Diantara langit dan bumi. Tepat di tengah hamparan rumput lapang. Aku berdiri kokoh dengan mengepalkan kedua tanganku. Dengan mulutku yang mengeras.
Setelah mengingat suara-suara bising yang mampu memecahkan kalbu.
Badai yang terus berdatangan. Telah mampu merobohkan tiang yang kurawat sejak dulu.
Dan kini, rumah yang tiangnya telah roboh. Terlihat hancur dan tidak bisa ditinggali lagi.
Saat ini, Aku melangkah dengan hati yang kokoh.
Dengan menggendong Graha anakku.
Berjalan dengan mendekap erat-erat Graha. Melindungi dari serangan dingin yang mampu menembus pori-pori kulit.
Meski kini Graha telah berbalut kain gedong. Itu masih setengah dari perlindungan dari dingin saat malam hari.
Saat ini Aku berjalan menuju ke masjid yang tidak ada orang satu pun di sana.
Aku masih berfikir keras.
Apa yang akan Aku katakan kepada kedua orang tuaku nanti?
"Pasti Mereka akan bertanya dan bisa juga marah padaku" pikirku.
"Tapi memang benar kan? Buat apa mempertahankan rumah tangga jika tidak ada kedamaian di sana. Dengan segala paradoksanya, seorang istri disudutkan" gumamku.
Aku duduk di teras masjid. Dengan melihat wajah Graha yang sedang tertidur pulas.
Mungkin karena sudah lelah Dia menangis sejak lama tadi.
"Hffffttt, beginikah rasanya menjadi orang tua?" gumamku.
"Kadang bahagia, tapi juga berat" gumamku.
Malam itu, Aku tidak tidur semalaman karena menjaga Graha.
Setelah beberapa jam duduk. Aku segera pergi dari sana sebelum ada seorang muadzin yang datang ke masjid.
Pasti akan tampak aneh jika Mereka melihatku demikian.
Jam 4 subuh. Sudah saatnya Aku pulang ke rumah.
...****************...
"Tok, tok, tok!"
Ketukan pintu.
Ketukan pertama tak ada respon.
Ketukan kedua juga tidak.
Hingga ketukan yang kelima. Akhirnya pintu itu terbuka.
"Milanie?" panggil Ibu terkejut.
"Iya Ibu" jawabku.
Segera Ibu meraih Graha yang sedang berada di tanganku.
Lalu mata Ibuku menyapu ke semua arah seperti mencari seseorang.
"Dimana Zaidan?" tanya Ibu.
"Zaidan ada di rumahnya Ibu" jawabku ragu.
Aku langsung berjalan masuk ke rumah.
"Apa maksudnya ini?" tamya Ibu.
"Milanie, minta pisah dari Zaidan Ibu" kataku.
"Apa?" kata Ibu.
"Milanie, seharusnya Kamu berfikir yang matang sebelum mengucapkan kata itu. Rumah tangga memang seperti itu nak. Kamu harus kuat" kata Ibu.
"Ibu, kenapa perceraian dianggap hal yang murka? Padahal, dalam hidup Milanie sangat menderita saat menjalani pernikahan ini" kataku.
"Tentu saja itu adalah hal yang paling dibenci oleh Allah" kata Ibu.
"Yang dibenci oleh Allah bukan karena perceraiannya Ibu. Tapi sikap manusianya. Manusia selalu menjelekkan satu objek sebagai pembelaan kebenaran terhadap dirinya. Sehingga memunculkan konflik satu sama lain. Dan menumbuhkan kebencian satu sama lain. Tidak bisakah bercerai dilakukan dengan cara yang baik? Dulu Zaidan meminangku dengan cara yang baik. Tidak bisakah Dia mengembalikanku dengan cara yang baik juga?" kataku.
"Jika semua dengan cara yang baik. Tidak akan ada sebuah kemurkaan Ibu" kataku.
"Tapi kenapa? Manusia selalu menggunjing, merendahkan dan memfitnah demi pembelaan terhadap dirinya? Mencari-cari kesalahan musuh agar mempunyai teman banyak yang ikut berpihak kepadanya" kataku.
