Bismillahirohmanirohim.
...Sesakit dan sesak inikah dikhianati oleh orang yang selama ini kita percaya? Mereka sahabat dan pacarku, tapi kenapa tega melakukan semua ini padaku? sebenarnya apa sih mau mereka!...
Seorang gadis tengah duduk melamun dekat jendela kamarnya, kedua tanganya memegang erat sebuah undangan pernikahan.
Undangan itu baru saja dia dapat, tadi sebelum hujan turun, sahabat dan pacarnya menghantarkan langsung undangan pernikahan tersebut untuk dirinya.
Hujan yang mengguyur bumi seakan mewakili perasaannya, perasaan sesak, sakit hati dan kecewa campur menjadi satu.
Beberapa saat lalu sebelum hujan datang dia masih mengingat apa yang terjadi.
"Tumben kalian kesini bareng? Ayo duduk dulu." Ucap Jihan merasa heran, karana Hilam dan Pusap datang bersama.
"Tidak usah repot-repot Ji, kita kesini cuman mau ngasih ini." Ujar Puspa sambil menyodorkan sebuah undangan pernikahan pada Jihan.
"Undangan pernikahan? Memang siapa yang mau nikah, Pus?" bingung Jihan.
Jihan tahu Pusap belum memiliki cowo, jadi wajar dia bertanya seperti itu.
"Kamu baca dong Ji."
Puspa masih saja tersenyum sumringah, sedangkan Hilam sedari tadi hanya diam saja.
"Hilam dan Puspa." Bacanya pelan.
Jder!
Rasanya jantung Jihan akan keluar dari tempatnya saat ini juga, setelah membaca nama yang tertera di surat undang.
Jder!
Bersamaan dengan itu suara petir menyambar, tanda hujan akan segera menyapa.
"Maksudnya ini apa Ma-" belum sempat Jihan selesai bicara Puspa sudah menyelanya lebih dulu.
"Kita berdua duluan ya Ji, sebentar lagi hujan, ayo mas Hilam." Ajak Puspa.
"Jangan lupa datang ya Jihan." Ucap Hilam sebelum pergi.
Air mata Jihan sudah luluh membasahi pipinya, dia tidak bisa mencerna apa yang terjadi, bukankah Hilam mengatakan pada dirinya akan segera melamar dia? tapi kenapa dia malah menyebarkan undangan bernamakan Hilam dan sahabatnya.
"Mbak Jihan kenapa?" bingung Rafli. Dia baru saja pulang dari sekolah.
Tapi fokusnya teralihkan pada undangan pernikahan yang digenggam erat oleh Jihan. "Wish, undangan dari siapa mbak?" tanya Rafli penasaran.
Tapi melihat mbaknya masih menangis membuat Rafli menarik kasar undangan ditangan Jihan.
"Hilam dan Puspa." Baca Rafli pada surat undangan tersebut.
Sedetik kemudian Rafli langsung paham apa yang sudah menyebabkan mbaknya menangis seperti ini.
"Hilam dan Puspa kurang ajar! Beraninya mereka bohongin mbak, berarti selama ini mereka berdua sudah menjalani hubungan di belakang mbak Jihan!" ucap Rafli menggebu-gebu.
Tentu dia tidak terima mbak satu-satunya dipermainkan seperti ini. "Biar aku kasih pelajaran mereka mbak." Marah Rafil.
Rafli baru saja akan pergi mendatangi Hilam dan Puspa, tapi dicegah oleh Jihan.
"Bawa mbak ke kamar, Raf." Suruh Jihan datar, disela-sela tangisnya.
Rafli menghembuskan nafas kasar, "baik, ayo mbak."
Hujan pun turun dengan lebat.
Tok
Suara ketukan dari pintu kamarnya membuat Jihan membuyarkan semua lamunannya.
"Mbak boleh aku masuk?" ucap Rafli.
Jihan yang berada di dalam kamarnya tidak menjawab.
"Mbak makan dulu ya, hari sudah hampir malam. Tapi perut mbak Jihan belum diisi juga." Ucap Rafli, dia membawa kan makan untuk mbaknya.
