NovelToon NovelToon

Memaksa Restu

Bab 1

"Ma! Tolonglah, Ma! Tolong restui hubungan Rani sama Mas Rio!" Rani kembali memohon restu untuk yang kesekian kali pada mamanya.

"Mama kan udah bilang berkali-kali sama kamu. Mama nggak setuju kalau kamu punya hubungan sama Rio. Apalagi kalau sampai ke jenjang yang lebih serius. Mama tau gimana kelakuan Rio itu! Bener-bener nggak bisa dipercaya. Pokoknya Mama nggak setuju kalau kamu sama Rio!" Untuk kesekian kalinya juga, Laras - Ibu dari Rani menolak keras permohonan putri bungsunya itu.

"Tapi kenapa, Ma? Apa alasannya? Mas Rio baik, bertanggung jawab, dia juga setia. Selama sama aku juga dia nggak pernah macem-macem, Ma. Emang bener, kalau Mas Rio itu bukanlah pegawai yang terpandang. Dia memang cuma karyawan pabrik biasa. Tapi apa salahnya, Ma? Kenapa Mama seperti menganggap Mas Rio itu sangat buruk?" Rani masih tetap saja bersikeras membela Rio yang baru dekat dengannya beberapa bulan yang lalu.

"Karena mama mau yang terbaik buat kamu, Ran! Mama nggak mau kamu bernasib sama seperti Dewi, kakak kamu itu. Dewi bener-bener udah buat Mama kecewa. Udah dibiayai sekolah susah-susah. Malah pilih jadi istri simpanan. Coba aja kalau dia mau sekolah yang bener, kuliah yang pinter, sampai selesai. Pasti dia sekarang udah dapat kerjaan yang bagus, bisa juga cari suami yang masih seumuran, yang masih lajang. Mama bener-bener nggak habis pikir sama jalan pikiran dia!" Mama Laras mulai lagi membahas Dewi, kakaknya Rani yang menjadi istri kedua bapak-bapak yang sepatutnya jadi bapaknya itu.

"Tapi Rani beda, Ma! Rani udah lulus kuliah, udah dapet kerja juga. Trus, Mas Rio juga masih muda, seumuran, masih lajang. Trus apa lagi masalahnya, Ma? Kan udah sesuai dengan keinginan Mama?" Rani tetap saja ngotot, minta restu dari mamanya.

"Kamu itu kenapa sih, Ran? Kamu udah terlalu dibutakan oleh cinta. Jadi kamu nggak bisa, membedakan mana yang setia mana yang tidak! Kamu nggak tau kan? Rio itu suka jalan sama perempuan lain?" Laras tak mau kalah.

"Mama tau darimana? Mama nggak lagi fitnah Mas Rio, 'kan?" Rani justru bertanya menyelidik.

"Astaga, Rani! Kok kamu malah nuduh Mama fitnah Rio sih? Mama itu pernah lihat sendiri! Dia jalan sama perempuan lain. Dan nggak mungkin kalau itu adalah saudaranya. Kalau cuma saudaranya, nggak mungkin pakai pegangan tangan, gandengan tangan. Tertawa-tertawa mesra sambil jalan. Nggak mungkin!" Laras meyakinkan Rani kalau Rio bukan pria yang baik untuknya.

"Kapan, Ma? Mungkin waktu itu emang Mas Rio belum kenal dekat sama Rani! Ada buktinya, Ma? Jaman sekarang, orang bisa ngomong apa saja, Ma. Tapi kalau nggak ada bukti, itu namanya hoax!" Rani kembali menentang mamanya.

"Astaga! Kamu itu anak Mama apa bukan sih? Kok lebih percaya sama lelaki yang baru kamu kenal, daripada sama Mama kamu sendiri? Mama lho yang udah mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan kamu sampai sekarang! Padahal Mama cuma mau kamu mendapat yang terbaik. Dan Mama yakin kalau Rio itu bukan pria yang baik, Ran! Tapi ternyata sikapmu jadi seperti ini. Apa ini bentuk baktimu sama Mama?" Laras bangkit dari sofa empuk yang sedari tadi ia duduki dengan nyaman.

"Bukan gitu maksud Rani, Ma!"

"Udah! Nggak usah bicara lagi sama Mama! Kalau cuma bahas soal Rio lagi dan lagi!"

