NovelToon NovelToon

Secangkir Kopi Hitam

Bab 1

Dia gadis yang santun, lembut dan penyabar. Parasnya cantik, tutur kata dan tingkahnya seperti seorang ningrat.

Aku yang berasal dari keluarga biasa dan sederhana kadang merasa sangat minder bisa mempersuntingnya.

Kami menikah karena di jodohkan, ayahku dan abinya pernah menempuh pendidikan bersama di sebuah fakultas dan bersahabat karib.

Di sanalah mereka pernah membuat janji akan mengikat keluarga dengan anak turunanya. Berawal dari ayah mertuaku yang melahirkan anak lelaki dan ibuku melahirkan aku yang tak mungkin bisa bersatu.

Lalu lahirlah Saeba, tapi saat ingin merealisasikan hubungan ikatan keluarga yang sudah mereka rencanakan, kakak iparku itu justru berjodoh dengan anak pemilik pondok pesantren terkemuka.

Karena segan menolak, ayah mertua memintaku untuk menikahi putri bungsunya dan adikku menikah dengan keponakannya.

Istriku yang saat itu tengah menempuh pendidikan S2 nya meminta waktu untuk menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, jadilah adikku yang menikah melangkahiku.

Setelah kelulusannya, mertuaku meminta agar keluarga kami segera meminang putrinya, karena mereka tak sabar ingin segera berbesan.

Tiga bulan sudah kami menjalani biduk rumah tangga. Semuanya terasa sempurna, kehidupan manis layaknya sepasang suami istri kami jalani dengan penuh suka cita.

Sebelum ....

Semuanya terbongkar.

Aku yang tak pernah tau di setiap Shalat malamnya yang selalu menangis menyayat hati ternyata bukan menyebut namaku.

Dia memendam perasaannya sendiri demi baktinya pada sang ayah tercinta.

Dia mencintai lelaki yang tak mungkin bisa dimilikinya karena ada aku.

Ya Allah ada apa ini? Kenapa kami harus di uji di awal pernikahan ini.

.

.

"M-mas?" gugupnya setelah melihatku duduk di dapur.

Dia baru keluar dari kamar ke dua kami. Wajahnya pias, mungkin takut aku mendengar doanya.

Aku tersenyum, tak bisa kusalahkan dirinya karena bagaimana pun kami tak cukup saling mengenal.

"Dek, sudah sholatnya?" tanyaku berusaha bersikap biasa.

Dia mengangguk ragu, aku tahu dia ketakutan. Namun aku tak bisa marah, ingin rasanya aku tau siapa lelaki beruntung yang di cintai istriku yang sempurna ini.

Cemburu? Tentu saja.

Tapi aku sadar, aku pun belum sepenuhnya mencintainya, bukan karena aku juga mencintai wanita lain, tapi karena rasa itu belum tumbuh, sebab hubungan kami memang masih terasa canggung.

Sekarang aku tahu penyebab istriku seperti kaku terhadapku karena di hatinya sudah terpatri laki-laki lain.

Aku marah pada diri sendiri sebab merasa gagal untuk memupuk cinta di antara kita.

Apa perhatianku selama ini kurang? Tanyaku dalam hati.

Paginya, keadaan kami semakin canggung, entahlah mungkin perasaanku saja.

Malam tadi setelah memastikan Hulya tidur aku bergegas menuju kamar ke dua. Kamar yang tak pernah sekalipun ku pijak sebab ku pikir tak ada apa pun di sana.

Ternyata salah, justru di kamar itulah semua rahasia istriku berada.

Rumah ini adalah rumah yang kubeli dengan hasil patungan dengan orang tuaku.

Orang tuaku merasa malu jika membawa Hulya yang terlahir dari keluarga berada harus tinggal di sebuah kontrakan.

Ayah mertuaku tak pernah mempermasalahkan ke mana pun aku akan membawa putrinya.

Nasihatnya saat itu bahkan membuatku berpikir ayah mertuaku adalah sosok teladan yang sangat mengerti dengan agama, dia tidak pernah memberatkanku sebagai seorang menantu.

