"Ingat ya, mulai hari ini kamu akan menjadi pelayan di Villa ini. Nanti sore Tuan Candra akan datang, rumah ini harus sudah dalam keadaan bersih dan makan malam pun sudah siap."
Rania mengangguk mengerti mendengar perintah itu, "Baik Pak, akan saya laksanakan."
"Saya tahu kamu anak yang rajin, jadi saya percayakan semuanya pada kamu."
"Saya akan berusaha bekerja dengan baik di sini. Terima kasih ya Pak sudah menerima saya untuk kerja di sini."
"Sama-sama Rania, apalagi kamu bekerja juga untuk membantu Nenek kamu yang sedang sakit." Pria paruh baya itu melihat jam tangannya, "Saya pamit dulu, nanti sore akan datang lagi bersama Tuan Candra."
"Iya Pak Rudi, silahkan."
Selepas kepergian pria itu, Rania berbalik melihat Villa mewah di depannya. Dengan bersemangat Ia masuk sambil menenteng tas berisi beberapa bajunya. Dari luar saja sudah mewah, apalagi di dalam, tidak kalah mewah.
"Dari dulu pengen banget punya rumah bagus begini. Gak papa deh walau cuma kerja doang, tetep aja tinggal di sini hehe," ucapnya sambil terkekeh kecil.
Villa nya lumayan luas, Rania sampai berkeliling dahulu melihat-lihat. Untung saja Ia sendirian, jadi tidak akan terlalu memalukan karena dari tadi terus mengagumi. Rania lalu ke kamarnya yang ada di belakang, menyimpan barang-barangnya.
"Sekarang kita bersih-bersih dulu, takut keburu sore," gumamnya.
Rania mengganti bajunya dulu dengan yang lebih santai, Ia juga menggelung rambut panjangnya agar tidak mengganggu saat bekerja. Untung saja Villa nya tidak bertingkat, tapi tetap saja luas dan menguras tenaga. Karena ini hari pertamanya bekerja, jadi Rania sangat bersemangat.
"Huft akhirnya selesai juga," desahnya sambil menyeka keringat di kening.
Terhitung hampir dua jam lamanya Rania membersihkan Villa itu, sekarang sudah terlihat lebih bersih dan wangi. Rania memutuskan istirahat sejenak sebelum memasak. Ia masak beberapa hidangan terkenal karena spesial untuk Tuan rumah.
Ting nong!
Mendengar bel depan berbunyi, membuat Rania tersentak. Apa jangan-jangan itu Pak Rudi ya? Rania segera ke depan untuk membukanya. Tetapi Rania malah terdiam melihat tamunya ternyata seorang pria dewasa bertubuh tinggi dan sangat tampan.
"Kamu siapa? Kenapa ada di sini?" tanya pria itu dengan suara beratnya.
"Saya--"
Sebelum menjawab, Pak Rudi muncul dari belakang sambil membawa koper dan tas ransel, "Ah iya Tuan, saya hampir lupa. Dia Rania, pelayan di Villa ini," jelasnya.
Tuan? Rania langsung mengerti, Ia pun membungkuk sedikit memberi hormat lalu memperkenalkan diri. Tetapi Rania merasa bingung saat Tuannya itu malah memperhatikan dirinya dengan tatapan dalam, cukup membuatnya tidak nyaman.
"Ayo masuk dulu," ajak Candra pada semuanya.
Rania yang mendapat kode dari Rudi, segera ke dapur untuk membawa segelas air putih. Baru saja akan pergi, Candra memanggilnya dan malah memintanya duduk di sofa.
"Saya di bawah saja," tolak Rania halus.
"Tidak usah sungkan, ayo duduk di sofa saja."
"Terima kasih."
Rudi yang sudah menyimpan barang-barang Candra di kamarnya kembali. Pria paruh baya yang bertugas sebagai penjaga Villa itu sempat menanyakan kebutuhannya lagi, tapi Candra tolak dan beralasan Ia akan langsung istirahat.
"Kalau begitu saya permisi Tuan," pamit Rudi.
Selepas kepergian pria paruh baya itu, suasana di sana tiba-tiba menjadi canggung. Rania dari tadi memang menundukan kepala, tapi sesekali melirik Candra yang duduk di depannya. Ia gugup sekali, apa Tuannya itu akan menanyakan banyak hal padanya?
"Jadi nama kamu Rania, benar?" tanya Candra.