Laras berjalan meninggalkan Rani yang masih duduk termenung di sofa ruang keluarga itu. Namun setelah beberapa langkah, Laras menghentikan langkah, membalikkan badan dan kembali berkata pada Rani.

"Asal kamu tau, Ran. Mama lebih setuju kalau kamu menikah sama Kevin, mantan yang kamu sia-siakan itu!"

Seketika itu juga, Rani mendongakkan kepalanya. Hendak protes. Tapi Mamanya sudah kembali melangkahkan kaki, meninggalkan dirinya.

"Apaan sih, Mama itu! Jelas-jelas aku sama Kevin udah putus! Masih aja dibahas! Lagian Kevin itu juga tukang selingkuh! Modal tampang aja belagu gitu! Mama aja yang nggak tau! Kalau Mas Rio kan beda, meskipun nggak terlalu tampan, tapi setidaknya itu nggak buat dia jadi merasa ganteng. Jadi nggak bakalan ada acara selingkuhin aku! Dia aja beruntung banget, udah punya aku!" Rani mendengus kesal.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara laki-laki.

"Ada apa sih, Ran? Siang-siang panas gini kok ribut-ribut? Ganggu orang tidur aja!"

"Itu, Mas! Mama susah banget dimintai restu. Pakai acara fitnah Mas Rio pula! Lagian apa sih masalahnya kalau aku nikah sama Mas Rio? Emang, dia cuma karyawan pabrik biasa. Tapi kan yang penting dia kerja, dan mau bertanggung jawab. Nggak harus kan perawat dapat suami dokter, atau sesama perawat, atau polisi, atau angkatan lainnya? Apa salahnya kalau perawat dapat suami karyawan pabrik?" Rani masih saja menganggap kalau Laras tidak setuju hubungannya dengan Rio hanya karena pekerjaan dan status sosial.

"Ran, wajarlah kalau Mama pengen kamu dapat suami yang terbaik. Mama itu nggak pengen kalau nasib kamu sama seperti Dewi. Jadi istri kedua dari om-om yang doyan daun muda. Akhirnya pernikahannya nggak pernah tenang. Selalu saja dapat masalah kan?" Fajar mencoba membuka mata hati dari Rani. Karena saudara mereka berdua, Dewi - adik dari Fajar, dan kakak dari Rani, mengalami nasib buruk dalam rumah tangganya.

"Tapi Mas Rio bukan om-om yang suka daun muda, Mas! Kami berdua seumuran. Jadi nggak bisa disamakan gitu dong!" Rani kembali protes.

"Bukan menyamakan. Tapi cuma pengen kamu lebih hati-hati. Jadi nggak salah pilih. Kamu tau kan, setelah Papa meninggal, Mama susah payah membesarkan kita bertiga sendirian? Tanpa bantuan siapapun, termasuk keluarga Mama atau Papa? Jadi tolong lah, kamu mengerti bagaimana perasaan Mama! Wajar kan, kalau Mama nggak mau anak-anaknya salah pilih?"

Rani hanya diam saja. Tidak bisa menjawab perkataan dari kakak pertamanya itu.

"Kamu tau kan, betapa kecewanya Mama, saat tau, si Dewi ternyata diam-diam udah jadi istri orang? Ngakunya sibuk sama urusan kuliah, nggak pernah pulang. Nyatanya udah jadi simpanan om-om dan udah hamil di luar nikah! Kamu harusnya tau, betapa kecewanya Mama! Bukan cuma kecewa sama Dewi, tapi juga kecewa sama diri sendiri. Karena tidak bisa mengawasi pergaulan Dewi, sampai akhirnya dia memilih jalan yang salah seperti itu. Kamu tau itu 'kan? Kamu bisa ngerti nggak sih?" Fajar kembali memberondong Rani dengan pemikiran-pemikiran yang masuk akal sebenarnya. Tapi bagi orang yang sedang dimabuk cinta, tetap saja sulit diterima.

"Entahlah. Aku capek! Minta restu baik-baik nggak pernah diterima. Justru orang yang jelas-jelas udah menyakiti hatiku aja, malah Mama harap-harapkan. Apa karena dia punya tampang yang lebih ganteng? Punya pekerjaan yang lebih mapan? Jadi Mama terobsesi banget, menjodohkan aku sama Kevin!" Rani masih saja berspekulasi.

