Assalamualaikum Readers...,😘😘😘
Salam hangat dari Author, Novel ini adalah lanjutan dari Novel Seikhlas Cinta Afifa (SCA) Season 1, jadi sebaiknya sebelum baca novel ini sempatkan terlebih dahulu untuk membaca SCA 1, agar lebih faham dengan alur sebelumnya.
Author sangat berterimakasih kepada semua readers pecinta SCA yang masih setia menunggu lanjutan ceritanya, karena itulah yang membuat Author semangat menulis.
LOVE YOU READERS...
HAPPY READING...⚘⚘⚘❤
*****
Sungguh..., Kehadiran sang buah cinta yang kini hadir dalam rahim Afifa merupakan anugrah terindah bagi pasangan suami istri yang hampir genap menikah selama satu tahun itu.
Fauzi selalu menjadi suami siaga untuk istrinya, meski begitu, Fauzi tetap mengizinkan istrinya tetap mengajar menjalankan kewajibannya sebagai seorang guru di sekolah, tentu saja dengan beberapa aturan yang disepakati bersama.
Afifa tidak diizinkan membawa motor sendiri, dia harus pergi dan pulang diantar jemput baik oleh dirinya maupun oleh mang ujang pegawainya, dia juga hanya diizinkan mengajar saja tanpa harus mengisi kegiatan ekskul ataupun kegiatan yang dilakukan diluar sekolah.
Afifa hanya tersenyum dengan aturan suaminya, dia berfikir itu adalah bukti dari rasa cinta dan tanggung jawabnya yang begitu besar terhadap istri dan calon buah hatinya, meski terkadang Afifa merasa kurang nyaman karena harus merepotkan suaminya ataupun Mang Ujang yang setiap hari harus meluangkan waktu untuk mengantar ataupun menjemput dirinya.
Namun Fauzi selalu berhasil meyakinkannya, bahwa apa yang dia lakukan untuk istrinya bukan semata karena kewajibannya saja, tapi juga keinginannya untuk selalu dekat dengan istri dan buah hatinya, tentunya dengan sikapnya yang selalu membuat Afifa tersenyum dan tertawa.
Soal kehangatan dalam rumah tangganya, jangan ditanya lagi, tentu saja mereka semakin mesra dalam kesehariannya, dan masih dengan dalih yang sama saat ingin menyalurkan hasratnya dia selalu menggunakan kata yang sama, untuk mempercepat pemulihan dari rasa traumanya, ha ha ha...😅😅😅...
Sungguh kata-kata itu selalu terdengar menggelitik ditelinga Afifa.
Namun kata-kata itu sempat tidak terucap dari bibir Fauzi selama 2 minggu setelah berita kehamilan istrinya, dia merasa kalau hubungan suami istri itu akan membuat kandungan seorang wanita terganggu.
Malam itu saat menjelang tidur, Afifa sedang bersandar ditempat tidur sambil membaca buku petunjuk ibu hamil yang ia beli dari online shof nya, Fauzi hanya berjalan mondar-mandir dari rumah kekamar lalu kerumah lagi, kadang-kadang duduk disofa kamar lalu berdiri lagi sambil sesekali melihat istrinya.
Afifa memperhatikan suaminya dibalik buku yang ia baca dengan ujung matanya, merasa ada yang heran diapun bertanya.
“Kak Aji kenapa?” tanya Afifa, ditutupnya buku yang sejak tadi dipegangnya.
Fauzi menatap istrinya, terdiam sejenak lalu berkata, “Ah...anu..., gak papa hehe,” Ucapnya sambil cengengesan, tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Hmmm... benarkah?” tanya Afifa tak percaya.
“Iya, hehe...” Jawab Fauzi.
“Terus, kenapa dari tadi Kak Aji mondar-mandir saja?”
Fauzi kembali terdiam, kepalanya berkerut tanda berikir, “Hmmm...sayang” Ucap Fauzi agak ragu.
“Ya? Kenapa?”