"Iya Tuan, Rania Ayunindya."
"Nama yang cantik, seperti orangnya."
Mendapat pujian itu, membuat Rania tersenyum tipis. Bukan bermaksud sombong, tapi Rania sudah biasa dipuji seperti itu oleh penduduk desa, apalagi dari para laki-laki seusianya. Walaupun begitu, Rania tidak sombong dan tetap rendah hati.
"Kamu memang orang asli dari sini?" tanya Candra lagi.
"Iya Tuan, saya lahir di desa ini."
"Terus rumah kamu dimana?"
"Lumayan jauh, tapi masih di desa ini sih."
"Tapi kamu tinggal di sini, kan?"
"Pak Rudi bilang selama saya bekerja di sini, saya diharuskan tidur di sini. Apalagi anda sedang di sini, takut ada sesuatu yang dibutuhkan."
Candra malah tersenyum kecil menyalah artikan kata akhir yang diucapkan perempuan itu. Matanya ini dari tadi tidak bisa lepas dari Rania, pelayan cantik di villa nya. Penjaga villa nya cukup pintar mencari pekerja.
"Kamu terlihat masih muda Rania, berapa umur kamu?"
"Sekarang umur saya dua puluh tiga tahun."
"Wah berarti beda tujuh tahun dengan saya."
Kedua mata Rania terbelak, "Maaf, itu berarti Anda.. Tiga puluh tahun?" tanyanya.
"Iya, saya sudah kepala tiga."
"Tapi anda terlihat masih muda, saya kira anda masih dua puluh tahunan."
"Hahaha terima kasih ya, itu pujian, kan?"
Mungkin karena memiliki wajah tampan dan bersih, jadi Candra terlihat lebih muda dari usianya. Apalagi orang kota katanya suka perawatan, Candra kan seorang pengusaha jadi banyak uang juga untuk melakukannya.
"Apa Tuan mau makan malam sekarang? Saya sudah masak."
"Oh kamu bisa masak juga?"
"Bisa Tuan."
"Wah sudah cantik, bisa masak juga. Paket komplit sekali ya kamu ini Rania."
"Ah tidak juga, tapi terima kasih pujiannya."
Candra lalu mengajaknya ke dapur, terlihat sudah ada banyak hidangan di atas meja makan. Rania menuangkan air di gelas dan membuka penutup makanannya.
"Silahkan dinikmati Tuan, semoga suka," ucap Rania.
"Terlihat enak, pasti saya suka."
"Kalau begitu, saya permisi."
"Mau kemana?" tanya Candra, "Di sini dulu, temani saya makan."
"Maaf?"
"Kamu juga pasti belum makan malam, kan?"
"Belum, tapi saya nanti saja. Tidak enak kalau makan bersama anda, tidak sopan."
"Kata siapa? Saya kok yang ngajak kamu duluan, ayo duduk."
Sebenarnya Rania ingin menolak, tapi kalau terus menolak juga takut menyinggung Candra dan dianggap tidak menghormati. Akhirnya Rania pun duduk berhadapan dengan Candra, terlihat pria itu yang tersenyum lebar melihat kepatuhannya.
"Jangan gugup begitu, santai saja," ucap Candra.
Bagaimana bisa santai jika Rania makan semeja dengan bosnya? Bukannya kalau pelayan tidak boleh, ya? Padahal mereka juga baru bertemu beberapa menit lalu, tapi kenapa sudah sedekat ini? Mungkin karena Candra yang terlihat banyak bicara, membuat suasana pun jadi tidak tegang.
"Biar saya yang bawakan." Candra berinisiatif karena perempuan itu terlihat kikuk.
"Tidak usah Tuan, saya sendiri saja."
"Tidak, kamu pasti malu-malu." Candra mengambil alih piringnya, "Kamu mau makan sama apa? Ayam atau ikan?"
"Em ikan saja."
"Sama kangkung dan sambal, kan? Terus apalagi?"
"Sudah Tuan, jangan terlalu banyak."
"Kamu harus makan banyak, pasti laper sudah beres-beres dan masak."
Sikap ramah Candra itu membuat Rania perlahan merasa nyaman dan tenang, sepertinya kedepannya mereka akan lebih akrab.
