NovelToon NovelToon

Tuhan, Terima Taubatku

Talak

*Apakah suami yang mengucapkan talak dalam keadaam marah dianggap sah? Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah sah. Maka, hati-hatilah para suami dalam berucap ketika marah*. ^^

"Yaudah kalau gitu, mulai detik ini aku talak 3 kau!" teriak Ayah menatap nyalang ke arah Ibu.

"Oke, aku gak masalah. Mau kau talak 4 dan 5 sekalipun aku tak masalah, surat pengadilan akan kuurus besok dan siap-siaplah bangkrut!" debat Ibu tersenyum sinis ke arah Ayah.

"Hahaha, bangkrut? Apa kau semiskin itu sampai berharap harta gono-gini padaku?"

"Oh, tentu saja tidak. Membeli harga dirimu pun aku mampu! Hanya aku tak terima pengabdian sebagai istrimu dulu yang begitu tulus di manfaatkan oleh wanita murahanmu itu!" tutur Ibu menyebut wanita yang memang menjadi biang segalanya.

"Wanita murahan? Apa kau tak punya kaca? Berkacalah, liat siapa yang murahan. Kau atau dirinya," murka Ayah dengan menunjuk wajah Ibu.

Rahangnya mengeras dan tatapan penuh kebencian dia perlihatkan ke arah Ibu, sedangkan Ibu hanya tersenyum remeh tanpa ada rasa takut sedikit pun padanya.

"Aku? Apakah aku yang membantu kawajibanmu kau katakan murahan? Hahaha, sudahlah! Aku tak punya banyak waktu meladeni laki-laki modelan sepertimu. Secepatnya pengacaraku akan mengirimkan surat pengadilan padamu!" potong Ibu dan berlalu pergi meninggalkan Ayah di ruang keluarga.

Ayah tampak belum puas mengeluarkan emosinya, ia menjatuhkan vas yang ada di ruang keluarga hingga tak berbentuk lagi.

Tak hanya itu, dia juga menghempaskan dengan kasar bingkai-bingkai yang tersusun di meja hias ruangan itu.

Aku yang dari tadi melihat perdebatan mereka dari ambang pintu dan sedikit bersembunyi di gorden akhirnya menghampiri Ayah.

Prang!

Prang!

Prang!

Gedebum!

Semua bingkai foto dan figuran yang begitu besar terpampang kami berempat kupecahkan ke lantai begitu saja.

Ayah yang tak menyadari kebaradanku seketika menatap ke arahku yang masih sibuk dengan aktivitas ini.

Setelah merasa sesak sedikit menghilang, kutatap dia dengan kebencian dan meninggalkan tempat yang sudah seperti kapal pecah itu begitu saja.

Berlari menaiki anak tangga dan menghapus jejak air mata.

"Arg ...!" teriak Ayah yang membuat aku berhenti di salah satu anak tangga melihat ke arahnya. Dijambak kuat olehnya rambut hitam tak terlalu panjang tersebut.

Aku kembali berlari menaiki anak tangga, menutup dengan keras pintu dan menguncinya. Merosot di balik pintu dengan sesegukan.

Suara mesin mobil terdengar, aku bangkit dan mendekat ke jendela melihat mobil siapa yang pergi.

Ayah ... akhirnya pergi dari rumah ini setelah Ibu pergi lebih dulu. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.

Kubuang benda-benda yang ada di meja belajar dan membuat kamar yang rapi kembali berantakan.

"Aku benci keluargaku, aku tak ingin hidup dari keluarga sial*n seperti ini!" teriakku dengan begitu kencang agar ada yang mendengar keluhanku.

Namun, itu hanya haluanku semata. Tak akan ada yang bisa mendengar kecuali kedua pembantu, tukang kebun dan supir saja palingan.

Itu pun, mereka tak akan pernah ingin membujuk atau bertemu denganku jika sudah seperti ini. Mereka akan membiarkan aku sendiri berhari-hari.

Kubuka lemari dan menghapus air mata yang tak berguna ini, "Aku benci air mata yang menunjukkan seolah aku lemah!" makiku menghapus air mata dengan kasar.

Memakai celana jens yang robek-robek, baju dengan legan pendek tak lupa jaket kulit. Rambut kubiarkan terurai dan mengoleskan make-up seadanya.

