Bruk!
Seorang laki-laki melemparkan lembaran kertas berwarna putih hingga tepat mengenai wajah salah satu karyawannya. Sang karyawan pun hanya bisa menundukkan kepalanya merasa sedih tentu saja. Morgan Maxime, menatap wajah bawahannya itu dengan tatapan tajam mengintimidasi membuat sang karyawan semakin merasa ketakutan.
"Laporan macam apa ini? Kamu baca sendiri, semuanya gak jelas! Apa kamu karyawan baru di perusahaan saya ini, hah?'' teriak Morgan terlihat kesal.
"I-iya, Pak. Sa-saya baru bekerja selama satu Minggu di sini," ucap sang karyawan tidak berani hanya untuk sekedar menatap wajah atasannya yang terkenal arogan tersebut.
"Pantas saja, apa kamu tidak kuliah? Apa kamu masuk ke perusahaan lewat orang dalam, hah? Tidak bisa sembarang orang bisa berkerja di sini, apalagi orang bodoh macam kamu ini. Cepat keluar dan perbaiki laporan itu dalam waktu 60 menit, kalau tidak kamu saya pecat sekarang juga. Paham?"
"Ba-baik, Pak."
"Puk Pak Puk Pak, memangnya saya ini Bapak kamu apa? Bos, panggil saya dengan sebutan Bos. Gimana sih, orang bodoh kayak kamu ko bisa bekerja di sini!"
Karyawan tersebut pun meraih lembaran yang kini berserakan di atas lantai dengan tubuh yang gemetar. Ternyata apa yang dia dengar bukan hanya sekedar rumor. Morgan Maxime, pemilik perusahaan yang bergerak di bidang periklanan itu memanglah arogan, bahkan lebih kejam dari yang dia bayangkan.
Perlahan, karyawan itu mulai berdiri dan sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat, sebelum dia benar-benar keluar dari dalam ruangan tersebut dengan perasaan kesal tentu saja.
Morgan Maxime, laki-laki berusia 37 tahun yang dikenal arogan tapi juga nakal. Hampir seluruh bawahannya merasa takut apabila harus berhadapan dengan CEO dari salah satu perusahaan terbesar di negaranya itu. Morgan memang tampan, tapi dia juga mata keranjang, entah sudah berapa wanita yang menjadi selingkuhannya. Bahkan sekertaris-nya pun tidak luput dari incarannya.
Morgan meraih gagang telpon yang berada di atas meja kerjanya. Dia pun meminta sang sekretaris untuk masuk ke dalam ruangannya saat itu juga. Tidak lama kemudian, yang dia panggil pun akhirnya mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Ceklek!
Pintu pun di ketuk dan di buka. Sonia masuk ke dalam ruangan dengan tersenyum ramah lalu berdiri tepat di depan meja dimana Morgan berada saat ini.
"Apa nanti malam kamu punya waktu luang?" tanya Morgan, bangkit lalu berjalan menghampiri Sonia.
"Eu ... Anu bos. Saya--" Sonia merasa gugup tentu saja, dia yang baru berkerja selama 3 hari tiba-tiba di tanya seperti itu oleh bosnya sendiri.
"Tak usah gugup Sonia, saya hanya akan mengajak kamu makan malam di hotel? Gimana, pasti mau dong?" Morgan sedikit memaksa.
"Di hotel?"
"Iya, di hotel. Kita bisa sekalian bermalam di sana. Kamu jangan khawatir, saya akan memberikan bonus yang besar untuk kamu, Sonia."
Tubuh Sonia seketika merasa bergetar. Dari yang dia dengar, bosnya itu sudah memiliki seorang istri. Namun, kenapa sang bos mengajaknya untuk makan malam, di hotel pula?
"Kenapa diam saja, Sonia?" tanya Morgan seraya memainkan rambut panjang Sonia lalu membauinya juga memejamkan kedua matanya, tentu saja hal itu membuat wanita berparas cantik itu semakin merasa ketakutan.
"Maaf, bos. Saya takut ketahuan sama istrinya bos, nanti dikiranya saya godain bos lagi," jawab Sonia kemudian.
