"Ayah.... Baju sekolahku di mana ayah simpan?" tanya seorang anak cowok berusia 7 tahun, kepada sang ayah yang sedang memasak sarapan untuk keluarganya. Disamping memasak sarapan, pria itu juga sedang menyuci pakaian dengan mesin cuci.
"Di lemari nak!" Sahut sang ayah dengan sedikit keras. Karena anaknya itu berteriak menanyakan pakaiannya dari kamarnya, yang berada dekat dengan ruang sholat.
"Gak ada ayah, kalau ada. Gak mungkin aku tanyakan pada ayah." Celutuk sang anak mulai kesal.
Huufftt...
Ibrahim menghela napas berat dan panjang. Pagi ini ia repot sekali. Pukul 04.30 Wib. Ia sudah bangun. Walau bangun sepagi itu, ia selalu keteteran menyelesaikan pekerjaan rumahnya dan berangkat kerja.
"Ya Allah... Beri aku kesabaran!" ujarnya dengan lemah. Ia usap dadanya yang berdebar cepat, karena banyak nya pekerjaan yang harus ia lakukan pagi ini.
Ibra masuk ke kamar sang anak. Ya, pria itu sering dipanggil dengan nama Ibra. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Abdillah. Pria berusia 32 tahun. Pria tampan dengan kulit bersih, serta rambut keriting. Tapi, karena ia punya model rambut cepak. Rambut keritingnya tak terlalu tampak. Ibrahim, bukanlah seorang duda. Ia punya istri. Tapi, sejak menikah ia memang mau bantuin istrinya beberes rumah. Tapi, 6 tahun terakhir ini, pekerjaan rumah, Ia lah yang melakukan semua pekerjaaan rumah.
Pria itu menatap malas anaknya, yang akhir akhir ini gak mau mandiri. Padahal anak SD kelas 1 harusnya sudah bisa pakai baju sendiri.
"Loh, baju olah ragamu di mana ya sayang?" Ibra menatap heran anaknya, setelah ia mengubek ubek lemari pakaian anaknya.
"Iihh.. Ayah. Kalau ada di sini. Ya, gak ku tanyain lah sama ayah." Sahut sang anak bete. Biasalah anak kalau pagi pagi, bawaannya manja.
"Sebentar, ayah cari dulu ke ruang setrika." Ibra keluar dari kamar anak cowoknya yang bernama Hafidz itu. Ia melangkah cepat ke ruang setrika. Untuk sampai ke ruang setrika, ia harus melewati dapur.
"Astaga... !" telor yang ia dadar gosong sudah. Tadi, ia lupa mengangkat telor itu. Karena didesak anak nya Hafidz untuk cariin baju olah raganya.
Kreekk...
Saat sedang sibuk mengangkat telor gosong. Pintu kamar mandi dibuka. Nongollah anak keduanya bernama Ledy berusia lima tahun. Anaknya itu sudah lebih dari 30 menit main air di dalam kamar mandi. Selalu tak mau dimandikan sang ayah. Pinginnya mandi sendiri. Tapi, alhasil. Sabun, odol, sikat gigi, pasti berserak di dalam kamar mandi.
"Ya Allah sayang... Berapa kali ayah bilang. Mau mandi itu bawa handuk. Lihat, lantai sudah basah kamu buat."
"Kalau lantai nya basah, terus licin. Ledynya terpleset. Itukan yang akan ayah katakan!"
Belum juga Ibra selesai bicara. Anaknya itu sudah memotong ucapannya.
Ibra menepuk keningnya kuat. Ia tak habis pikir, kenapa anaknya berulah semuanya hari ini. Mana dia harus cepat berangkat bekerja karena Ibra piket hari ini. Ibrahim berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) Ia seorang guru olah raga. Ia baru dua tahun jadi PNS. Dulunya ia guru honorer, dengan gaji 300 ribu/bulannya. Paling banyak 500 ribu per bulan. Tergantung berapa jumlah Jam pelajaran yang ia bawakan dalan satu semester, ditambah dapat uang piket, serta invalan dari guru yang ia gantikan yang tidak hadir ke sekolah.