"Tidak bisakah manusia saling menghargai? Tidak bisakah manusia tidak saling menyakiti satu sama lain? Tidak bisakah manusia lebih suka melihat manusia lain merasa senang daripada menderita? Tidak bisakah Ibu?" kataku.
"Pikiranmu masih terlalu sempit Milanie" kata Ibu.
"Dunia memang seperti itu" kata Ibu.
"Meski Kita sudah melakukan yang benar, tentu pasti akan tetap ada yang menggunjing. Kamu fikir semua orang baik? Luaskan pikiranmu Mil" kata Ibu.
"Hiks, hiks, hiks"
Tangisan itu mengalir deras membasahi kedua pipiku.
Sedangkan Ibuku menggendong Graha dengan semangat. Karena Ibuku merindukan cucunya yang lama tidak datang di rumah.
"Lalu apakah Zaidan sudah menalakmu?" tanya Ibu.
"Dia hanya diam" kataku.
"Sebenarnya ada masalah apa?" tanya Ibu.
"Seperti yang Ibu bilang. Rumah tangga memang tempatnya ujian. Dan Milanie sudah tidak kuat Ibu, menahan semuanya" kataku.
Melihatku tiba-tiba pulang ke rumah sendirian. Tentu saja membuahkan tanda tanya yang besar oleh kedua orang tuaku.
Tapi, Aku sudah tidak ingin menjelekkan siapa pun.
Kali ini, Aku memilih diam. Agar api tidak semakin membara dan merambat kemana-mana.
Saat itu, Aku melihat wajah Ibuku. Tergambar jelas jika Ibuku sangat memikirkan sesuatu.
Masalahku, membuat pikiran Ibuku terganggu. Pasti, akan ada kecemasan dan kekawatiran di dalamnya.
"Yakin Kamu ingin berpisah? Lalu bagaimana dengan Graha?" kata Ibu.
"Biarkan Milanie yang bekerja untuk menghidupinya. Jika memungkinkan, Milanie akan bekerja dengan membawa Graha" kataku.
"Astaga anak ini, Kamu pikir semudah itu? Bekerja dengan merawat seorang bayi?" kata Ibu.
"Tentu saja tidak. Bekerja saja kadang membuat kita sudah merasa capek. Apalagi harus dengan merawat seorang bayi juga. Pasti sangat repot sekali" kataku.
"Sudah Ibu bilangkan, seharusnya Kamu fikirkan baik-baik sebelum berkata seperti itu Milanie" kata Ibu.
"Ibu, bolehkah Milanie tidur sebentar?" kataku.
"Kenapa harus bertanya dengan hal seperti itu" kata Ibu.
"Jika Graha haus, nanti bangunkan Milanie ya Ibu" kataku.
Aku beranjak berjalan menuju kamarku.
Saat masuk kamarku, debu terlihat menebal.
Tak kusangka, sudah hampir 2 tahun Aku lama tidak tidur di kamar ini.
Kemudian, Aku membersihkan tempat tidur dengan sapu khusus ranjang.
Dan segera merebahkan badanku di sana.
"Hahhhh, rasanya nyaman sekali" gumamku.
Mataku telah terpejam. Karena kantuk yang berat. Membuatku tak membutuhkan waktu yang lama untuk tertidur pulas.
Sedangkan Ibuku, menggendong Graha dengan beraktifitas memasak seperti biasanya.
Karena seorang nenek, pada umumnya lebih sayang terhadap cucunya dibandingkan dengan anaknya sendiri.
Setengah jam kemudian, Graha merengek seperti meminta ASI.
Tapi, saat Ibu mengantar Graha padaku. Melihatku tidur dengan sangat pulas, membuat Ibuku ragu untuk membangunkanku.
Akhirnya, Ibu menggendong Graha dan mengayun-ayunkan badannya. Agar Graha tidak menangis lagi.
Dan kali ini, Graha menikmati ayunan gendong neneknya. Membuatnya Dia tertidur kembali. Dan melupakan rasa hausnya tadi.
...****************...
"Jika memang keinginannya adalah bercerai, ceraikan saja perempuan itu Zaidan" kata Ibu mertua.
"Ibu yakin, pasti Tuhan akan menggantinya dengan perempuan yang lebih baik" kata Ibu mertua.