“Sepertinya ada sesuatu yang lupa aku tanyakan pada dokter kandungan yang memeriksamu waktu itu,” Ucap Fauzi serius.
“Memangnya apalagi yang ingin Kak Aji tau?” tanya Afifa, mata bulatnya menatap wajah suaminya yang mulai serius.
“Aku...hmmm...,” Ucap Fauzi ragu.
“Kak Aji gak perlu khawatir, aku banyak bertanya pada Umi, selain itu aku juga terus membaca buku-buku petunjuk seperti ini," Afifa menunjukan judul buku yang sejak tadi masih setia ditangannya, "setidaknya aku sudah tau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil,” jelasnya berusaha meyakinkan suaminya.
“Sebenarnya apa yang ingin Kak Aji tanyakan?”
“Hmmm...sebenarnya...aku ingin bertanya...”, dia terdiam sambil mengatupkan rapat bibirnya, dahinya masih berkerut.
Afifa serius mendengarkan, tatapannya tak berpaling dari wajah suaminya.
“Apakah...hubungan suami istri itu...akan mengganggu kehamilan?” Tanya Fauzi, suaranya agak pelan dan tertahan.
“Hah...?” Mata Afifa terbelalak, sebenarnya ingin sekali dia tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol dari suaminya itu, namun Afifa berusaha menahannya, dia hanya memegang perutnya dan mengerutkan bibirnya yang tidak tahan menahan tawa. “Memangnya Kak Aji kuat menahannya sampai 9 bulan?” Afifa balik bertanya dibalik tawanya yang tertahan.
“Hah...? Sembilan bulan...?” Fauzi memegang kepalanya, lalu menarik rambutnya kebelakang, wajahnya terlihat kacau dan itu membuat Afifa semakin tak tahan menahan tawa karena wajah suaminya yang terlihat lucu menurutnya.
Afifa menyimpan buku yang dipegangnya diatas nakas, dia turun dari tempat tidur, lalu berdiri dan berjalan menghampiri suaminya, “Kalau Kak Aji tidak sanggup menahannya, tentunya suami lain juga tidak akan sanggup”, Afifa memegang kedua bahu suaminya, lalu menyusuri lengan suaminya dari atas sampai bawah, dan menggenggam tangannya. Afifa tersenyum, wajahnya agak miring memandang lekat wajah suaminya, dia tidak mau melewatkan perubahan ekspresi dari wajah suaminya.
“Maksudnya?” tanya Fauzi agak gugup mendapat tatapan seperti itu dari istrinya.
“Kalau mau, Kak Aji tak perlu menahannya, lakukan saja,” Afifa tersenyum, lalu berjinjit membisikan sesuatu ditelinga suaminya, “Tapi pelan-pelan saja ya, dan jangan terlalu sering juga”, bisiknya, dia kembali berdiri dihadapan suaminya, senyumnya merekah dari bibir merahnya.
“Aaaaa, sayang...” Fauzi tersenyum, dan senyumnya semakin mengembang saat tangannya ditarik istrinya menuju peraduan.
*****
Suara takbir bersahutan, tabuhan bedug bergema mengiringi lantunan indah Takbir dari beberapa mesjid dari sudut-sudut Kota Bandung, anak-anak tertawa riang berlarian disekitar mesjid, para pria mulai dari yang muda, paruh baya sampai kakek-kakek berkumpul didalam mesjid untuk menghidupkan malam takbiran sebagai tanda syukur setelah berhasil satu bulan penuh melewati ibadah puasa Ramadhan.
Para ibu sibuk dirumah masing-masing, mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut hari raya besok, aroma masakan menyeruak dari setiap dapur rumah membuat penghirup aromanya merasa ingin segera menyantapnya.
Mungkin sudah menjadi tradisi setiap menyambut hari raya, mereka begitu bahagia terutama anak-anak.
Hari ini Afifa mengajak suaminya menginap dirumah Umi, bukan apa-apa, selain hari raya ini adalah yang pertama baginya setelah menikah, dia juga ingin berkumpul dengan keluarganya di hari raya ini.