***
Jangan lupa mampir ke novel baru saya berjudul "Si Manja Milik Tuan Muda" Pastinya ceritanya gak kalah seru loh 😉
Selesai makan malam panjang itu, Rania baru ke kamarnya. Bibirnya dari tadi terus melengkungkan senyuman dengan detak jantung yang cepat. Perasaan ini tentu sangat Ia ketahui, yaitu perasaan ketertarikan. Tetapi Rania harus tahu diri, dirinya hanya seorang pelayan di sini dan Candra adalah Tuannya.
"Tuan Candra sangat baik, kalau begitu aku akan betah bekerja di sini," gumamnya seorang diri.
Sebelum tidur, Rania mandi terlebih dahulu, badannya sangat lengket dan gerah. Melihat waktu yang sudah malam, Ia ke depan untuk mengunci pintu dan mematikan lampu. Tetapi Rania malah tidak sengaja melihat Candra di halaman belakang, entah kenapa Ia pun malah menghampiri.
"Hm sudah dulu, aku ngantuk." Candra segera mematikan ponselnya melihat kedatangan Rania.
"Kok belum tidur?" tanya Candra.
"Iya ini mau, kalau Tuan?"
"Saya belum terlalu ngantuk."
Masa? Tapi tadi Rania mendengar pria itu beralasan ngantuk pada seseorang di telpon. Rania hanya tersenyum tidak mau terlalu ikut campur juga, untuk apa juga Ia menanyakan itu.
"Tuan butuh sesuatu? Kopi mungkin?"
"Boleh deh, bawa kesini ya."
"Baik, saya permisi."
Rania segera ke dapur untuk membuat kopi, mungkin minuman ini akan menemani pria itu bersantai di halaman belakang. Setelah dibuat Rania kembali ke sana dan menghidangkan nya di meja. Candra tidak lupa mengucapkan terima kasih lalu menyeruput nya sedikit.
"Kamu sudah ngantuk belum Rania?" tanya Candra.
"Sebenarnya tidak terlalu, tapi besok saya harus bangun pagi untuk bersih-bersih dan masak."
"Santai saja, lagi pula saya suka bangun siang." Candra lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya, "Duduk, temani saya mengobrol sebentar."
Lagi-lagi Rania tidak berdaya menolak, Ia pun duduk saja di sebelah Candra. Mereka sempat membalas senyuman, tapi Rania langsung menunduk merasa gugup. Ditambah angin malam yang bersepoy, membuat tubuhnya semakin merinding.
"Apa saja yang kamu ketahui dari saya?" tanya Candra.
"Saya dengar anda seorang pengusaha sukses, datang kesini ingin melihat perkebunan teh dalam jangka waktu yang belum tentu berapa lama."
"Begitu ya, lalu status saya bagaimana? "
"Kalau itu saya belum tahu."
Kalau diperhatikan, Candra terlihat menghela nafas lega, "Kalau kamu sendiri, sudah ada pasangan belum? Pasti sudah ada pacar ya?"
"Belum Tuan."
"Masa sih? Kamu cantik loh, pasti di desa ini jadi kembang desa, kan?"
"Tidak Tuan, saya merasa biasa saja. "
"Itu menurut kamu, tapi menurut saya, tidak pasti semua laki-laki juga beranggapan kalau kamu sangat cantik. Saya bahkan merasa kamu bukan orang desa, kalau di kota kamu seperti model dan aktris."
Rania malah terkekeh kecil, "Anda terlalu berlebihan Tuan."
"Hei saya serius loh, kamu pasti sering lihat TV, kan? Artis pemain film itu hampir mirip seperti kamu."
"Sudah Tuan hentikan, saya jadi malu."
Melihat perempuan di sebelahnya yang terus tertawa, membuat Candra ikut tersenyum dan merasa senang sendiri. Sungguh, saat tertawa seperti itu membuat kecantikan Rania semakin bersinar. Walaupun cahaya di sana temaram, tapi Candra masih bisa melihatnya jelas.
"Jangan tersenyum seperti itu terus Rania," ucap Candra tiba-tiba.
Tawa Rania langsung terhenti mendengar itu, Ia kembali menatap Candra di sebelahnya dengan bingung. Setiap pria itu menatapnya dalam, membuat detak jantungnya selalu menjadi cepat. Suasana di sana pun kembali canggung.
"Kenapa?" tanya Rania.
"Karena senyuman kamu bisa mengalahkan cahaya bulan malam ini."
"Ya ampun Tuan, saya kira apa," ucap Rania sambil mengusap dadanya.