"Hy, Guys! Yuk, party! Gue tunggu di tempat biasa," ucapku menelpon salah satu teman satu geng-ku.

Kuambil kunci moge hitam milikku, malam semakin larut. Angin dan langit yang sedikit terang tanpa bintang juga bulan tak menyurutkan keinginanku untuk mencari hiburan.

Kata orang, penyesalan akan terjadi di akhir. Namun, aku tak peduli akan hal itu. Buktinya, penyesalan datang di awal.

Aku menyesal telah dilahirkan dari keluarga yang kubenci seperti saat ini, memiliki seorang Abang nyatanya tak membuat aku bahagia atau dijaga.

Dia malah acuh dan terkesan tak peduli denganku juga dengan keluarga ini. Apa pantas sekarang kusebut, 'keluarga?' sepertinya sudah tidak.

Motor gede milikku telah sampai di salah satu tempat terlarang, aroma-aroma menyengat yang bisa memabukkan tercium menggoda di hidungku.

Musik-musikan yang seketika membuat aku lupa dengan apa yang baru saja terjadi di rumah beberapa waktu yang lalu.

Aku duduk, di bangku yang telah disediakan pihak barr. Di sini begitu banyak wanita-wanita muda atau bahkan yang masih di bawahku menjadi pelayan para laki-laki hidung belang.

"Hay, Sayang. Sendirian aja, nih?" tanya seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah tak ada satu helai pun di kepalanya.

"Jangan ganggu aku, aku bukan wanita bayaran!" tegasku menatap tajam laki-laki yang tanpa se-izinku duduk di samping.

"Jadi, kau wanita yang sukarela dibayar? Atau, gratisan? Aku mau, sepertinya kau masih perawan. Benarkah yang kubilang?" tanya kembali dengan senyum menjijikkan.

Ingin sekali kupukul dia saat ini juga, tapi keadaanku yang kacau membuat aku malas untuk berlawanan dengan siapapun.

Kubawa botol minumanku tadi dan berniat beranjak pergi dengan wajah yang kutampilkan dengan datar tanpa senyum sedikit pun.

"Eh, tunggu dong Sayang. Kamu kok sok jual mahal banget, sih?" Dia menahan lenganku, aku menatap tajam ke arah tangannya itu.

"Lepasin tangan lo sekarang juga!" teriakku di wajahnya.

Ia langsung melepaskan dan mengangkat kedua tangannya takut, aku langsung berjalan ke bangku yang lain.

Tatapan beberapa orang tak kupedulikan, sisa sedikit lagi minumanku akan habis tapi teman-temanku tak juga datang ke sini.

"Sial*n, ke mana mereka? Apa mereka juga sekarang enggan berteman denganku? Baiklah, aku juga tak butuh para penjilat seperti mereka!" hardikku yang sekarang dipenuhi kebencian pada kedua teman sekolahku itu.

Entah sampai jam berapa aku berada di barr, ketika mataku terbuka sudah berada di dalam kamar yang tak kuinginkan.

Bukan karena keinginan diri sendiri bangun, tapi suara alarm yang sepertinya dipasang oleh pembantuku.

Kusandarkan kepala yang terasa begitu berat seperti ada batu yang menimpanya, kamar sudah rapi padahal sebelum pergi ke barr tadi malam begitu berantakan kubuat.

Prang!

Alarm yang terus saja berbunyi kuhempaskan di lantai agar diam, benar saja setelah kuhempaskan cukup keras ia diam dan mungkin akan rusak. Aku tak peduli sama sekali akan hal itu.

Tok tok tok

"Non, mandi. Air hangat sudah bibi siapkan, non harus banyak-banyak minum air putih biar bau alkohol-nya tidak keciuman sama guru pas sekolah nanti," teriak Bibi dari balik pintuku.

Aku tak menyahuti ucapannya, kembali masuk ke dalam selimut lebih menyenangkan. Siapa dia yang berani mengaturku?

Dia bahkan peduli hanya karena digaji oleh dua manusia yang sebenarnya tak layak dipanggil orang tua.

Tak ada sama sekali sosok ayah pada laki-laki tersebut dan juga sosok seorang ibu di dalam jiwa wanita itu.