Namun sayang Jihan tak bergeming sama sekali, orang tua Jihan belum tahu apa yang terjadi pada Jihan.
"Mbak sudah tidak usah dipikirkan orang seperti mereka itu. Si Hilam dan Puspa tidak pantas disebut orang baik!"
Jihan menatap lurus kedepan, dia sepertinya sangat menikmati setiap titik air hujan yang turun dari langit.
"Mbak hanya tidak habis pikir saja Raf. Puspa sahabat mbak dari kecil, sedari kecil kami selalu bersama, tapi kenapa dia tega sama mbak?" ucap Jihan tersenyum kecut.
Rafil menghembuskan nafas panjang jujur dia iba pada mbak Jihan, selama ini Jihan selalu terlihat ceria di hadapannya, tapi hari ini tidak Jihan benar-benar terpukul.
"Mbak harus buktikan pada Hilam dan Puspa, jika mbak baik-baik saja mendengar pernikahan mereka, mbak tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Rafli yakin mbak Jihan pasti bisa. Mbak Jihan tidak akan kalah!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berapa hari berlalu. Waktu pernikahan Hilam dan Puspa akhirnya tiba juga.
"Raf, sudah siap belum." Panggil Jihan pada adiknya.
"Bentar lagi, mbak." Sahutnya dari kamar.
Jihan berdecak sebal, sudah 5 menit Jihan keluar dari kamar, Rafli tak kunjung muncul.
"Raf buruan, nanti kita telat loh." teriak Jihan lagi.
Jihan bahkan hari ini terlihat lebih cantik dari sebelumnya, make up natural yang Jihan kenakan membuat Jihan semakin cantik.
"Sabar kenapa sih mbak dari tadi teriak-teriak aja." Protes Rafli, dia sudah berdiri di hadapan mbak Jihan.
"Ayo berangkat." Ajak Jihan.
Rafli malah pangling dengan mbaknya sendiri, dadaan Jihan benar-bener berbeda dari biasanya. "Woi, Raf ayo berangkat keburu telat." Gerut Jihan.
Jihan sampai menarik kasar tangan Rafli, agar adiknya itu tidak bengong saja.
"Ark! Mbak pelan-pelan dong sakit nih tangan aku."
Namun Jihan tidak peduli, dia terus saja menarik kasar tangan adiknya.
Jihan dan Rafli akhirnya sampai ditempat acara.
Sesak sekali rasanya dada Jihan, melihat Hilam dan Puspa tersenyum bahagia di atas pelaminan.
"Kirain yang bakal nikah sama Hilam si Jihan, eh, tahunya si Puspa." Ucap ibu-ibu yang ada di sana.
Mereka semua mulai membicarkan Jihan yang jelek-jelek saat melihat kehadiran gadis itu di sana bersama adiknya. Padahal Jihan tak bersalah sedikitpun.
"Gimana neng Jihan rasanya jagain jodoh orang? Denger-denger seminggu lalu neng Jihan bilang mau nikah sama Hilam, kok hari ini yang dipelaminan si neng Puspa."
Pedas sekali pokonya ucapan para ibu-ibu disana, mereka dengan blak-blakan menyinyir Jihan. Padahal Jihan tak ada salah.
Jihan tersenyum menanggapi semua cacian untuk dirinya.
"Mbak kita pulang saja yu," ajak Rafli, dia tak tega mbaknya dijelek-jelekan.
"Kamu sendiri yang bilang sama mbak Raf, mbak harus kuat. Mbak janji setelah kita menemui pengantinnya kita pulang." Bisik Jihan.
"Eh neng Jihan, kirain mah nggak bakal datang." Ucap ibu Hilam ramah pada Jihan.
Jihan tersenyum ramah pula. "Pasti datang lah bu, kak yang nikah sahabat Jihan sendiri, masa iya Jihan tidak datang." sahut Jihan.
"Jihan sama Rafli nemuin mantennya dulu ya bu."
Ipah memberikan ruang untuk Jihan, sebenarnya dia lebih ingin memiliki mantu seperti Jihan, ketimbang Puspa.
Kini Jihan sudah berdiri di depan Puspa dan Hilam, begitu juga Rafli. Saking tidak bisa menahan marahnya Rafli menatap tajam Puspa dan Hilam.
