NovelToon NovelToon

Sang Pewaris

SP 1

Plak ....

Suara tamparan itu menggema di seluruh ruang tamu rumah besar Julian Sebastian.

"Pa, udah!"

Alma memegang tangan Julian yang saat ini benar-benar emosi.

"Diam, Ma! Papa benar-benar kecewa dengan dia!!" tekan Julian.

Matanya tajam menatap ke depan. Pada orang yang tadi ia tampar.

"Maaf, Pa,"

Julian berdecih sinis saat ia mendengar permintaan maaf itu.

"Maaf kamu bilang? Ini permintaan maaf kamu yang ke berapa, hah? Papa bahkan sudah tidak ingat lagi!"

Julian menekankan kata-katanya, menatap tajam pada Gavin yang menunduk dengan memegangi pipinya.

"Pa, udah!" Alma menahan tangan Julian yang hendak menampar Gavin lagi.

"Dia sudah benar-benar sudah keterlaluan, Ma!" ucap Julian tegas.

Bukan tanpa sebab Julian marah seperti itu. Gavin— anak lelakinya yang baru masuk kuliah itu mengadakan balap liar bersama dengan teman-temannya.

Dan karena balapan liar itu, Gavin menabrak seseorang hingga orang itu mengalami patah tulang.

Julian bersyukur karena orang itu tidak meninggal karena ulah anak lelakinya tersebut.

"Tapi Gavin sudah minta maaf, Pa!" ucap Alma yang membuat Julian berdecih.

"Pokoknya Papa tidak mau tahu. Kamu harus menjalankan hukuman karena sudah sangat mengecewakan Papa, Gavin!!" tunjuk Julian sebelum ia meninggalkan ruang tamu itu di susul oleh Alma sang istri yang mengejarnya.

"Makanya, lu kalau main sama temen itu, harus pilih-pilih orang! Di saat lu kena masalah kayak gini, mereka malah lari!"

Gianna menatap pada Gavin yang tertunduk menyesali kesalahannya.

"Ingat, Vin! Lu itu pewaris Papa! Harusnya lu gak kayak gini. Lu benar-benar udah bikin Papa kecewa!" Gianna menunjuk wajah Gavin karena sudah terlalu kesal.

"Ayo, Cia. Kita masuk kamar!" ajak Gianna pada Gracia, adik satu-satunya.

Gracia mengangguk, kemudian ia melirik ke arah Gavin sekilas lalu mencibir pada Kakak laki-lakinya itu.

Gavin mengusap kepalanya dengan kasar, ia duduk di sofa yang ada di sana.

"Sen, kenapa bukan Lo yang ngurus masalah ini? Kenapa Papa sampai tau?"

Gavin menatap pada Arsene yang berdiri seperti patung di depan pintu utama. Laki-laki tanpa ekspresi itu melirik Gavin sekilas.

"Karena selama ini Papamu memang sudah tahu!" jawab Arsene singkat.

Gavin mendengus, kemudian ia bangkit pergi ke kamarnya meninggalkan Arsene di sana.

Arsene kini bekerja di perusahaan Julian. Ia dipersiapkan oleh Julian untuk menjadi kaki tangan Gavin nanti. Dan juga untuk menjaga Gianna tentunya.

Setelah Gavin hilang dari pandangan Arsene, barulah Arsene melangkahkan kakinya keluar dari rumah besar itu untuk pulang ke apartemennya sendiri.

***

"Apa-apaan? Maksud Papa apa?"

Gavin bertanya dengan sangat syok ketika Julian mengatakan kalau Gavin harus tinggal jauh dari keluarga tanpa uang sepersen pun dari Julian.

"Ini hukuman kamu, Gavin!" tekan Julian yang membuat Gavin menatap Julian memohon.

"Pa ... Gavin minta maaf karena udah ngecewain Papa. Gavin janji gak akan balapan liar atau ke bar lagi, tapi Gavin mohon jangan hukum Gavin kayak gini, Pa," Gavin memegang lengan Julian dengan sangat memohon.

Julian mendelik tajam ke arah Gavin.

"Apa sebelum kamu ngelakuin kesalahan itu, kamu mikirin akibatnya? Apa kamu mikir gimana kondisi orang yang kamu tabrak itu saat kamu bakal balapan liar? Hah? Enggak, kan?"