"Anak cantik ayah, baik budi, princesnya ayah..... Kalau ayah lagi ngomong. Jangan dipotong ya nak! harus jadi anak soleh...!"
"Soleha....!" Sambung Anaknya Ledy. Dan langsung membelikan tangannya di leher sang ayah. Ibrahim pun akhirnya membopong putrinya itu. Ia bawa anaknya itu ke ruang setrika. Di sana ada handuk.
"Ayah... Buku gambarku sudah habis. Nanti beliin ya ayah. Terus.... Kata Ummy harus bawa kertas origami, gunting dan lem!" celoteh Ledy dengan centilnya.
Puukk..
Ibrahim menepuk keningnya kuat. "Ya Allah...Anak ayah.. Kenapa tidak kemarin sore, atau tadi malam kamu bilang nak? kalau pagi ini, toko ATK belum buka. Ayah harus cepat ke sekolah. Ayah piket."
"Huaa.... Huaa...." Ledy menangis histeris. "Aku gak mau sekolah, kalau gak ada kertas origami. Nanti di sekolah, aku akan dimarahi Ummy. Hua... hua...!" Tangisnya manja dalam gendongan sang ayah.
Sabar... Sabar.... Ya Allah.... Beri aku kesabaran.
Ibrahim membathin, ia tatap sang anak dengan penuh kasih sayang. Yang membuat Ledy melunak hatinya.
"Iya sayang, nanti kita beli ya?"
"Horee...!" Teriak Ledy senang.
Ibrahim turunkan putrinya itu dari gendongannya. Ia pun mengambil bajunya Hafidz, ledy serta baju untuk Ibrahim kenakan hari ini. Di sekolah tempat ia bekerja, hari sabtu adalah hari sehat bugar. Jadi, di pagi hari ada kegiatan senam ceria di sekolah mereka. Karena Ibrahim guru olah raga. Kegiatan senam pagi, adalah tanggung jawabnya.
Setelah selesai berpakaian. Ibrahim menghidangkan sarapan pagi di atas meja ruang makan. Saat ini sudah pukul 06.20 Wib. Waktu makan tinggal 10 menit. Sebelum pukul 07.00 Wib ia dan sang istri harus sampai di sekolah.
Ya, istrinya Ibrahim juga seorang guru PNS. Tapi, istrinya itu sudah 10 tahun PNS. Sedangkan Ibrahim baru 2 tahun menjadi PNS. Saat ia masih honorer, biaya rumah tangga mereka memang lebih banyak diambil dari gaji sang istri.
Setelah suami istri itu jadi PNS. Kehidupan mereka malah terbilang pas pas an. Kalau dilihat dari luar kehidupan mereka memang mewah. Ada rumah yang baru dibangun yang bermodalkan 300 juta. Ada mobilnya juga, walau mobil mereka adalah mobil second. Tapi, setidaknya mobil itu masih mulus. Ada sepeda motor merk supra.
Kehidupan mereka jadi pas pas an karena. SK suami istri itu sudah tergadai di bank. Istrinya meminjam uang untuk bangun rumah. Sedangkan Ibrahim juga meminjam uang di bank untuk beli mobil.
Jadi bisa terbilang mereka hanya bisa mengandalkan uang kebutuhan sehari-hari dari uang makan dan tunjangan selisih gaji dengan kinerja, yang disebut TUKIN dan uang makan.
"Abang masak apa pagi ini?" celutuk sang istri, yang baru saja keluar dari kamar, dan sudah rapi, tinggal sarapan dan berangkat kerja.
"Hanya sempat nasi goreng, karena ada sisa nasi semalam. Dan telor dadar. Gak kamu lihat itu!' Ibrahim menunjuk makanan yang terhidang di atas meja.
Huufftt..
"Gak selerah." Jawabnya dengan malas.
"Makanlah, aku juga sudah masak nasi di rice cooker. Kamu ini semakin hari, kenapa sih makin nyebelin. Makan aja mesti dipaksa.!" Ujar Ibrahim dengan muka masamnya menatap sang istri.
"Ya namanya tak selerah, gak mungkin dipaksa juga kan?" sahut sang istri merajuk.
"Mak, nasi gorengnya enak koq ma." Timpal anaknya bernama Hafidz dengan wajah ceriahnya.