Kali ini giliran Candra yang tertawa, "Bagaimana? Gombalan saya terlihat natural, kan?"
"Iya, tadi saya sempat takut. "
"Hm kenapa takut?"
"Saya takut dianggap tidak sopan."
"Tidak, saya malah nyaman bersama kamu."
Tetapi Rania yang tidak nyaman, Ia selalu merasa di antara mereka harus ada batasan karena status sosial. Apalagi sikap Candra yang terlalu terbuka dan baik padanya yang hanya seorang pelayan. Malah membebani Rania.
"Saat pindah tugas kesini, saya merasa di sini akan sangat membosankan. Tetapi ternyata saya ada teman di sini, jadi tidak akan terlalu bosan."
"Teman?"
"Iya, kamu teman saya."
"Tidak Tuan, saya pelayan di sini, bukan teman anda."
"Tapi saya maunya kita temanan saja, bagaimana?"
Rania lalu berdiri, "Maaf Tuan, tapi sepertinya tidak bisa. Bukan apa-apa, tapi saya di sini itu bekerja. Mungkin saya bisa menjadi teman mengobrol anda, tapi.. Tidak lebih dari itu."
"Kamu serius sekali Rania, kamu segan ya pada saya?"
"Iya."
Candra lalu ikut berdiri, sebelah tangannya terulur menepuk-nepuk bahu kiri Rania. Tepukan nya lalu berubah menjadi pijatan pelan, kulit perempuan itu yang Ia sentuh terasa halus dan lembut.
"Sekarang mungkin kamu masih gugup, tapi nanti pasti akan terbiasa. Tidak apa, jangan terlalu dipikirkan. Tapi semoga kamu betah di sini ya Rania."
"I-iya Tuan."
"Sudah malam, ayo tidur. Saya ke kamar duluan ya, kamu juga."
"Hm."
Saat Candra pergi dan tangannya di bahu terlepas, membuat Rania langsung menghela nafas lega. Ia lalu menyentuh bahunya yang terbuka yang sempat pria itu sentuh, pijatan tadi cukup seduktif membuatnya gugup sendiri. Candra tidak sengaja, kan?
"Hah kenapa aku gugup sekali ya saat bersama Tuan Candra? Seharusnya biasa saja," ucapnya bingung sendiri.
Tidak-tidak, jangan sampai perasaan suka itu tumbuh. Rania sebenarnya senang saat Candra terlihat ingin lebih mengenalnya, tapi Rania merasa itu tidak benar karena status mereka. Rania harus bekerja dengan profesional di sini, apalagi Ia sangat membutuhkan uang.
"Lebih baik sekarang aku tidur, besok harus bangun subuh."
Di malam itu entah kenapa Rania bermimpi aneh. Ia merasa ada seseorang memasuki kamarnya, mendekati ranjang yang Ia tiduri. Seseorang yang memiliki tubuh tinggi itu duduk di dekatnya, memperhatikan wajahnya dalam.
Entahlah apa benar itu mimpi atau bukan, Rania juga tidak terlalu ingat kejadian tengah malam itu. Besok paginya pukul empat, Rania sudah bangun dan mandi. Ia pergi ke pasar menaiki sepeda untuk membeli bahan makanan yang akan dibuatnya nanti.
"Selamat pagi," sapa Candra melengokan kepala dari balik dinding.
"Kyaaa!" Rania menjerit karena terkejut.
Candra terkekeh kecil lalu keluar dari tempat persembunyiannya, "Dari mana nih?" tanyanya.
"Saya dari pasar Tuan, belanja untuk makan hari ini."
"Kamu rajin banget, bangun jam berapa memangnya?"
"Jam empat, Tuan juga sudah bangun? Ini masih pukul lima."
"Iya, saya cukup kesulitan tidur di sini. Udara di desa dan kota benar-benar beda, di sini sangat dingin."
"Iya memang benar, tapi nanti anda akan terbiasa."
"Hm, apalagi aku akan tinggal sebulan di sini." Candra melihat jam tangannya, "Saya mau jogging sebentar."
"Oh iya silahkan Tuan, hati-hati."
"Makasih sudah perhatian, saya tidak akan pergi lama kok."
Padahal Rania tidak bermaksud begitu, Candra ini selalu berlebihan. Setelah kepergian pria itu, Rania pun segera ke dapur untuk mulai masak dan membersihkan rumah. Semoga saja nanti saat Candra pulang, sarapan pun sudah siap.