"Bodo amat lah, kalau kamu tetep keras kepala. Terserah! Kalau ada apa-apa, kamu tanggung aja sendiri akibatnya. Mas nggak mau ikut-ikutan lah!" Fajar melengos pergi, meninggalkan Rani yang masih tetap duduk di sofa ruang keluarga itu.

Bab 2

"Apaan sih, Mama sama Mas Fajar sama aja! Trus aku harus gimana? Aku udah terlanjur cinta sama Mas Rio. Kenapa nggak dari dulu aja, menolak aku pacaran sama Mas Rio? Kenapa baru sekarang, saat kami sudah pengen menjalin hubungan yang lebih serius? Harusnya Mama kalau nggak setuju itu ya dari dulu pas pertama kali aku kenalin Mas Rio sama Mama, 'kan?" Rani mengomel sendiri.

Tiba-tiba saja ponsel Rani berdering. Rani yang nggak mood hanya melihat sekilas, siapa yang memanggilnya siang-siang begini. Namun saat melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, seketika wajah Rani menjadi sumringah kembali. Dia merapikan poni dan rambut panjangnya yang tergerai. Bersiap menerima panggilan video yang sedari tadi minta segera ditanggapi.

Rani segera memencet tombol warna hijau yang disediakan di layar ponsel miliknya. Dan sedetik kemudian, sudah muncul gambar Rio yang sedang tersenyum dengan menawan. Setidaknya begitu menurut pandangan Rani.

"Halo, Mas." Sapa Rani terlebih dulu.

"Halo, Sayang. Kenapa lama banget angkatnya, sih? Aku udah kangen banget, tau!" Rio mengomel manja di seberang sana.

"Iya, maaf, Mas. Soalnya tadi nggak denger kalau HPnya bunyi." Jawab Rani bohong.

"Ohh, yaudah deh nggak papa kalau gitu. Kamu lagi apa? Udah makan belum?" Rio melemparkan pertanyaan khas orang-orang yang sedang dimabuk asmara.

"Belum, Mas. Lagi nggak mood makan." Jawab Rani sambil memonyongkan bibir mungilnya.

"Loh kenapa? Nanti kalau kamu sakit gimana? Nanti siapa yang rawat pasien kamu, kalau perawatnya aja sakit?" Goda Rio sambil tersenyum.

"Habisnya sebel!"

"Sebel kenapa sih? Sebel sama siapa? Sini cerita!"

"Sebentar, Mas!  Aku pindah ke kamar dulu ya."

"Oke."

Rani melenggang pergi, meninggalkan ruang keluarga. Berjalan cepat menuju kamarnya yang ada di bagian belakang rumah berlantai satu itu.

Setelah masuk kamar, Rani segera menutup dan mengunci pintu kamarnya. Tidak mau kalau ada yang tiba-tiba masuk. Kemudian Rani segera merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk, lalu segera berbicara lagi dengan Rio, melalui ponselnya.

"Halo, Mas." Sapanya lagi.

"Halo, gimana, udah?"

"Udah."

"Jadi gimana ceritanya? Kamu sebel sama siapa dan kenapa?" Rio mengulang pertanyaannya.

"Sebel sama Mama, sama Mas Fajar juga!" Rani mendengus kesal.

"Kenapa sih emangnya? Kalian ada masalah?"

"Ya gimana ya. Aku nggak enak ngomongnya sama kamu sebenernya."

"Udah nggak papa, ngomong aja. Kenapa sih? Nanti kalau cerita kan jadi lega."

"Jadi gini, Mas. Sebenernya Mama sama Mas Fajar itu nggak suka sama hubungan kita. Aku udah berkali-kali minta Mama untuk merestui hubungan kita. Tapi sampai tadi, tetep aja Mama nggak mau merestui!"

"Loh, emangnya kenapa? Aku kira semua baik-baik aja. Kok kamu nggak pernah bilang sejak kemarin-kemarin? Kalau emang Mama kamu nggak kasih restu kan ya udah, kita nggak usah sampai sejauh ini. Tapi kenapa baru bilang sekarang? Saat kita udah terlanjur dekat, terlanjur nyaman satu sama lain?" Rio juga tidak menyangka kalau ternyata hubungan mereka tidak direstui orang tua dari Rani.

