"Della, jangan berdiri di tepi sana!" teriak Airin saat melihat sahabatnya yaitu Della sedang berdiri di tepi atap sekolahnya yang memiliki empat lantai itu.
Della membalikkan badannya dan menangis menatap Airin. "Hidup aku sudah hancur Airin."
Airin akan berlari mendekat tapi kakinya sama sekali tidak bisa dia gerakkan. Terasa sangat berat. Dia hanya bisa terpaku menatap Della yang perlahan semakin melangkah mundur. "Della, jangan!!"
"Selamat tinggal Airin. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku." Della menjatuhkan dirinya dari gedung paling atas itu.
"Tidaaakkk!!!" teriak Airin. Dia membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya lagi, mengatur napasnya yang berat seolah dia baru saja berlari maraton.
Dia kini melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Untunglah, Bunda dan Ayahnya tidak mendengar teriakannya.
Dia singkap selimutnya lalu duduk di tepi ranjang. Dia meraih ponselnya dan membaca pesan-pesan dari sahabatnya. Dia tersenyum kecil melihat foto-foto dari sahabatnya di acara ulang tahunnya yang ke 17 tahun semalam.
Jarinya kini berhenti di sebuah pesan dari Della.
Tolong.
Airin mengernyitkan dahinya saat melihat pesan yang terkirim itu pukul 12 malam dan sebuah titik lokasi yang tepat di gedung utama sekolahnya.
Keringat kembali membasahi pelipisnya. Dia berusaha menghubungi nomor Della tapi nomor whatsapp dan nomor selular semua tidak aktif.
Dia kembali menatap layar ponselnya, tiba-tiba ada sebuah foto yang terkirim ke ponselnya dari nomor Della. Dia melihat foto yang terdiri dari tiga orang itu, dirinya, Della, dan Melodi. Tiba-tiba saja wajah Della berubah menjadi sendu dan buram. Seketika Airin menjatuhkan ponselnya ke lantai.
"Kenapa bisa seperti itu!" Napas Airin kembali sesak. "Tadi aku menghubungi nomor Della tidak aktif, lalu siapa yang mengirim foto itu."
Dia memberanikan diri untuk mengambil ponselnya kembali. Dia lihat pesan itu lagi, dan sekarang foto sudah menghilang.
Airin tercekat.
Airin, tolong aku...
Sebuah bisikan seolah sangat dekat di telinganya. Bulu kuduknya berdiri. Kepalanya terasa sangat besar. Dia tidak berani menoleh ke sisi kirinya. Tak ada cara lain selain berdiri dan berlari keluar kamar. Dia menggedor kamar kakaknya yang ada di sebelah kamarnya.
Beberapa saat kemudian si pemilik kamar itu membuka pintu sambil menguap panjang. "Ada apa sih, Airin! Ganggu tidur aku aja."
"Kak Ayla, aku takut." Airin justru memeluk tubuh mengantuk kakaknya itu.
"Takut apa? Sebentar lagi udah subuh. Kamu ngigau ya?" Ayla melepas pelukan adiknya.
"Ada hantu kak."
Ayla mengernyitkan dahinya. Dia ingat betul, adiknya dulu memang sering melihat penampakan tapi sudah lama mata batin itu ditutup. "Penyakit kamu kambuh lagi?"
"Penyakit?"
"Itu indihome kamu, eh, maksudnya indigo."
Airin hanya menggelengkan kepalanya. "Aku gak tahu, Kak."
"Ya udahlah, aku mau tidur lagi mau lanjut mimpiin Pak Aslan, guru baru di sekolah yang ganteng pol gak ketulungan." Ayla kembali melempar tubuhnya ke atas ranjang.
Airin menyusulnya naik ke atas ranjang dan menggoyang tubuh kakaknya. "Kak, kok tidur. Temani aku."
"Aduh, Airin. Kalau mau tidur, tidur aja di samping aku." Ayla yang sudah dalam posisi tengkurap tidak melihat lagi Airin yang masih ketakutan.
Airin hanya memeluk boneka milik kakaknya. Bisikan-bisikan itu seolah terdengar nyata di telinganya lagi.
"Airin, kenapa kamu di sini? Tadi Bunda dengar kamu ribut sama Kakak kamu."
"Bunda..." Seketika Airin turun dari ranjang dan memeluk Bundanya. "Bunda, Airin takut."
"Takut apa?" tanya Bunda Rili sambil mengusap rambut panjang Airin.
