NovelToon NovelToon

Jadi Istri Pak Bos

Bab ~ 01

...Happy Reading......

...***...

Zahra Aneska itulah nama gue, usia dua puluh delapan tahun, berstatus singel. Bekerja sebagai perawat di rumah sakit cempaka satu penyakit dalam. Enggak terasa sudah tujuh tahun berlalu gue di sini, menyibukkan diri dengan berbagai macam hal.

“Ra, Lo bisa nggak gantiin gue shift malam?” tanya Buk Hasya mendekat bersama karyawan lainnya. “Si Mika masih libur, anak gue sakit. Kayaknya hanya Elo satu-satunya yang bisa bantuin gue. Kasihan Ra anak gue, demamnya tinggi banget. Ini aja gue kepikiran nggak fokus kerja.” sambungnya lagi meminta bantuan dengan harapan.

“Emang berapa tingginya Sya?” tanya Buk Ika penasaran.

“Neneknya ngomong tiga puluh sembilan Ka. Barusan aja kasih kabar lewat telepon.”

“Tinggi banget tuh Sya. Sudah dikasih obat belum?” tanya Buk Risma ikut penasaran dengan kondisi anak buk Hasya.

“Sudah kata neneknya sekarang lagi tidur setelah minum obat,” jawab Buk Hasya. “Jadi gimana Ra, Elo maukan?”

Pekerjaan yang sudah biasa di lakukan. “Iya Buk, mau,” jawabku, kasihan buk Hasya pasti kepikiran dengan anaknya yang sakit. Ibu mana yang rela meninggalkan anaknya sedang sakit, apalagi sang anak butuh sesosok ibu berada di sampingnya.

“Makasih ya Ra. Gue ganti dengan cemilan deh.”

“Nggak perlu repot-repot Buk, bawa aja,” jawabku dengan tersenyum.

“Bikin gue emosi aja, entar gue suruh pak su yang antar.”

“Bercanda Buk! Nanti aja kalau udah masuk beli baksonya.” enggak mau ngerepotin buk Hasya, di tolak kayak biasa dia akan memaksa bagaimana pun caranya.

“Ra besok pagi gantiin gue juga ya,” ucap Buk Ika ikut serta bersuara. “Suami gue kerja masuk pagi Ra. Anak gue siapa yang mengasuh. Tempat titipan pada libur minggu. Keluarga gue jauh Ra. Elokan tau sendiri.” raut wajah Buk Ika terlihat sekali butuh pertolongan juga.

“Iya Buk.”

“Sore juga ya Ra, saudara kandung gue mau ijab kabul habis magrib.” sambung Buk Risma. “Enggak enaklah gue sebagai yang paling tua nggak hadir.”

“Ra kayaknya gue besok malam lagi.” sambung Buk Hasya melihat jadwal kerja. “Dua ronde ya Ra buat gue.”

Melihat wajah-wajah senior penuh harapan dengan mata yang berbinar-binar. Pasrah ajalah gue. “Iya gue lembur, nggak apa-apa. Jangan lupa pesangonnya.” menyetujui sambil bercanda walau rasanya berat hati mau gimana lagi.

“Oke!” ucap mereka bertiga serentak dengan tangan beremoji ok.

...***...

Ah... Merenggangkan badan yang kaku, pegal, lesu, letih, lunglai. Selama dua hari dua malam lembur tidur hanya empat jam, wow luar biasa gue.

Hari ini selesai juga kerjaan menggantikan senior yang nggak bisa masuk dengan berbagai macam alasan. Tinggal mengatur mata pulang ini.

“Buk, saya pulang dulu.” menegur buk Zabrina sebagai karu, kepala ruangan. Kami memanggilnya buk karu. Dia tengah duduk di dalam ruangan miliknya.

“Oh ya Ra! Terimakasih atas kerja samanya,” balas Buk Zabrina ramah.

“Iya Buk sama-sama.” berjalan ke luar ruangan menghirup udara segar di pagi hari terasa nyaman banget. “Selamat pagi Kakek.” menyapa pasien yang sedang duduk di kursi roda sambil berjemur dibawah terik mentari pagi.

“Pagi Sus,” jawab kakek sambil melebarkan senyuman manis, semoga dirinya lekas sembuh.

Jalan ke parkiran mendekati motor kesayangan, mengambil helm dan memakainya, menghidupkan mesin berangkat.

Meninggalkan rumah sakit menuju rumah Mika dulu, besuk sahabat sekaligus partner kerja di rumah sakit. Mika nggak bisa masuk akibat kecelakaan lalu lintas saat pulang kerja shift malam. Semoga keadaannya baik-baik aja.

...***...