Sementara Jihan tetap berusaha memaikan peran cantiknya, ya dia akan benar-benar membuktikan, Dia baik-baik saja.
"Selamat ya buat kalian berdua." Jihan mati-matian menahan rasa sesak di dadanya, rasa sesak yang perlahan-lahan mulai memasuki hatinya.
'Kamu bisa Jihan, ayo kamu pasti bisa, jangan biarkan kamu terlihat lemah di depan mereka, buktikan kamu baik-baik saja, Jihan.' Batinya.
Bohong kalau Jihan tak merasakan sesak didadanya, tapi dia berusaha mencoba untuk ikhlas.
"Semoga menjadi keluarga samawa." Ucap. Jihan, akhirnya kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutnya.
"Makasih loh Ji, aku kira kamu nggak bakal dateng." Puspa hendak memeluk Jihan, tapi ditahan oleh Rafli.
"Selamat ya mbak Puspa dan Mas Hilam, permainan kalian sangat apik sekali." Ucap Rafli ketus.
"Ayo mbak kita pulang, kalau disini terus lama-lama kita bakal ketularan jadi pengkhianatan." Sindir Rafli.
"Maksud kamu apa, Raf?"
"Bukan apa-apa kok mbak Puspa, lagian juga aku bukan ngomongi kalian, tapi kalau kalian sadar ya, alhamdulillah."
Rasanya ingin sekali Rafli menampar muka Hilam dan Puspa, tapi dia yakin pasti mbaknya tidak akan suka, jika dia menggunakan kekerasan.
Malam hari di rumah Jihan.
"Ibu, Bapak. Jihan mau izin merantau ke kota boleh? Disini tidak enak jadi bahan omongan warga, lagipula Jihan tidak jadi menikah tahun ini." Jihan mengutarakan maksudnya pada kedua orang tua.
Kasih dan Joni mengerti perasaan putri mereka.
Joni menghela napas. "Kalau seperti itu sudah keputusan kamu, bapak tidak bisa melarang, asalkan kamu bahagia bapak ikut senang Jihan."
"Syukurlah, terima kasih pak."
"Ibu juga apa kata bapakmu saja Jihan, tapi di sana kamu mau ikut siapa? Kita tidak punya saudara di kota."
"Jihan ikut sama Amanda bu, ibu ingatkan teman Jihan waktu SMA, dia juga sering main kesini?"
"Iya ibu ingat," sahut Kasih.
"Besok Jihan ikut dengannya ya Bu, Pa."
"Mendadak sekali Jihan."
"Iya bu soalnya Amanda cuman dikasih libur 2 hari sama bosnya."
"Yasudah bapak izinkan."
"Alhamdulillah, terima kasih Pak, Ibu."
Bismillahirohanirohim.
Jihan sudah sampai di kota bersama Amanda. "Jihan, tadi aku lihat ada loker di perumahan sebelah tempat aku tinggal, kamu coba deh ngelamar ke sana." Ucap Amanda.
"Oh iya Ji, kalau di kota cari kerja nggak usah pilih-pilih ya. Apa aja yang penting halal, soalnya sekarang kalau mau kerja pabrik di kota susah, harus ada biaya adminnya lah, harus ada orang dalamnya lah. Mending kalau adminnya nggak gede, mereka minta bahkan sampai 1 bulan atau 2 bulan gaji kita selama di pabrik."
Jihan mengangguk mengerti. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dapat kerja apapun dia harus tetap terima. "Kalau boleh tahu berapa admin pabrik Man?"
"Paling kecil sekarang 3 juta Ji." Jihan menelan ludahnya kasar.
Bahkan uang yang dia bawa ke kota tidak sampai segitu. "Yasudah Man, ayo antar aku ke tempat yang kamu bilang tadi."
Amanda tersenyum, "Kamu semangat bener ya Ji."
"Pastilah demi masa depan, lagipula kalau aku masuk pabrik tidak ada duitnya juga, lebih baik kerja halal walaupun gaji kecil."
"Kamu benar Jihan, siap-siap dulu gih habis itu kita kesono, naik motor aku soalnya agak sedikit jauh tempatnya."