Namun orang tuaku tetap memikirkan tempat tinggal saat memboyong Hulya. Jadilah rumah sederhana ini menjadi tempat kami bernaung.

Hulya sendiri tak pernah protes atau pun mengeluh, jika di rumahnya dia di perlakukan bak seorang putri, tapi di rumah ini dia mau mengerjakan semuanya sendiri.

Aku sungguh merasa malu tak bisa membahagiakannya seperti yang di lakukan kedua orang tuanya.

Hulya tak merasa marah atau mengeluh dengan pekerjaan rumah tangga saat aku sibuk mencari nafkah.

Padahal dia juga pasti lelah sebab dia juga masih bekerja sebagai pengajar di yayasan milik keluarganya.

Mertuaku memiliki sekolah yang cukup terkenal, mereka memang tak pernah meminta Hulya untuk membantunya.

Namun saat aku melihat mata istriku sayu karena keinginannya mengajar, menyalurkan ilmu yang di dapatnya selama ini, aku lah yang meminta pada mertuaku agar membiarkan Hulya mengajar.

Istriku tersenyum bahagia, itulah senyuman pertamanya yang membuat dadaku berdegup kencang.

.

.

Di kamar itu kutemukan buku diarinya, terkesan lancang memang, tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya istriku rasakan.

Namun nahas, hatiku justru seperti di tusuk oleh beribu pedang, sakitnya luar biasa, bahkan membuatku sesak.

Dia mengatakan kata cinta dan kerinduan pada sosok yang telah mencuri hatinya.

Azam

Itulah nama yang berulang kali Hulya tulis dengan tinta merah. Pertanda cintanya yang sangat menggebu untuk lelaki itu.

Di sana juga ada namaku, terselip ribuan kata maaf yang tak pernah bisa dia ucapkan padaku karena dia merasa menyakitiku.

Setidaknya Hulya tau dia menyakiti hatiku. Namun bisa apa, jika aku sendiri tak pernah tau kesalahan apa yang harus di maafkan.

Apa mencintai lelaki lain yang bahkan sebelum bersamaku termasuk menyakiti? Entahlah.

Apa aku harus marah karena merasa di tipu? Lalu apa yang harus aku lakukan?

Memaksa dia untuk mencintaiku dan melupakan lelaki bernama Azam itu?

Mungkin bisa saja Hulya kembali berbohong, hati manusia tak ada yang tau kecuali penciptanya.

Aku juga tak bisa menyalahkannya karena menerima pernikahan ini. Aku yakin ini semua juga ia lakukan karena baktinya pada orang tua.

Sebaiknya aku kembalikan bukunya, aku sudah tak sanggup menahan sesak di dada.

Kurebahkan tubuh di sampingnya, menatap ke arahnya.

Tiba-tiba air mata keluar dari sudut matanya. Entah apa yang ia mimpikan, yang pasti itu bukan mimpi indah.

Kuseka air matanya dan mengusap surai hitamnya. Rambut yang selalu wangi stroberi sangat menangkan bagiku.

Apa yang bisa membuatmu bahagia istriku?

Aku pun ikut terlelap karena kantuk yang tiba-tiba mendera.

.

.

"Mas antar ya Dek," tawarku dengan santai seperti biasa.

Sepersekian detik kulihat raut wajahnya berubah. Selama ini aku hanya beberapa kali mengantarnya ke tempatnya mengajar, mungkin dia terkejut karena perhatianku yang mendadak.

"A-apa ngga merepotkan Mas?" jawabnya gugup.

"Tentu saja enggak sayang, sudah lama kita ngga berbincang bersama, maaf kalau mas kurang memperhatikanmu ya," ujarku lemah.

Dia menatap mataku sayu, mungkin dia juga merasa bersalah, atau mungkin itu hanya penilaianku saja.

"Aku senang diperhatikan mas, hanya saja aku takut jadi manja," jawabnya sambil terkekeh.

Senyum itu kembali, membuat tekadku semakin kuat untuk merebut cintamu Hulya.