"Ibu, Milanie telah melahirkan anak Zaidan. Anak dari Milanie adalah tanggung jawab Zaidan. Bagaimana Zaidan akan menceraikan seseorang yang beradu nyawa demi melahirkan anak Zaidan?" kata Zaidan.
"Melahirkan anak, itu kodrat perempuan. Yang mau melahirkan anakmu bukan Milanie saja. Banyak perempuan yang bisa melahirkan anak" kata Ibu mertua.
"Ibu selalu mengajarkan Zaidan sejak kecil untuk bertanggung jawab Ibu. Sekarang, Zaidan harus melakukan apa yang telah Ibu ajarkan pada Zaidan" kata Zaidan.
"Jangan kesana Zaidan. Milanie itu perempuan yang tidak bisa diatur. Lebih baik Kamu mencari yang lain saja" kata Ibu mertua.
"Ibu, Zaidan mengerti apa yang harus Zaidan lakukan. Jadi Ibu jangan terlalu khawatir" kata Zaidan.
"Apa yang akan Kamu lakukan?" tanya Ibu Mertua.
...----------------...
Zaidan hari ini meminta Izin di kantor Pak Mahardika.
Sudah sejak 1 bulan Zaidan selalu lembur. Bekerja setiap hari tanpa melihat waktu istirahat. Demi mendapatkan uang yang lebih banyak dari biasanya. Karena kebangkrutan orang tuanya. Membuat Dia akhir-akhir ini tertekan dan banyak fikiran.
Hingga rasa capeknya membuat Dia tidak bisa mengontrol emosi dirinya. Membuatnya tidak dapat berfikir jernih lagi dikala Dia sedang santai.
Setelah membentakku, Zaidan merasa menyesal setelahnya.
Rasa sesal memang selalu terjadi di belakang bukan?
Dengan menyetir mobil sendiri, Zaidan bergegas menuju rumahku.
Sedangkan Dimas juga diliburkan hari itu oleh zaidan.
"Bagaimana pun Aku adalah seorang Ayah. Aku harus bertanggung jawab atas masalah ini. Jika Milanie hingga bersikap seperti itu, pasti ada alasan di balik ini semua" batin Zaidan.
Dengan hati yang teguh, Zaidan datang ke rumahku.
Sudah sejak 7 hari Aku telah tinggal di rumah orang tuaku.
Dan Aku telah bekerja di sebuah Intansi yang sedang berkembang saat ini.
...****************...
"Tok, tok, tok!"
Ketukan pintu.
Ibuku membukakan pintu. Dengan menggendong Graha.
Sedangkan saat itu Aku sedang pergi bekerja.
Mereka duduk di ruang tamu dengan saling berhadapan.
Terlihat Zaidan sedang menundukkan kepala. Dan menceritakan seluruh keluh kesahnya terhadap diriku.
"Saya kemari ingin berbicara kepada Ibu" kata Zaidan.
"Berbicaralah Nak" kata Ibu.
"Saya akui, selama ini memang cara Saya salah kepada Milanie. Tapi, Saya melakukan demikian karena Saya sangat menyayangi Milanie" kata Zaidan.
"Saya akui, Saya telah membentak Milanie dengan sangat kasar. Tapi, hal itu karena Saya memiliki alasan" kata Zaidan menjelaskan.
"Karena Saya juga bingung terhadap Milanie. Padahal, selama ini Saya selalu berusaha bertanggung jawab kepadanya. Tapi bagi Milanie selalu saja ada yang kurang pada Saya. Dia selalu terlihat murung. Dan kadang juga tiba-tiba marah-marah tanpa sebab. Jadi Saya bingung harus bagaimana untuk menghadapi Milanie" kata Zaidan.
"Nak, hati seorang wanita. Itu sangat rapuh nak. Sekali Kamu bentak, Dia akan hancur. Seperti halnya kaca. Sekali di lempar batu, Dia akan pecah. Setelah pecah, saat akan utuh Dia akan sangat sulit" kata Ibu.
"Jangan sekali-kali Kamu membentak Istrimu apalagi melakukan kekerasan kepadanya. Karena itu akan mematahkan hatinya" kata Ibu.
"Iya Ibu, Zaidan mengerti jika Zaidan salah atas itu" kata Zaidan.