Ayla yang setengah tertidur itu kini menyahut pertanyaan Bundanya. "Indihome Airin kambuh, Bun."
"Indihome?"
"Eh, maksudnya indigo." Ayla memejamkan matanya lagi sambil memeluk bonekanya.
Bunda Rili kini menatap Airin. Wajah Airin memang terlihat pucat dan ketakutan. "Ada apa? Ayo, kembali ke kamar. Kalau mau, Airin bisa cerita sama Bunda."
Airin menganggukkan kepalanya.
"Ayla, bangun sekarang! Cepat mandi. Kalau tidur lagi nanti kesiangan. Kamu udah kelas 12 sekarang. Bantu Bunda di dapur. Masa' sampai sekarang yang nyiapin bekal masih saja Ayah."
Ayla berdengus kesal. "Iya, Bun. Ih, kalau Airin aja di sayang-sayang terus. Nanti Ayla mau daftar ke indihome juga biar di sayang-sayang."
Bunda Rili hanya menggelengkan kepalanya sambil menuntun Airin berjalan menuju kamarnya.
Tingkah kedua putrinya sejak kecil memang sangat berbeda. Ayla jauh lebih aktif, aktif dalam segala hal, dari tingkah dan bicaranya. Gen kedua orang tuanya bersatu di Ayla. Sedangkan Airin, sejak kecil dia memang pendiam dan penurut, itu sebabnya Airin jarang dimarahi oleh kedua orang tuanya. Meskipun mereka hanya berjarak satu tahun mereka tidak sekolah di satu sekolah yang sama.
Airin masih kelas sebelas, di salah satu sekolah favorit dan elit. Sedangkan Ayla, dia sudah kelas dua belas, di sekolah lain yang berjauhan dengan sekolah Airin.
Airin kini duduk di sebelah Bundanya sambil menundukkan pandangannya.
"Airin kenapa? Ayo, cerita sama Bunda."
"Tadi Airin mimpi buruk, Bun. Airin mimpiin Della bunuh diri dari atap sekolah."
"Mungkin itu hanya mimpi."
"Tadi waktu Airin bangun, Airin baca pesan dari Della. Dia minta tolong sama Airin dan posisinya berada di sekolah semalam tepat jam 12 malam."
Bunda Rili mengernyitkan dahinya sambil mendengar cerita Airin. Dia merengkuh tubuh Airin dan mengusap lengannya.
"Lalu tadi ada foto Airin, Della, dan Melodi yang tiba-tiba masuk dalam chat. Wajah Della terlihat hitam putih dan buram. Tapi setelah hp Airin jatuh, tiba-tiba foto itu hilang. Lalu ada sebuah bisikan yang jelas banget di telinga Airin, suara Della yang minta tolong."
Bunda Rili kini menatap Airin. Benarkah mata batin Airin kembali terbuka. Dia berusaha menepis pikiran buruk itu. Ya, mungkin saja itu hanya kebetulan.
"Mungkin itu hanya kebetulan. Nanti kamu tanya sama Della di sekolah. Sekarang kamu mandi, agar tubuh kamu segar dan mimpi buruk itu segera terlupakan."
"Iya, Bun." Airin kini berdiri dan mengambil handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah itu Rili turun dan menuju dapur untuk melanjutkan masakannya. Sebenarnya dia masih takut, mata batin itu benar-benar terbuka. Jika Airin berurusan lagi dengan makhluk tak kasat mata itu, hidupnya tidak akan tenang.
"Sayang, kok melamun?" tanya Alvin. Dia mengambil alih pisau yang dipegang Rili lalu melanjutkan cincangannya.
"Mas, barusan Airin mimpi buruk, dia juga bilang ada bisikan di dekat telinganya."
Seketika Alvin menghentikan gerak tangannya.
"Mas, aku takut mata batin Airin terbuka lagi. Sedangkan kakek buyutnya sudah tidak ada, bagaimana cara menutupnya kalau memang itu terjadi. Aku gak mau hal buruk terjadi pada Airin."
"Sssttt, mungkin itu hanya mimpi buruk Airin saja. Jangan terlalu khawatir. Semoga tidak terjadi apa-apa." Kemudian Alvin melanjutkan gerak tangannya mencincang duo bawang itu. Meski dalam hatinya dia juga khawatir hal-hal buruk yang penuh misteri itu terjadi pada Airin.
💕💕💕
.