"Maaf, Mas. Itu salahku. Aku sebenernya masih berharap kalau suatu saat Mama akan berubah pikiran. Jadi aku sengaja sembunyiin ini semua dari kamu, Mas." Rani jadi merasa bersalah. Karena selama ini, dia memendam rahasia ini sendirian.

"Trus sekarang mau gimana? Kita mau udahan aja? Apa mau gimana? Terserah kamu aja deh."

Rani terkejut dengan jawaban Rio yang tidak sesuai dengan harapannya. Dia pikir, Rio akan bersikukuh, berusaha bagaimana caranya meyakinkan Mama Laras, supaya memberi restu. Tapi ternyata dia justru terkesan menyerah begitu saja.

"Kamu kok ngomongnya gitu sih, Mas? Aku berjuang mati-matian buat dapetin restu dari Mamaku, lho. Kok kamu malah mau nyerah gitu aja sih? Harusnya kamu juga bantu, meyakinkan Mamaku. Bukannya menyerah seperti ini. Kamu itu sebenernya cinta sama aku apa enggak sih?!" Rio juga jadi sasaran kejengkelan Rani.

"Bukan gitu. maksudku! Aku juga cinta sama kamu. Aku udah terlanjur nyaman banget sama kamu." Wajah Rio memelas.

"Kalau kamu emang cinta sama aku, kamu berjuang juga dong, Mas! Gimana caranya biar kita bisa dapat restu dari Mamaku." Tuntut Rani.

"Oke, maaf ya sayang. Aku akan berusaha, bagaimanapun caranya, supaya bisa mendapat restu dari Mama kamu. Aku janji!" Rio berucap dengan sangat meyakinkan. Membuat Rani tersenyum kembali.

"Makasih banget ya, Mas. Aku jadi lega kalau seperti ini. Setidaknya kita sama-sama berjuang. Bukan cuma aku aja yang berjuang."

"Iya sayangku. Kamu tenang aja ya!"

"Iya, Mas. Oh ya, Mas. Aku mau tanya juga deh,"

"Tanya Apa?"

"Kalau keluarga kamu gimana? Setuju nggak kalau kamu punya hubungan yang serius sama aku?"

Rio nampak berpikir sejenak.

"Ya setuju banget lah, siapa juga yang nggak setuju, anaknya mau menikah sama kamu. Udah cantik, baik, perawat lagi. Jadi kan kalau suatu saat lagi sakit, nggak bingung-bingung lagi. Tinggal tanya aja, apa obatnya, gimana cara sembuhinnya dan lain-lain. Jadi ya Bapak sama Ibu setuju banget sih aku sama kamu."

"Beneran, Mas? Syukurlah kalau gitu, Aku seneng banget dengernya." Rani tersenyum lebih lebar.

"Iya, beneran. Kamu kan udah pernah aku kenalin sama Bapak dan Ibu aku, kan? Gimana tanggapan mereka sama kamu? Ada tanda-tanda nggak suka gitu sama kamu?"

"Enggak sih, Mas. Mereka menyambutku dengan ramah dan baik banget. Tapi kan nggak menjamin kalau dibelakangku, Mas. Contohnya aja mamaku sendiri. Mamaku juga awalnya ketemu kamu kan seneng banget? Ramah banget juga. Tapi ternyata semakin kesini, ketahuan aslinya. Ternyata diam-diam nggak setuju kalau aku berhubungan sama kamu." Rani kembali membahas mamanya.

"Iya juga sih, tapi sebenernya kenapa mamamu nggak setuju? Apa karena aku nggak ganteng-ganteng banget? Kayaknya enggak deh. Kan kamu yang mau nikah sama aku, bukan mama kamu. Jadi nggak penting tampang pas-pasan gini, yang penting kamu suka sama aku kan?" Rio bertanya tapi dijawab sendiri. Membuat Rani tertawa kecil.

"Kamu ini, Mas. Ada-ada aja deh!"