Yang ada hanya dua orang egois dan tak peduli pada apa yang dirasakan oleh anak-anaknya. Di dalam benak mereka, harta bisa membuat semua akan baik-baik saja.

Padahal, harta yang malah membuat mereka akhirnya cerai-berai seperti sekarang. Hahaha, sungguh sangat tol*l para budak uang dan dunia itu.

Mencoba Bolos

*Apakah adab kepada seorang guru? Salah satunya adalah menghormati hak guru. Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengerti hak ulama kami.” (HR. Al-Bazzar 2718, Ahmad 5/323, lafadz milik Al-Bazzar. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117) Juga, merendahkan diri di hadapan guru, "Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkirah Sami’ hal. 88*)

Pukul 6 lewat 30 menit akhirnya aku baru turun dari kamar dengan tas ransel yang sudah ada di punggung.

Menuju meja makan yang ada di dapur dan hanya ada aku sendirian di situ, tak lama supir pribadi yang memang selalu mengantar ke sekolah datang dengan berlari kecil.

"Non, sepulang sekolah nanti. Kita ke pengadilan agama, ya, disuruh sama Nyonya," kata supir pribadi memberi tahu 'kan aku.

"Hmm," dehemku sambil memasukkan roti yang berselai cokelat ke dalam mulut. Minum susu putih yang memang akan selalu disiapkan di pagi hari.

Aku pergi berjalan ke arah mobil yang sudah pasti berada di depan teras mobil, Pak supir berjalan di depanku agar nantinya bisa membukakan pintu mobil.

Tak pernah menyuruh mereka agar melakukan ini semua. Namun, mereka berkata bahwa ini adalah perintah dari Ibu.

"Apakah nanti di sana juga ada Abang?" tanyaku memecah keheningan di dalam mobil menuju sekolahku.

"Iya, Non. Akan ada Tuan Gilang nanti di sana," jawab Pak supir sambil melirik wajahku dari kaca spion.

"Kenapa tak mat* saja laki-laki itu," gumamku yang sama sekali tak menyukainya meskipun dia adalah saudara kandungku satu-satunya.

Aku hanya terlahir dengan dua saudara dan satu lagi memilih untuk tinggal di kontrakan bersama teman-temannya.

Ia tak pernah mengakui aku adiknya, entah apa sebabnya bahkan untuk sekadar tegur sapa saja kami tak pernah.

Seolah ada penghalang yang begitu tinggi membuat jarak kami sangat jauh, aku pun tak pernah berniat untuk memulai bicara dengannya.

Bahkan, nomor handphone dan berteman di sosial media saja kami tidak. Sungguh ... entah bagaimana definisi keluarga tersebut.

Aku sama sekali tak mengetahuinya karena keluargaku saja rasanya tak pantas mendapatkan gelar, 'keluarga'

"Nazwa Nabila!" teriak suara wanita yang tak asing di telingaku. Aku langsung membalikkan badan dan menaikkan satu alisku.

"Ke ruangan saya sekarang!" perintahnya dengan wajah garang. Aku sama sekali tak takut lagi dengan wajah-wajah mereka.

Bahkan, ketika melihat wajah murka dan amarah Ibu juga Ayah saja aku sudah tak merasakan takut lagi.

"Ada apa Buk?" tanyaku menatapnya yang sedang duduk sambil menopang dagunya.

"Apa kau tak melihat ada bangku di depan saya? Kenapa kau tak duduk?" Aku akhirnya duduk di depan bangku kepala sekolah.

Bukan lagi BK atau guru-guru yang menangani persoalan diriku, tapi sudah sampai ke tangan kepala sekolah yang memang seorang perempuan di sekolah ini.

"Kau baru kelas dua Nazwa, apakah kau ingin tinggal kelas? Kenapa nilaimu hancur di semua pelajaran, tak ada satu pun yang baik. Kenapa kau bolos setiap jam pelajaran!"

"Mereka bilang kalau saya tidak menyukai mereka, lebih baik keluar saat mata pelajaran mereka Buk," jawabku jujur menatap wajah datarnya itu.

"Kenapa kau tak suka dengan semua guru?" tanyanya kali ini sambil menaikkan satu alis seolah begitu ingin tahu apa sebabnya.