Saat sedang mencuci piring, Rania tersentak seseorang mengejutkannya dari belakang sambil memanggil namanya. Kepalanya lalu menoleh dan melihat Candra lah yang mengejutkan nya, pria itu terkekeh kecil karena berhasil mengerjai nya.
"Saya kaget, kirain siapa," ucap Rania sambil tersenyum.
"Memangnya siapa lagi yang tinggal di sini? Kan cuma saya sama kamu," timpal Candra, "Kamu sih fokus banget cuci piring, sampai gak sadar saya pulang."
"Maaf Tuan."
"Tidak apa, jangan terlalu serius juga."
Rania ingin melanjutkan acara cuci piringnya itu, tapi fokusnya menjadi terbagi karena Candra yang terus merangkul bahunya, posisi mereka pun bersebelahan. Kenapa pria itu masih di sini sih memperhatikannya? Rania kan jadi tidak nyaman.
"Em Tuan, saya sudah siapkan nasi goreng untuk sarapan," ucap Rania.
"Oh iya saya kan belum sarapan, kamu sudah makan belum?"
"Sudah tadi duluan, maaf ya?"
"Gak papa, tapi nanti kita makan bareng aja."
Rania hanya tersenyum kikuk mendengar ajakan itu, tidak tahu juga harus menanggapi bagaimana. Saat rangkulan Candra di bahunya lepas, Rania langsung bernafas lega. Kalau dipikir, Candra itu sering sekali melakukan kontak fisik dengannya. Entah sengaja atau tidak.
"Saya penasaran, kenapa kamu mau kerja jadi pelayan begini?" tanya Candra yang sedang makan. Kebetulan posisi mereka saling berhadapan.
"Mencari pekerjaan di desa lumayan sulit, kalau ke luar kota pun saya tidak bisa karena tidak tega meninggalkan Nenek sendiri di sini."
"Kamu tinggal dengan Nenek kamu sebelumnya?"
"Iya, orang tua saya meninggalkan saya saat kecil."
"Begitu ya."
"Menurut saya kerja itu apa saja, yang penting halal dan masih bisa saya lakukan. Saya tidak gengsi kerja jadi pembantu, yang penting dapat pekerjaan."
Candra tersenyum tipis, "Kamu memang perempuan baik ya, saya bisa langsung baca karakter kamu."
"Benarkah?"
"Padahal kalau semisal kamu ke kota dan melamar jadi model atau artis sepertinya akan diterima."
"Saya tidak mengerti begituan, saya juga sedikit malu."
"Kenapa malu? Kan kalau jadi model dan artis bisa terkenal, gajinya pun lebih banyak. "
"Saya pernah membayangkan, tapi sepertinya saya tidak nyaman untuk melakukan itu."
"Hm ya sudah, apapun pekerjaan kamu asalkan buat kamu nyaman dan betah saja."
"Iya Tuan."
Sambil makan, Candra tidak bisa melepaskan pandangannya sedikit pun dari Rania. Sebagai lelaki normal, Candra tentu memiliki ketertarikan seksual pada pelayannya yang cantik dan seksi itu. Apalagi Rania terlihat polos, ingin sekali Candra mainkan sampai puas kalau bisa.
"Oh iya Rania, saya hampir lupa," ucap Candra.
"Iya Tuan, ada apa?"
"Sore ini teman-teman kerja saya akan datang dari kota, mereka akan singgah dulu di sini, tapi tidur di penginapan lain. Kedatangan mereka ke desa untuk ikut melihat perkebunan di sini."
"Berarti saya harus siap-siap ya Tuan?"
"Iya, kamu bisa masak lebih banyak untuk nanti makan malam?"
"Saya usahakan Tuan, tapi sepertinya mampu."
"Kalau merasa lelah, nanti saya minta Pak Rudi cari seseorang untuk bantu kamu masak deh. Gimana?"
"Boleh deh Tuan, saya juga takut keteteran. Kalau boleh tahu, memangnya teman kerjanya berapa orang?"
"Gak banyak kok, cuma berempat."
"Kalau begitu tidak usah, saya sendiri saja yang masak."
"Kamu yakin bisa sendiri?"
"Iya," angguk Rania.
"Baiklah, saya percayakan semua ke kamu ya."