"Lah iya, kan? Atau karena aku bukan dari keluarga yang berada? Karena aku cuma buruh di pabrik? Bukan kalangan perawat sepertimu? Yang biasanya dapet suaminya polisi, atau tentara, atau sesama perawat juga? Apa itu yang mama kamu mau?" Rio kembali menebak alasan Mama Laras tidak merestui hubungan mereka berdua.

Rani berpikir sejenak. Apakah dia harus mengatakan alasan yang sebenarnya? Tapi bagaimana kalau membuat hubungan mereka jadi rusak? Rani belum siap kalau itu terjadi. Ia sudah terlanjur cinta sama Rio! Dia tidak mau sampai kehilangan Rio!

Pada akhirnya, Rani memilih untuk bungkam. Tidak mengatakan hal yang membuat Mama Laras tidak menyetujui hubungan mereka berdua.

"Entahlah, Mas. Padahal kan dalam hubungan pernikahan itu, yang penting saling cinta, juga saling bertanggungjawab, 'kan? Toh uang bisa dicari. Kalau masalah cinta itu yang susah. Pokoknya aku tetep mau berjuang mendapat restu dari mamaku. Kamu mau kan, berjuang bersamaku, Mas?"

"Iya, aku mau kok. Kamu tenang aja! Nanti aku pikirkan gimana caranya biar dapat restu dari mama kamu. Apapun caranya, kamu bakalan setuju kan?"

Rani mengangguk mantap.

"Iya, Mas. Aku setuju. Apapun caranya, yang penting kita berdua bisa dapat restu dan menikah."

Rio tersenyum. Namun ada senyum yang terasa janggal, yang tidak Rani sadari. Karena bagi Rani, Rio adalah segalanya. Mendengar tekad dari Rio untuk mempertahankan dan memperjuangkan hubungan mereka saja sudah membuat Rani berbunga-bunga.

***

Bab 3

Beberapa hari setelah kejadian itu, Rani dan Mama Laras sudah mulai bertegur sapa kembali. Namun demikian, Rani masih belum berani membahas Rio lagi. Kali ini, Rani memilih untuk menjalin hubungan diam-diam dulu, sambil menunggu apa yang akan dilakukan Rio, untuk mendapatkan restu dari Mama Laras.

Rani dan Rio hanya berhubungan melalui pesan, sesekali video call saat kondisi rumah sedang sepi. Mereka berdua jarang sekali bertemu. Mengingat Rani dan Rio kadang juga berlawanan sift.

Sampai di suatu malam Minggu, tiba-tiba saja panggilan video call dari Rio masuk. Rani tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia segera mengangkat panggilan dari Rio itu.

“Halo, Mas.” Sapa Rani dengan wajah berseri.

“Halo, Sayangku. Kamu lagi apa? Dimana?”

“Lagi dikamar aja ini, Mas. Nggak ngapa-ngapain. Mas sendiri lagi apa?”

“Aku lagi pengen ketemu sama kamu nih, kamu bisa nggak kalau keluar?”

“Keluar kemana, Mas?” Tanya Rani heran, tidak biasanya Rio bersikap seperti ini.

“Kemana aja, asal bisa ketemu kamu. Aku lagi pengen berduaan sama kamu. Tapi gimana ya? Kamu bisa nggak, kalau keluar malem-malem? Mumpung malem Minggu ini, biar seperti anak muda umumnya. Aku juga mau pacaran seperti orang umum. Nggak cuma chatingan doang tiap hari.” Rio mengeluarkan jurus jitunya, merayu Rani supaya mau bertemu dengannya.

“Oke, Mas. Bentar ya, aku ijin dulu sama Mama.” Rani akhirnya luluh juga.

“Emang kalau ijin bakalan dibolehin?”

“Ya nggak mungkin. Aku ijinnya nggak pergi sama kamu lah, tapi sama temen-temen kerja di rumah sakit. Jadi pasti dibolehin.”

“Ooh, oke. Bagus deh kalau gitu.” Rio tersenyum penuh kemenangan.

“Oke, Mas. Aku ijin dulu. Nanti aku kabarin kalau emang boleh. Kita ketemuan dimana?”

“Di alun-alun aja? Atau mau di mana? Terserah kamu deh.”

“Oke, nanti aku kabari, Mas. Bentar ya! Aku tutup dulu.”

“Oke, daahh, Sayang.”