“Assalamualaikum,” ucapku saat di depan rumah yang sederhana dengan pintu telah terbuka. Tadi juga sudah mengabari Mika bahwa mau berkunjung ke rumahnya.

“Waalaikumussalam... Eh Nak Zahra, ayo masuk ke dalam.” sambut Ibu kandung Mika.

“Iya Buk,” jawabku melepaskan sepatu dan kaos kaki.

“Di dalam kamar masuk aja,” perintahnya setelah masuk ke dalam rumah.

“Iya Buk.”

Mengetuk pintu Mika yang tertutup rapat. “Mika....”

Pintu terbuka, “Masuk,” ajak Mika berjalan sedikit pincang.

“Lo nggak apa-apa?” tanyaku membantu Mika duduk di atas ranjang.

“Nggak apa-apa. Hanya masih sedikit ngilu aja sih di kaki.” Mika memegang salah satu kakinya.

“Sudah diurut belum?”

“Sudah sama mbah Maridjan, tetangga sebelah sini.”

“Yang lain ada nggak luka?” melihat anggota badan Mika.

“Lecet sedikit aja sih nggak parah, sudah dikasih betadine.” Mika menunjukkan letak luka dibeberapa bagian kaki dan tangan. Kasihan banget Lo Mik.

“Orang yang tabrak gimana?”

“Tanggung jawablah! Berhubung kondisi gue nggak parah hanya motor aja, jadi dia tanggung jawab benerin motor. Soal lainnya gue nggak minta, kasihan orang yang tabrak sudah tua Ra.”

“Syukurlah kalau begitu gitu,” lega mendengar semuanya.

“Nih Nak Zahra, ayo diminum dulu teh hangatnya,” ucap Buk Yanti meletakkan secangkir teh di atas meja kecil.

“Nggak perlu repot-repot loh Buk, yang lain ada?” bergurau recehan sedikit sama Ibu satu ini.

“Mau makan, Ibu sudah masak soto betawi loh,” tawarnya, tahu banget kalau gue suka masakannya satu ini.

“Boleh Buk, asyik!”

Kalau buk Yanti masak rasa khas yang membuat perut ini langsung keroncongan, padahal tadi pagi sudah sarapan di RS.

“Lo mau makan nggak Mik?” menawari Mika sekalian mengambil punya dia kalau mau.

“Udah tadi, Elo makan sana.”

“Ok! Sebentar gue kebelakang dulu kalau begitu.” berdiri dengan cepat menghampiri buk Yanti ke dapur.

“Nih, ibu racikan sebentar.” fokusnya mengisi mie, sayur, kuah dan lainnya.

“Sedikit aja dulu Buk, gampang nambah.” takut kebanyakan nggak habis enggak enak.

“Boleh.” senyumnya.

“Nih ambil sendiri nasinya di atas meja,” perintah Buk Yanti menyerahkan semangkok soto.

“Um... Baunya tiada tanding.” mencium bau dari soto betawi khas ibu Yanti.

“Bisa aja Kamu Ra.” malunya Buk Yanti di puji.

Meletakkan mangkok di atas meja, mengambil piring yang sudah di siapkan mengisi nasi kemudian membawanya ke kamar Mika. “Makan Ka.”

“Elo kalau makan jangan di tanya.”

“Enak sih masakan ibu, Lo. Suka gue kalau ke sini.”

“Rajin-rajinlah kesini, jangan malu.”

“Gimana mau ke sini, kerjaan gue banyak,” jawabku sambil makan, sebenarnya ini nggak boleh untuk kesehatan makan sambil ngomong, berhubung darurat anggaplah begitu.

“Kasihan gue lihat Lo lembur gara-gara gue,” ucap Mika terlihat merasa bersalah.

“Bukan Lo aja. Buk Hasya, buk Ika dan buk Risma ikut jadi satu minta gue gantiin shift.”

“Berarti Elo dinas dua hari dua malam dong?”

“Iya mau gimana lagi, anak buk Hasya demam tinggi, buk Ika suaminya masuk pagi, nggak ada yang mengasuh, buk Risma saudari kandungnya ijab kabul. Mau nggak maulah gue lembur, tapi tenang dikasih gantinya.”

“Emang mereka kasih apa sebagai gantinya?”

“Katanya sih bakso. Tapi nggak tau buk Risma sama buk Ika. Gue juga nggak ada niat minta di kasih begituan, sebagai tanda terimakasih atau apalah basa basi. Enggak diikutin Lo tau sendiri gimana mereka.”

“Iya sih benar juga. Sekarang Lo pasti ngantuk, sudah makan istirahat aja dulu di sini. Ditambah perut kenyang gitu pasti ngantuk banget ya, kan?”