Melihat bahan-bahan makanan di dapur yang tidak terlalu banyak, membuat Rania siang itu ke pasar membeli cukup banyak bahan makanan dan bumbu. Tadi juga sempat menanyakan makanan apa saja yang harus dibuat, Candra menyerahkan semua kepadanya, tapi hanya meminta nasinya diganti dengan nasi wangi.
Di pukul tiga sorenya, Rania mulai sibuk di dapur. Untung saja Ia bisa masak, jadi tidak terlalu cemas dan khawatir makanannya tidak akan enak. Hanya saja yang Rania khawatirkan itu, tamu dari kota keburu datang sedangkan makanan belum siap.
"Hah akhirnya selesai juga," desah Rania bangga sendiri. Terlihat di atas meja makan sudah banyak hidangan.
"Rania," panggil Candra memasuki dapur.
"Iya Tuan?"
"Sudah selesai?"
"Sudah, untung saja tepat waktu."
"Kerja bagus, kamu memang hebat."
"Terima kasih, tapi sudah menjadi tugas saya."
"Tenang saja, nanti saya akan berikan bonus."
"Hehehe makasih Tuan."
Candra melihat jam tangannya, "Mereka sedang di jalan, sebentar lagi juga sampai. Mending sekarang kamu mandi, berpakaian rapih ya."
"Iya Tuan, kalau begitu saya permisi."
Walaupun di sini Rania hanya bekerja menjadi pelayan, tapi tentu Ia harus berpakaian rapih dan enak dipandang, apalagi akan ada tamu terhormat. Tepat setelah Ia mandi, suara ramai di depan membuatnya langsung bergegas ke sana.
"Silahkan masuk," ucapnya menyambut.
Terlihat ke empat pria tampan yang sepertinya seumuran dengan Candra malah terdiam memperhatikannya. Ditatap sedalam itu, membuat Rania jadi gugup sendiri. Apakah ada yang aneh dengannya?
"Wah siapa nih? Ternyata si Candra udah nyiapin dulu hahaha."
"Berarti malam ini bakalan seru dong pestanya."
Kernyitan terlihat di kening Rania mendengar perkataan dari mereka yang terkesan ambigu, membuatnya bingung sendiri. Rania lalu terkejut saat seorang pria mendekatinya dan merangkul bahunya. Tetapi dengan cepat Rania melepaskan diri dan berdiri agak menjauh.
"Kenapa?" tanya pria itu, "Ayolah santai aja, gak usah malu-malu gitu."
"Maaf Tuan, tapi saya di sini bekerja menjadi pembantu."
"Hah? Masa sih?" tanya mereka tidak percaya.
"Iya, perkenalkan nama saya Rania."
Tidak lama terdengar suara langkah kaki mendekat, terlihatlah Candra yang baru datang. Ke empat teman kerjanya itu pun langsung berpelukan seperti teman yang sudah lama tidak bertemu saja. Rania hanya diam memperhatikan sambil bingung harus bagaimana.
"Rania, tolong bawakan minuman ya untuk mereka," perintah Candra.
"Baik Tuan." Rania pun segera pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman.
Saat akan kembali ke ruang tamu, suara ramai obrolan dari para pria itu terdengar dengar jelas. Langkah Rania lalu terhenti mendengar obrolan mereka yang sepertinya sedang membicarakannya. Bodohnya, Rania malah menguping.
"Beneran cewek tadi itu pembantu di sini?"
"Iya," jawab Candra, "Kenapa emangnya?"
"Kok bisa sih ada pembantu cantik seksi gitu? Bohong pasti."
Candra terkekeh kecil, "Awalnya gue juga gak percaya, tapi dia emang beneran jadi pelayan di villa ini."
"Wih kalau gitu, lo bakalan betah dong di sini selama sebulan."
"Iya lah, betah banget."
Merasa tidak mau berlama-lama membuat mereka menunggu, dengan memberanikan diri Rania pun menghampiri dan menghidangkan minuman itu di meja. Rania menyadari dirinya menjadi pusat perhatian, tubuhnya sampai merinding sendiri.
"Silahkan Tuan," ucapnya.
"Makasih Rania cantik, minumannya pasti bakalan lebih enak karena buatan kamu," gombal seorang pria yang tadi merangkul bahunya.
Rania hanya tersenyum tipis lalu melenggang pergi dari sana. Berlama-lama bersama kelima laki-laki itu entah kenapa membuatnya tidak nyaman, Rania seperti merasakan aura tidak enak dari mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!