Julian menatap Gavin sangat tajam, membuat Gavin diam.

"Pa ... apa gak bisa di pikir ulang lagi?" Alma masih berusaha untuk membujuk Julian agar Julian tidak memberikan hukuman itu pada Gavin.

"Enggak bisa, Ma! Dia harus di hukum. Ini kesalahan yang berulang kali, Papa udah muak buat maafin dia!" tekan Julian menatap Alma tajam.

Nyali Alma menciut, ia kemudian diam dan hanya bisa pasrah dengan semua keputusan Julian.

"Pa ... Gavin gak bisa hidup sendiri!" ucap Gavin, ia menatap Julian dengan sangat sedih.

"Papa gak peduli! Kamu di hukum! Kalau kamu masih tetap mau menjadi pewaris Papa, kamu harus bisa menjalani hukuman ini," tekan Julian.

Gavin menghembuskan napas berat.

"Dan lagi, kamu harus mencari uang sendiri untuk biaya kuliah sama hidup kamu. Papa gak akan bantu sepersen pun. Dan itu semua adalah syarat yang harus kamu penuhi!"

Lagi dan lagi Julian meninggalkan Gavin yang terdiam ditempatnya. Dengan Alma yang menyusul langkahnya.

"Sen ... gue gak bisa cari uang sendiri!" ucap Gavin pada Arsene yang sudah berada di rumah besar itu.

Arsene diam, membuat Gavin menoleh ke arahnya.

"Lo harus bantu gue, Sen!" ucap Gavin.

Arsene langsung menggeleng, "Itu sudah keputusan Tuan besar. Jadi saya tidak bisa membantu Anda, Tuan muda!" jawab Arsene.

"Aarggghhh!!" Gavin berteriak dengan sangat keras. Ia sangat prustasi.

Selama hidupnya, ia tidak pernah mencari uang sendiri. Rekeningnya selalu terisi karena Julian terus memberikan ia uang jajan.

Dan kini, yang membuat Gavin rasanya ingin gila adalah, bagaimana caranya dia bisa hidup di luaran sana tanpa uang sepersen pun dari Julian.

Dan ia tidak punya keahlian apa-apa.

"Tuan muda. Kunci mobil Anda," Gavin menatap Arsene dengan tajam.

"Maaf, ini perintah dari Tuan besar," ucap Arsene yang membuat Gavin kembali termangu.

Dengan kasar, Gavin memberikan kunci mobilnya pada Arsene.

"Semua kartu Anda, Tuan muda," ucap Arsene lagi.

Dengan wajah kesal, Arsene mengeluarkan dompetnya dan memberikan dompetnya itu pada Arsene. Dan berjalan meninggalkan ruangan itu.

"Tuan muda ...."

"Apa lagi? Aku sudah memberikan semuanya padamu, sialan!!" bentak Gavin dengan suara yang sangat keras.

Arsene diam, wajahnya tetap tanpa ekspresi.

"KTP Anda. Tuan muda pasti memerlukannya nanti!" ucap Arsene yang membuat Gavin ingin segera menghilang saja dari sana.

Dengan kasar Gavin menerima KTP dan juga SIM nya dari Arsene. Dan segera pergi dari sana.

***

"Sepatu itu jangan dibawa, Tuan muda."

"Jaket itu juga."

"Celana itu juga,"

"Kalau semuanya tidak boleh aku bawa, lalu aku pakai apa nanti?" tanya Gavin kesal, karena Arsene terus saja melarangnya untuk membawa ini dan itu.

"Saya sudah menyiapkan pakaian yang boleh Anda bawa," ucap Arsene yang membuat Gavin mengumpat.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Sialan!!" kesal Gavin.

"Maaf, Tuan muda silahkan tinggalkan ponsel Anda," Arsene tidak menggubris ucapan Gavin tadi.

"Tidak mau!! Ini ponsel keluaran terbaru milikku!!" jawab Gavin yang membuat Arsene menggeleng.

"Ini perintah langsung dari Tuan besar," ucap Arsene yang membuat Gavin benar-benar tidak bisa menjawab.

Dengan kasar dan berat hati Gavin menyerahkan ponselnya itu pada Arsene.

"Tuan muda ...."