“Sekarang aman belum ngantuk akibat soto buat Ibu cantik." biar hati Ibu Yanti tambah bahagia mendengar pujian. "Perut kenyang mana boleh tidur. Paling sambil jalan nurunin soto sama nasi, sampai rumah tinggal mandi, dan bobok cantik.”

“Awas Lo ketiduran waktu bawa motor.” peringatan Mika yang takutnya gue ini kenapa-kenapa di jalan.

“Iya gue jamin nggak bakalan ada apa-apa.” meyakini Mika agar tidak terlalu khawatir.

Mika mengangguk pelan seperti memberi tanda dia percaya.

Bab ~ 02

Berhenti di depan rumah tetangga, bingung mau masuk dari mana. Banyak mobil kelas mahal berbaris di depan rumah sampai ujung lorong.

Ada acara apa ya nggak biasa orang kaya parkir di sini?

Melihat jam di tangan kiri, tunggu sampai beberapa menit deh siapa tau mereka keluar, nggak perlu susah payah pindahin motor ke dalam pagar, sekali jalan gitu.

Badan juga lagi capek banget. Dari pada malas, terus khilaf langsung tidur, lupa nih motor, bisa gawat hilang, cari kemana gue entar.

“Ra, ngapain Lo di sini?” tanya Afifah terlihat aneh ngomong dari jendela kepala aja yang keluar.

“Enggak bisa lewat ramai banget. Tuh lihat parkir panjang banget sampai ujung samudra. Emang ini jalan lahan parkiran apa, asal nemplok di sini. Emang ada acara apaan sih Fah?”

“Lo kira cicak nemplok dinding?” Afifah melihat sekitar dari jendela rumah, dia sempat diam beberapa detik. “Um, enggak tau Ra. Gue aja baru pulang.”

“Lo baru pulang juga?” kalau dilihat iya sih dia masih pakek baju kerja.

“Iya di PT kapas tempat gue kerja minta lembur, banyak pesanan. Sudah dulu ya, gue mau mandi dulu.”

Cepat banget ngomongnya, biasa berjam-jam ngajak ngegosip lelaki idamannya, disambung idol K-Pop. “Oh iya Fah.”

Aneh banget, terlihat orang-orang keluar dari dalam rumah yang selama ini gue tempati. Siapa sih mereka? Masuk satu persatu ke dalam mobil.

Dari jauh kurang terlihat jelas siapa wajah-wajah yang keluar, ada yang paling dekat masuk ke dalam mobil tapi nggak kenal siapa mereka.

Mobil satu persatu pergi. Giliran gue yang mendorong motor kesayangan secara perlahan. Mau dihidupkan tanggung banget. Sisa ada beberapa motor berbaris di depan rumah.

Melepaskan helm mengambil tas di kaitkan di motor, masuk ke dalam rumah melepas sepatu dan kaos kaki.

Sebenarnya ada apa ya?

“Zahra sudah pulang,” ucap yayuk Zainisa menghampiri, dia memberitahukan yang lainnya.

Ada apa sih dengan Yayuk, bertingkah kok kayak begini, pakek acara ngabarin gue sudah pulang lagi? Biasanya dia diam aja gue pulang kerja. Ini kayak mendapatkan durian runtuh.

“Masuk Ra.” sambung Bik Rosida.

Kenapa lagi sama nih bibik, pakek acara suruh masuk segala, biasanya kalau gue pulang lembur gini yang di tanya bawa apa, aneh banget sih.

Melihat ke dalam rumah. Ini ada apalagi coba pakek acara mereka semua berkumpul beramai-ramai duduk di atas karpet merah, kayak habis menyelesaikan hajatan? Mana semuanya kompak lagi melihat ke gue. Semakin nggak enak hawa-hawa ruangan.

Mama sama apa aja yang nggak akan pernah lagi berkumpul bersama kayak begini, mereka telah bahagia di surga. Ah mengapa gue jadi meratapi nasib begini sih? Sedihkan jadinya.

“Assalamu'alaikum," melangkah masuk secara perlahan. Kalau di hayati gue kayak ketahuan merampok ikan asin deh, terus di gerebek satu kampung.

“Waalaikumussalam,” ucap mereka serentak menjawab.

Perlahan menelusuri isi ruangan siapa aja yang hadir, absen dulu.

Ya tuhan, tampannya ciptaanmu yang satu ini. Ingin berkata salanghae oppa dengan mengangkat tangan berbentuk love. Oppa lagi duduk cantik di sudut ruangan melihat gue dengan tersenyum.

Aduh hai gemes banget wajahmu bagaikan patung yunani. Anak siapa ini?

“Duduk dulu Nak.” suara Wak Sani terdengar.

Menelan saliva agar sedikit tenang, ketauan nggak ya gue melamun tadi. Jadi malu hayati.