"Kalau kamu semuanya enak kamu rasa." Sahut sang ibu malas. "Bang... Buatkan aku teh manis..!" rengeknya manja pada sang suami.
"Ya ampun Sarifah, kalau teh manis, pasti bisalah kamu buat sendiri. Gak lihat kamu aku lagi sarapan." Sahut Ibrahim tegas, ia tatap tajam sekilas sang istri, yang semakin hari semakin ngelunjak itu. Biasanya juga gak mau minum teh manis di pagi hari. Dikasih hati minta jantung. Mentang - mentang, uang tuk bangun rumah dari gadaikan SK si istri. Istrinya itu jadi semena mena padanya. Semua pekerjaan rumah, Ibrahim yang lalukan. Ia juga ikut kerja cari nafkah. Harusnya istrinya tahu tanggung jawabnya juga.
"Kalau aku bisa, ya mana aku minta tolong. Pasti aku buat sendiri bang.! Ini aku memang gak bisa. Aku juga mau libur kerja. Tapi, kalau aku libur kerja, nanti uang makan kena potong. Bisa-bisa bulan depan kita gak makan!"
"Siapa suruh bangun rumah, mesti besar. Dulu aku bilangnya bangun rumah yang sederhana saja, yang penting kita gak tinggal di rumah Tulang. (ayah mertuanya Ibrahim. Ibrahim dan Sarifah suku batak angkola. Jadi tutur Ibrahim pada Ayah mertuanya adalah Tulang. Sedangkan untuk ibu mertuanya, Nantulang.)Tapi, karena keluargamu yang gengsi itu, kita yang hidup susah sekarang." Ujar Ibrahim malas. Uang hanya pas pas an untuk makan.
"Loh koq abang jadi salahkan aku. Bukannya itu kesepakatan keluarga. Lagian, orang tuanya abang bantu apa?" Sahut sarifah nyolot.
Preeengg..
***
Hai readers budiman. Jangan lupa dukung novel ini dengan memberi like, comentar positif, hadiah, vote dan di subcribe ya
Suara benturan sendok dan piring terdengar kuat. Itu adalah ulahnya Ibrahim. Ia bangkit dari duduknya cepat. Seminggu terakhir ini rasa sabarnya habis sudah karena ulah sang istri.
"Hafidz, salim mama!" ujar Ibrahim, sambil mengambil kunci motor di gantungan yang ada di ruang makan itu. Ia abaikan sang istri yang merajuk, Karena ia tak buatkan teh manis untuk sang istri.
Dengan muka masam, Sarifah tatap kepergian sang suami dengan putranya. Ya, Ibrahim akan mengantarkan Hafidz ke sekolah dengan naik motor.
"Ledy... Sudah siap makan nya sayang?" tanya Sarifa, kepada sang putri dengan muka sedihnya.
"Sudah mak." Sahut Ledy, menyusun piring kotor mereka setelah selesai makan, dan meletakkannya di dalam wastafel. Ibrahim telah mengajari anak-anaknya menempatkan piring kotor pada tempatnya setelah selesai makan.
"Ayo kita berangkat Nak!" ujar Sarifah lemah.
Sarifah mengunci pintu, setelah itu ia menggandeng putrinya, mereka pun menyeret kakinya menuju sekolah. Tempat Sarifah dan Ibrahim cari rezeki.
"Kita nggak tunggu ayah pulang antarkan Abang Mak?" tanya Ledy dengan herannya menatap sang ibu. Untuk lebih cepat sampai ke sekolahan, mereka mencari jalan pintas, dengan melewati kebun sawit warga. Ya, sekolah tempat mereka kerja terletak di perkebunan warga. Sekolah itu dulu dibangun dengan tanah yang di wakafkan.
"Gak sayang!" Sahut Sarifah lemah.
Biasanya, setelah Ibrahim mengantar anaknya Hafidz ke sekolah. Sarifah dan Anaknya Ledy menunggu Ibrahim di depan rumah. Kemudian mereka sama-sama akan berangkat ke sekolah. Rumah barunya Ibrahim sangat dekat ke sekolah hanya berjarak 100 meter. Jalan kaki sebenarnya dekat, makanya kali ini Syarifah mengajak anaknya jalan kaki saja. Ia males dibonceng sang suami, karena dia masih kesal pada suaminya itu.