"Apa lagi? Apalagi yang ingin kau minta? Tidak ada! Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang!!" teriak Gavin yang sudah kelewat emosi.

"SIM card Anda, Tuan," jawab Arsene yang benar-benar membuat Gavin ingin menenggelamkan dirinya di rawa-rawa.

"Ya Tuhan, kenapa sekarang hidupku sepahit ini?"

***

Terima kasih!

SP 2

Gavin menyeret kopernya keluar dari rumah besar itu.

"Ingat, Vin! Kamu tidak diperbolehkan untuk pergi ke mansion atau mengadu pada Oma dan Opa. Karena itu tidak akan berguna apalagi ke rumah Om Erick!"

Gavin menoleh ke arah Papanya yang sudah sangat tega menghukumnya seperti ini.

"Satu lagi ... kamu hanya diperbolehkan pulang saat kamu sudah menyelesaikan kuliah kamu dengan predikat cumlaude!" peringat Julian lagi.

"Kenapa Papa tidak bunuh aja Gavin sekalian, Pa?" tanya Gavin yang sudah lelah.

Tidak membawa uang, hanya pakaian dan satu buah ponsel butut. Bahkan kamera buriknya saja tidak ada.

"Rugi Papa. Modal Papa buat ngasih jajan kamu udah banyak. Ya kali aja Papa mau bunuh aset sendiri,"

Julian menjawab dengan sarkas, membuat Gavin benar-benar menganga.

Dengan mendengus kesal, Gavin pergi dari sana.

"Gavin tunggu dulu!" ucap Julian, ia mendekat ke arah anak lelakinya itu.

"Apalagi Pa?" tanya Gavin malas.

"Nih, buat jajan nanti beli air minum!"

Julian menyodorkan uang sebanyak lima ratus ribu kepada Gavin. Kasihan juga Julian, karena ia berpikir tidak mungkin Gavin bisa mendapatkan pekerjaan langsung hari ini.

"Mana cukup, Pa!" kesal Gavin, tapi ia tetap menerima uang itu.

"Kalau gak cukup, ya udah sini balikin!" perintah Julian.

Dengan gerakan cepat, Gavin memasukkan uang itu kedalam saku celananya.

"Bye semua! Gavin pergi dulu. Kalau kalian kangen, jemput Gavin di bawah kolong jembatan!" kesal Gavin meninggalkan mereka yang menyaksikan kepergiannya itu.

Gavin keluar dari rumah besar itu.

"Mari saya antar, Tuan muda!" ucap Arsene yang membuat Gavin mengerutkan keningnya.

"Dia mengusirku dari rumah, tapi juga menyuruhmu untuk mengantarku?" tanya Gavin sarkas.

"Benar, Tuan muda. Tuan besar tidak ingin orang-orang di komplek ini tau kalau Tuan muda sebentar lagi akan menjadi gelandangan. Jadi Tuan besar membuat cerita kalau Tuan muda sedang menjalani pendidikan di luar negeri!" Arsene menjelaskan dengan panjang lebar.

"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tadi kau bilang? Gelandangan?" tanya Gavin, menatap Arsene dengan mata yang melotot.

"Saya hanya mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Tuan besar, Tuan muda," jawab Arsene dengan wajah datarnya.

"Oh, God! Bahkan sekarang dia menyumpahi aku untuk menjadi gelandangan!!" ratap Gavin yang membuat Arsene hanya diam saja.

Dengan kesal, Gavin naik ke dalam mobil yang Arsene sendiri menyetirnya.

***

"Silahkan turun, Tuan muda!" Arsene membukakan pintu mobil untuk Gavin.

Dengan kesal, Gavin keluar dari mobil itu. Arsene mengambilkan koper Gavin di dalam bagasi mobil.

"Saya permisi Tuan muda," Arsene menunduk dan masuk lagi ke dalam mobil. Meninggalkan Gavin yang masih diam di tempatnya. Bahkan di saat mobil yang dibawa oleh Arsene hilang di pandangan matanya, Gavin masih berdiri di sana.

"Oh, sempurnanya hidupku! Sekarang aku resmi menjadi gelandangan selama beberapa tahun ke depan!"

Gavin tersenyum miris pada dirinya sendiri. Ditinggalkan sendirian dengan membawa uang lima ratus ribu saja. Apa yang bisa Gavin dapatkan dengan uang sebanyak itu? Bahkan uang bulanan Gavin saja seratus kali lipat besarnya dari uang yang kini ada di dalam saku celananya tersebut.

