Bandung kala itu ....
Dua sejoli yang dipertemukan di negeri Singa saat menempuh pendidikan S2 di sana, sekarang dalam perjalanan menuju Bandung. Dia adalah Gibran Winantha, seorang pemuda yang berasal dari kota Kembang, Bandung. Tujuannya pulang ke kampung halamannya sekarang ini bukan sekadar untuk mengunjungi orang tuanya yang tinggal dan menetap di Bandung, tetapi juga untuk mengenalkan kekasihnya kepada orang tuanya.
"Mas Gibran, aku tidak yakin kalau Bapak dan Ibu kamu bisa menerima aku," ucap sang gadis dengan penuh ketidakpercayaan diri.
Dia adalah Giselle Wardhani, putri seorang CEO yang bergerak di bidang konstruksi. Memang dia adalah putri orang kaya, tetapi Giselle sebenarnya sama sekali tidak percaya diri dengan dirinya sekarang, itu semua karena berat badan Giselle yang terbilang gemuk. Ya, Giselle memiliki bobot hampir 90 kilogram. Penampilannya yang big size itu membuatnya ragu ketika kekasihnya, Gibran hendak mengenalkannya kepada orang tuanya.
"Tenang aja, Bapak dan Ibu itu baik kok," balas Gibran yang berusaha menenangkan Giselle.
Di dalam mobilnya, beberapa kali Giselle menghela nafas panjang, dan juga dia meremas kedua telapak tangannya, tanda bahwa dia tengah resah dan sedang tidak percaya diri. Jantungnya pun berdebar-debar, ketika mobil yang dikemudikan sendiri oleh Gibran itu sudah sampai di sebuah perumahan yang begitu asri.
"Ayo turun, Giselle ... ini adalah rumahku," ajak Gibran dengan membukakan pintu mobil untuk Giselle di sana.
Kemudian keduanya memasuki rumah itu, sudah ada pasangan paruh baya di depan rumah yang keluar dan berdiri di depan pintu.
"Assalam'ualaikum," sapa Gibran kepada Bapak dan Ibunya.
"Waalaikumsalam," balas pasangan Winantha, yaitu Rosalia dan Teguh Winantha.
Gibran dan Giselle pun dipersilakan untuk masuk, kemudian barulah Gibran berinisiatif untuk memperkenalkan Giselle kepada kedua orang tuanya. "Bapak dan Ibu, perkenalkan ini adalah Giselle, gadis yang sudah lama Gibran sukai. Kami bertemu saat sama-sama kuliah di Singapura," ucapnya.
"Assalamu'alaikum Bapak dan Ibu, perkenalkan saya Giselle," ucap Giselle memperkenalkan diri.
"Giselle ini aslinya dari mana?" tanya Pak Teguh.
"Dari Jakarta, Pak ... hanya saja kuliah di Singapura," balasnya.
"Bapak dan Ibunya bekerja apa, Giselle?" Giliran Bu Rosalia yang bertanya pekerjaan orang tua Giselle. Setidaknya orang tua juga ingin tahu sebenarnya bobot, bibit, dan bebet, dari gadis yang sekarang dibawa Gibran ke rumah itu.
"Papa punya usaha sendiri, Bu," balas Giselle. Memang Giselle selama ini tidak pernah menyebutkan secara gamblang bahwa Papanya adalah seorang Direktur Utama sebuah perusahaan besar. Baginya, sebuah jalinan akan terasa benar-benar tulus, ketika orang tidak tahu latar belakang keluarganya.
Cukup lama, Giselle di sana, hingga Bu Rosalia mengajak Gibran untuk masuk ke dalam, ada perbincangan secara pribadi dengan putranya itu. Sebab, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Bu Rosalia.
"Bran, Ibu mau bertanya sama kamu. Apa iya, kamu suka sama gadis seperti itu? Kamu ini putranya Ibu yang pinter dan cakep, sementara Giselle itu tidak menarik, Bran. Badannya besar sekali. Kamu dan dia jika bersama bukankah seperti angka 10. Tidak serasi. Kamu yakin menyukai gadis seperti itu?" tanya Bu Rosalia.
"Iya, Bu ... Gibran suka sama Giselle. Dia itu gadis yang baik dan pintar. Kepribadiannya juga bagus, Bu. Tidak mungkin kalau Gibran begitu asal membawa gadis ke rumah dan mengenalkannya kepada Bapak dan Ibu. Oh, iya Bu ... Gibran juga ingin serius dengan Giselle. Usai wisuda nanti, Gibran akan melamarnya," ucapnya.