10 menit berlalu Jihan dan Amanda sudah rapi, muka mereka juga sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Ayo." Ajak Amanda.
Amanda segera melajukan motornya menuju perumahan claster di daerah itu, perumahan claster yang rata-rata dihuni oleh orang-orang berada/kaya.
"Kamu nggak salah di sini tempatnya Man?" baru pertama kali Jihan melihat rumah megah secara langsung. Biasanya Jihan hanya melihat dari internet saja.
"Bener aku nggak salah baca kok." Sahut Amanda.
Amanda segera memencet bel rumah mewah bernuansa moderen itu, dengan gaya khas tradisionalnya tidak hilang.
Tignog!
Tak lama seorang satpam membuka gerbang rumah tersebut. "Apa yang bisa saya bantu neng?" tanya satpam tadi sambil memperhatikan Jihan dan Amanda secara bergantian.
"Tadi saya lihat ada loker di sini pak apa bener?" tanya Amanda.
"Bener, kalian boleh masuk dulu." Suruh satpam.
"Terima kasih banyak pak."
Kini Jihan dan Amanda sudah berada dihadapan seorang wanita paruh baya berparas ayu.
"Jadi siapa yang mau bekerja?" tanya wanita itu dengan ramah.
"Teman saya bu, namanya Jihan." Jawab Amanda.
Sangat mudah sekali membedakan Amanda dan Jihan, karena Amanda tidak mengekan kerudung sedangkan Jihan selalu mengenakan kerudung.
Jihan sudah memutuskan jika dia akan terus menggukan baju syar'i, sedangkan Amanda memang nonis.
Rifa tersenyum ramah pada Jihan, begitu juga sebaliknya. "Siapa nama kamu?"
"Jihan bu."
Rifa menggangguk. "Jihan benar-benar ingin bekerja?"
"Benar bu."
"Baiklah, tapi kamu di sini kerjanya jadi pengasuh mau?"
"Mau bu, saya mau bekerja apa saja asalkan halal." Rifa kembali dibuat tersenyum oleh Jihan.
Amanda baru ingat jika dia harus pergi bekerja. "Ibu maaf saya izin pulang lebih dulu saya harus bekerja." Ucap Amanda sopan.
"Jihan, aku duluan ya. Majikan kamu ini baik." Bisiknya pelan, setelah itu Amanda benar-benar pergi.
"Kamu akan mengurus bocah umur 6 tahun dia cucu saya, namanya Nafisa Az-zahra. biar saya panggilkan dulu." Ucap Rifa.
Nafisa bocah yang dimaksud itu sedari tadi ternyata sudah duduk ditangga, dia asyik terus mengkomentari baju yang dikenakan Jihan dan Amanda.
"Nafisa sini sayang." Panggil Rifa.
Tanpa dipanggil dua kali Nafisa sudah berada dihadapan neneknya. "Ada apa, Nek?" tanyanya.
"Kenalin ini mbak Jihan, dia yang akan ngurus kamu, ayo kenalan dulu." Suruh Rifa.
Namun Nafisa bukannya menuruti apa yang dikatakan oleh neneknya, dia malah menatap Jihan dari bawah sampai atas, lalu dari atas sampai bawah, berulang kali dia melakukan hal itu, sampai membuat Jihan risih sendiri.
"Nafisa tidak boleh seperti itu." Tegur Rifa.
"Tumben yang ini pakainya tertutup semua nek? bisanya nenek selalu carikan Nafisa pengasuh yang menggunakan pakaian kurang bahan." Komentarnya, setelah dia puas menilai penampilan Jihan dari dekat.
Rifa menghembuskan nafas kasar. "Nenek tidak peduli kamu suka atau tidak suka mbak Jihan akan jadi pengasuhmu." Tegas Rifa.
"Nenek tenang saja, Nafisa setuju mbak Jihan jadi pengasuh Nafisa. Karena sekarang mbak Jihan sudah jadi pengasuh Nafisa, jadi terserah Nafisa mau bermain apa saja pada Mbak Jihan, nenek tidak boleh melarang." Ucapnya tersenyum licik.
