mencarimu kemana-mana. Mana mungkin aku yang menyuruhmu pergi dariku. Kau jangan mencari alasan jika tidak mau mengakui kesalahanmu!"
Vania mendorong tubuh Gara hingga pria itu mundur dua langkah. Dia masih tidak percaya dengan Gara yang malah menyalahkannya. Padahal jelas sekali jika Gara yang memintanya untuk peergi dari kehidupannya 5 tahun yang lalu. Gara telah menghancurkan hidupnya.
"Sekarang lebih baik kamu pergi dan jangan temui aku lagi. Kau juga sudah mempunyai istri, jadi pergi sebelum istrimu tahu tentang pertemuan kita ini"
Gara menahan tangan Vania ketika gadis itu siap pergi dari hadapannya. "Tunggu! Kau harus menjelaskan dulu, kenapa kau pergi meninggalkan aku?"
Vania menatap lengannya yang di pegang oleh Gara. Lalu dengan perlahan dia melepaskan cekalan tangan Gara dilengannya. "Jika memang kau ingin mengetahuinya, karena aku sudah tidak mencintaimu!"
Deg..
Gara terdiam mendengarnya, jadi Vania meninggalkannya karena dia sudah tidak mencintainya lagi. Lalu apa gunanya selama ini Gara mencari-cari keberadannya jika Vania sudah tidak lagi mencintainya.
Vania berlalu ke arah tangga setelah dia mengatakan hal yang berbanding terbalik dari apa yang dirasakan hatinya saat ini.
"Baiklah jika memang itu adalah jawabanmu, aku akan terima. Tapi kau perku tahu jika sampai saat ini perasaanku padamu tidak pernah berubah"
"Jika kau bicara seperti itu seribu kali pun padaku, jelas aku tidak akan mempercayainya. Karena kau tidak mungkin menikahi wanita lain jika benar kau masih mempunyai perasaan yang sama seperti dulu padaku"
Vania berlalu ke lantai atas ruko ini, dia tidak bisa terlalu lama berada di depan Gara. Hatinya tidak akan kuat jika terus berada di depan Gara. Setelah dia menutup pintu, Vania bersandar di pintu yang tertutup. Air mata yang sejak tadi dia tahan, langsung luruh begitu saja di pipinya.
"Aku tidak mau sampai dia mengetahui semuanya. Apalagi saat ini dia telah menikah. Jangan sampai Gara mengetahui tentang keberadaan Gevin"
######
Gara masih berdiri di tempatnya dengan mengusap wajah kasar. "Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku menikahinya jelas bukan karena cinta"
Gara kembali pulang dari toko bunga, dia berjalan masuk ke dalam apartemennya dengan wajah lesu. Dia benar-benar bingung dengan sikap Vania yang tidak dia kenal seperti Vania yang dulu.
"Be kamu sudah pulang?"
Gara tersadar jika ada Yunita di ruang tengah. Saking dia tidak fokus pada keadaan di sekitarnya. Gara menoleh pada Yunita. "Iya Yu, ada apa?"
"Kamu kenapa si? Apa ada masalah?"
Yunita berdiri dari duduknya diatas sofa, berjalan menghampiri Gara yang terlihat kacau itu. Yunita mengelus dada Gara, namun tangannya langsung di tepis pelan oleh Gara. Yunita menghela nafas pelan, dia sudah terbiasa dengan perlakuan suaminya ini.
"Maaf Yu, aku sedang lelah jadi aku mau istirahat sebentar"
Yunita menatap Gara yang berlalu dari hadapannya. Dia hanya menghela nafas pelan, sudah sangat terbiasa dengan sikap dingin suaminya itu.
Didalam kamar mndi, Gara sedang berendam di dalam bak mandi. Mencoba merilekskan tubuh dan fikirannya yang lelah.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di masa lalu? Kenapa Vania berkata jika aku yang telah memintanya untuk pergi, padahal jelas aku sangat mencintainya dan tidak mungkin melakukan hal itu"
Sampai saat ini Gara benar-benar tidak tahu dan tidak mengerti dengan ucapan Vania saat di toko bunga tadi. Gara tidak merasa pernah menyurunya untuk pergi, tapi kenapa Vania bisa menanyakan hal itu.
Sebenarnya apa yang telah terjadi?
######
Jenny baru saja kembali ke ruko dan melihat toko yng kosong. Dia segera naik ke lantai atas toko dan melihat Vania yang duduk di atas lantai dengan memeluk lututnya sendiri. Tentu saja pemandangan itu membuat Jenny panik dan terkejut.
"Vani, kau kenapa?"
Vania mendongak dan menatap Jenny dengan mata yang basah dan tatapan yang benar-benar menunjukan jika dirinya terluka.
"Kak... Hiks"
Jenny langsung memeluk Vania tanpa banyak bertanya apapun padanya. Jenny tahu jika yang diperlukan Vania saat ini adalah sebuah pelukan, bukan sebuah pertanyaan 'kau kenapa? Ada apa? Karena semua itu malah semakin membuat Vania menangis dan bingung untuk menjelaskannya.