Di perjalanan kami berbincang ringan, aku yakin dia tak curiga jika aku sudah mengetahui rahasianya.

Kuparkirkan roda empat milikku di tempat parkir khusus pengajar dan staf sekolah, sepertinya.

Mobilku sangat menyedihkan di bandingkan mobil lain.

Apa ini yang membuat Hulya malu jika di antar olehku?

Mobil Hulya pun lebih bagus dari mobilku, jauh ... Jauh lebih bagus malah.

"Mas, melamun?" tegurnya padaku.

"Maaf, mungkin kamu malu sama mobil mas ya Dek," ujarku dengan kekekan.

"Mas ini ngomong apa! Enggaklah, aku bangga denganmu mas," kebohongan yang terlihat lancar di ucapkan bibir mungilnya.

Mungkin karena sudah seringnya ia membohongi perasaan, membuatnya semakin mahir, sayangnya aku tak bisa lagi terpesona dengan pujiannya padaku.

Aku ikut turun, hal yang tak pernah aku lakukan, biasanya aku akan segera pergi setelah Hulya turun dari mobil.

Hulya tampak terkejut, tapi setelahnya dia kembali bersikap biasa. Kini aku merasa asing dengannya.

Bisa juga karena aku memang tidak pernah peka padanya.

"Kamu mau apa mas?" tanyanya dengan sorot mata tampak waswas.

"Bu Hulya," sela salah seorang pengajar lainya.

"Ibu di tunggu pak Azam," lanjutnya baru setelah itu dia menatapku.

Tubuhku menegang mendengar nama Azam, apakah dia orang yang sama. Lalu kulihat istriku yang juga tampak gugup.

"Ini?" rekan Hulya menatap meminta penjelasan pada istriku.

"Dia suamiku," jawabnya cepat tanpa ingin memperkenalkan kami, kulihat dia sedikit kesal, mungkinkah dia cemburu?

"Mas maaf ya, kami ada rapat," ucapnya setelah itu dia pergi menggandeng rekanya dengan paksa.

Apakah istriku dan lelaki yang di cintainya berada pada tempat yang sama?

.

Next

Visual

Biar semangat menghalunya, aku mau kasih visual mereka menurut versiku ya, silakan kalian berimajinasi sendiri kalau enggak sesuai🥰🙏

Ini tokoh utamanya, namanya Ragil Saputra.

Ini si cantik Hulya Maulida, istri dari Ragil

Azam nih, lelaki manis yang senyumnya bikin meleleh mbak Hulya.

Sarah istrinya Azam, ngga kalah cantik kan.

Farah, siapa ya? Nanti kalian juga tau

Ini Babang Hendi sohibnya mas Ragil yang dewasa.

Selamat menghalu🥰🙏 jangan lupa dukungannya ya.

Bab 2

Kuparkirkan kuda besiku pada lahan parkir yang berjarak tak jauh dari Toko percetakan milikku.

Para karyawan sudah menunggu di depan, begitu juga dengan Hendi, sahabat sekaligus mitraku.

Ya, kami membuka usaha ini bersama, meski aku yang lebih banyak mengeluarkan modal.

Namun, Hendi lah orang di balik suksesnya percetakan kami.

"Tumben telat?" tanyanya santai, meski ada terselip sedikit rasa khawatir.

"Nganter istri dulu," jelasku sambil tersenyum dan menyerahkan kunci Toko padanya, karena aku yakin dia pasti lupa membawa kunci lagi.

"Tumben," jawabnya lirih. Namun masih bisa kudengar.

Bahunya menjadi sasaran tinju sebagai balasan karena yang meledekku. Dia balas mencebikkan bibirnya.

Kupandangi ponsel yang selalu sepi, riwayat pesanku dengan Hulya bahkan sangat memprihatinkan.

Tak pernah ada pertanyaan apa pun di sana, hanya ada pesan terakhir yang mengatakan kalau aku hendak pergi ke suatu tempat kemarin dan hanya di balas ‘ya’ saja.

"Cie ... Cie, baru juga ketemu dah kangen? Telepon ajalah bro!" sindir Hendi.