Sesampainya di sekolah. Ibrahim sudah telat. Teman piketnya sudah menyiapkan semua peralatan untuk senam. Seperti speaker yang akan dihubungkan ke bloetoot untuk musik saat mereka senam.
"Maya...!" sapa Ibrahim lembut.
Bu guru yang disapa Ibrahim, tak melirik. Ia fokus ke hapenya. Ia sedang memilih lagu baru yang energik untuk menemani senam bugar hari ini.
Maya, tepatnya nama lengkapnya Ira Maya. Tapi, Ia lebih suka di panggil Maya. Maya adalah guru PNS, penempatan baru. Ia baru 4 bulan di tempatkan di sekolah itu. Maya, masih gadis. Tapi, sudah berumur. Ia sudah berumur 33 tahun.
"Maaf ya May, aku telat lagi." Ujar Ibrahim dengan muka merasa bersalahnya. Minggu lalu dia juga telat. Dan kali ini, saat mereka piket ia juga telat.
Maya tersenyum tipis. "Oh, iya pak. Gak apa-apa, aku ngerti koq." Sahut Maya ramah. "Oh ya, gimana kalau kali ini, kita ganti musik senamnya pak, pakai lagu ini!" Maya memperlihatkan daftar lagu di hapenya kepada Ibrahim. Ibrahim yang ingin melihat lebih jelas, mendekatkan kepalanya.
Bruuggkk..
"Ayah..!"
Braabb...
Ledy tak sengaja mengejutkan ayahnya dari belakang. Hingga tubuh Ibrahim terdorong ke Maya. Sehingga mereka hampir jatuh ke lantai. Syukur di belakang Maya ada meja. Jadilah Maya bersandar dengan tubuh melengkung ke atas meja, dan di atas tubuhnya mendarat indah tubuh atletisnya Ibrahim. Adegan romantis pun seperti terjadi, jika dilihat dari kejauhan. Apalagi Ibrahim dan Maya yang sama-sama terkejut akan hal yang menimpa mereka, malah beradu pandang.
Angin sepoi di pagi hari berembus syahdu. Yang membuat parfumnya Maya melesat masuk dari indera penciuman dan bersemayam di otaknya Ibrahim. Hal itu cukup membuatnya terhanyut.
"Pak..!" Maya mendorong dadanya Ibrahim, agar menjauh dari atas tubuhnya. Walau tubuh mereka gak menempel, karena kini Ibrahim menopang tubuhnya dengan tangannya di atas meja, tapi kejadian ini tak pantas. Apalagi di depan mereka para siswa dan guru-guru sudah berbaris, siap untuk senam pagi.
"Ooouuww... Maaf Ya Maya." Wajah tampannya Ibrahim memerah, karena malu. Ia pun menoleh ke arah sang putri Ledy. "Sayang... Ngagetin saja ddh!" protesya pada putri centilnya itu.
Ledy tak mengacuhkan ucapan sang ayah. Ia ambil barisan di sebelah Maya. Anak centil itu, akan ikut senam.
"Bu Maya, aku ada teka-teki. Jawab ya!" Ujar Pak Doni, guru yang piket di hari sabtu juga. Pak Doni adalah guru matematika.
Maya yang sedang memeriksa buku piket, melirik Pak Doni dengan senyum tipisnya. Mereka berdua sedang duduk di kursi meja piket.
"Boleh, kalau bisa ku tebak. Hadiahnya apa pak?" tantang Maya dengan senyum tipisnya. Ya, Maya orangnya ramah. Walau begitu, ia gadis yang sopan. Dan selalu menjaga jarak dengan lawan jenis.
"Eemmm.. Panda, panda apa yang bikin seneng?" Pak Doni, menaik turunkan alisnya, dengan muka menggodanya.
Maya menekuk bibirnya. Ia tahu maksud dari godaan si Doni. Doni, adalah PNS Baru juga di sekolah itu. Mereka sama-sama penempatan baru, tapi usia Doni jauh lebih muda darinya. Doni masih berusia 27 tahun, sedangkan Maya sudah 30 tahun. Dan Doni mengajar mata pelajaran Matematika.