"Jika memang Milanie sangat sulit dipahami. Tidak bisakah Kamu bertanya baik-baik padanya. Ada apa? Seperti itu?" kata Ibu.
Mendengar perkataan Ibu, mata Zaidan membulat. Hal pertama yang Dia fikirkan. Memang selama ini Zaidan tidak pernah bertanya atau ingin mengerti tentang perasaanku.
"Bisa Ibu" kata Zaidan.
"Bagus, Kamu anak yang baik Zaidan. Itulah alasan Ibu kenapa mempercayakan anak Ibu kepadamu" kata Ibu.
"Sekarang dimana Milanie?" tanya Zaidan.
"Dia mulai bekerja di instansi dekat rumah" kata Ibu.
"Baiklah, Zaidan akan pulang terlebih dahulu. Nanti akan kembali ke sini" kata Zaidan.
Sebelum pergi, Zaidan melihat Graha dan mencium pipinya.
Dia tidak menyangkal, jika Graha sangat Dia rindukan. Walau hanya 7 hari.
...****************...
Setelah Aku pulang, Aku bergegas meraih Graha.
Melihat Ibuku seharian menggendongnya pasti terasa capek.
Malam adalah siff waktu Aku merawat Graha.
Saat sebelum berangkat. Aku telah menyiapkan tandon susuku yang kuperas dan di masukkan ke dott.
Untuk Graha yang merasa haus nanti. Saat Aku bekerja.
Saat seorang Ibu bekerja. Rasa lelah semakin bertumpuk. Dia harus mencari nafkah saat siang. Dan masih lembur merawat anaknya saat malam. Hingga esoknya, kembali bekerja lagi.
Ibuku memberitahu jika Zaidan tadi kemari.
"Untuk apa Dia kemari?" tanyaku.
"Dia menjelaskan jika Dia menyesal telah membentakmu" kata Ibu.
"Menyesal apanya? Dia selalu menyesal setelah melontarkan kata kasar padaku. Dan suatu saat akan mengulanginya lagi. Itu bukan rasa salah yang sejati Ibu" kataku.
Dan setelah mendengar penjelasanku, Ibuku terdiam.
Ibu mana yang rela melihat anaknya menderita karena disebabkan oleh orang lain.
Anaknya yang dirawat dari kecil. Dipinang-pinang dengan kasih sayang dengan sepenuh hati.
Melihat sebegitu menderitanya. Tentu saja membuat Ibuku sedikit tidak suka kepada Zaidan.
...****************...
Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam.
Saat itu, ada pria tanpa undangan yang sedang mengetuk pintu rumah Ibuku.
Karena Graha telah tertidur, Aku membuka pintu itu.
Saat Aku membuka pintunya. Tepat di hadapanku. Saat ini telah berdiri sosok yang telah memberiku duri.
Jangan tanya dengan wajahku.
Saat itu, wajahku datar dengan mata yang tajam. Sebagai sosok yang telah mati rasa.
Sosok yang kosong. Tanpa rasa peduli dengan orang lain lagi.
Zaidan menatapku. Dan hanya berdiri diam.
"Untuk apa Kamu ke sini?" tanyaku.
"Graha. Aku ke sini untuk melihat Graha" kata Zaidan.
"Bagaimana pun, Graha adalah anak kandungnya. Tentu saja, Aku tidak akan melarangnya masuk" batinku.
Tanpa berkata sepatah kata pun. Aku membalikkan badanku dan masuk ke rumah.
Segera Aku menuju kamar untuk melihat Graha.
Terlihat Dia masih tertidur pulas. Jika Aku menggendongnya, tentu khawatir akan membangunkannya.
Akhirmya, Aku menghampiri Zaidan dan mengabarkan hal ini kepadanya.
Karena Zaidan bilang Dia merindukkan Graha.
Dengan terpaksa Aku mempersilahkan Dia untuk masuk ke kamar dan melihatnya tidur.
Zaidan duduk di ranjang sebelah kanan Graha.
Dengan menatap anaknya yang sedang tertidur pulas.
Dalam keheningan, Zaidan bersuara dan memecahkan suasana yang Aku rasa tegang dan tidak nyaman.