"Kamu tenang saja, istri saya yang bawel itu gak bakalan tahu ko. Kita bermain cantik, jangan sampai kita ketahuan sama siapapun? Gimana? Mau dong, mau dong? Mana mungkin kamu menolak laki-laki seperti saya. Lagi pula tubuh kamu ini se*si sekali, Sonia."
Glegek!
Sonia seketika menelan ludahnya kasar. Walau bagaimanapun dirinya bukanlah wanita murahan yang akan mau begitu saja untuk di bawa masuk ke dalam hotel meskipun dengan dalih hanya makan malam.
"Saya pikir-pikir dulu, Bos."
"Gak usah pikir-pikir segala, pokoknya saya tunggu kamu jam 8 malam di hotel **** kalau kamu gak mau, maka saya akan pecat kamu sekarang juga. Oke?" Tegas Morgan penuh penekanan.
Ceklek!
Pintu ruangan pun tiba-tiba saja di buka tanpa di ketuk terlebih dahulu. Seorang wanita cantik masuk ke dalam sana menatap wajah Morgan dengan tatapan tajam. Tentu saja, Morgan yang semula terlihat nakal juga arogan tiba-tiba saja merubah raut wajahnya seketika. Dia tersenyum ramah kepada Megan Queeni sang istri yang saat ini berjalan menghampiri.
"Sedang apa kamu, Mas? Lagi goda sekertaris kamu, iya?" tanya Megan tegas penuh penekanan.
"Hah? Si-siapa bilang? Nggak ko sayang. Sonia, kamu boleh keluar sekarang," pinta Morgan kemudian.
"Ba-baik, bos. Saya permisi," ucap Sonia patuh lalu segera keluar dari dalam ruangan tersebut.
Sepeninggal sang sekretaris, Megan menatap tajam wajah suaminya yang kelakuannya masih saja tidak berubah. Bahkan setelah dirinya bersikap tegas terhadapnya selama ini.
Sedetik kemudian.
"Arghh! Sakit, sayang. Ampun,'' ringis Morgan, telinganya tiba-tiba saja di jewer oleh jemari lentik sang istri, Megan bahkan memutar daun telinganya hal yang memang selalu dia lakukan apabila Megan Queeni sedang merasa kesal kepada suaminya tersebut.
"Dasar laki-laki mata keranjang, kamu pikir aku gak denger apa yang baru saja kamu bicarakan sama sekertaris kamu tadi, hah?" tegas Megan kemudian.
"Itu cuma bercanda, sayang. Gak serius sama sekali. Saya cuma iseng ko. Sumpah ... Arghhh ... Lepasin dulu telinga Mas, sayang. Sakit ini, bisa putus telinga Mas nanti!''
Megan memelintir keras daun telinga suaminya tanpa ampun sebelum dia benar-benar melepaskannya dengan perasaan kesal. Wanita itu berjalan lalu duduk di kursi dengan bersilang kaki, kursi yang memang di sediakan di dalam ruangan suaminya tersebut.
Sementara itu, Morgan nampak mengusap daun telinganya seraya meringis kesakitan tentu saja. Namun, laki-laki berperawakan tinggi dan berparas tampan itu seketika merubah ekspresi wajahnya menjadi seramah mungkin, dia menghampiri istrinya tercinta lalu duduk di sampingnya kini.
"Ada apa kamu datang jauh-jauh ke kantornya Mas? Tumben sekali, kalau lagi butuh uang kamu 'kan tinggal nelpon aja, nanti langsung Mas transfer," tanya Morgan kemudian.
"Kamu tahu, Mas. Firasat seorang istri itu tidak pernah salah, untung aku datang ke sini, kalau nggak, mungkin kamu udah mesra-mesraan sama sekertaris kamu itu, dasar gatel. Kapan kamu mau berubah, Mas?'' ketus Megan menatap wajah suaminya dengan tatapan tajam.