"Eeemm.. Apa ya..?" Maya nampak berfikir. Ia pegang pelipisnya, dengan bola mata coklatnya nampak bergerak-gerak. "Kalau aku tahu jawabannya, hadiahnya apa?" tanya Maya lagi memastikan hadiah dari Doni.
"Apa yang kamu minta, aku kasih deh. Bahkan jika hati ini kamu minta, aku rela dadaku dibedah." Ujar Doni dengan semangat.
Ya, terkadang. Di waktu les kosong, berguyon dengan teman kerja sangat menghibur.
"Waahh.... Serius.. Organ dalam mahal loh!"
"Ya, jangan diambillah hatiku. Kamu May, gak busa diajak bercanda. Sudah, sudah.. Jawablah..!" Desak Doni dengan tak sabarannya.
"Iya deh, jawabannya adalah.."
Praaakkk
Buku paket Matematika terlempar di hadapan Doni dan Maya. Mendarat sempurna di atas meja.
"INVAL.... INVAL SAJA AKU....!"
Haaahh...
Maya dan Doni sama-sama melotot menatap wanita yang histeris di hadapan mereka.
Braakk..
Pangg.
Wanita itu juga menendang kursi plastik kosong di hadapannya, hingga melayang jauh ke halaman sekolah.
Wanita yang diselimuti amarah itu, terus saja menendang apa yang ada di hadapannya, hingga masuk lagi ke ruang kantor.
Maya dan Doni bangkit dari duduknya dengan bingungnya. Mereka pun masuk ke dalam kantor. Karena khawatir dengan guru yang marah-marah itu.
"Gak ada yang peduli, gak ada yang peduli. Aaaaarrrggkkk..." Bu Guru yang lagi diselimuti amarah itu melempar buku-buku yang ada di atas mejanya. Melemparkan kotak pulpen ke papan informasi.
"Waduuhh... Kumat lagi si Sarifeh.. Sarifeh... Sarifeh!" celutuk Doni, dengan muka masamnya.
"Don, sana kamu panggil pawangnya!" titah Maya, mendorong bahunya Doni, agar mencari pawangnya Sarifah. "Cepat sana...!" Kembali Maya mendorong tubuhnya Doni, agar mencari Ibrahim.
Sudah 4 bulan Maya kerja di sekolah ini. Ini untuk kedua kalinya, ia melihat Bu guru Sarifah marah-marah tidak jelas di sekolah itu. Tapi, marahnya kali ini, sangat ngeri dan ia pula kena sambarannya. Marah pertama kali saat ia lihat dulu, ia tidak kena imbasnya. Memang Maya juga sudah dapat informasi, mengenai sifat Sarifah. Katanya Sarifah emosional. Jiwa dan pikirannya gampang terganggu.
Maya berlari dari ambang pintu, saat melihat Sarifah hendak keluar dari ruangan itu dengan penuh amarah. Maya takut sekali kena amuk Sarifah. Dia tidak menyangka, istrinya Ibrahim, bisa berubah menjadi monster.
"Gak ada, gak ada yang peduli. ...!" teriak Sarifah, menatap tajam Maya, yang ketakutan di dekat daun pintu.
Praaakk...
Sarifah menendang pintu itu. "Aaaww... " Sakit...!" aduh Sarifah.
Mampus kau.
Maya membathin. Ia kesal juga pada Sarifah. Ingin rasanya ia marahi wanita yang mengamuk itu, tidak sepantasnya seorang guru bersikap brutal.
"Maya.. Panggilkan Pak Ibrahim, dia di kelas 8-7." Teriak Bu Dahlia. Ya, di ruang guru berketepatan sepi, hanya ada Maya dan Bu Dahlia sekarang.
"Si Ibrahim juga gak perduli...!" teriak Sarifah. Wanita yang emosi itu pun meninggalkan kantor guru.
"Ayo kita panggil si Ibrahim...!" Bu Dahlia, berlari menuju ruang 8-7.
"Bu Dahlia, Doni sudah pergi memanggilnya!" teriak Maya.
Bu Dahlia menghentikan langkahnya. Ia putar balik ke arah Maya.