"Karena ucapan mereka itu, apakah pantas seorang guru memiliki ucapan seperti itu? Seharusnya, ia berucap lebih baik bukan malah menyuruh murid yang tak suka padanya untuk keluar dari kelas."

Kepala sekolah di depanku tampak bingung dengan apa yang kuucapkan, apa dia tak mengerti dengan maksudku?

Ah ... sudahlah! Memang tak akan ada yang paham dengan jalan pikiranku ini sekali pun itu orang tuaku.

"Sudah-sudah!" tegasnya sambil menghalau pikiran yang ada di otaknya sepertinya, "Ibu gak mau tau, mulai sekarang kamu harus rajin ikut kelas guru mana pun itu! Jangan ada lagi bolos atau kamu tidak akan naik kelas!"

"Baik, Bu," sahutku cepat.

"Ibu serius Nazwa! Kamu jangan iya-iya aja tapi endingnya nanti tetap kembali bolos!"

"Ya, saya gak janji tapi saya akan berusaha untuk menepati Buk."

"Huftt ... ini semua demi kebaikan kamu Nazwa!" Helaan napas terdengar berat dari bibir kepala sekolah, ia mengalihkan pandangan dan menatap ke arah yang lain.

Aku membenarkan tali tas ranselku yang kurasa sedikit melorot, "Udah gak ada yang mau Ibu sampaikan?" tanyaku yang mulai risih dan muak.

"Ya, sudah. Itu saja, ingat kata saya!"

Bangkit dan menatap ke arah kepala sekolah sebelum aku benar-benar keluar dari sini, "Kalau Ibu udah gak kuat dengan murid seperti saya, buat aja surat pemberhentian untuk saya Buk. Tak perlu pedulikan bantuan Ibu saya pada sekolah ini, saya tidak akan menyangkut pautkan antara hal itu. Saya permisi, Buk!" pamitku dan pergi dari ruangan ini.

Mood-ku seketika hancur, sepagi ini sudah ada saja masalah yang silih berganti datang. Entahlah, aku benar-benar muak.

'Oh, iya, siapa yang membawaku pulang tadi malam dari barr, ya?' batinku dengan menautkan alis bingung.

Berjalan menuju kelasku, di sepanjang koridor beberapa pasang mata melihat ke arahku tapi tak kuhiraukan.

Bukan hal yang baru bagiku seperti ini, tak ada masalahnya juga. Memang, orang-orang akan selalu melihat kita, bukan? Karena, mereka punya mata.

Masuk ke dalam kelas dan menghempaskan tas dengan kasar di atas meja, kurapikan sedikit kerudung yang sudah entah bagaimana bentuknya ini.

Setiap kali ada rajia rambut bagi wanita, aku pasti akan selalu kena hukuman karena rambut berwarna milikku yang selalu terlihat.

Apa saja hukuman yang ada di sekolah ini sudah aku rasakan, bukan inginku seperti ini tapi karena memang aku tak tahu bagaimana lagi caranya agar membuat Ibu dan Ayah juga Abangku peduli pada diri ini.

"Nazwa-nazwa!" pekik teman wanitaku yang baru datang dengan ngos-ngosan.

Tak sama sekali netraku berpindah dari benda pipih yang sekarang tengah kutatap.

"Maaf, Nazwa. Kami gak bisa temenin lo tadi malam, soalnya kami udah gak dibolehin lagi temenan sama lo," ungkap salah satu temanku yang membuat aku akhirnya mendongak.

"Baguslah, memang tak ada gunanya berteman denganku!" tegasku menatap dingin ke arahnya.

Entah karena takut akan tatapanku ini, mereka akhirnya pergi dari meja yang ada di bagian depan ke meja mereka sendiri.

Saat akan keluar dari kelas dengan membawa ransel di punggung, suara tanda bahwa upacara akan dimulai terdengar.

"Nazwa! Baris dan jangan kabur apalagi berniat bolos!" tegas guru BK yang mendapati aku saat hendak keluar.

"Baik Pak," jawabku dengan malas dan meletakkan kembali tas punggung.

Kulirik sekilas ke arah mantan temanku itu, mereka menunduk dan merasa takut akan tatapanku ini.