"Hahahaha! Mas 'kan sudah bilang tadi, Mas cuma bercanda. Di hati Mas ini cuma ada kamu, sayang. Wanita-wanita itu cuma buat hiburan aja.'' Morgan tertawa nyaring.
"Ingat ya, Mas. Awas saja kalau kamu sampai berani macam-macam, ingat kesalahan kamu di masa lalu? Aku gak akan maafin kamu lagi kalau kamu sampai mengulangi kesalahan yang sama."
Raut wajah Morgan seketika berubah murung. Mengingat masa lalu membuat luka lama yang telah dia kubur dalam-dalam pun seketika naik kepermukaan. Ada apa dengan Morgan? Kenapa dia begitu takut kepada istrinya itu?
BERSAMBUNG
...****************...
Ekspresi wajah Morgan seketika terlihat muram. Dia yang semula memperlihatkan senyuman ramah kini merapatkan kedua bibirnya lalu menunduk sedih. Megan sebagai sang istri tentu saja dapat merasakan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh suaminya. Walau bagaimana pun Morgan adalah suaminya, meskipun dia mata keranjang, tapi tetap saja Megan Queeni begitu mencintai laki-laki ini melebihi dari apapun.
"Maafkan aku karena harus mengungkit masa lalu. Aku hanya merasa jengah dengan kelakuan Mas yang selalu saja genit kepada setiap wanita. Padahal sebagai istri, Aku adalah wanita yang sempurna untuk kamu, Mas. Nama kita aja serasi lho, 2M ... Alias Megan dan Morgan,'' lirih Megan dengan nada suara manja, dia menyandarkan kepala di pundak suaminya.
"Hahahaha! Kamu selalu saja pandai menghibur Mas. Maafin kesalahan yang tadi ya, sungguh Mas hanya iseng. Mas gak mungkin mengulangi kesalahan Mas ko. Hanya kamu wanita di dalam hati seorang Morgan, muach ...'' Satu kec*pan pun mendarat bibir mungil sang istri.
"Iya-iya, aku maafin ko."
"O iya, kamu belum jawab pertanyaan Mas tadi. Ada apa kamu datang kemari? Apa ada sesuatu yang penting sehingga membuat kamu yang sibuk ini datang mengunjungi Mas di sini?''
"Apa Mas lupa sekarang hari apa?"
"Hari selasa."
"Bukan itu maksud aku. Coba Mas ingat-ingat sekarang tanggal berapa?"
Morgan nampak termenung sejenak seolah sedang berfikir. Dia pun mengerutkan kening seraya menelisik setiap jengkal ingatannya mencoba mencari sesuatu yang mungkin dia lupakan. Sampai akhirnya, wajah Morgan pun kembali terlihat murung.
"O iya, Mas sampai lupa. Hari ini 'kan--" Morgan menahan ucapannya.
"Aku ingin berkunjung ke sana bersama Mas. Selama ini, Mas selalu saja sibuk dan jarang sekali meluangkan waktu untuk sekedar mengunjungi putra kita itu."
Morgan hanya diam membisu. Dadanya terasa begitu sesak, bahkan sangat sesak membuatnya merasa sulit hanya untuk sekedar bernapas. Dia pun mengusap wajahnya kasar, mencoba untuk tersenyum meskipun hanya senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Baiklah, kita ke sana sekarang. Mas siap-siap dulu. Mas selesaikan pekerjaan Mas sebentar," jawab Morgan kemudian, dan hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Megan sang istri.
* * *
Semilir angin nampak menyapu permukaan wajah pasangan 2M. Udara yang sejuk pun tidak serta merta membuat hati keduanya merasa sejuk dan damai. Panasnya sinar matahari bahkan terasa membakar kulit keduanya.
Baik Megan maupun Morgan menatap ke arah yang sama kini. Batu bisa bertuliskan nama sang putra yang telah tiada 10 tahun yang lalu. Kedua mata Morgan bahkan terlihat berkaca-kaca, betapa dia sangat merindukan sosok sang putra yang harus meregang nyawa karena kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Daddy datang, Nak. Bagaimana kabar kamu di atas sana? Daddy harap kamu bisa beristirahat dengan tenang. Maaf karena Daddy baru tempat datang ke sini, Daddy gak sanggup melihat batu nisan bertuliskan nama kamu ini, Nak. Maafkan Daddy, hiks hiks hiks ...'' tangis Morgan seketika pecah. Luka yang ingin sekali dia kubur dalam-dalam itu pun seakan kembali naik dan terasa begitu menyiksa.