Bu Rosalia menghela nafas panjang dan menatap putranya itu. "Kenapa enggak dipikirkan lagi? Bobot, bibit, dan bebetnya juga loh," ucap Bu Rosalia.
Bagi Bu Rosalia bagaimana itu bobot, bibit, dan bebet adalah penilaian yang mutlak. Selain itu, menurut Bu Rosalia juga Gibran sangat tidak serasi dengan Giselle. Ada rasa kurang puas aja di dalam hatinya.
"Dua minggu lagi, minta tolong lamarkan Giselle ke Jakarta ya, Bu ... Gibran mau serius dan sungguh-sungguh," ucap Gibran dengan penuh keyakinan.
Gibran sendiri merasa bahwa cintanya bukan berdasarkan pada rupa. Walau Ibunya merasa kurang cocok, tetapi Gibran sangat tahu bahwa Giselle adalah gadis yang baik. Gadis yang sederhana dan memiliki kepribadian yang baik-baik. Alih-alih mengedepankan rupa, lebih baik baginya untuk mencari pasangan hidup yang mau diajak berjuang bersama-sama.
***
Dua Pekan kemudian di Jakarta ....
Pada akhirnya, keluarga Winantha untuk menuju ke Jakarta, dan betapa terkejutnya mereka melihat kediaman Giselle yang begitu mewah dan megah. Justru, kediaman itu berlipat-lipat lebih mewah dari kediaman mereka yang sederhana di Bandung.
Ketika Gibran menekan bel rumah besar itu, ada pasangan Jaya Wardhana yang membukakan pintu. "Nak Gibran, silakan masuk," sapa Papa Jaya dan Mama Jaya di sana.
"Giselle anak orang kaya ya, Bran?" tanya Bu Rosalia dengan suara lirih di telinga Gibran.
"Sebenarnya iya, Bu ... memang Giselle gak mau dikenal orang sebagai putri orang kaya," balas Gibran.
Bu Rosalia tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Seketika penilaiannya berubah ketika mengetahui bahwa Giselle adalah putri seorang taipan. Seketika, dia merasa Giselle adalah pasangan yang tepat untuk putranya. Tidak lagi mempermasalahkan rupa dan penampilan Giselle Wardhani.
"Om dan Tante, perkenalkan dengan Bapak dan Ibunya Gibran," ucap Gibran dengan santun dan sopan.
"Kami orang tuanya Gibran, datang ingin melamar Giselle untuk putra kami, Gibran," ucap Pak Teguh Winantha.
Di sana Papa Jaya Wardhana tampak menganggukkan kepalanya. Kemudian dia melirik kepada Giselle yang juga duduk di sana. "Gimana, Selle? Mau tidak dilamar sama Aa Gibran ini?" tanya Papa Jaya.
Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Giselle mau, Pa ... Mas Gibran orang baik," balas Giselle.
Ada senyuman tipis di wajah Bu Rosalia. Dia pikir ketika putranya menikahi putri seorang Taipan, pasti bisa menyokong ekonomi keluarganya. Tidak masalah memiliki menantu dari segi fisik sama sekali tak menarik, tapi bisa mensejahterakan hidup mereka. Benarkah ada ketulusan dari hati Bu Rosalia? Atau semata-mata hanya untuk mengeruk berbagai fasilitas dari Giselle yang tak menarik, tapi justru sarang duit?
Dua Bulan Kemudian ....
Pada akhirnya, Gibran benar-benar menikahi Giselle. Kali ini, bahkan pernikahan keduanya sudah menginjak dua minggu. Akan tetapi, nyatanya mereka membina rumah tangga bukan di rumah impian yang hanya ditinggali keduanya. Melainkan, Giselle dan Gibran turut ringgal di Bandung, di rumah keluarga Gibran. Itu artinya Giselle menempati pondok mertuanya.
Matahari sudah menyapa, dan Giselle kala itu bangun kesiangan. Itu juga karena semalam Giselle lembur mengerjakan pekerjaannya.
"Mas, jam berapa ini?" tanya Giselle yang baru saja terbangun. Perempuan itu membangunkan suaminya dan bertanya sekarang jam berapa. Sebab, Giselle sendiri lupa untuk mensetting alarm di handphonenya.
"Hmm, jam ... setengah 06.30, Yang," balas Gibran.
Mendengar bahwa sekarang sudah jam 06.30 pagi, seketika Giselle beringsut begitu saja. Dia segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, dan setelahnya, Giselle buru-buru turun menuju ke dapur.