Padahal, aku tak pernah memukul apalagi melakukan hal-hal yang kasar pada mereka. Kenapa mereka sampai setakut itu padaku?

Agar Tak Bolos

"*Tutur kata yang baik adalah sedekah." (HR. Ahmad. 2/316*)

Upacara mendera dimulai, aku sudah menguap dari tadi dan menyipitkan mata karena merasa silau akibat matahari pagi.

Satu per satu siswi yang mungkin tak sarapan atau bahkan memang sengaja menghindari upacara pun berpingsanan.

Para osis sibuk mengangkati dan menggotong para murid yang berjatukan, tanpa sengaja sorot mataku menangkap seseorang yang memperhatikanku.

Begitu aku menatapnya, ia dengan segera membuang pandangannya ke arah lain, "Kenapa sih tuh orang?" gumamku memutar bola mata malas.

Setelah hampir dua jam lamanya upacara dengan drama lampu yang mati juga razia yang tiba-tiba terjadi.

Kujatuhkan bobot tubuh ini di bangku sambil mengibaskan tangan di wajah agar keringat yang bercucuran di wajah segera menghilang.

"Atas nama Nazwa Nabila, dipanggil ke ruang kepala sekolah!" kata seseorang yang sepertinya disuruh oleh Buk Wati memanggilku.

Aku bangkit dan membuang napas kasar, baru saja duduk sudah dipanggil entah untuk apa lagi ke ruangannya.

"Mau ke mana kamu Nazwa?" tegur guru yang akan masuk mengajar di kelasku.

"Dipanggil sama Buk Wati, Bu. Ibu mau ikut biar percaya sama saya?" tanyaku menatap ke arah guru tersebut.

"Kamu jangan kurang ajar, ya!" hardiknya dengan menunjuk ke wajahku.

"Saya hanya bertanya, apa itu masuk ke dalam hal kurang ajar? Apakah tidak boleh bertanya pada ibu?" tanyaku kembali membuat wanita di depanku ini mengepalkan tangan dan berlalu begitu saja.

Kunaikkan bahu acuh dan kembali berjalan ke arah ruangan Buk Wati, kulihat ada punggung laki-laki yang tengah berbicara pada Buk Wati.

"Masuk Nazwa!" titah Buk Wati tersenyum padaku. Pasti karena ada laki-laki itu mangkanya Buk Wati tersenyum.

Biasanya, dia bahkan sangat enggan menatapku jika bukan karena Ibu membantu sekolah ini. Aku berjalan masuk ke dalam dan berdiri di samping laki-laki yang masih duduk dan menatap lurus.

Kutautkan alis kala melihat siapa yang ada di depan Buk Wati dan berada di sebelahku, 'Ngapain dia di sini?' batinku dan menatap ke arah Buk Wati.

"Duduk Nazwa!" perintah Buk Wati dan langsung membuat aku duduk di bangku samping orang tersebut.

"Ini adalah Farhan, dia anak kelas 12 A dan termasuk anak murid yang cerdas juga berprestasi dari kelas 10," ungkap Buk Wati menjelaskan sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.

Ia hanya mengangguk dan tersenyum sambil tetap menatap ke arah Buk Wati, hal tersebut membuat aku muak.

"Terus, kenapa Buk?" tanyaku yang malas basa-basi. Mengingat bahwa guru juga sudah masuk ke dalam kelasku tadi.

Pasti, aku akan ketinggalan pelajaran dan pembahasan kembali. Padahal, aku sudah disuruh untuk tak bolos tadi pagi oleh Buk Wati sendiri.

"Dia, akan menjadi guru les private kamu di rumah nantinya. Setiap hari dia akan datang ke rumah kamu bukan di sekolah, karena mengingat bahwa di sekolah waktunya terlalu minim."

"Ibu yang nyuruh ini?" tanyaku menatap dengan serius.

"Ya. Saya yang mengajukan hal ini, daripada kamu harus tinggal kelas kenapa tidak 'kan? Lebih baik kamu belajar dan membuat orang tua kamu bangga."

Aku berdecih, membuang pandangan dengan senyum menyungging dan kembali menatap ke arah Buk Wati.