Rio mengakhiri panggilan videonya. Sedangkan Rani bergegas keluar dari kamar, berjalan cepat menuju kamar mamanya yang ada di bagian depan rumah itu, berdampingan dengan ruang tamu.

Rani mengetuk pintu kamar mamanya pelan, takut kalau mamanya kaget dan lain sebagainya.

“Ma! Udah tidur belum? Ini Rani, Ma.” Ucap Rani di depan pintu kamar ibunya.

“Belum. Ada apa, Ran?” Jawab Laras, sambil membukakan pintu.

“Ma, aku mau keluar nih. Ada temen kerja ulang tahun, dia mau rayain sama temen-temen satu ruang yang nggak jaga sift sekarang. Aku boleh ikut nggak, Ma? Kasian dia soalnya, udah cuma sedikit, kalau aku nggak ikut juga, nanti kurang lagi personelnya.” Rani berbohong.

“Oohh, yaudah nggak papa. Yang penting pulangnya jangan kemaleman. Kamu harus jaga kesehatan. Jangan terlalu lama kena angin malam!” Laras mudah saja percaya dengan Rani.

“Oke, Ma. Aku janji, nggak pulang kemaleman! Yaudah ya, Ma! Aku siap-siap dulu.”

“Ya, Mama mau tidur dulu, capek banget. Nanti kamu bawa kunci depan aja, kunci dari luar nggak papa. Biar nggak perlu gedor-gedor pintu kalau pulang nanti!” Pesan Laras sebelum Rani berbalik badan kembali ke kamar.

“Mas Fajar gimana, Ma?”

“Fajar nggak pulang. Kaya nggak tau kakakmu aja! Kalau malem Minggu gini kerjaannya main sampai pagi kan. Dia juga udah bawa kunci sendiri.”

“Ohh, oke, Ma. Aku balik ke kamar dulu, Ma.”

“Yaa, nanti hati-hati.”

“Iya, Ma.”

Rani bergegas kembali ke kamar. Dia tersenyum sumringah. Tidak menyangka kalau akan semudah itu mendapat ijin.

Rani segera memberi kabar pada Rio. Ia mengirim pesan singkat pada kekasihnya itu.

[Mas. Aku dapet ijin. Aku lagi siap-siap. Kita ketemu dimana ya? Yang penting jangan di ruang terbuka. Soalnya Mas Fajar nggak ada di rumah. Takut kalau dia sampai lihat kita berdua.]

Tak lama kemudian, Rio sudah membalas pesan dari Rani.

[Oke, kita makan di hotel dekat alun-alun itu aja ya. Aku pesen tempatnya dulu.]

Rani nampak berpikir sejenak. ‘Makan malam di hotel? Apa nggak mahal? Apa Mas Rio nggak sayang sama uangnya?’

Rani hanya mengendikkan kedua pundaknya. ‘Kalau dia yang ngajak, berarti ya emang nggak masalah. Ngapain juga aku pikirin.’ Batinnya lagi. Kemudian segera membalas pesan dari Rio lagi.

[Oke, Mas.]

Rani bergegas bersiap. Membersihkan diri seperlunya, kemudian berdandan seperti biasanya. Tak butuh waktu lama, dia sudah siap. Kemudian mengirim pesan lagi sebelum berangkat.

[Mas, aku berangkat.]

Tanpa menunggu balasan, Rani berangkat sendiri, mengendarai motor kesayangannya. Ia memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Menuju hotel yang di maksud oleh Rio.

Sesampainya di parkiran hotel, Rani kembali melihat ponselnya kalau saja sudah ada pesan dari Rio. Dan ternyata benar.

[Langsung ke resto aja di lantai 2 ya! Aku di meja nomer 5.]

Tanpa membalas pesan dari Rio, Rani segera menuju lift yang ada di pojok parkiran. Langsung menuju lantai 2, seperti instruksi dari Rio.

Sesampainya di resto hotel itu, Rani mengedarkan pandangannya, mencari dimana posisi Rio. Setelah menemukannya, Rani berjalan cepat, menuju meja nomer 5, seperti yang dikatakan Rio tadi.

“Udah lama, Mas? Kok udah pesen minum?” Tanya Rani saat sudah sampai di meja.