Jihan ikut tersenyum, dia senang Nafisa menerima dirinya. "Mbak Jihan kenalin aku Nafisa." Ucap anak itu.
"Aku Jihan, mbak Jihan senang bisa kenal Nafisa."
"Benarkah?" tanya Nafisa tersenyum penuh arti.
"Iya Nafisa tentu saja," jawab Jihan antusias.
"Karena mbak Jihan sudah kenal sama Nafisa, sekarang Nafisa akan memperkenalkan mbak Jihan dengan teman baik Nafisa."
Nafisa yang sedari tadi menggendong dan mengelus kucing kesayangannya berwarna coklat itu, dia kembali memasukkan ke dalam kandangnya.
"Ayo mbak ikut Nafisa." Ajaknya sambil menarik tangan Jihan.
"Mau kamu bawa kemana mbak Jihan, Nafisa!" teriak Rifa panik.
"Bertemu dengan Caca nek!" jawabnya.
"Apa!" pekik nenek Rifa panik.
"Nafisa jangan macem-macem ya, kalau terjadi apa-apa sama mbak Jihan gimana?" teriak nenek Rifa saja.
Nafisa menghadap neneknya. "Nenek tengan saja oke." Dia tersenyum miring.
Jihan yang sedari tadi mendengarkan obrolan nenek dan cucunya itu dibuat bingung, sebenarnya apa yang sedang mereka bahasa, dia sendiri tidak tahu.
Nenek Rifa hanya bisa pasrah, dia tak bisa berbuat apa-apa sekarang, nenek Rifa hanya bisa mendoakan keselamatan Jihan.
Sampai di taman belakang Nafisa mendekati tumpukan bunga. "Hai Caca, aku bawa teman baru." Ucap Nafisa.
Gleg!
Jihan tersedak ludahnya sendiri, saat tahu Caca yang dimasuk Nafisa adalah seekor binatang buas yang dijuluki raja hutan.
Jihan dapat melihat jelas Harimau putih berukuran sedang itu perlahan mendekat kearah mereka.
"Ya Allah." Pasrah Jihan.
Kaki Jihan sudah lemas tidak dapat digerakan lagi rasanya.
Nafisa mengelus lembuat Caca, "Caca, kenali ini mbak Jihan teman baru kita, kamu boleh main sama mbak Jihan."
Nafisa sedari tadi sudah menahan tawanya, melihat wajah ketakutan Jihan. Jihan sendiri tidak habis pikir kenapa anak seumuran Nafisa sudah bisa bermain bersama binatang buas tanpa pengawas orang dewasa.
Jihan tidak tahu jika Nafisa anak super genius, banyak binatang buas yang dapat dia taklukkan secara mudah.
"Caca kejar mbak Jihan." Suruh Nafisa.
"Apa!" pekik Jihan. Sedangkan nenek Rifa masih memperhatikan mereka dari jarak jauh.
Caca berlari kearah Jihan, tapi dia tidak mengejar Jihan, melainkan mengelus bulunya dibaju gamis Jihan.
"Syukurlah." Nenek Rifa segera pergi dari sana, dia sudah memastikan jika Caca tidak akan melukai Jihan seperti pengasung sebelumnya.
"Yakk! Apa yang kamu lakukan Caca!" maki Nafisa, Jihan mengulurkan lidahnya pada Nafisa.
"Mbak Jihan menang, weekk!"
Bismillahirohmanirohim.
"Ma, Nafisa kemana?" tanya seorang laki-laki berpakaian kantor.
"Ada di belakang lagi main sama Caca." Sahut Rifa ketus.
Radit laki-laki yang baru menginjak umur 29 tahun itu baru saja pulang bekerja, dia ayah dari Nafisa Az-Zahra gadis kecil super jenius.
Ibu Nafisa meninggal saat melahirkan Nafisa, tapi tak sekalipun keluarga mereka membenci Nafisa, duka dan bahagia pernah satu keluarga di dalam rumah megah itu rasakan disaat yang bersamaan, kala kelahiran Nafisa dan kematian sang ibu.
Melihat gadis kecil Nafisa tumbuh dengan sangat cerdas membuat mereka bahagia, sangat bersyukur memiliki Nafisa.