Kenapa jantung pakek acara dangdut koplo sih? Serius gue harus jelasin bahwa gue nggak berbuat sesuatu di luaran sana. Nyata gue nggak pulang karena pekerjaan. Lagian mereka semua juga sudah taukan selama ini.

“Wak—”

“Duduk dulu Ra, ada yang mau kami jelaskan,” perintahnya.

Hah jelaskan! Apa gue mau dapat warisan kali ya? Siapa tau begitu, jadilah buat masa tua, tapi warisan siapa?

“Ada apa Wak?” enggak sabaran beberapa dapat nominalnya.

“Ini Abyan, Ra.” tunjuknya ke arah laki-laki tadi.

Oh Abyan namanya. Um... Ganteng banget woy.

“Sekarang telah sah menjadi suami Kamu.”

Apa?

“Maksud Wak, apa?” masih bingung dengan situasi.

“Abyan datang menikahimu hari ini,” jawab Yayuk Zainisa ikut nyambung.

Nikah! Sebentar! Apa gue kelamaan jomblo kali ya sampai kebawa mimpi.

“Masa nggak tau sih Ra, itu Abyan bos Kamu di tempat kerja.” sambung Yayuk Diyah tersenyum sambil tersipu malu.

“Hahaha....” tawaku dengan perut ini terasa sakit.

Menepuk wajah dulu, siapa tau ini benar mimpi. Aw, sakit juga pipi kalau dipukul.

Eh tunggu!

Coba lagi menepuk sebelah kiri. Aw, loh kok sakit.

“Ra, Kamu sakit?” tanya Yayuk Zainisa memegang keningku.

Bisa jadi begitu. “Hahaha... Sepertinya Yayuk benar deh aku ini sakit, jadinya halusinasi. Ditambah belum tidur. Aku ke kamar dulu menetralisasi pikiran.”

“Eh tunggu dulu! Mau kemana? Orang belum selesai, Kamu main pergi aja. Kasihan suami Kamu di tinggal,” ucap Yayuk Zainisa memegang tanganku yang hendak berdiri, dan kembali duduk saat dirinya menarik.

Suami?

Perlahan tapi pasti melihat kembali ke arah Abyan yang katanya telah menjadi suami. Kami berdua saling bertatapan dengan dirinya masih tersenyum manis.

Apa ini nyata? Kalau di lihat secara teliti sepertinya iya deh, pak bos.

Kenapa sedikit berbeda dengan foto yang di pajang di ruangan HRD? Ini lebih ganteng, kayak kayu yang di pahat. Nikahi gue lagi, berarti suami gue dong. Ah gue pasti lagi bermimpi terlalu dalam ini.

Cubit sedikit di tangan lagi deh siapa tau kebangun. Aduh, sakit! Eh nyata ini, jangan-jangan mereka semua bohong. “Kalian pasti bohongkan?”

“Enggak Zahra, sudah ganti baju sana. Abyan mau bawa Kamu ke rumahnya,” perintah Bik Maryam.

“Apa?” hanya satu kalimat aja yang terucap, lidah rasanya keluh untuk bertanya.

“Ayo Ra, lama banget sih, cepetan,” perintah Yayuk Diyah menarik tanganku mengajak berdiri.

“Tunggu! Kalian lagi bermain drama apaan sih?”

“Siapa yang main drama? Kamu memang sudah menikah Ra, itu si Abyan barusan mengucap ijab kabul tadi,” jawab Bik Nur.

“Kenapa kalian main nikah tanpa ada persetujuan dariku dulu?” kalau ini nyata mereka semua sudah keterlaluan dong.

“Kamu di suruh nikah lambat, pakek acara tolak Abyan segala,” jawab Bik Rosida.

Tolak! Kapan gue bertemu dan ngomong tau-tau menolak aja? Mimpi atau halusinasi mereka semua. “Kaliankan yang menghalangiku buat nggak menikah,” menegaskan kembali untuk mengingatkan mereka dengan semua kejadian di zaman perang purba yang mana pikiran mereka juga sangat sempit seperti lubang semut.

“Itu dulu, sekarang enggak lagi. Kamu sudah sah menjadi istrinya Abyan,” jawab Bik Rosida yang nggak gue mengerti. Benar-benar kelewatan batas mereka semua.

“Kenapa nggak ngasih tau aku dulu Bik?”

“Kamukan dinas lembur tuh di rumah sakit mana bisa.”

Alasan!

“Lewat teleponkan bisa kasih kabar. Aku nggak mau nikah kayak ini Bik.” enak aja pokoknya nggak sah pernikahan paksa ini, walaupun kenyataannya sah di mata agama.

Jika benar gue di nikahkan oleh salah satu dari keluarga papa.