"Selamat pagi, Ibu," sapa Giselle ketika melihat Ibu mertuanya sudah berada di dapur.
Melihat kedatangan Giselle, Bu Rosalia tampak menurunkan bibirnya, dan mengedikkan bahunya sekilas.
"Istri kok bangunnya siang-siang, Selle. Kalah duluan sama ayam berkokok," balas Bu Rosalia dengan nada bicaranya yang begitu judes.
"Maaf, Bu ... itu juga semalam Giselle lembur, ada analisa saham yang harus Giselle lakukan," ucap Giselle yang segera berinisiatif untuk memotong sayuran berupa Kentang, Wortel, dan Brokoli yang akan dibuat Sayur Sop itu.
"Analisa apa? Apa gunanya analisa kerjaan tapi gak bisa ngurus suami, bangun aja kesiangan," balas Bu Rosa.
Mendengar mengenai ketidakpercayaan ibu mertuanya sendiri bahkan lantaran memang Giselle bersalah karena bangun kesiangan saja, membuat Giselle sudah merasa bersalah pagi hari. Namun, juga Giselle berbicara jujur bahwa dia memang membuat analisa saham hingga tengah malam. Tidak begadang tanpa tujuan.
"Maafkan Giselle, Bu ... tadi alarm di handphone Giselle juga lupa belum disetting ulang," balasnya.
Hingga jam sarapan tiba, Gibran sudah turun dari kamarnya dan menuju ke meja makan. Di sana, pria itu mengamati wajah istrinya yang tampak berbeda.
"Kenapa, Yang?" tanya Gibran.
"Hmm, tidak apa-apa kok, Mas," balasnya.
Gibran sangat tahu bahwa atmosfer di dapur terasa berbeda. Sementara Giselle juga wajahnya muram. Untuk itu, Gibran pun bertanya kepada ibunya.
"Bu, ada apa sih pagi-pagi?" tanya Gibran. Pria itu bergantian melirik sang ibu kemudian berganti melihat istrinya. Suasana di dapur sudah tidak enak.
"Tanya saja sama istri kamu itu. Mana ada istri yang bangun siang. Harusnya istri itu bangunnya lebih pagi. Dulu, Eyang kamu itu selalu ngasih tahu bahwa istri itu harus bangun pagi, jangan sampai bangunnya kalah sama ayam berkokok. Nah, ini istri kamu hampir jam tujuh, matahari sudah tinggi, baru bangun. Gak peduli Ibu sama pekerjaan dan analisa, kalau abai dengan tugasnya sebagai istri."
"Bu, itu juga Giselle bekerja semalam," balas Gibran.
"Kerja ya kerja, Bran ..., tapi suami harus diurus dan juga dilayani," balas Bu Rosalia.
Di sana Giselle hanya bisa menundukkan kepalanya. "Maafkan Giselle, Bu ... besok Giselle akan bangun lebih pagi," balasnya.
Dulu, Giselle kira satu pondok dengan mertuanya akan baik. Dia akan mendapatkan kasih sayang dari mertuanya. Dianggap layaknya anak perempuan sendiri. Namun, sekarang mengawali hari saja, Giselle harus menerima ucapan pedas dari mertuanya sendiri.
Hidup bersama dengan mertua dibutuhkan adaptasi. Begitu juga dengan Giselle yang harus menempatkan diri dan beradaptasi dengan mertuanya. Walau dalam beberapa pekan ini hubungannya dengan mertuanya justru semakin tidak baik. Namun, Giselle berusaha untuk bertahan.
Ada kalanya, ketika dia pulang kerja akan disambut dengan baik ketika Giselle pulang dan membawa buah tangan. Namun, wajah ibu mertuanya akan berubah menjadi masam, ketika Giselle pulang dengan tangan kosong.
Sama seperti hari ini, Giselle nyatanya harus pulang terlambat karena dia diminta perusahaan untuk memberikan analisa menyeluruh terhadap saham perusahaan. Sehingga, Giselle menghubungi suaminya terlebih dahulu bahwa hari ini dirinya akan pulang terlambat.
Mas Gibran
Berdering ...
"Assalam'ualaikum Mas Gibran," sapa Giselle begitu panggilan telepon dengan suaminya terhubung.
"Ya, ada apa, Yang?" tanya Gibran.
"Begini, Mas. Aku diminta melakukan analisa menyeluruh. Jadi, malam ini aku pulang terlambat ya, Mas. Kerja lembur dulu. Maaf," balas Giselle.