Masih di ruang tamu, Radit bicara lembut dengan mamanya, tapi mamanya selalu membalas dengan nada ketus.
"Main sama Caca sendiri Ma? siapa yang mengawasi Caca?" panik Radit.
Rifa menatap tajam sang anak. "Tidak usah lebay, bisanya juga Nafisa selalu beriman dengan Caca sendiri, apa peduli kamu?" ucap Rifa sambil melengos pergi.
"Ma, ayolah jangan seperti ini. Nafisa dengan siapa di taman? Selain bersama Caca?"
"Pengasuh barunya."
"Lagi? Mama serius mencarikan Nafisa pengasung baru lagi? Mama kan tahu Nafisa selalu menyiksa pengasuh barunya dengan Caca sebagai alat. Lagipula aku sebentar lagi akan menikah dengan El-"
"Diam! Kamu sebut nama wanita itu sekali saja di depan mama, mama tidak akan menganggapmu anak mama!" ancam Rifa.
Radit menghela nafas, entah kapan mamanya merestui hubungannya dengan Elsa, pacarnya sekarang.
"Lebih baik kamu susul Nafisa di taman." Suruh Rifa lalu dia pergi.
Sementara itu di taman Nafisa masih kesal pada Caca dan Mbak Jihan. Anak perempuan itu memajukan bibirnya kesal.
"Caca apa-apaan kamu! Lihat saja aku tidak akan mengurusmu lagi jika seperti ini." Ancam Nafisa pada harimau putih kesayangannya.
Sayangnya harimau itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya, dia masih saja ndusel-ndusel pada kaki Jihan.
"Yaak! Kenapa kamu masih diam saja!" kesal Nafisa.
Jihan yang tadi merasa ketakutan melihat harimau putih itu kini tidak lagi, mereka seperti sudah berteman. Nafisa merasa aneh saja untuk pertama kalinya hewan kesayangannya itu dekat dengan orang baru.
Jihan menghampiri Nafisa. "Sudah tidak usah cemberut begitu nanti cantiknya hilang." Ucap Jihan lembut, tak lupa tangannya mengelus sayang pucuk kepala Nafisa.
"Biarin!" sebal Nafisa, dia masih marah pada Caca juga mbak Jihan.
"Jangan ngabek dong Nafisa." Bujuk Jihan muali jahil.
Jihan pelan-pelan mengelitiki Nafisa, sedangkan Caca kini mengelus bulunya pada Nafisa tanda meminta maaf.
"Yak! Mbak Jihan jangan." Pintanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Jihan ikut tersenyum karena Nafisa sudah kembali kemode awal lagi. "Jadi sekarang kita berteman?"
Nafisa sudah selesai tertawanya. "Tergantung."
"Apanya yang tergantung?"
"Mbak Jihan lah."
"Mati dong kalau mbak Jihan tergantung, terus siap yang bakal ngasuh Nafisa?"
Anak perempuan itu terdiam, sambil menatap dalam mbak Jihan. "Mbak Jihan lah, siapa yang suruh mbak Jihan mati dulu coba."
"Nafisa tadi kan nyuruh mbak Jihan gantung diri." Nafisa sampai menepuk jidatnya sendiri.
"Nggak gitu juga kali mbak."
"Heheheh terus apa?"
Allahhu Akbar Allahhu Akbar.
"Lupakan mbak lebih baik sekarang kita shalat dzuhur dulu sudah adzan." Jihan sampai kaget mendengar ucapan Nafisa.
Anak seumur Nafisa sudah ingat waktu shalat? Sedangkan dirinya baru saja akan membenah diri, niatnya dia akan memuali satu persatu dari menggunakan baju yang menutupi seluruh auratnya lebih dulu.
Baru setelah itu akan merangkak ketahap selanjutnya shalat, tapi jika seperti ini dia pasti akan malu kalau dihadapan Nafisa tidak shalat, sedangkan anak kecil itu yang mengingatkan dirinya.
Jihan masih terbengong, dia membiarkan Nafisa mengiring kembali Caca ke tempatnya semula.