"Bukankah wajahnya mirip denganku?" kata Zaidan.
"Itu pendapatmu saja. Lagi pula wajah seorang bayi masih akan berubah-ubah" jawabku.
"Milanie, kemarilah!" kata Zaidan.
"Jika bicara, bicaralah. Tidak perlu menyuruhku duduk di sebelahmu" kataku acuh.
Akhirnya Zaidan berdiri dan menghampiriku.
Lalu Dia menarik tanganku. Lalu mengarahkanku untuk duduk.
Aku hanya mengikuti panduannya. Tak ada gunanya juga untuk menyulut api pertengkaran.
"Milanie, lihatlah anak kita" kata Zaidan.
Aku tidak bergeming dengan apa perintah Zaidan.
"Dengarkan Aku, Aku memang salah dengan sikapku padamu. Aku minta maaf" kata Zaidan.
"Untuk apa mengucapkan maaf jika akan diulangi?" kataku.
"Kamu pikir Aku ini apa? Mainan?" kataku dengan emosi yang tertahan.
"Yang dengan seenaknya Kamu sakiti. Lalu Kamu tarik ulur dan Kamu sakiti lagi?" kataku.
"Aku punya perasaan Mas!" kataku.
"Kamu tahu? Hatiku sudah serasa mati sekarang. Rasanya Aku sudah tidak ingin hidup lagi. Tapi, hanya demi Graha. Demi Graha Aku harus hidup untuknya. Rasanya hidupku berubah buruk sejak ada kehadiranmu Mas" kataku.
"Jadi pergilah. Aku sudah nyaman dengan hidupku sendiri. Dan cukup Graha yang ada di sampingku" kataku.
"Milanie, jangan bicara seperti itu. Aku sadari selama ini caraku salah sebagai Suami. Aku janji Aku akan berubah. Aku tidak akan perhitungan apapun padamu" kata Zaidan.
"Ayo Kita mulai dari awal. Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Jadi, bisakah Kamu berikan satu kesempatan untukku?" kata Zaidan.
Aku hanya diam dan mengepalkan kedua tanganku. Menahan sesak rasa sakit. Dan meneteskan air mata.
Yang hanya di rasa oleh seorang istri. Tidak dengan orang lain.
...----------------...
Aku terdiam mematung di tempat duduk.
Dan akhirnya mengucapkan jawaban kepada Zaidan.
.
.
"Biarkan Aku sendiri dulu" kataku.
"Aku masih butuh waktu untuk berfikir lagi" kataku.
"Emm" kata Zaidan dengan mengangguk pelan.
"Baiklah, jika maumu seperti itu" kata Zaidan.
"Tapi dengan syarat!" kata Zaidan.
"Kamu tidak boleh melarangku saat Aku sering menjenguk Graha" kata Zaidan.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Dan menyetujui pernyataan Zaidan.
Di tempat duduknya, Zaidan melirik jam tangan yang sedang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Ah,,, Tidak terasa sudah masuk jam malam, sepertinya Aku harus menginap di sini!" kata Zaidan.
Mendengar perkataan Zaidan seketika mata ku membulat.
"Apa maksudnya dengan Dia menginap di sini?" batinku.
"Pulang saja. Ibumu pasti mencarimu" kataku.
"Kamu pikir, Aku masih anak kecil?" kata Zaidan.
"Kenyataannya seperti itu kan?" kataku dengan membulatkan mata yang menyala menatap mata Zaidan.
"Hahhhh, sekarang Aku adalah seorang Ayah, jadi Aku akan tidur dengan Graha" kata Zaidan.
Zaidan segera beranjak dari duduknya. Dan langsung tidur di ranjang sebelah Graha.
Dengan pakaiannya yang berupa kaos dan celana oblong. Karena kebetulan Zaidan memang sengaja tidak bekerja hari ini.
Zaidan sengaja berniat ingin meluangkan waktu dengan Graha dan Aku.
"Hei, siapa yang suruh Kamu tidur di situ?" kataku.
"Ini kamarku. Kamu pulang saja ke rumah" kataku.
Aku menarik tangan Zaidan agar bangun dari tidurnya. Niatnya sih ingin menyeretnya keluar dari kamar itu.