“Tapi ini sudah terjadi Zahra.” suara Bik Rosida meninggi, semua orang hanya diam termasuk laki-laki yang masih menonton pertunjukan ini. Bersuara sedikit napa? jelaskan! Jangan cuman senyum aja Lo.

Sesak rasanya mendengar kabar burung yang entah dari mana ini. Jalan langsung ke arah kamar, berhenti sebentar.

“Kalian semua sudah keterlaluan!” air mata ini pada akhirnya keluar juga.

“Tunggu sebentar Zahra!” pinta Wak Sani.

Menutup pintu sangat kencang, enggak lupa mengunci pintu dari dalam, tanpa menjawab panggilan wak Sani.

Air mata ini mengalir sangat deras tanpa di pandu. Tega kalian menikahi tanpa musyawarah dulu.

Kenapa semua ini terjadi? Apa salah gue pada kalian semua? Cukup sudah kalian buat gue begini? Merasa tinggal di rumah kalian, menjadi bahan tuntutan, semuanya harus di ikuti.

Duduk di lantai tak kuasa menahan sesak. Cobaan apalagi yang engkau uji untuk hambamu ini ya Allah? Bisakah engkau memberikan jalan hidup yang lebih mudah untukku jalani. Jangan jalan yang sulit kayak begini.

Gue memutuskan untuk nggak mau menikah lagi gara-gara kalian semua. Segala upaya telah gue lakukan, tapi tetap aja kalian menentukan.

Haruskah dengan nikah paksa kayak begini kalian lakukan untuk mengusir gue? Apa enggak ada jalan keluar lainnya?

Aaaaa...

Suara ketukan terdengar. Kesal ini semakin memuncak bagaikan gunung himalaya. Apa gue kabur aja? Hah, kalau gue lari dari masalah, bukan terselesaikan. Gue bahkan terlibat lebih dalam lagi.

“Ra sudah belum? Abyan sudah lama menunggu.” terdengar jelas suara Yayuk Diyah memanggil.

Hah, dasar laki-laki nggak tau diri. Asal usulnya aja gue nggak tau. Walau dia jelas bos besar statusnya juga enggak bisa di sandiwarakan lagi. Kesambet jin mana tiba-tiba dia memilih menikahi gue? Kita aja belum sama sekali berbicara maupun melihat satu sama lain.

Baiklah jika itu mau kalian semua, gue ikuti. Tenaga masih ada walau tiga puluh persen lagi butuh di charge daya isi, masih bisa ku pergunakan untuk menyelesaikan ikatan tali yang terlanjur melilit ini.

Dengan cepat mengganti baju, badan belum mandi kita semprot parfum dulu. Jangan sampai bau badan yang kurang sedap ini menambah banyaknya masalah.

Rasa malas di rumah ini semakin membuatku yakin lebih baik pindah rumah aja. Sebelum itu mengajak pak bos musyawarah dulu, cukup bertemu dengannya dan selesaikan semuanya.

Menghirup dalam-dalam oksigen yang hilang entah kemana? Rasa sesak itu harus di singkirkan dengan kepala dingin.

Keluar dari dalam kamar, menutup pintu. Yayuk Diyah tersenyum manis, beginilah caranya membujuk agar gue nggak marah.

“Ikutilah Abyan dulu. Nanti Kamu menemukan jawabannya. Urusan barangmu nanti kami yang urus,” perintahnya.

“Jangan sampai ada yang tersisa ya Yuk,” ucapku meninggalkan pesan yang enggak kalah pedas.

Buang aja adikmu ini dari catatan keluarga sekalian. Jangan sampai kalian semua menyesal nantinya. Tapi, “Yuk, aku nggak mau menikah. Kalian semua taukan? Aku nggak butuh penjelasan apa-apa cukup ada kalian semua. Aku nggak masalah,” bujuk rayu dulu siapa tau mereka mengerti.

“Ini demi Kamu Zahra,” ucap Bik Rosida masih berpegang teguh. Percuma kalau begini. Berarti memang ini semua mau mereka yang sengaja ingin membuangku.

“Lebih baik Kamu ikutin Abyan dulu. Semua sudah terjadi Zahra,” ucap Wak Sani mendekat.

Tega banget kalian semua. Baiklah jika itu keputusan kalian.

“Sudah siap Abyan, Zahranya,” ucap Yayuk Diyah menarik tanganku pelan mendekati pak bos.

Pandangan hanya melihat kelantai, malas melihat wajah pak bos. Dari tadi diam aja tanpa bersuara. Pasti ada sesuatu di balik ini semua, pasti itu! Gue harus tau.

“Zahra nggak makan dulu, diakan baru pulang kerja?” tanya Yayuk Zainisa yang memang memperhatikan kondisiku selama ini.