"Sudahlah, Mas. Tidak ada gunanya kamu seperti ini, sampai kamu menangis darah sekalipun putra kita gak akan pernah hidup lagi. Biarkan Jacky beristirahat dengan tenang di atas sana,'' ucap Megan memasang wajah datar.
Keheningan pun seketika tercipta. Morgan menggegam erat jemari sang istri seolah meminta kekuatan. Suara isakan pun masih sedikit terdengar, tapi segera lenyap dan Morgan pun mencoba untuk bersikap tenang.
"Jack, Mommy juga ada di sini. Daddy mu ini masih saja nakal, kadang-kadang Mommy merasa jengah dengan sikap Daddy mu ini, tapi mau bagaimana lagi Mommy sudah terlanjur cinta sama dia, tapi kalau sampai dia mengulangi kesalahan yang sama, terpaksa Mommy bakalan tinggalin dia dan cari Daddy baru buat kamu, sayang.''
Mendengar sang istri mengatakan hal itu membuat Morgan tersenyum kecil tentu saja. Dia semakin merekatkan tautan tangannya lalu menoleh dan menatap wajah sang istri kemudian. Meskipun dia adalah tipikal suami yang takut kepada istrinya, dan dia pun kadang merasa jengah dengan istrinya yang sama sekali tidak menghargai dirinya sebagai seorang suaminya, Morgan Maxime tetap saja mencintai Megan lebih dari apapun yang ada di dunia ini.
Keduanya pun saling menatap satu sama lain juga saling melemparkan senyuman manis. Di hadapan pusara sang putra, pasangan suami istri yang menjuluki diri 2M ini benar-benar ingin menunjukkan bahwa mereka bahagia. Bahkan sangat bahagia meskipun sampai saat ini, Tuhan masih belum mempercayakan mereka seorang putra lagi.
"Daddy berjanji akan menjaga Mommy kamu dan tidak akan meninggalkan dia sampai kapanpun, Jack. Jadi, kamu bisa beristirahat dengan tenang di sana,'' ucap Morgan kembali mengalihkan pandangannya kepada batu nisan bertuliskan nama sang putra di depan sana.
'Maafkan Daddy, Nak. Karena kesalahan yang Daddy lakukan, kamu harus meregang nyawa dan meninggal di usia yang sangat muda,' (batin Morgan).
* * *
Malam hari.
''Kamu mau ke mana, Mas? Udah rapi gitu, wangi lagi,'' tanya Megan menatap sang suami yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
''Anu, sayang. Mas ada meeting penting dengan klien, sepertinya malam ini Mas gak pulang deh. Meetingnya di luar kota soalnya,'' jawab Morgan terlihat gugup.
''O ya? Hmm ... Kamu gak lagi bohongi aku 'kan?''
''Hah? Hahahaha! Mana mungkin Mas berani bohongi kamu, sayang. Beneran deh, Mas mau meeting ini. Mas berangkat dulu ya.'' Morgan hendak melangkah.
''Tunggu sebentar.''
Megan tiba-tiba saja berdiri menghampiri, dia menatap tubuh kekar sang suami dari ujung kaki hingga ujung rambut penuh selidik. Wanita sosialita berparas cantik itu bahkan membaui tubuh suaminya itu yang tercium bau wangi layaknya anak ABG yang hendak pergi berkencan.
''Kamu mau kencan ya?''
''Hah, dari mana kamu ta--''
'Hampir aja keceplosan,' (batin Morgan).
"Hah? Kamu bilang apa tadi?''
"Maksud Mas, dari mana kamu punya pikiran kayak gitu? Mas beneran gak bohongi kamu ko. Mas udah terlambat ini, Mas pergi dulu ya. Muach ...'' satu kecu*an kecil mendarat di bibir istrinya, Morgan pun hendak melanjutkan langkah kakinya.