"Iya, tidak apa-apa. Kan namanya juga bekerja, Sayang. Tidak tahu juga kan kalau tiba-tiba diminta lembur," balas Gibran.
"Mas, minta tolong pamitkan kepada Ibu juga ya, Mas ... kalau aku pulang terlambat," balasnya.
"Iya, nanti aku sampaikan kepada Ibu. Hati-hati yah. Love U, Sayang."
Giselle mengakhiri teleponnya, dan kemudian fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia berharap tidak akan terlalu malam untuk menyelesaikan semuanya, sehingga bisa segera pulang ke rumah. Terlebih, ada rasa sungkan dengan Bapak dan Ibu mertuanya jika dia pulang terlalu malam.
***
Sementara itu di rumah ....
Ketika makan malam, rupanya Giselle masih berada di kantornya. Sudah jam 19.00, dan belum ada tanda-tanda Giselle akan pulang.
"Istri kamu mana, Bran?" tanya Bu Rosalia.
"Giselle malam ini lembur, Bu ... harus menganalisis saham," balasnya.
"Kerja apa kok sampai malam begini?" tanya Bo Rosalia dengan nada bicara penuh curiga.
"Baru diminta lembur saja, Bu," balas Gibran.
Bu Rosalia pun menggelengkan kepalanya perlahan. "Emang gak ada apa pekerjaan yang tidak pulang malam? Masak iya, kalian gak ketemu seharian. Belum juga, pagi sudah berangkat sendiri-sendiri kerja."
"Emangnya bekerjanya begitu, Bu ... tidak apa-apa," sahut Pak Teguh.
"Ya, tapi kan tidak harus pulang malam-malam, Pak ... malu sama tetangga. Apa mereka kira nanti kok menantu Winantha pulangnya malam-malam," balas Bu Rosalia.
Di sana Gibran hanya bisa menundukkan. Tidak terpengaruh dengan ucapan ibunya. Hanya saja, memang Giselle ketika lembur pun bisa pulang hingga tengah malam. Pekerjaan seorang analis memang ada kalanya begitu sibuk dan menuntut untuk lembur.
Setelah makan malam pun, mereka tidak langsung ke kamar. Akan tetapi, seolah Bu Rosalia menunggu sama Giselle datang. Sudah hampir dua jam berlalu, dan sekarang sudah jam 21.00 malam, dan belum ada tanda-tanda menantunya itu akan pulang ke rumah.
"Sudah jam sembilan malam loh, Bran. Masak istrimu itu belum pulang," ucap Bu Rosalia.
"Sabar, Bu ... nanti kalau sudah selesai. Pasti Giselle juga pulang. Ibu tidur saja, istirahat dan menemani Bapak. Biar Gibran di sini yang menunggu Giselle," jawab Gibran.
Akhirnya Bu Rosalia pun mendenkus kesal. Baru saja, dia hendak masuk ke kamar, rupanya ada suara mobil yang tidak lain dan tidak bukan adalah mobil Giselle. Sehingga, Bu Rosalia memilih menghentikan langkahnya.
"Nah, yang ditunggu baru datang," ucap Bu Rosalia dengan memelototi menantunya itu.
Ciut sudah hati Giselle. Merasa takut dengan ibu mertuanya karena dia pulang malam. Wanita itu hanya bisa menundukkan wajahnya saja.
"Maaf, Bu ... tadi Giselle lembur," balasnya.
"Apa ada, suami sudah di rumah sejak sore, tapi istrinya jam segini baru datang?"
Baru saja datang, badan lelah, pikiran penuh, dan sudah diberondong dengan pertanyaan oleh Ibu mertua. Namun, Giselle pun juga tidak berani membalas karena memang adab kesopanan yang berlaku tidak memperkenankan seorang anak melawan orang tuanya.
"Ibu, kan tadi Gibran sudah bilang kalau Giselle lembur," balas Gibran.
Kemudian Bu Rosalia pun menggelengkan kepalanya sesaat. "Lain kali kalau lembur itu jam makan malam sudah di rumah, Giselle. Suaminya dilayani, bukan hanya ditinggal bekerja."
Giselle merespons dan menganggukkan kepalanya. Sembari dia menguatkan dirinya sendiri untuk bisa bersabar menghadapi situasi yang sebenarnya memojokkannya ini. Dia benar-benar bekerja, bukan berpesta, atau bersenang-senang di luar sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!