Kenapa sih yayuk Zainisa enggak ikut membela kayak biasanya? Apa dia diancam atau diam-diam ikut membuang gue?

Ah kesal banget rasanya.

Menggelengkan kepala. Sudah kenyang tadi makan di rumah Mika. Sekarang tuh hanya butuh tidur ngantuk banget. Ingin tidur tapi masalah gue belum selesai.

“Abyan, Kamu tau Zahra ini baru pulang kerja. Biasanya dia pulang langsung tidur untuk beristirahat. Yayuk hanya berpesan beri istirahat dulu dia,” ucap Yayuk Zainisa yang lagi-lagi memberi perhatian. Nggak ngerti dengan tindakannya.

“Baik Yuk.” suara Pak Bos terdengar ramah.

Paling itu semua hanya aktingnya. Kalau diingat tentang cerita burung yang telah lalu lewat, pak bos sekali ngomong menakutkan, tapi kata-katanya baik yuk itu terdengar menakutkan juga sih.

Bukan gue nggak paham ya maksud dari kalian semua.

“Iya sudah kalau begitu, kami berdua permisi Pak, Buk,” ucap Pak Bos menyalami satu persatu. Sedangkan gue, mengikuti dari belakang.

Sekarang ini nggak tau harus apa. Otak ini butuh istirahat, lelah untuk berpikir. Hanya diam aja yang bisa dilakukan, berteriak atau membela diri juga hasilnya akan tetap sama.

Alasan

Berjalan mendekati motor, memasang helm.

“Kita nggak pakek motor Kamu Ra,” ucap pak Bos.

Akhirnya menegurku juga, kemana aja dari tadi? Dasar si tuan licik. “Terus naik apa?” melepaskan helm.

“Itu mobil di depan.” tunjuknya mobil mewah terparkir di depan pagar.

Perasaan tadi nggak ada disitu, kapan datangnya?

Mengangguk pelan sambil mengikuti jalan tuan licik. Tunggu! “Motorku gimana Pak?” masa nggak di bawa.

“Tinggal aja dulu, nanti ada yang mengambilnya.”

Enak aja motor gue mau di gadaikan. Sudahlah nanti kita bahas, ikuti dulu si tuan licik ini.

Entar kita bertemu lagi ya bestie. Maaf gue tinggalin Elo untuk sementara, biasanya kita pergi selalu bersama kemanapun. Elo jomblo dulu untuk saat ini, bukan mau pamer gue telah bersuami, tapi ini juga dadakan belum tahu kejelasannya.

Mobil melaju begitu lamban, mata ini terasa mengikuti alur, ingin ikut serta memejam sebentar saja.

Ah jangan-jangan tahan, kita harus selesaikan dulu perkara ini, tapi dari mana dulu yang harus gue bahas.

“Khem....” Tuan licik akhirnya bersuara duluan. “Kita langsung ke hotel, berbicara di sana aja.”

Apa, langsung ke hotel? Enggak main-main ajakannya.

Mobil secepat itu berhenti di depan hotel yang nggak jauh dari rumah. Tuan licik langsung turun tanpa mengajak lagi, basa basi pun enggak ada. Begini aja sudah cukup di ketahui bahwa tuan licik ini mempunyai sesuatu yang sangat jelas, mesum.

“Selamat siang, Pak Abyan.” security menegur dengan ramah.

Langganan kayaknya, biasa orang kaya. Ingat ya tuan licik, gue nggak akan terpengaruh dengan bujuk rayuanmu, apalagi menjadi simpananmu, jangan harap.

“Siang, ini kuncinya,” jawab tuan licik sambil memberikan kunci.

“Baik Pak.” security mengambil kunci, menaiki mobil berjalan ke arah lain.

“Ayo,” ajak tuan licik terlihat bahagia.

Berbahagialah untuk sekarang, karena gue nggak akan tinggal diam.

“Siang Pak Abyan, ini kunci kamarnya,” ucap pegawai yang telah hadir menyambut kami memberikan kunci kamar.

Hah main ke kamar aja nih orang, enggak semudah itu tuan licik. “Maaf Pak, apa nggak bisa kita berbicara di tempat lain?”

“Kenapa? Apa Kamu mau duduk di restoran dulu sekalian makan?”

Langsung aja mengangguk. Apa perlu gue ngomong, ngapain pak kita kesana, sudah mau main sat set ya? Nikah aja di paksa, seharusnya anda tau diri.

Emangnya gue gampangan gitu, walau mata gue berat mengajaknya ke sana, tapi nggak juga dengan dirimu tuan licik.

“Baiklah.”

Pelayan datang membawa buku menu, memberikan pada kami berdua.