"Tunggu, Mas. Astaga, aku belum selesai bicara lho."
Morgan kembali menghentikan langkah kakinya. Dia pun memejamkan kedua matanya dengan jantung yang berdetak kencang. Kedua kaki laki-laki itu pun seketika bergetar, merasa ketakutan jika kebohongannya akan terbongkar.
"Rambut kamu agak berantakan, di rapikan sedikit, sayang.'' Megan merapikan rambut suaminya membuat Morgan seketika dapat bernapas lega.
"Oh ... Kirain apaan. Makasih, sayang. Kamu benar-benar istri yang luar biasa.'' Morgan tersenyum cengengesan.
"Ya udah sana pergi, awas saja ya kalau Mas bohongi aku. Aku gantung kamu nanti di tempat jemuran,'' tegas Megan penuh penekanan.
"Oke sayang. I love you, muach ...''
BERSAMBUNG
...****************...
Morgan duduk di sebuah restoran bersama seorang wanita. Ya dia adalah Sonia, sekretarisnya sendiri. Entah apa yang ada di adalah otak kecil Morgan Maxime. Berani sekali dia membohongi istrinya, padahal sang istri sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak berbuat macam-macam apalagi sampai selingkuh.
Morgan memiliki jiwa petualang. Satu wanita saja rasanya tidak cukup untuk memuaskan jiwanya. Ini pun bukan kali pertamanya dia melakukan hal itu. Baginya, di dalam hatinya hanya ada Megan Queeni sang istri. Namun, dia membutuhkan wanita-wanita lain sebagai hiburan di saat dia merasa lelah dengan tekanan yang dia dapatkan dari istrinya.
"Kenapa tidak di makan steak-nya? Ini enak lho," ucap Morgan menatap wajah cantik Sonia yang saat ini terlihat gugup tentu saja.
"Ma-maaf, bos. Saya masih gak enak kalau sampai Nyonya bos tahu kita makan malam berdua seperti ini,'' jawab Sonia menundukkan kepalanya.
"Gak enak kenapa? Kita cuma makan malam berdua aja ko, apa kamu mau kita melakukan sesuatu yang lain, menginap di salah satu kamar di hotel ini misalnya?"
"Hah? Eu ... Maaf, bos. Saya bukan wanita murahan."
"Ya itu dia makannya. Saya tahu kamu wanita baik-baik, kamu cukup menemani saya makan malam seperti ini, setelah itu kamu boleh pulang. Kecuali--" Morgan tidak meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa, bos?"
"Kecuali kamu menerima ajakan saya tadi, kamu mau menemani saya menginap di sini? Bagaimana?"
"Hah? Eu ... Itu ... Maaf sepertinya saya tidak bisa, bos. Sekali lagi saya tekankan sama bos, saya bukanlah wanita murahan," jawab Sonia penuh penekanan.
"Hmm ... Kamu adalah wanita pertama yang menolak saya seperti ini. Kebanyakan wanita tidak akan menolak ketika saya ajak bermalam di hotel. Kamu benar-benar wanita baik rupanya. Saya juga bukan tipikal laki-laki pemaksa, saya hanya akan melakukan hal itu atas dasar suka sama suka.''
"Hah? Me-melakukan itu? Maksud anda?"
"Hahahaha! Tak usah di pikirkan, Sonia. Sekarang lanjutkan makan malamnya. Kamu bukan hanya wanita baik-baik, tapi kamu juga polos ternyata, ucapan saya yang tadi tidak usah di pikirkan, oke?''
Sonia tersenyum kecil, dia tidak menyangka bahwa bosnya yang terkenal arogan ini punya sisi baiknya juga ternyata. Laki-laki ini bukan tipe pemaksa atau menawarkan bayaran tinggi demi mendapatkan kepuasan yang dia inginkan.
"Makasih, bos. Makanannya enak," ucap Sonia kemudian. Dia pun menatap wajah Morgan dengan tatapan penuh rasa kagum.