Sesungguhnya ada sesuatu yang hilang bagi Afifa, Bulan suci itu kini akan berlalu, bulan yang penuh dengan kemuliaan, dimana dirinya dapat lebih mendekatkan diri pada sang kholiq. Ditahun pertama pernikahannya, tentu saja pahala yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tahun sebelumnya ketika ia masih sendiri.
Bagaimana tidak, bagi seorang istri bulan suci ini adalah ladang amal baginya, untuk lebih mengumpulkan pahala ibadah, karna setiap detik waktu yang ia lalui untuk melayani suaminya akan tercatat sebagai ibadah yang pahalanya dilipat gandakan oleh Alloh SWT.
Kandungan Afifa menginjak 4 bulan, Afifa bersyukur meski dirinya sedang mengandung, tapi dia tetap kuat menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh, dia wanita kuat, tak pernah mengeluh dengan kehamilannya ataupun merengek meminta sesuatu kepada suaminya.
Afifa hamil dengan gezala normal seperti wanita lainnya, muntah-muntah dan sedikit makan, bahkan tak jarang muncul perasaan sangat menginginkan sesuatu yang sepele, mungkin itu hal yang wajar, tapi dia tidak ingin membebani suaminya dengan semua keinginannya, dia berfikir keinginan aneh yang timbul difikirannya itu hanya emosi nafsu sesaatnya saja.
Bukan hal yang aneh jika hal itu terjadi pada setiap wanita hamil pada trimester pertama, Afifa justru bersyukur, masa hamil mudanya tidak separah shofi sahabatnya yang tidak bisa makan nasi sama sekali, dia tidak menolak makanan apapun kecuali bakso, dia akan makan setiap masakan yang disajikan suaminya dengan senyuman, meskipun tidak banyak, bahkan Fauzi merasa heran karna istrinya tidak pernah meminta hal yang aneh menurutnya, sesekali Fauzi membelikan istrinya buah-buahan segar dan sedikit asam, Afifa memakannya dengan sumringah, tapi tidak pernah sekalipun memintanya.
Afifa Fathima Mumtaza...😊
Fauzi Rahman Ramadhan...😊
Bersambung....❤❤❤
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Love you All...⚘⚘⚘😘😘😘
By : @Rahma Khusnul#
Sore hari suasana rumah Afifa ramai dengan keluarga dan para tetangga yang datang atas undangan keluarga kecil yang tengah bahagia ini, mereka datang untuk berpartisipasi dalam acara selamatan 4 bulanan kehamilan Afifa.
Orang tua Afifa dan Fauzi berkumpul begitupun dengan Adik dan Kakak mereka, bahkan Kakak perempuan Fauzi yang berada di Jakarta dan Semarang pun ikut hadir beserta putra-putrinya karena memang masih suasana lebaran, jadi mereka sekalian pulang, kecuali suaminya Kak Dewi yang tidak datang.
Suami Kak Dewi memang tidak begitu dekat dengan keluarga Mama dan Papa, Afifa juga baru satu kali bertemu dengannya, yaitu pada saat Afifa berkunjung kerumah Kak Dewi di Jakarta untuk mencari keberadaan Wulan bersama Fauzi dulu, pada saat pernikahannya pun dia tidak datang.
Akhir-akhir ini Afifa baru tahu, kalau sebenarnya pernikahan Kak Dewi dengan Kak Yana Suaminya tidak direstui oleh Mama Papa, mungkin karena usia Kak Yana yang lebih muda dibanding Kak Dewi, juga karena sebelum menikah dengan Kak Dewi Kak Yana tidak punya pekerjaan tetap serta jauh dari Agama, itu menurut mereka.
Tapi entah mengapa Kak Dewi begitu kekeh untuk menikah dengannya, sampai berani menentang kehendak orang tuanya.
Setelah suaminya yang tidak lain adalah Ayah dari gadis bernama Muthya Nadia Putri, anak semata wayangnya meninggal karena sakit paru turunan dari keluarganya, Kak Dewi meneruskan usaha mebelnya di Jakarta, saat ditinggal suaminya usianya 35 tahun dan Nadia baru masuk kelas 1 SMP, usianya 13 tahun.