Umh... Di sini nggak ada apa yang harganya goceng gitu. Semuanya mahal kayak begini. Pilih ini ajalah, lama berpikir nggak sudah tahun baru tungguin nih harga turun, habis sudah isi kantong beli ini saja.

“Ini Mbak.”

Pelayan langsung mencatat pesanan. “Di tunggu sebentar, Bapak, Ibu.” senyumnya manis.

Hanya anggukkan kecil kami berdua lakukan.

Selama menunggu kami hanya diam, melihat sana sini. Entah apa yang di pikirkan si tuan licik ini? Tersenyum nggak jelas melihat sana kemari.

Anda lagi dapat durian manis ya tuan, seakan bisa menghilangkan dahagamu saat ini. Tenang aja sebelum anda makan, durian itu akan melukaimu duluan.

Beberapa menit makanan langsung di sajikan. Lihat nih tuan licik. Sendok garpu di tancapkan begitu kuat sampai bersuara dentingan terdengar sangat mengerikan. Memakan dengan sangat menjijikkan, semoga anda paham bahwa semua keadaan ini gue nggak bisa terima.

Lirikan mata tuan licik melihatku sungguh aneh banget. Dia sama sekali enggak menghiraukan, malahan dirinya sesering itu tersenyum.

Jangan bilang anda sudah di atas puncak tidak kewarasan tuan licik.

Hah, lihat ini, gue nggak akan menyerah.

Sendok garpu yang enggak sengaja di tancapkan dengan sedikit menyentil, dan terbang bebas tepat sekali di atas piringnya.

Hahaha... Syukuri loh, jijikkan.

Jelas sekali tuan licik ini terdiam melihat makanan bekasku sudah terbaring lemas di piringnya.

Bergerak secara halus tuan licik ini melihatku.

“Ah maaf Pak. Saya pesankan yang baru aja.” akting yang sangat mulus.

“Umh, ini enak.” Tuan licik langsung mengambil makananku dan langsung memakannya begitu aja.

Dengan sesantai itu dia makan dengan tersenyum lagi. Benar-benar sudah sangat di khawatirkan kondisi beliau.

Keheningan dalam beberapa menit makanan habis, pelayan membereskan. Gue nggak bisa lama-lama begini. Mengangkat tangan kiri, melihat jam.

“Umh, waktu setengah jam saya ingin mendengar alasan Bapak, lebih dari itu saya pamit untuk beristirahat. Bapak pasti mengerti kondisi saya saat ini.” memberi kode keras dengan senyuman paksa.

“Saya menikahi Kamu karena itu maumu,” jawabnya langsung.

Hah pakek acara halusinasi segala.

“Kapan? Kita aja enggak pernah bertemu. Mungkin Bapak salah orang kali.” bisa aja begitu, secara wajah gue ini termasuk mirip-mirip blasteran pulau, nggak tahu pulau mana.

Eh tuan licik tersenyum lagi, entah mengapa setelah di perhatikan beliau ini ada dua lesung pipi. Entah mengapa jantung ini secara tiba-tiba menari zumba.

“Coba perhatikan saya. Kamu pernah bertemu dengan saya nggak di suatu tempat, contohnya di cafe.”

Tuan ini benar-benar sangat licik, dia secara nggak langsung ngajak gue gila, dia meminta untuk memandangi wajahnya yang kayak mengeluarkan mantra sihir agar gue tertarik semudah itu, bisa-bisa bukan gila lagi langsung pingsan gue. Berpikiran positif Zahra, ingat pada hatimu yang tenggelam.

“Saat di parkiran, saya mengajak Kamu ngomong. Pada saat itu Kamu mau pulang, Kamu langsung aja bertanya mau apa pada saya? Tentu saya ingin berkenalan. Kamu langsung ngomong begini, kalau berteman saya nggak suka dengan laki-laki, kalau mau pacaran juga enggak! Kalau mau serius Kamu meminta mahar lima puluh juta, emas dua puluh lima gram, belum emas kawin, rumah, sawa lima hektar. Setelah ngomong Kamu pergi begitu aja,” jelasnya panjang lebar.

Setelah di ingat-ingat, tuan licik ini ternyata laki-laki terakhir yang bikin gue kesal sampai tujuh langit, tujuh samudra, tujuh lapis bumi dan tujuh lainnya.

Baru ingat gue. Saat itu adalah hari di mana lagi kesal setengah mati. Lagi fokus makan enak, malah di tanya ini dan itu, oleh laki-laki aneh.

Eh terakhir sama tuan licik ini, entah waktu itu benar-benar nggak memperhatikan wajahnya karena ingin banget lari bawa si abu-abu pergi yaitu motor kesayangan.

Ah sial gue, ini ceritanya gue yang ngajak nikah walau sebenarnya omongan itu hanyalah mainan, ternyata lelaki ini seserius itu mempercayainya.