Tapi, saat ini justru Aku yang ditarik oleh Zaidan. Hingga masuk kelingkaran lengannya. Dan jatuh ke badan atas Zaidan.
Zaidan memelukku dengan erat saat Aku meronta-ronta agar lepas dari pelukannya itu.
"Hei, lepaskan Aku sekarang!" kataku.
Zaidan menempelkan satu jari telunjuknya di mulutku.
"Hussssttt!!!" kata Zaidan.
"Jangan ramai" kata Zaidan.
"Nanti Graha bangun" kata Zaidan dengan setengah berbisik.
Mendengar perkataan Zaidan, seketika Aku melihat Graha memang benar. Jika Aku meronta dan berisik, bisa menjadi alasan untuk Graha bangun.
Dan jangan tanya dengan keadaan jantungku saat itu.
Saat itu, jantungku benar-benar ingin meledak.
"Deg, deg, deg"
Zaidan tetap mendekapku erat.
Dengan tangan yang lain membelai rambutku dengan lembut.
"Hangat" batinku.
"Tidak, tidak. Aku tidak boleh terlena dengan ini" batinku.
Sudah sejak 1 jam, Kami berpose demikian.
Dan Zaidan sudah memejamkan mata.
Pelan-pelan Aku melepaskan rangkulannya. Dan tidur di sebelah kiri Graha.
Meski Aku menganggap Zaidan sudah tertidur.
Pada kenyataannya Zaidan berpura-pura telah tidur. Agar Aku tidak bisa mengusirnya lagi.
"Oek, oek, oek" Graha menangis.
Sudah waktunya Dia diberikan Asi olehku.
Zaidan sedikit melirik apa yang Aku lakukan tanpa sepengetahuanku.
Saat Aku memberi Asi pada Graha.
Rasa kantuk sangat menyerang mataku saat itu.
Membuatku tertidur saat memberikan Asi pada Graha.
Tanpa Aku sadari, Asi yang kuberikan menetes ke pipi Graha.
Saat itu Zaidan segera memperbaiki posisi Graha dan menutup Asi yang sedang menetes.
Merasakan ada gerakan, membuatku terbangun dari tidurku.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku spontan.
"Sepertinya Kamu sangat lelah" kata Zaidan.
"Tentu saja. Menjadi seorang Ibu memang lelah" kataku.
"Kalau begitu, tidurlah. Biarkan Aku yang menjaga Graha mulai sekarang" kata Zaidan.
"Benarkah? Yakin?" kataku.
"Iya" kata Zaidan.
Segera Aku beranjak ke belakang. Kemudian Aku memompa Asi terlebih dahulu ke dalam dot.
Lalu Aku berikan dot itu ke Zaidan.
"Ini!" kataku.
"Nanti jika Graha bangun, tinggal Kamu berikan dotnya" kataku.
"Baiklah" kata Zaidan.
Aku berjalan keluar membawa bantal dan selimut. Dengan wajah yang senang.
Dan pergi tidur di kursi.
Hal yang sangat membahagiakan saat menjadi seorang Ibu adalah mendapatkan waktu tidur yang tenang.
"Setidaknya Zaidan agar tahu rasanya menjadi seorang Ibu walau hanya 1 malam, hihi" batinku.
...****************...
Dan malam itu, akhirnya Zaidan yang bertugas beronda menjaga Graha.
Saat Graha menangis, Zaidan memberikan dot yang telah kuserahkan beberapa jam lalu.
Awalnya Graha meminumnya. Tapi, setelah itu Dia memuntahkannya. Dan Dia terus menangis.
Lalu Zaidan mencoba menggendongnya dan mengayun-ayunkan Graha.
Zaidan berusaha keras untuk mencari cara agar Graha diam. Hingga tak terasa keringat menetes dari dahinya.
"Bagaimana ini?" gumam Zaidan.
"Apakah karena susunya telah dingin?" gumam Zaidan.
"Sebentar ya nak, Ayah mau manasin susu dulu" kata Zaidan kepada Graha.
Akhirnya Zaidan meninggalkan Graha di kamar. Lalu memanaskan susu ke belakang.
"Oek, oek, oek"
Tangisan Graha semakin keras.
Karena Ibuku tahu jika Zaidan menginap di kamar. Ibu menjadi sungkan mengongak Graha.