Gavin menyeret kopernya untuk berjalan kemana saja kakinya melangkah. Gavin bingung mau melakukan apa.

Dengan ponsel butut yang ada di dalam tasnya, Gavin menghubungi nomor telepon temannya. Untung saja pulsa yang ada di SIM card Gavin masih sangat banyak.

"Yo, apa aku bisa menginap di rumahmu?" tanya Gavin saat ia menghubungi salah satu temannya.

"Menginap di rumahku? Memangnya kenapa?" tanya Rio pada Gavin.

"Aku di usir dari rumah," jawab Gavin yang membuat Rio di seberang sana terdiam.

"Maaf, tapi aku tidak sedang berada di rumah. Kau ke tempat yang lain saja." Rio tidak membiarkan Gavin untuk bicara, ia langsung mematikan sambungan telepon tersebut dan merebahkan tubuhnya di atas kasur di dalam kamarnya.

Gavin menatap nanar pada layar ponsel bututnya itu. Padahal Gavin mendapatkan hukuman itu juga karena Rio. Dia yang mengajak Julian untuk balapan melawan geng yang selama ini menjadi musuhnya.

Dengan harapan yang besar, Julian menghubungi nomor temannya yang lain.

"Maaf, Vin. Aku tidak bisa. Mamaku sedang ada di rumah,"

Gavin menghela napas, kenapa di saat seperti ini tidak ada satu temannya yang bisa membantu.

Gavin tidak tahu lagi harus menelepon siapa. Semua teman-temannya menolak untuk membantunya.

Dengan langkah lunglai Gavin terus berjalan ke depan. Terik siang hari yang panas sangat menyiksa Gavin. Kulitnya terasa terbakar karena panas.

Berjalan terus Gavin tiba di sebuah tempat yang menyewakan kamar kos. Dengan uang yang ada di dalam sakunya Gavin membunyikan bel tempat kos tersebut.

"Ada apa?" tanya seorang ibu-ibu yang membukakan pintu gerbang untuk Gavin.

"Saya lihat, di sini tempat kost, ya, Bu? Bisa saya tanya berapa harga sewanya? Dan apa ada kamar kosong?" tanya Gavin penuh harap. Ia berdoa supaya uang yang diberikan oleh Papanya itu cukup.

"Masih! Masih ada kamar kosong. Uang sewanya cuma tiga ratus ribu aja," ucap ibu kost tersebut yang membuat Gavin berbinar.

"Sungguh? Kalau gitu saya mau kos disini, Bu," ucap Gavin. Hatinya lega karena semua uangnya tidak habis. Dan masih ada sisa.

"Oke, deh. Langsung masuk aja!"

***

Gavin melihat-lihat isi dari kamar yang menurutnya sangat sempit itu. Bahkan Gavin rasa, kamar mandi di dalam kamarnya masih lebih besar dari kamar kos yang kini dihuninya itu.

Dengan tempat tidur kecil yang ada di sana, Gavin mendudukkan dirinya di atas tempat tidur itu. Meletakkan kopernya begitu saja dan juga melepaskan tas yang sedari tadi ia sandang.

Gavin mengeluarkan uang yang ada di dalam aksi celananya. Hanya dua ratus ribu, dan apa yang bisa Gavin dapatkan dengan uang sekecil itu?

Gavin meraih ponselnya, ia hendak menelepon temannya lagi. Setidaknya kalau untuk memberikan dia pinjaman uang, teman-temannya itu pasti bisa.

"Gak ada Vin, gue lagi gak ada uang sekarang! Udah, ya! Matiin dulu, gue sibuk!"

Gavin menatap nanar pada ponsel itu. Sudah lima orang yang ia telepon, dan jawabannya selalu sama.

Julian kini jadi memikirkan kata-kata Gianna padanya waktu itu.

"Cih ... saat aku tidak punya uang seperti sekarang ini, kalian semua menjauh dariku. Kalau aku masih memiliki uang seperti kemarin, kalian semua memuji-mujiku. Dasar iblis!" umpat Gavin, saat ia merasa kalau apa yang dikatakan oleh Gianna sangat benar.