Aku memiliki lima karyawan termasuk Hendi, kami selalu bergantian entah dalam makan atau pun melakukan kewajiban ibadah.

Sebagai atasan aku pun tak pernah diam, aku juga ikut turun tangan dalam mengurus percetakan.

Siang ini seperti biasa aku akan makan bersama Hendi, tak ada yang merasa di anak tiri kan sebab mereka juga tau Hendi adalah mitraku, orang kepercayaanku.

"Maaf, bukannya mau ikut campur, aku liat dari tadi kamu banyak ngelamun, ada masalah?" selanya di tengah lamunanku.

Apa terlihat seperti itu? Namun apa yang bisa kuceritakan pada Hendi? Mengatakan jika aku seorang suami yang menyedihkan?

Suami yang tak pernah di cintai istrinya? Aku tak bisa membuka aib rumah tanggaku, mungkin tidak sekarang.

"Ah enggak, biasalah," elakku.

"Rumah tanggamu baik-baik aja kan?" cecarnya lagi.

Aku mengernyit heran, mengapa Hendi bisa menebak seperti seorang cenayang?

"Apaan sih Hen! Baik lah, emang ada masalah apa, masih pengantin baru ini!" ujarku sambil terkekeh mencoba menutupi kegugupan.

"Syukurlah, kata orang tahun pertama pernikahan itu berat, karena kita baru tau watak asli pasangan kita yang sebenarnya," sambungnya datar.

"Cih! Kaya udah ngerasain aja! Makanya nikah, jadi tau gimana asyiknya," ejekku.

Dia mendengus, "makanya aku belajar banyak dulu, supaya tau apa aku udah siap apa belum buat berumah tangga. Aku ngga mau tau-tau menikah padahal belum siap segalanya," jelasnya.

Hendi sangat dewasa, dia bahkan lebih memikirkan tentang pernikahan sebelum melangkah ke arah itu. Bukan sepertiku yang tanpa persiapkan lalu melangkah tanpa ragu.

"Memang apa yang harus kamu persiapkan?" tanyaku penasaran.

"Banyaklah bro! Materi dan mental juga pastinya," jawabnya cepat.

"Tapi kayak yang kamu bilang, satu tahun pernikahan adalah awal cobaan sebuah rumah tangga, berarti percuma juga kalau nantinya kamu juga terkejut tentang sifat pasanganmu," cecarku.

"Ya enggaklah, paling enggak kalau aku udah mengenal lebih dulu, adalah sedikit aku tau sifat baik atau buruknya, ya itu kan versiku, ngga jadi acuan juga," bebernya pongah.

"Kenapa? Kamu kaget dengan sikap istrimu?" tebaknya yang lagi-lagi tepat sasaran.

Aku rasa dia cocok jadi cenayang, mungkin juga dia adalah orang yang peka, tak sepertiku.

"Apaan sih ngapa jadi nebak macem-macem kamu!" dengusku.

"Ya udah lah aku kan cuma nanya, kalau mau cerita, ceritalah, kamu tau aku kaya gimana kan?" tawarnya serius.

Selesai makan siang kami memilih bergegas kembali ke Toko. Tak ada percakapan selama perjalanan kami, bukan aku marah, hanya banyak hal yang saat ini tengah aku pikirkan.

Sukanya aku dengan Hendi, dia tak pernah memaksa dan selalu memberikanku ruang untuk sendiri, tanpa banyak tanya.

.

.

Pulang bekerja, seperti biasa, Hulya sudah berada di rumah. Ia tengah sibuk di dapur, menyiapkan makan malam kami.

Sepertinya dia tengah fokus memasak hingga tak menyadari kedatanganku.

"Assalamualaikum," sapaku membuat dia menoleh dan memegang dadanya.

Aku yakin dia terkejut karena wajahnya putihnya seketika memucat. Hanya sekejap, tak lama rona wajahnya kembali lagi.

"Maafkan mas. Mas ngga bermaksud mengejutkanmu," sesalku lalu mendekatinya.

Dia meraih tanganku dan menciumnya seperti biasa.

"Mas ih, untung aku ngga jantungan!" gerutunya.