Kenapa bisa sih gue nggak kepikiran bahwa ada laki-laki yang mau aja mengambil kesempatan kayak begini.

Enggak bisa, gue nggak boleh tinggal diam. Gue harus cari cara supaya lepas dari tuan licik ini. Walau dia bos dan juga kaya raya, tapi gue nggak tertarik dengan pernikahan ini. Gue nggak mau menjadi wanita simpanan atau apalah itu.

“Kenapa, ada yang salah?” tanyanya bingung.

“Haha... Iya-iyalah Pak. Waktu itu saya hanya bercanda aja, bukan serius yang di ucapkan. Masa Anda langsung terima aja. Hanya bercanda Pak, bercanda.” akting yang menahan sakit perut akibat tertawa. Permainan yang bagus Zahra pertahankan.

Lihat kembali jam, waktunya gue harus lari dan menetralisasi pikiran yang penuh tekanan ini. “Sudah dulu ya Pak, saya izin pulang mau istirahat.”

“Tunggu!” cegahnya.

Mau apa lagi sih? “Kenapa Pak?”

“Kamu mau kemana?”

“Pulang ke rumah Pak, ini jam-jam rawan bagi saya.”

“Kamu amnesia saya suami Kamu sekarang? Kita akan tidur di hotel ini. Kamu dan saya akan istirahat di sana.”

Hah terlihat jelas tuan licik ini sudah mempersiapkan segala hal. “Tapi Pak, saya belum setuju dan belum percaya. Lagian saya belum lihat sem—” belum selesai ngomong tangan gue di pegang, dasar tuan licik. Mau tarik kemana gue?

“Ke kamar,” ajaknya tanpa mendengarkan omonganku barusan dan setempat itu jawabannya. Jangan bilang tuan licik ini punya indra keenam.

“Lepas Pak.” erat banget sih pegangan tangannya.

“Diam Zahra!” bentaknya.

Kami berdua masuk ke dalam lift. “Pak saya enggak suka ya Anda memegang tangan saya tanpa izin.” Ih susah benget sih lepasnya.

Tuan licik ini hanya diam seribu bahasa tanpa melihat sedikitpun sampai lift terbuka dia masihnya kuat menarik sampai akhirnya kami berhenti di depan pintu kamar.

Sekuat tenaga melepaskan tangan ini sampai kami berada di dalam kamar. Akhirnya di lepaskan. “Bapak mau apa?” jangan pikir dengan wajah anda gue bisa segampang itu tertarik untuk di lecehkan.

“Di sini kamar kita! Kamu mengerti sekarang?”

“Pak, saya belum siap. Kita ini hanya menikah tanpa perkenalan dan—”

“Itu sudah menjadi resiko Kamu yang menantang saya," sangkalnya sambil tersenyum sinis penuh dengan misterius.

Mundur beberapa langkah menjauhi tuan licik ini yang hampir menyentuhku. Sudah ke tangan naik ke bahu, agresif banget, geli gue.

Tuan licik ini ingin memegang lagi tapi nggak jadi, entah apa pikirannya. Tibanya tersenyum manis penuh kelembutan. “Maaf saya hanya ingin menyuruhmu istirahat di sini aja, mengingat status kita bukanlah lajang lagi melainkan sudah menjadi suami dan istri yang sah di mata agama dan negara. Saya yakin, Kamu pasti sangat lelah, beristirahatlah dulu, nanti kita bicara lagi.”

“Ok saya setuju, tapi kenapa Bapak masih di sini?Sejujurnya saya enggak bisa istirahat jika ada lelaki lain di dalam kamar. Apalagi hanya kita berdua. Apa Anda mau, saya menahan kantuk yang berlebihan sampai-sampai bisa memicu jatuhnya saya sakit?”

“Iya sudah tidurlah, saya keluar dulu,” balasnya dengan langsung berjalan ke luar kamar.

Hah hampir aja gue terkena serangan jantung. Bisa-bisanya dia memegang tangan dan ngomong secara bukti yang belum bisa gue percayai.

Hah sudahlah pusing gue memikirkan masalah ini fokus istirahat dululah.

Ruangan ini kalau di perhatikan ternyata di hias begitu cantik sampai-sampai di atas ranjang bertaburan bunga mawar merah dan dua angsa terbuat dari handuk putih.

Membayangkan sesuatu di sana, membuat bulu ini langsung berdiri. Jangan sampai itu terjadi.

Cari kursi aja deh.

Umh ini dia, pinjam satu bantal sebentar ya, tenang entar sudah bobok cantik gue balikin ketempat semula.

Ah... Empuknya, buang dulu masalah yang ada memejamkan mata bermimpi indah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!