Dengan paras Dewi yang cantik, serta memiliki toko mebel di ibukota yang penghasilannya cukup lumayan tentunya banyak pria yang mendekatinya, sampai akhirnya hatinya terpaut dengan sosok pria bernama Mulyana, seorang pemuda berusia 30 tahun asli Jakarta, berasal dari keluarga biasa, namun karena rasa cintanya yang begitu dalam kepada pria itu, dia tidak mempermasalahkan asal-usulnya serta penghasilannya, toh dari usahanya sendiri dia mampu menghidupi keluarganya termasuk calon suaminya kelak.
Tiga tahun sepeninggal suaminya, Kak Dewi menikah lagi dengan Kak Yana, meski tanpa restu dari orangtuanya juga putri satu-satunya yang saat itu sudah beranjak remaja.
Nadia sekolah di salah satu SMU ternama di Jakarta, dengan otaknya yang cerdas membuat dia mudah saja diterima di sekolah manapun sesuai keinginannya, bahkan sejak SD sampai SMP dia selalu juara kelas.
Namun entah mengapa saat dia masuk SMU dan ibundanya menikah lagi dengan pria pilihannya, prestasinya anjlok, sering bolos, dan berkumpul dengan teman-teman gengnya.
Perilaku dan cara perpakaiannya berubah, Tak ubahnya seperti pakaian pria pada umumnya, rambutnya dipotong pendek dan sengaja di cat warna warni, sikapnya cuek tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadapnya, bahkan dia tidak sungkan untuk mengucapkan kata-kata kotor di depan orang tuanya.
Mungkin itu adalah salah satu dari sikap protesnya, karena ibundanya terlalu sibuk bekerja dan perhatiannya beralih pada suami barunya. Kehidupannya yang berada dikota besar membuat ibundanya sulit mengendalikan dirinya, bisa lulus SMU saja ibunya sudah sangat bersyukur.
Diusianya yang sedang labil, selayaknya dia punya sosok panutan, namun sayang dia sama sekali tidak menemukan hal itu disosok ibundanya yang selalu sibuk, apalagi dari ayah tirinya yang sangat cuek padanya dan seolah ingin mengambil alih sepenuhnya perhatian ibunya.
Nadia benar-benar benci dengan ayah tirinya yang menurutnya hanya numpang makan saja dari penghasilan ibunya, dia benar-benar tidak bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya, ibunya harus bekerja keras sedang ayah tirinya hanya santai-santai saja, meski sesekali datang ke toko dia sama sekali tidak membantu, hanya lontang-lantung gak jelas menunjukan sifat malasnya.
Setelah Nadia lulus SMU, Dewi terpaksa menitipkan putrinya di rumah adik perempuannya Hanita di Semarang, dengan harapan sikap putrinya akan berubah, karena memang adiknya itu cukup tegas dalam mendidik anak-anaknya.
Nadia sempat kuliah disana, di sebuah perguruan tinggi pilihan tantenya, namun kelakuannya justru semakin tak terkendali.
Sampai akhirnya dia bertemu dengan Seniornya, meski tidak satu jurusan namun masih satu kampus dengannya, dia adalah seorang ketua Rohis dikampusnya.
Mereka sering bertemu sampai seniornya itu berhasil meluluhkan hatinya, sikapnya mulai berubah, karena nasehatnya, sampai ia mau mengenakan hijab, meskipun kadang-kadang ia lepas diwaktu tertentu karena belum terbiasa.
Nadia sempat menaruh hati padanya, namun sayang, perasaannya tidak ditanggapi oleh seniornya, dia justru hanya dianggap tidak lebih dari seorang adik baginya.
Setelah seniornya lulus, Nadia tidak bersemangat lagi tinggal disemarang, diapun kembali ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta fakultas ekonomi.