Andai saja bosnya ini belum memiliki seorang istri, dia pasti akan mengejar sang bos dan bersedia dinikahi olehnya. Sonia mengusap wajahnya kasar. Mencoba untuk menepis pikiran tersebut tidak ingin berkhayal terlalu tinggi. Mengingat bahwa Morgan telah memiliki seorang istri.
"Kapan-kapan, saya boleh dong meminta kamu untuk menemani saya makan malam lagi seperti ini?" tanya Morgan seketika membuyarkan lamunan panjang seorang Sonia.
"Hah? Tentu saja boleh, bos. Kalau hanya sekedar makan malam seperti ini, saya pasti bersedia," jawab Sonia tersenyum ramah, tidak terlihat ketakutan seperti sebelumnya.
'Ya Tuhan, jangan sampai aku jatuh hati kepada bos Morgan. Ingat dia itu sudah punya istri, tapi apa maksudnya dia mengajak makan malam, terus bersikap manis seperti ini? Apa dia tertarik sama aku?' (batin Sonia).
Jika boleh berkata jujur, Sonia merasa terbuai dengan kebaikan Morgan. Ternyata laki-laki yang terkenal galak itu bisa bersikap baik juga. Apakah rumor yang menyebar selama ini salah? Rumor yang mengatakan bahwa Morgan adalah laki-laki arogan dan galaknya minta ampun.
"Saya sudah kenyang, bos. Boleh saya permisi sekarang?" tanya Sonia kemudian.
"Oh begitu? Hmmm ... Padahal saya ingin sekali berbincang-bincang sebentar sama kamu, tapi kalau kamu mau pulang sekarang, silahkan. Terima kasih karena telah menemani saya makan malam."
'Apa ini? Kenapa bos tidak menahan aku pergi? Padahal aku masih ingin berada di sini lho. Apa aku terima saja ajakan dia buat ngamar di salah satu kamar hotel ini? Tapi, aku bakalan malu sendiri kalau tiba-tiba saja menawarkan diri,' (batin Sonia).
"Kenapa malah bengong? Katanya mau pulang sekarang?'' tanya Morgan kemudian.
"Hah? Eu ... Iya bos. Saya pulang dulu ya, bos juga langsung pulang nanti, jangan lupa istirahat dan jaga kesehatan," jawab Sonia yang sebenarnya kepergiannya ingin sekali di tahan oleh Morgan.
"Oke, makasih Sonia."
Sonia hanya menganggukkan kepalanya, dia pun berdiri dan benar-benar pergi dari tempat itu dengan perasaan kesal sebenarnya. Harapannya untuk di tahan dan di minta untuk duduk agak sedikit lama di tempat itu pun pupus seketika.
Sementara itu, Morgan hanya diam tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sonia. Baginya, wanita itu hanyalah hiburannya semata. Makan malam seperti ini dengan seorang wanita seolah dapat mengobati rasa kesepiannya. Ya meskipun dia bisa melakukan hal ini dengan istrinya sebenarnya. Namun tetap saja rasanya akan berbeda apabila dilakukan dengan wanita lain.
Setelah merasa puas dengan makanan dia pesan dan menghabiskannya tanpa sisa sedikit pun, Morgan pun segera membayar tagihan dan pergi dari tempat itu. Dia sendiri tidak tahu harus pergi kemana, sedangkan dirinya merasa malas untuk pulang ke rumahnya sendiri.
Alhasil, Morgan hanya duduk di halte bis, sementara mobilnya dia parkir tepat di tepi jalan. Dia menatap lurus ke depan, menatap kendaraan yang kini berlalu-lalang lengkap dengan sinar lampu yang terlihat indah dari kejauhan.
Pikirannya seketika melayang ke masa lalu. Masa lalu yang sebenarnya ingin sekali dia lupakan. Masa lalu yang sangat pahit menurutnya, dimana dia harus kehilangan putra satu-satunya yang dia miliki. Buah hatinya dengan sang istri.
Flash Back.
BERSAMBUNG
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!