Istriku layaknya seorang istri pada umumnya, mungkin, jika sedang berada di dalam rumah, dia memakai pakaian rumahan seperti daster dan santai lainnya.

Namun saat keluar rumah maka seluruh tubuhnya akan tertutup rapat dengan balutan hijab yang juga lebar.

"Kali ini aku masak buncis campur udang mas," jelasnya.

Aku hanya tersenyum, apa pun yang ia masak akan kuhabiskan tanpa mengeluh, meski itu bukanlah makanan favoritku.

"Maka sih Dek, mas mandi dulu ya," ujarku hendak berlalu, setelah mencium keningnya.

Saat makan malam kami melakukannya secara hening. Tak ada obrolan apa pun, istriku terlalu kaku, aku pun bingung hendak membuka obrolan.

Tiba-tiba sebuah ide terbesit dalam benakku.

"Emmm Dek, gimana kalau akhir pekan nanti kita ke rumah Abi dan Umi?" ajakku.

Biasanya seorang istri akan antusias mendengar suaminya mengajak pulang ke kediaman orang tuanya.

Namun sepertinya itu tak berlaku untuk istriku. Dia selalu menghela napas sebelum menjawab ajakkanku. Sepertinya dia enggan mendatangi kediaman orang tuanya.

"Baru minggu lalu kita ke sana mas, apa ngga papa? Atau mas mau ke rumah ayah dan ibu saja?" tawarnya mengeles.

Memang baru minggu lalu kami ke rumah abi dan uminya, tapi aku sendiri memiliki misi ingin mencari tahu siapa Azam.

Siapa tahu di rumah abi dan umi aku bisa menemukan petunjuk lain.

"Kamu enggan?" tanyaku hati-hati.

"Ah en-enggak mas, ngga papa kalau mas mau ajak Hulya pulang," jawabnya pura-pura antusias.

Kini setelah aku berpikir keras menebak segala sikapnya, aku banyak tau dia lebih sering menyembunyikan perasaannya.

Seperti saat ini, aku tau dia kecewa dengan ajakkanku, terlihat dari caranya menghela napas.

Hari-hari kulalui dengan hubungan yang semakin dingin. Mungkin aku yang baru merasakannya, padahal tak ada yang berubah dengan kebiasaan kami.

Sampai di ujung hari, akhirnya kami merealisasikan rencana untuk mengunjungi mertuaku.

Kedatangan kami di sambut dengan hangat oleh ibu mertuaku.

"Akhirnya kamu menuruti kami untuk berkunjung tiap akhir pekan Ya," sindir umi pada Hulya.

"Iya mi, maafkan kami yang ngga bisa nurutin permintaan umi terus, kapan kami punya waktu berdua kalau tiap akhir pekan kami harus ke sini?" gerutu Hulya yang justru di sahuti kekekan mertuaku.

Apa yang dia bilang? Waktu berdua? Mudah sekali ucapannya. Seingatku kami tak pernah menghabiskan waktu bersama.

"Gimana, kamu udah isi Hul?" tanya abi saat kami sampai di ruang keluarga.

Di sana abi sudah menunggu bersama dengan mas Zhafran beserta anak dan istrinya.

"Gimana kabar kamu Gil?" sapanya lantas memelukku setelah aku menyalami abi.

"Aku masih bingung loh Gil sama nama kamu, Ragil kan artinya bungsu, sedangkan kamu anak pertama," ledek kakak iparku Zahra.

Tak kuhiraukan ledekan kakak iparku itu, aku lantas menyapa balita kecil yang sedang asyik memainkan mainannya di atas karpet bersama dengan pengasuhnya.

"Halo ganteng," sapaku mengajak ponakanku berinteraksi.

"Ayo Hul, kita masak makan malam!" ajak umi pada istriku dan diikuti oleh kakak iparku.

"Kayaknya ada yang ngga sabar nih pengen nimang bayi," celetuk kakak iparku, menggoda kami lagi.

Kulihat Hulya membuang wajah, sepertinya dia tak senang dengan candaan kakak iparnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!