Karya baru telah rilis. Jangan lupa jadikan favorit dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐.
.
Di sini cerita Airin, adiknya Ayla, anaknya Rili dan Alvin. Sequel dari novel Rili dan Sebuah Penantian.
.
Yang nungguin novelnya Ayla, sabar dulu yak, 🤭 Author sengaja buat genre horor karena sebentar lagi puasa biar gak ada anunya..
.
Makasih yang selalu setia dengan author receh ini..
Setelah Airin turun dari mobil Ayahnya, dia masuk ke dalam gerbang sekolah. Dia melihat ada mobil ambulance dan juga mobil polisi. Beberapa wartawan juga ada di sekolahnya.
"Apa yang terjadi?" Airin berjalan masuk ke dalam lapangan, banyak orang yang bergerombol di sana termasuk teman-temannya. Polisi sudah memasang police line di dekat lapangan. Di dalam police line itu ada mayat yang tertutup kain orange.
Pelipis Airin kembali berkeringat. Dia berusaha menerobos mereka yang bergerombol di dekat police line.
Matanya membulat saat melihat pergelangan tangan dari mayat itu, "Itu gelang Della. Della!" Seketika Airin menerobos police line meski ditahan oleh polisi. Tapi polisi itu kalah saat ada teman-teman Airin yang ikut menerobos.
Airin membuka penutup itu, hatinya hancur saat melihat kepala Della yang berlumur darah. "Dellaa!!!" Airin memegang tangan Della yang sangat dingin dan kaku.
"Dellaa!!!" satu tangan justru meraih tubuh Della. Dia memeluknya dan menangis. "Della apa yang terjadi sama kamu!" Dia adalah Revan, pacar Della yang baru tiga bulan jadian. Revan adalah seorang ketua OSIS, banyak gadis yang mengejarnya tentu saja banyak yang iri pada Della.
"Jangan disentuh sedikitpun! Kami akan melakukan otopsi pada korban! Apakah ini memang murni bunuh diri atau ada hal yang lainnya." Polisi menarik paksa mereka semua mundur dari tempat kejadian.
"Airin, aku gak nyangka Della pergi secepat ini." Melodi memeluk tubuh Airin yang bergetar karena tangisnya.
"Semalam Della sempat wa aku dan di pesan itu dia minta tolong." Tatapan matanya kini beralih pada Revan yang sedang menyusut air matanya. "Revan!!" Airin melepas tangan Melodi. Dia menatap Revan dengan tajam. "Semalam kamu yang antar Della setelah dari acara ulang tahun aku. Kenapa Della bisa ada di sekolah?"
"Aku juga gak tahu. Semalam aku antar Della sampai depan rumah."
"Apa kamu pastiin, dia masuk ke dalam rumahnya?"
Revan terdiam.
"Della, kamu masuk dulu."
"Iya, sebentar lagi. Kamu pergi dulu baru aku masuk."
"Della, ini sudah malam."
"Iya, makanya kamu cepat pulang."
Waktu itu Della tidak masuk ke dalam rumahnya. Dia masih berdiri di dekat pintu gerbang hingga akhirnya Revan meninggalkannya.
Revan menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kamu gak pastiin dia masuk ke dalam rumah!" Airin mendorong dada bidang Revan. "Kamu sebagai pacar harusnya bisa menjaga dia!" Airin semakin menangis.
Suasana semakin memanas saat kedua orang tua Della datang ke sekolah. Mereka juga ditahan oleh polisi saat akan melihat jasad putrinya.
"Airin, mengapa Della bisa ada di sekolah.? Bukankah semalam, dia minta izin mau menginap di rumah kamu."
Airin menggelengkan kepalanya. "Tidak tante. Della tidak ada rencana sama sekali menginap di rumah saya."
"Tante, semalam saya juga sudah mengantar Della pulang sampai depan rumah." kata Revan. Dia tidak ingin suasana semakin memanas.
Mama Della semakin menangis saat melihat jasad putrinya yang masih tertutup kain orange.
"Kami menemukan surat di dekat korban." Polisi itu membuka surat yang telah berlumuran darah itu.
Kedua orang tua Della mendekat dan ikut membaca isi surat itu. Di sana tertulis, jika Della sudah tidak sanggup lagi melanjutkan hidupnya dan memilih mengakhiri hidupnya. "Della, anak yang kuat, dia gak mungkin bunuh diri..."