"Bangga? Bangga kata Ibu? Bahkan, mereka tak akan pernah peduli pada saya sekali pun saya mati! Jadi, gak usah terlalu urusin hidup saya Buk. Kalau emang harus tinggal, buat saja tinggal Buk. Bahkan, saya sudah bilang. Berhentikan saya dari sekolah ini saja sekalian!" tegasku berdiri dan meninggalkan ruangan ini.

Ingin bolos pun rasanya tak mungkin, dompet, handphone dan tasku ada di dalam kelas yang masih ada guru di dalamnya.

Mau tak mau, aku kembali ke dalam kelas dengan hati yang sebenarnya malas. Menekuk wajah dan duduk di samping wanita yang sudah menulis dengan menunduk.

"Sudah siap Nazwa urusannya?" tanya guru dengan aku yang sibuk mengeluarkan buku dari dalam tas.

"Hmm," dehemku dan menatap malas ke arah guru yang juga mendatarkan wajahnya padaku.

"Tulis yang di papan tulis juga kerjakan halaman 100 dari satu sampai dengan lima!" titahnya tak ada senyum-senyumnya.

Segera mencatat meskipun aku pun tak tahu bagaimana bisa hasilnya dapat segitu sedangkan aku tak melihat dirinya saat menjelaskan.

Jika kusuruh atau meminta agar dijelaskan sekali lagi yang ada aku dimarahi abis-abisan nanti oleh guruku sendiri.

Jadi, ada baiknya sok pintar saja. Berlagak seolah paham dan mengerti dengan apa yang ada di depan ini.

Suara pergantian guru terdengar, "Baik, itu tugas dan dikumpulkan besok ketika saya masuk di jam ke empat."

Aku hanya diam dan kembali menulis soal yang belum selesai, saat dirinya sudah tak lagi ada segera membuka handphone dan mencari jawaban-jawaban dari soal tersebut di internet.

Kulirik orang yang ada di sampingku, ia tengah mencuri-curi pandang jawaban yang telah kutulis, "Kenapa? Salah?!" tanyaku ngegas dengan memukul meja.

Ia langsung menunduk dan menggelengkan kepalanya, "T-tidak, aku juga gak tau jawabannya, kok," lirihnya dengan terbata-bata.

Tak kuhiraukan dan kembali menulis jawaban yang kudapat, setelah selesai kembali menutup peajaran ini dan membuka pelajaran selanjutnya.

***

Suara istirahat di jam pertama telah berbunyi, "Tas kamu Bapak bawa dan akan bapak berikan lagi nanti pas jam pelajaran sudah mulai kembali!" tegas guru IPA saat aku hendak keluar sambil membawa tas.

"Lah, Pak! Sejak kapan ada peraturan seperti itu? Terserah murid dong mau bawa tas atau tidak saat istirahat?" debatku dengan mendongak seolah menantang guruku.

"Terserah kamu, kalau kamu tidak suka. Mengadu atau demo sekalian sana!" titah Bapak guru dengan membawa tasku begitu saja keluar dari kelas.

Aku mendengus kesal, yang diberi hanya handphone dan uang 20ribu saja. Padahal, seharusnya sama dompet-dompetnya agar aku tetap bisa bolos.

Berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki juga mencaci serta mengumpat guru-guru yang ada di sekolah ini.

Mataku menangkap seseorang yang baru saja bertabrakan dan membuat wanita itu terjatuh juga buku-buku yang di pegangnya.

Sedangkan laki-laki yang menabrak hanya tertawa dengan berkacak pinggang menunjuk ke arah wanita yang tengah menyusuni buku-bukunya.

Berjalan ke arah mereka dengan tatapan kebencian pada laki-laki tersebut.

Plak!

Satu tamparan kuhadiahi pada laki-laki tersebut dan membuat orang yang tadi lalu-lalang acuh juga yang duduk di bangku koridor menatap ke arah kami.

Laki-laki itu memasang wajah marah atau bahkan murkanya, "Siapa kau? Apa hakmu menamparku?" tanyanya dan mendorongku kasar bahkan hampir membuat aku terjatuh.

"Hakku? Bukan hakku sebenarnya, tapi aku hanya menyalurkan keinginan dari wanita yang kau tabrak barusan bukannya kau bantu dan minta maaf malah tertawa layaknya seorang pecundang!" hinaku menatap dingin ke arahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!