"Lihat saja kalian, aku pastikan kalian akan mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan dari yang kalian lakukan padaku saat ini!!"

***

Terima kasih

SP 3

"Makanya kamu itu kalau kerja jangan lelet!!"

"Maaf, Pak!"

"Maaf, maaf! Kamu kira dengan kamu minta maaf, pelanggan saya bakal diam dan gak protes lagi? Hah?!"

Pria yang berperut buncit itu membentak Gavin membuat Gavin memejamkan matanya.

"Sana kerja lagi, kalau kamu masih gak becus kerjanya saya bakal pecat kamu!!" tekan pria itu, menunjuk Gavin dengan wajah kesal dan berlalu dari sana.

Sepeninggalan pria tersebut, Gavin mengepalkan tangannya.

"Andai aja lo bukan Boss gue, udah gue pukul perut buncit lu itu, sialan!!"

Dengan kasar Gavin kembali menyalakan air untuk mencuci mobil pada pelanggan di tempat cucian tersebut.

Dengan gerakan cepat Gavin membersihkan bagian-bagian mobil itu.

"Hadehhh, kaku tangan gue, gini amat hidup gue sekarang!"

Gavin memijit pergelangan tangannya dan membersihkan tangannya yang sedari tadi bermain dengan busa sabun.

Setelah selesai mencuci mobil yang satunya, Gavin berpindahnya ke mobil yang lain.

***

"Kamu itu sebenarnya bisa kerja, gak, sih? Kamu lihat dong, itu mobil saya masih kotor! Gimana, sih, kamu ini?!"

Gavin menunduk saat ia mendengar Omelan yang kesekian kalinya hari ini.

"Tapi itu sudah bersih, Pak," ucap Gavin mencoba untuk membela diri. Berpuluh menit ia mencuci mobil itu sampai sangat bersih supaya kerjanya tidak di komplain lagi tapi ternyata masih ada yang tidak puas dengan pelayanannya.

"Bersih kamu bilang? Itu kamu bilang bersih? Mata kamu gak ada? Kamu buta?" bentak laki-laki itu dengan sangat kasar dan kalimat yang sangat menyakitkan.

"Maaf, Pak. Saya akan bersihkan lagi, mohon tunggu sebentar," Gavin dengan cepat menghidupkan slang air untuk kembali membersihkan mobil yang katanya masih kotor itu.

"Harus! Kalau kamu gak bisa bersihin dalam lima menit lagi, saya gak mau bayar uangnya!" kesal bapak itu dan kemudian pergi dari sana meninggalkan Gavin yang mengumpat.

"Gak punya mata? Buta? Iya, tapi bukan gue yang gak punya mata. Lu yang gak punya mata. Sialan, pengen gue gorok tadi lehernya itu, ngeselin banget, sih."

Gavin terus saja menggerutu, membersihkan bagian yang menurut bapak tadi masih kotor. Padahal tidak ada kotoran sedikitpun di sana menurut Gavin.

***

"Ini upah kamu hari ini!"

Gavin memandang uang senilai seratus lima puluh ribu yang ada di tangannya itu dengan mata yang menajam.

"Kok cuma segini, Pak? Harusnya, kan, dua ratus ribu?" komplain Gavin. Enak saja, dia sudah susah-susah kerja sampai tangannya kram dan malah dikurangi jumlahnya.

"Itu karena kamu selalu bikin pelanggan marah! Makanya upah kamu saya potong!" ujar pria berperut buncit itu.

"Tapi, Pak?"

"Tapi apa? Mau kamu saya pecat? Kerja masih gak becus kayak gitu mau minta tambahan upah lagi!!" pria yang menjadi Boss Gavin itu melotot padanya. Setelah itu ia segera pergi dari sana.

"Ya Tuhan, kerja susah-susah malah di potong. Gimana mau kekumpul duit buat bayar kuliah kalau kayak gini ceritanya,"

Gavin mengusap rambutnya dengan kasar. Dengan langkah lunglai ia segera pergi dari sana dan memasukkan uang yang ia dapat hari ini ke dalam kantong celananya.

Gavin yang telah memilih kendaraan pun harus berjalan kaki kemana-mana agar ia bisa menghemat uangnya dan membayar uang kuliahnya.

Tiba di depan sebuah warung harian, Gavin masuk ke dalam sana.