Jenny menuntun Vania untuk duduk diatas sofa, mencoba menenangkan Vania dan membiarkan gadis itu memuaskan tangisannya terlebih dahulu.
Barulah setelah Vania tenang, Jenny memberinya minum dan mulai menanyakan keadaannya. "Jadi ada apa? Kenapa kamu sampai menangis seperti itu? Apa ada yang melukaimu?'
Vania menatap Jenny dengan tatapan penuh luka. "Dia kembali datang Kak, dia menemukan aku"
Jenny mengerutkan keningnya, mencoba mencerna ucapan Vania barusan. "Dia.. Maksudmu Ayahnya Gevin?"
Vania mengangguk dengan air mata yang kembali menetes di pipinya. Melihat itu Jenny langsung memeluknya, meski dia tidak tahu siapa pria yang Vania hindari sampai dia berlari ke kota ini. Tapi Jenny mendengar setiap cerita Vania tentang itu.
"Yaudah, mungkin memang sudah saatnya Gevin mengetahui Ayahnya"
Vania langsung menggeleng pelan, dia merubah posisi duduknya dan menatap Jenny dengan lekat. Tangannya memegang tangan Jenny. "Jangan lakukan itu Kak, dia telah menikah dan aku tidak mau merusak pernikahan orang lain"
"Dia bisa menikah dan tidak memikirkan penderitaanmu selama ini? Benar-benar laki-laki yang tidak perlu kau perjuangkan"
Bersambung
Vania pulang ke rumah seperti biasa, pukul tuju malam ketika toko tutup. Sebenarnya dia sudah sangat malu karena selama 5 tahun ini hanya tinggal menumpang di rumah Jenny dan ibunya. Jenny dan Ibu memang sudah seperti malaikat yang menolong Vania di saat tersulit dalam hidupnya.
"Ibu.." Suara anak kecil berusia empat tahun langsung menyambut kepulangannya ke rumah ini. Vania berlutut di atas lantai dan merentangkan tangannya untuk anaknya memeluknya.
"Gevin baik-baik 'kan di rumah? Tidak menyusahkan Nenek 'kan?"
Bocah laki-laki itu mengangguk dan teersenyum. "Iya Bu, Gevin menurut sama Nenek"
Vania tersenyum melihat anaknya yang selalu mendengarkan ucapannya. Bersyukur karena Vania mempunyai anak yang begitu baik dan menurut padanya. Mungkin Gevin mengerti keadaan ibunya yang membesarkan dia seorang diri.
"Baguslah, anak pintar" Vania mengelus kepala anaknya dengan tersenyum bangga padanya. Lalu Vania berdiri dan berjalan menghampiri Ibu yang duduk di atas sofa. Menyalami Ibu dengan sopan.
"Terima kasih sudah menjaga Gevin hari ini ya Bu. Maaf jika Vania selalu merepotkan Ibu dan Jenny"
"tidak Nak, justru bu senang karena ada teman saat berada di rumah. Kehadiran Gevin benar-benar membuat Ibu tidak lagi merasa kesepian. Jadi kamu tidak perlu merasa tidak enak seperti itu pada Ibu"
"Iya Vani, lagian Ibu selalu menekan aku untuk segera memberinya cucu. Tahu sendiri jika aku saja belum menikah, man mungin aku bisa memberinya cucu" Jenny duduk di samping Ibu.
Vania tersenyum mendengar itu, memang seperti itu jika dia kembali ke rumah ini. Vania bisa merasakan hal yang hampir tidak dia rasakan selama ini. Dia hanya seorang anak yatim piatu yang dititipkan di sebuah panti asuhan oleh Paman dan Bibinya.
"Ibu ayo ke kamar, Gevin sudah mengantuk"
Vania menoleh pada anaknya yang mengucek matanya karena mengantuk. Vania langsung menggendong Gevin. "Yaudah B, Kak aku bawa Gevin ke kamar dulu"
"Iya Nak, kasihan Gevin, dia sudah mengantuk sejak tadi tapi tetap ingin menunggumu pulang"
Vania mengangguk, lalu dia segera membawa Gevin ke kamar yang ditempati mereka. Menidurkan Gevin dengan terus mengelus kepala anak itu. Vania menatap wajah tenang anakya yang sudah terlelap. Wajah Gevin yang nyaris menyerupai Ayahanya.
"Maafkan Ibu Nak, karena Ibu tidak bisa memberikan kamu kebahagiaan yang lengkap seperti kebanyakan anak lainnya. Tapi Ibu berjanji akan berusaha sebisa Ibu untuk membuat kamu bahagia"
Vania menghela nafas pelan ketika dia mengingat pertemuanya dengan Gara tadi siang. Kedatangan Gara dalam hidupnya kembali hanya membuka luka lama dalam hati Vania.
#####
Sepasang kekasih yang tertidur dengan saling berpelukan dan tubuh yang sama-sama polos. Vania bangun lebih dulu saat cahaya matahari mulai masuk lewat ventilasi kamar kost nya ini. Mengerjap pelan dan menatap wajah laki-laki yang saat ini sedang memeluknya.