“Eh. Belum terlalu lama. Baru sekitar 5 menit yang lalu kok. Itu emang minum langsung disediakan kalau ada yang datang.” Jawab Rio, dan langsung menyimpan ponselnya.

Rani mengedarkan pandangan. Memang benar, meja lain juga disediakan air mineral.

“Oohh, kirain udah dari tadi. Kan aku nggak enak, datengnya lama.”

“Nggak, nggak papa kok, Sayang. Aku kangen banget sama kamu. Akhirnya bisa ketemu lagi ya kita.” Rio kembali berkata mesra, membuat Rani menjadi semakin merona.

“Aku juga kangen banget sama kamu, Mas.”

“Kamu mau makan apa? Hari ini aku yang traktir.” Ucap Rio sambil tersenyum manis.

“Beneran, Mas?”

“Iya. Bentar!”

Rio melambaikan tangan ke arah waiters yang berjaga di setiap sudut ruangan, siap sedia menyambut, dan merapikan meja saat ditinggal pelanggannya. Dengan sigap, salah seorang dari mereka menghampiri meja Rio dan Rani.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak, Bu?"

"Kami berdua mau pesen, Mbak. Kamu mau pesen apa, Sayang?" Rio menawari Rani terlebih dahulu.

Rani nampak membolak-balik buku menu, mencari menu makanan yang sesuai dengan seleranya.

"Aku pesen ini aja, Mbak." Rani menunjuk salah satu gambar makanan sepaket dengan minumannya yang tersedia di dalam buku menu.

"Baik,"

"Saya samain aja, Mbak!" Ucap Rio kemudian.

"Baik, Pak. Mohon ditunggu!"

Rani dan Rio mengobrol banyak hal sembari menunggu makanan datang. Meskipun cenderung obrolan receh penuh gombalan dari Rio. Membuat Rani semakin terbuai. Sampai akhirnya, menu makanan yang mereka pesan sudah datang.

"Selamat makan, Mas!" Ucap Rani dengan riang.

"Selamat makan!" Jawab Rio.

Sudah menjadi kebiasaan, sebelum makan, Rani akan minum air putih terlebih dahulu. Supaya tenggorokan tidak kering. Saat itu juga Rani meminum air putih yang tersedia di dekatnya. Membuat Rio memandangnya tanpa berkedip.

"Kok belum dimakan, Mas?" Tanya Rani yang heran, dipandangi Rio sampai segitunya.

"Eh, iya. Yuk, makan!" Ucap Rio gelagapan.

Rani dan Rio menikmati makan malam mereka. Namun belum sampai habis, Rani mulai bertingkah aneh. Wajahnya memerah. Rani mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajah. Kadang juga menggerak-gerakkan kerah bajunya.

"Kamu kenapa, Sayang?" Tanya Rio, pura-pura tidak tau.

"Kenapa rasanya jadi gerah banget ya, Mas? Padahal ruangan udah full AC. Tapi tiba-tiba aja jadi panas banget." Keluh Rani sambil terus mengibas-ngibaskan kerah bajunya.

Mendengar keluhan Rani, Rio justru tersenyum miring. Sambil terus menerus menunggu, apa yang akan terjadi selanjutnya pada Rani.

Dan benar saja, beberapa saat setelah itu, Rani mulai meracau tidak jelas, meminta untuk segera dipuaskan. Tingkahnya juga lebih aneh. Dia menggeliat-geliatkan tubuhnya. Rio yang paham kalau obat perangsang yang ia teteskan pada minuman Rani sudah bereaksi, segera saja membawa Rani ke kamar hotel yang juga sudah dia pesan sebelumnya. Rio memang sudah merencanakan ini semua sebelumnya.

Di dalam kamar hotel, akhirnya, Rani dan Rio melakukan hubungan terlarang. Hubungan yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah sah menjadi suami istri. Rani yang sedang berada di bawah pengaruh obat perangsang, tidak merasa terbebani sama sekali. Dia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sampai akhirnya permainan selesai. Rani pun tertidur lelap, karena kelelahan. Sedangkan Rio, menyelimuti tubuh Rani untuk menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benangpun, setelah itu, Rio ikut berbaring di samping Rani.

"Kamu akan jadi milikku seutuhnya, Ran." Ucap Rio pelan, sambil mengecup kening Rani yang basah oleh keringat.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!