Jihan memang gadis desa, tapi hal itu tak menjamin jika dia taat akan agamanya, karena di desa saja sekarang sudah banyak pergaulan bebas, Jihan memang bisa menjaga diri, tapi masalah shalat dia itu kadang shalat tempat 5 waktu, kadang hanya magrib dan subuh saja yang dia ambil.
Pokoknya tidak menentu shalat semaunya dia sendiri padahal ibu dan bapakanya selalu mengingatkan Jihan agar shalat.
"Mbak Jihan kenapa bengong? Ayo kita shalat." Ajak Nafisa sambil menarik tangan Jihan.
Di depan pintu masuk taman ternyata Radit sedari tadi memperhatikan putri kecilnya dengan Jihan. Baru pertama Radit melihat Nafisa mau dekat dengan perempuan lain, selain mamanya dan sang adik.
9 Pengasuh sebelumnya saja sudah kewalahan mengurus Nafisa, baru 1, 2 hari mereka langsung tidak betah atas kelakuan Nafisah, apalagi harus mengahadapi caca yang sangat galak pada orang lain.
Rifa juga sedari tadi memperhatikan putranya itu. Rifa menepuk bahu sang anak. "Sudah puas ngeliatinnya."
"Apa sih, Ma."
"Kamu irikan orang lain bisa dekat sama Nafisa, sedangkan kamu dan Elsa tidak bisa dekat dengan bocah itu."
Radit tidak menjawab perkataan mama nya. Dia melengso pergi begitu saja, saat melihat Nafisa dan pengasuh barunya mendekat kearha mereka.
"Nenek, Nafisa suka mbak Jihan, kali ini pengasuh yang nenek carikan tepat, tidak seperti sebelum-sebelumnya." Ucap Nafisa saat melihat neneknya.
'Pengasuh yang sebelum-sebelumnya? Maskdunya apa sih?' batin Jihan bingung.
Jihan tidak tahu kalau dia adalah pengasuh ke 10 untuk Nafisa..
Sebelumnya nenek Rifa sudah menyedikan kamar untuk Jihan, karena sedari tadi Nafisa langsung mengajak Jihan bermain.
"Ayo mbak kita ke kamarku." ajak Nafisa.
"Mari bu."
"Hahahaha, Bu?" Nafisa tertawa terbahak-bahak mendengar neneknya dipanggil bu.
"Anak ini." gerut Rifa. "Panggil saya mama ya Jihan, tadi aku lupa memberi tahumu."
"Eh, iya ma." Ucapan belum terbiasa.
"Yasudah nek Nafisa masuk dulu."
"Sip."
"Mbak Jihan gendong belakang dong." Pinta Nafisa, dia memastikan lebih dulu neneknya sudah pergi apa belum.
"Oke, ayo naik."
"Yeee!"
Nafisa langsung loncat kepundak Jihan. "Nafisa kamu benar-benar mau membuhun mbak Jihan ya?" tuding Jihan.
Bagaimana tidak, saking senangnya Nafisa sampai melingkarkan tangannya erat di leher Jihan.
"Nggak mbak Jihan, Nafisa minta maaf tadi itu saking senangnya jadi refleks." Terangnya.
"Ayo mbak."
Jihan akhirnya menggendong Nafisa, pemandangan itu tak luput dari Radit dan nenek Rifa.
"Nafisa apa yang kamu lakukan?" tegur Radit.
Namun anak gadis itu melengos begitu saja. "Ayo mbak Jihan ke kamar Nafisa, kamar Nafisa ada di atas." Ucapnya enteng..
Nafisa bukannya membalas perkataan papanya malah mengabaikan Radit, nenek Rifa yang menyaksikan momen tersebut menahan tawanya.
Sementara Jihan menatap tajam Nafisa. Yang benar saja disuruh gendongan Nafisa naik tangga, gadis mungil ini berat, apalagi kalau naik tangga.
Nafisa hanya menyengir mendapatkan tatapan tajam dari Jihan.
"Mbak Jihan tenang saja kita tidak naik tangga kok, tenang di rumah ini ada liftnya."
"Syukurlah." Ucap Jihan tanpa sadar, dia lupa kalau disebelahnya masih ada nenek dan papa Nafisa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!