Sedangkan Aku mendengar tangisan Graha.
"Astaga, padahal masih belum 3 jam Aku meninggalkannya" gumamku.
Dengan mata yang berat, Aku terpaksa memeriksa keadaan.
Saat Aku mengecek kamar, Zaidan tidak ada di tempatnya.
"Dia pasti kabur?" gumamku.
Segera Aku melihat Graha. Ternyata Graha baru saja kencing. Membuat celananya basah dan tidak nyaman untuknya.
Segera Aku menggantinya dan mengelapnya dengan tisu basah.
Beberapa menit, Zaidan kembali dengan membawa dot yang terisi susu panas.
"Dari tadi Dia menangis. Sudah Aku gendong dan berikan Asi" kata Zaidan menjelaskan.
"Asinya justru di muntahkan oleh Graha" kata Zaidan.
"Jadi Aku memanaskan susunya. Mungkin karena sudah dingin jadi Graha tidak mau" kata Zaidan.
Setelah menjelaskan panjang lebar Zaidan terkejut melihat Graha sudah tertidur pulas kembali.
"Sejak kapan Dia tertidur?" kata Zaidan.
"Sejak popoknya sudah diganti" jawabku.
"Oh, jadi tadi Graha menangis karena Dia kencing?" kata Zaidan.
"Astaga, kencing saja ramai membuat orang khawatir" kata Zaidan.
Zaidan gemas kepada Graha membuat Dia ingin mencubit hidungnya.
"Huhh,,, memang perlu di cu,,,," kata Zaidan terhenti saat tangan Zaidan Aku tahan.
"Dia baru saja tertidur. Jangan berulah" kataku memperingati Zaidan.
Saat Aku menahan tangan Zaidan, tangan Zaidan yang lain meraih tanganku. Lalu menariknya, hingga Aku berada dipelukannya.
"Apa'an sih!" kataku dengan meronta.
"Syuuuttt!!! Graha baru saja tidur jadi jangan berulah" kata Zaidan.
"Kamu yang berulah. Lepaskan Aku sekarang!" kataku tertahan.
"Cup" satu ciuman Zaidan mendarat di bibirku.
"Apa'an sih. Kubilang lepas" kata Zaidan.
"Tidak. Aku sangat rindu pada istriku. Dan Aku tidak akan melepaskannya" kata Zaidan.
"Kamu gila ya" kataku.
"Iya, gila karena istriku sangat cantik" kata Zaidan.
Aku sudah meronta-ronta dari tadi. Tapi Zaidan tetap memelukku dengan erat. Membuat Aku menyerah untuk melepaskannya.
"Sebenarnya apa tujuanmu Zaidan?" kataku tegas.
Zaidan terkejut saat cara panggilku berbeda padanya sekarang. Tanpa Mas apalagi sayang lagi.
Mendengar ucapan ketegasanku. Zaidan spontan melepaskan pelukannya.
"Jika tujuanmu kesini menggodaku. Dan menyeretku ke kehidupan bagai neraka lagi. Sampai kapanpun Aku tidak akan pernah mau kembali" kataku tegas.
"Aku sudah sakit sedalam-dalamnya. Tidak pernah dihargai, diremehkan selalu tidak ada yang benar selama Aku melakukan tindakan" kataku dengan tegas.
"Sekarang, Aku lebih nyaman hidup sendiri. Cukup Graha yang ada di sampingku" kataku.
"Graha tetap butuh Ayah Milanie. Pikirkan lagi" kata Zaidan.
"Biarkan Aku yang akan menjadi Ayah dan Ibu untuk Graha" kataku.
"Bagaimana caranya Kamu mengatur waktu? Saat Kamu bekerja sebagai peran ayah, Dia tidak menerima kasih sayang darimu sebagai Ibu. Saat Kamu mencurahkan kasih sayang kepada Graha. Kamu tidak bisa melakukan bekerja sebagai peran Ayah. Kamu harus memilih satu peran Milanie. Tidak bisa dengan 2 peran" kata Zaidan.
Aku hanya terdiam menatap tajam kepada Zaidan mendengar pernyataannya.
"Benarkah Kamu berfikir demikian?" kataku.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!