Huuffftt...
"Kalau sudah gila, ya jangan lagi kerja maunya kan?" celutuk Bu Dahlia dengan muka masamnya.
Maya jelas kepo. Ia guru baru di sekolah itu. Jadi, ia kurang tahu apa masalah setiap guru-guru di sekolah itu.
"Gila, Bu Sarifah gila?" tanyanya menatap heran Bu Dahlia.
"Kalau gak gila, apa namanya. Dia guru, tapi marah-marah di kantor ini!" Sahut Bu Dahlia kesal.
"Ada apa ini? kenapa?" tiba-tiba saja ruang guru menjadi ramai. "Apa si Sarifah kumat lagi?"
"Iya... lihat itu kursi pada jungkir balik. Dasar wanita kesetanan!" Sahut Bu Dahlian kesal. Ia tadi sedang sarapan, karena ulah si Sarifah yang mengamuk, jadinya Bu Dahlia keselek. Nasi pada keluar dari hidungnya. Dan sekarang hidungnya jadi terasa perih.
Para guru yang kepo, akhirnya berkumpul. Membentuk koloni untuk menggosip.
Dan muncullah si Doni.
"Don, apa Pak Ibrahim sudah kamu kabari?" tanya Maya, menatap Doni dengan penasarannya.
"Sudah, kata Pak Ibrahim. Biarkan saja. Jangan diopeni, nanti makin meledak." Jawab Doni datar.
"MELEDAK....!" ujar Bu Risma dengan mengejek.
Dan para guru yang free les pun menggosip. Apalagi yang digosipi kalau bukan pasangan penomenal Ibrahim dan Sarifah.
Maya, yang sebagai guru baru. Hanya ikut menguping. Dan terkadang, ia melototkan matanya, karena tidak percaya dengan apa yang dibahas para guru-guru sampai ngakak.
"Kasihan si Ibrahim loh. Setiap hari ia harus sabar, hadapi istrinya itu. Capek kerja, nanti di rumah capek juga. Menyuci, memasak, menyapu. Semua dia ngerjakan. Bahkan, istrinya cerita. Ibrahim jadi tukang pijatnya Si Sarifah." Cerocos Bu Darmi. u Darmi adalah tetangganya Ibrahim.
"Jangan-jangan tadi Bu Sarifah gak mandi itu. Makanya sumuk ia rasa." Tambah Bu Darmi lagi dengan muka mengejeknya.
"Gak mandi...?" tanya Maya, ia tak tahan juga, tak ikutan di acara ghibah itu.
"I ya, mau sebulan dia gak mandi?" jelas Bu Darmi.
"Haahh.. Sebulan?" tanya para ibu guru dan bapak guru yang jumlahnya ada lima orang dengan serentak.
"Iya... Itu cerita si Sarifah. Dan dipertegas, oleh anaknya si Hafidz. Katanya mamaknya gak mandi-mandi mau sebulan.
"Apa..... Jadi, kalau mereka cetak anak gak mandi?" celutuk Bu Dahlia dengan muka tercenganngnya.
"Ya, kalau mereka berhubungan badan, pasti mandilah. Tapi, mungkin. Bu Sarifah gak pernah service Pak Ibrahim di atas ranjang. Makanya Pak Ibrahim sering godain Maya"
"Bu... jangan gitulah!" Jawab Maya dengan Muka masamnya. Memotong cepat ucapan Bu Darmi. "Jangan buat fitnah ya bu. Ucapan ibu bisa membuat pertikaian itu. " Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pak Ibrahim. Dan kami, kalau pun bercanda, tidak hanya berdua. Kan ramai-ramai dengan guru lainnya." Maya menatap kesal Bu Darmi.
Bu Darmi cengengesan. Ia raih tangan Maya. "Maaf Maya, ku pikir kamu tidak di sini tadi." Masih menampilkan muka tidak tahu malu.
"Kebiasaan ibu, tadikan aku ikut buka suara!" Maya menepis tangannya Bu Darmi dengan muka kesalnya.
"Bubar... bubar....!" Oceh Bu Dahlia.
Para guru pun kembali ke bangku masing-masing. Sedangkan Maya berlari ke ruang olah raga.
***
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!