Airin berdiri mematung sambil menatap pemandangan kelu itu. Tanpa sadar sedari tadi dia menggenggam gelang milik Della yang terlepas saat dia ditarik paksa menjauh. Dia tatap gelang itu.
Pergi!
Aku gak mau!
Jangan!
Teriakan-teriakan Della terdengar memilukan di telinga Airin. Tiba-tiba tubuhnya terasa lemas dan dia jatuh pingsan. Untunglah Azka berhasil menangkap tubuh Airin.
"Airin, kamu kenapa?" Azka menggoyangkan tubuh Airin tapi Airin tetap tidak membuka matanya.
"Azka, kita bawa ke UKS sekarang!"
Azka segera menggendong tubuh Airin dan membawanya ke UKS. Setelah sampai di UKS, dia membaringkannya di atas brangkar. "Mel, ambil minyak kayu putih."
"Iya."
Azka sangat khawatir dengan keadaan Airin yang tiba-tiba jatuh pingsan. Azka adalah salah satu sahabat Airin, dia seorang kapten basket dan tentu saja sangat keren. Tapi wajah tampannya tak membuatnya memiliki seorang pacar, bahkan untuk mendapatkan Airin saja sangat sulit.
"Ai, ayo bangun." Azka mengusap telapak tangan Airin dengan kedua tangannya, sedangkan melodi kini mendekatkan minyak kayu putih di hidung Airin.
Airin, tolong aku...
Airin, tolong aku...
Suara itu terus berbisik di telinga Airin. Seketika dia terbangun dan berteriak.
"Airin kamu kenapa?" tanya Azka.
Airin mengedarkan pandangannya, ada Azka dan juga Melodi di sampingnya. Dia usap pelipisnya yang berkeringat sambil menghela napas panjang. "Aku mimpi buruk."
Azka mengambil air mineral yang tersedia di UKS lalu memberikannya pada Airin. "Kamu minum dulu agar lebih tenang."
Airin segera meminum segelas air mineral itu sampai habis.
"Kamu sebenarnya kenapa?" tanya Melodi.
Airin memutar tubuhnya dan kini duduk di tepi brangkar. "Semalam aku mimpiin Della. Dia bunuh diri dari atap sekolah dan ternyata hal itu benar terjadi. Della sempat mengirim pesan, dia minta tolong dan share lokasi berada di atap sekolah tepat jam 12 malam. Aku baru baca pesan dia tadi subuh."
"Della ngapain malam-malam ke sekolah? Bukankah dia diantar sama Revan ke rumahnya?" tanya Azka.
"Revan pergi sebelum Della masuk ke dalam rumahnya. Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi pada Della. Kalian ingat kan, sejak Della jadian dengan Revan, banyak yang tidak suka dengan dia. Dia juga sering diteror dengan surat kaleng suruh putusin Revan." kata Airin. Della memang sering cerita padanya tentang teror surat kaleng itu.
Melodi menganggukkan kepalanya. "Jangan-jangan, ini ulah dari fans fanatik Revan."
Azka hanya menautkan alisnya. "Fans fanatik Revan? Kalian coba pikir deh, mereka cewek masak iya berani neror Della sampai dia bunuh diri kayak gini."
"Terus?"
Azka menggelengkan kepalanya. "Aku tahu, kamu sangat kehilangan Della, begitu juga dengan kita. Kita selidiki masalah ini sama-sama." Azka menyingkirkan anak rambut yang menutupi pipi Airin.
Airin mengalihkan pandangannya dari Azka lalu dia menggandeng tangan Melodi dan mengajaknya keluar dari UKS.
Karena tragedi itu, seluruh murid dipersilakan untuk pulang lebih awal.
Airin kini menghentikan langkahnya. Dia menatap Revan yang sedang berdiri di dekat ambulance.
Jasad Della sudah dimasukkan ke dalam ambulance dan beberapa saat kemudian ambulance itu melaju meninggalkan kawasan sekolah.
Airin dan Melodi berjalan mendekat. Begitu juga dengan Azka yang mengikutinya di belakang.
Airin menatap nanar line police dan tanda putih yang membentuk tubuh Della.
Airin...
Seketika Airin menoleh dan menatap Revan yang sedang berdiri bersama teman-temannya.
Matanya membulat, dia kembali tercekat saat melihat Della berdiri di antara mereka. "Della!!"
.
💕💕💕
.
Like dan komen ya...
.
Matanya membulat, dia kembali tercekat saat melihat Della berdiri di antara mereka. "Della!!"