"Udah datang kamu, cepat kerja! Banyak udah nungguin air galon mereka!"

Pemilik warung harian itu melotot ke arah Gavin.

"Iya, Bu. Saya baru selesai di sana," jawab Gavin. Maksudnya di tempat pencucian mobil tadi.

"Saya gak peduli! Cepat antar galon itu, jangan malas!"

Gavin meletakkan tas ransel yang selalu ia sandang itu di sudut warung itu. Dan ia segera mengangkat galon air minum itu ke atas mobil pick up untuk di antar ke rumah para pelanggan.

lebih dari dua puluh galon yang ga ini angkat membuat napas Gavin serasa ingin putus.

"Kalau kayak gini terus, bisa-bisa otot gue kayak binaragawan lagi, ih gak deh!" Gavin tidak suka dengan otot yang terlalu besar hingga menampakkan seperti urat-urat itu.

Gavin suka yang sedang-sedang saja. Agak geli gimana gitu.

"Saya pergi dulu, Buk!" ucap Gavin pada Ibu pemilik warung itu.

"Iya cepat sana! Jangan malas!" teriak ibu pemilik warung itu membuat Gavin mendecih dengan suara terkecil.

Gavin segera mengemudikan mobil pickup tersebut, berkeliling untuk mengantarkan air galon itu ke rumah langganan.

***

"Ini!"

Gavin menatap pasrah pada uang dua puluh lima ribu yang disodorkan oleh ibu pemilik warung tadi.

"Apa? Mau komplain?" bentak ibu itu membuat Gavin segera menggeleng.

"Enggak, Buk. Makasih, saya pergi dulu!"

Dengan langkah cepat Gavin segera pergi dari sana, menyandang tas ranselnya dan pergi dari sana.

Gavin melihat pada langit yang sudah mulai gelap. Sadar kalau di kos nya tidak ada makanan, akhirnya Gavin kembali lagi ke warung tadi.

"Apa lagi?" tanya ibu pemilik warung itu sarkas. Ia sedang menghitung pemasukan hari ini. Dan Gavin kira itu mungkin lebih dari sepuluh juta. Dan ibu itu hanya memberikannya dua puluh lima ribu saja.

'Dasar pelit!' rutuk Gavin dalam hatinya.

"Mau beli mie instan, Bu," jawab Gavin.

Ibu itu menoleh sebentar.

"Mie instan lagi? Ntar lagi kayak cacing kamu!" ketusnya, tapi tetap berjalan untuk mengambilkan Gavin mie instan.

"Mau berapa?" tanya ibu itu.

"Tiga aja," jawab Gavin singkat.

"Sembilan ribu,"

Gavin menyerahkan uang sepuluh ribu pada ibu pemilik warung tersebut.

"Kembaliannya!"

Gavin menerima uang koin seribuan itu, dan memasukkan ke dalam saku celananya. Bagi Gavin saat ini uang seribu itu sangat berharga untuknya.

Gavin segera pergi dari sana dengan tiga bungkus mie instan yang dijinjingnya.

Dengan berjalan kaki agak jauh dari tempat tadi, Gavin akan pulang ke kosnya. Ia sangat lelah, apalagi dia juga punya tugas kuliah yang harus dikerjakan.

"Udah pulang kamu, Vin?" tanya ibu kos yang sedang menyapu halaman.

"Iya, Bu," jawab Gavin sopan. "Mari, Bu. Saya permisi dulu," sambung Gavin.

Ibu itu mengangguk dan Gavin segera naik ke atas tempat kamar kostnya berada.

Di dalam kamarnya yang kecil itu, Gavin duduk di atas ranjang yang kecil tersebut.

Membuka tas ranselnya dan meletakkan tas itu di sampingnya.

Gavin mengeluarkan sebungkus mie instan dari dalam kantong yang tadi dijinjingnya.

"Ya Tuhan, semoga aku tidak usus buntu karena terus makan mie instan ini," ratap Gavin.

Ia segera berjalan di meja kecil yang ada di sana. Ada piring, sendok, gelas dan juga yang paling penting adalah termos di sana.

Karena bagi Gavin, termos itu adalah barang berharga untuknya supaya ia tidak kesusahan untuk memakan makanan rutinnya.

"Sabar ... sabar. Ini ujian .... Biasaalaah."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!