Aku tidak percaya jika semalam kami telah melakukannya.
Vania memang sangat mencintai Gara yang sekarang telah menjadi kekasihnya selama satu tahun ini. Gara adalah seniornya di kampus. Ya, Vania juga sadar jika status sosial diantara mereka akan cukup menjadi penghalang untuk hubungan mereka. Itu sebabnya sampai saat ini Gara belum bisa mengajaknya bertemu dengan orang tuanya. Padahal hubungan mereka juga sudah lama berpacaran.
Gara terbangun dari tidurnya saat merasakan sentuhan tangan di pipinya. Gara tersenyum saat melihat wajah kekasih hatinya. Dia memegang tangan Vania yang berada di wajahnya dan mengecupnya dengan lembut.
"Sayang, setelah ini aku akan menemui orang tuaku dan memberi tahu mereka jika aku akan menikahimu"
######
Semua itu hanya kebohonganmu, karena setelah kejadian itu kau menghilang tanpa kabar.
Vania meremas seprei ketika diamengingat kembali apa yang terjadi diantara dirinya dan Gara saat itu. Vania benar-benar merasa dibohongi saat itu. Namun kehadiran Gevin sama sekali tidak akan pernah Vania sesali, karena dia merasa tidak lagi kesepian. Meski pada awal kehamilan tidak mudah bagi Vania.
Vania turun dari atas tempat tidur dan segera keluar untuk mandi dan segera bersih-bersih.
Ditempat yang berbeda, namun di kota yang sama, Gara tidak bisa tertidur malam ini. Dia masih memikirkan tentang kejadian tadi siang. Tentang ucapan Vania yang mengatakan jika dia meninggalkan Gara karena tidak mencintainya lagi.
Rasanya aku tidak percaya jika dia pergi meninggalkan aku karena dia yang sudah tidak mencintaiku. Jelas sekali jika dia mengatakan itu tanpa melihat wajahku. Aku harus menemuinya kembali besok.
Gara melirik ke sampingnya dan melihat Yunita yang terlelap dengan membelakanginya. Helaan nafas panjang terdengar dari mulut Gara. Dia benar-benar sangat bingung dengan keadaan saat ini.
Dan besok paginya Gara benar-benar kembali datang ke toko bunga Vania. Dan gadis itu tidak ada disana, hanya ada Jenny saja,
"Loh Tuan yang kemarin 'kan, ada apa Tuan? Bukannya bunganya harus diantar lusa ya?"
"Dimana penjaga toko yang kemarin ada disini?"
"Ohh Vania ya, dia tidak masuk hari ini karena anaknya sedikit demam"
Anak? Vania mempunyai anak?
Gara benar-benar terkejut dengan yang dia dengar barusan. "Maksudnya dia sudah mempunyai anak? Emm. Padahal dia masih muda ya"
Gara sengaja mengatakan itu seolah dia tidak teerlalu ingin tahu. Gara takut jika Jenny tidak akan memberi tahunya tentang Vania jika Gara menunjukan keingin tahuannya.
"Ya, dia memang mempunyai anak diusia muda karena ulah pria tidak bertanggung jawab"
Deg..
"Dimana dia sekarang?"
######
Vania menghela nafas pelan ketika suhu tubuh anaknya sudah kembali turun. Dia mengelus kepala anaknya dan mengecupnya dengan lembut.
"Maaafkan Ibu ya Sayang, karena Ibu belum bisa menjadi Ibumu yang baik"
'"Kamu sudah menjadi Ibu yang baik untuk Gevin Nak..." Ibu masuk ke dalam kamar dan menghampiri Vania yang sedang menjaga anaknya yang sedang sakit. "...Bagaimana keadaannya?"
Vania menoleh pada Ibu dan tersenyum. "Sudah lebih baik Bu, panasnya juga sudah turun"
Ibu duduk di pinggir tempat tidur dan mengelus lembut lengan Gevin. "Kemarin dia kembali menanyakan tentang Ayahnya, Nak. Dan Ibu juga dengar dari Jenny jika kamu telah kembali bertemu dengan Ayahnya Gevin"
Vania menghela nafas pelan, dia tahu bagaimana anaknya juga merindukan Ayahnya. Namu, Vania tetap tidak bisa memberi tahunya karena takut jika Gevin akan kecewa.
"Ayahnya Gevin sudah mempunyai istri Bu, Vania tidak mau jika harus merusak pernikahan orang lain"
Ibu menghela nafas pelan, dia tahu bagaimana posisi dan keadaan Vania yang sangat sulit saat ini. "Tapi jika suatu saat Ayahnya Gevin mengetahui tentang keberadaan Gevin, bagaimana? Kamu tidak bisa terus menyembunyikan Gevin"
"Aku rasa tidak mungkin dia mengetahuinya Bu, lagian dia sudah menikah dia juga bisa memiliki anak dari istrinya yang sekarang"
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!