Airin berjalan mendekat. Dia memberanikan diri menatap wajah pucat Della yang berlumur darah itu. "Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?"
Revan menatap bingung Airin. Apa dia sedang bicara dengannya? Tapi tatapannya menuju ke samping kanannya yang tidak ada siapa-siapa.
"Lo gila ya! Bicara sendiri!" kata Angga, salah satu teman Revan.
"Iya, cewek gak waras!" imbuh Guntur. Dia juga teman Revan.
Seketika Azka menarik mundur Airin. "Airin, jangan berurusan dengan mereka."
Mereka bertiga memang rival Azka karena Azka berhasil mendapatkan gelar kapten basket yang diincar oleh Guntur.
"Emang kalian berdua cocok, yang satu jomblo akut yang satu cewek gak waras."
"Kalian diam! Jangan semakin memperkeruh suasana." Revan membentak kedua sahabatnya. Dia kini menatap Airin yang masih menatap kosong sebelah kanannya.
Meskipun bulu kuduk Airin kini mulai berdiri, karena aura yang ditunjukkan Della sangat gelap, penuh amarah dan kesedihan.
Mereka semua pembunuh!!
Jantung Airin hampir saja berhenti saat mendengar ucapan dari makhluk yang hanya bisa dia lihat itu. "Siapa?"
"Memang cewek aneh." Revan membalikkan badannya dan juga teman-temannya.
Tiba-tiba Della menghilang saat Revan melewati tubuhnya.
Pasti ada sesuatu yang telah terjadi di atap gedung sekolah.
Airin kini melangkah cepat menuju tangga sekolah.
"Airin, kamu mau kemana?" Azka dan Melodi mengikuti langkah cepat Airin.
Airin terus menaiki anak tangga dan sampailah di lantai teratas gedung utama sekolahnya. Airin mengelilingi tempat itu dan berusaha mencari sebuah petunjuk.
"Ai, kamu cari apa? Udah mendung, ayo kita pulang." ajak Melodi karena awan hitam mulai bergerombol dan semakin menambah suasana kian mencekam.
Airin menggelengkan kepalanya. Dia menyisir tempat itu, banyak sampah berserakan. Pasti banyak murid yang diam-diam ke atap gedung itu.
Airin merasa lelah. Dia kini bersandar di pintu sebuah gudang yang kosong.
Airin...
Suara samar itu kembali terdengar, dia melihat gembok gudang yang telah usang itu. Dia pegang gembok itu. "Darah!"
Seketika Melodi dan Azka melihat sesuatu yang ditunjukkan Airin.
Azka berusaha membuka gembok itu. "Gak bisa dibuka."
Airin duduk dengan lemas sambil bersandar tembok. "Mel, kamu sahabat aku dari kecil, kamu percaya kan kalau aku bisa melihat makhluk halus."
"Mata batin kamu terbuka lagi?" Melodi ikut duduk di samping Airin.
"Aku gak tahu. Tapi sejak semalam aku mimpiin Della dan semua kejadian yang diluar akal sehat itu terjadi lagi. Aku melihat Della ada di antara Revan, dan dia bilang mereka adalah pembunuh."
Azka melebarkan matanya. "Mereka? Berarti yang melakukan ini tidak hanya satu orang. Apa jangan-jangan Revan? Dia punya niat jahat pada Della."
"Azka, jangan tuduh yang bukan-bukan dulu. Kita gak punya bukti. Dari cerita Della, Revan itu sangat baik." bela Melodi. "Kita cari bukti-bukti dulu. Kita harus bersikap biasa saja. Jangan sampai pelaku itu tahu kalau kita sedang mengungkap kasus ini. Ini semua demi Della. Della sahabat kita, kita gak mungkin biarkan arwah Della penasaran. Meskipun aku gak bisa lihat arwah Della tapi aku percaya sama kamu, Airin."
"Iya, kamu benar. Kita harus diam-diam mencari bukti itu. Jangan sampai mereka juga mencelakai kita." kata Airin.
"Ya udah, lebih baik kita pulang. Hujan juga akan turun. Ayo Airin, aku antar." ajak Azka.
Melodi hanya terdiam melihat perhatian Azka pada Airin.
"Ya udah, karena aku bawa motor sendiri, biar aku pulang sendiri. Kamu pulang bareng sama Azka saja lebih aman." Melodi berdiri dan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka berdua.
"Mel," Airin menghela napas panjang tapi dia tidak mengikuti Melodi. Dia kini menatap Azka yang ada di sampingnya. "Azka, tolong mulai sekarang jaga jarak sama aku."
"Kenapa?"
"Azka, berapa kali aku bilang, Melodi suka sama kamu."
"Lalu, apa aku salah kalau aku suka sama kamu."
Airin menghela napas panjang. "Gak salah. Hanya posisinya saja yang salah." Airin melanjutkan langkah kakinya. Lalu dia menuruni anak tangga.
Azka masih saja mengikuti langkah Airin. "Oke, aku ngerti, tapi kita bisa menjadi sahabat kan? Meskipun kamu gak membalas perasaan aku, biarkan aku simpan sendiri perasaan ini."
Airin menghentikan langkahnya sesaat. "Iya, kita memang masih bisa menjadi sahabat dan jangan lagi membahas tentang perasaan." lalu dia melanjutkan langkah kakinya.
"Ya udah, mulai sekarang aku gak akan bahas perasaan ini lagi. Ayo aku antar pulang."
Airin menggelengkan kepalanya. "Biar aku minta jemput sama Ayah saja."
"Ya udah hati-hati, aku duluan ya." Azka akhirnya melangkahkan kakinya menuju tempat parkir. Dia tidak bisa memaksa sebuah perasaan. Biarkan saja rasa cinta itu tersimpan rapi di hatinya, entah sampai kapan.
Airin menghentikan langkahnya di depan kelas. Dia mencoba menghubungi nomor Ayahnya tapi tidak aktif. "Tumben nomor Ayah tidak aktif." Airin menghela napas panjang.
Kemudian dia membaca grup kelas, bahwa jasad Della akan dimakamkan nanti sore di kota kelahiran kedua orang tuanya.
"Itu berarti, Della dimakamkan di luar kota. Aku gak bisa mengantar kamu di saat terakhir. Aku juga gak bisa menolong kamu saat kamu minta tolong. Semoga arwah segera tenang di alam sana." guman Airin.
Pandangan mata Airin kini tertuju pada seseorang yang masih berdiri di pinggir lapangan sambil menatap tempat kejadian yang dikelilingi police line itu.
Beberapa saat kemudian hujan turun dengan derasnya. Air hujan itu menyapu darah dan jejak jatuhnya Della.
Meskipun hujan, Revan tetap berdiri di tempat itu.
"Revan," Airin mengambil payung lipatnya lalu membukanya. Dia berjalan mendekati Revan dan memayunginya. "Kamu ngapain berdiri di sini?"
Revan hanya sedikit menoleh Airin lalu dia berlalu begitu saja.
"Revan, aku mau tanya sesuatu sama kamu!" Dia ingin memastikan kejadian sebenarnya saat terakhir Revan mengantar Della. Apa benar Revan mengantar ke rumahnya atau ke sekolah?
Revan menghentikan langkah kakinya. Dia kini menatap Airin.
Airin hanya terdiam. Wajah tampan yang basah terkena air hujan itu tak menutupi kesedihannya.
Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang dan menerbangkan payung Airin.
"Yah, payung aku." Airin menutup kepalanya dengan tangan. Dia berlari menepi tapi tiba-tiba dia terjatuh dengan keras. Terasa ada sebuah tangan dengan kuku-kuku panjang mencengkeram kakinya.
"Airin!" Revan membantu Airin berdiri lalu menuntunnya untuk berteduh di depan kelas.
Airin kini duduk di depan kelas sambil melihat kakinya. Dia turunkan kaos kakinya, terlihat luka membiru dan dua bentuk kuku panjang di dekat pergelangan kakinya.
"Kaki kamu kenapa? Sakit?" tanya Revan.
"Ya, lumayan sih. Tapi gak papa."
Revan berdiri dan meninggalkan Airin sendiri tanpa berkata apapun.
Emang bener ya, Revan si kulkas. Gimana aku mau pulang ini? Azka udah pulang belum ya? Nyesel banget aku tadi nolak tawaran Azka.
Airin menghela napas panjang. Dia membuka kembali tasnya untuk mengambil ponselnya. Untunglah tasnya anti air.
Airin...
Suara itu kembali terdengar. Napas Airin semakin terasa sesak. Dia terpaku dan tercekat.
Della semakin terlihat menakutkan.
Apa kamu memang tidak mau menolongku!!
💕💕💕
.
Like dan komen ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!