Enam bulan yang lalu Pamannya Fauzi berkunjung kerumahnya bersama istrinya Afifa, Nadia sangat kagum dengan sosok Tante barunya yang sebenarnya usianya tidak jauh berbeda dengannya.
Sosok Afifa yang anggun serta tutur katanya yang lembut dan ramah, mampu menyejukan hatinya yang sedang merindukan sosok panutan dalam hidupnya.
Nadia sangat terpesona dengan tantenya itu. Seperti kali ini saat Nadia mendengar kabar akan berkunjung kerumah pamannya dia sangat bersemangat ingin segera bertemu dengan Afifa, akhirnya pas lebaran ini mereka pulang ke Bandung untuk bertemu Kakek dan Neneknya, sekaligus menghadiri acara empat bulanan kandungannya Afifa.
Dirumah Afifa, semua orang sibuk beberes setelah acara selamatan selesai.
“Eh...Anti mau kemana?" Ucap Nadia sedikit berlari menghampiri Afifa membuat rambut kucir kudanya yang berwarna bergerak loncat-loncat, "Bumil duduk manis aja disini, jangan ikutan beres-beres!” Perintah Nadia pada Afifa setelah para tamu undangan pulang. dia memang selalu memanggil tantenya itu dengan sebutan Anti (Aunty) lebih akrab katanya.
“Hmmm...jangan berlebihan Nad, anti kan baru hamil 4 bulan, masih bisa bergerak dengan leluasa,” Afifa tersenyum pada ponakannya.
“Eh...Justru itu masa rentan An, ayo duduk sini aja!” ucap Nadia sambil membimbing Afifa duduk disofa.
“Oke...oke... ponakan ku yang imut dan cerewet”, Ucap Afifa sambil mencubit pipi cabi ponakannya.
Meski sudah duduk dibangku kuliah semester 3 wajah Nadia memang masih terlihat imut, mungkin karena wajah dan matanya yang bulat membuat dia sering disebut babyface oleh teman-temannya, bahkan Fauzi selalu memanggilnya imut, selain karena wajahnya yang imut, juga karena nama depannya Muthya.
Fauzi sangat menyayangi ponakannya itu, dia adalah keponakan pertamanya, selain itu Nadia juga sudah tidak memiliki ayah, sebagai sodara laki-laki dari ibunya dia merasa bertanggung jawab atas Nadia.
Nisa tampak anteng bermain dengan Talita dan cici, sedangkan Dika asyik bermain gadget dengan Rizki. Kak dewi dan Kak Hanita sibuk membantu Bi Yati membereskan piring sisa makanan para tamu undangan, Mama dan Papa sedang berbincang diruang depan bersama Umi dan Abi,begitupun dengan Fauzi, dia terlibat perbincangan serius dengan kakak iparnya Amran, bertanya tentang keadaan Kak Yana yang tidak pulang saat ini.
Nadia masih berbiara dengan Afifa ,“Anti jangan khawatir, pokonya sebelum maghrib, rumah Anti sudah rapi, beres semuanya,” Nadia tersenyum lebar meyakinkan tantenya, jari jempol dan jari tengahnya memetik menimbulkan suara.
“Jadi kamu mau kerjakan semuanya ni?” tanya Afifa tak percaya.
“Bi Yati akan mengerjakan semuanya hehe...” Ucapnya cengengesan sambil mendudukan dirinya disamping Afifa.
“Eh, kirain kamu yang mau beres-beres”, Afifa tertawa melihat tingkah ponakannya.
Sejak Afifa hamil, Fauzi meminta Bi Yati untuk membantu Afifa dirumah, melakukan pekerjaan rumah tangganya yang dirasa cukup berat, Fauzi tidak mau istrinya kecapean karena bekerja, apalagi Afifa harus masih berangkat ke sekolah untuk mengajar, karena Afifa tidak mau cuti berlama-lama selagi ia masih kuat mengajar, dia akan melakukan tugasnya dengan senang hati.
“Hehe...aku belum berpengalaman An.., nanti deh aku belajar dari Anti kalau sudah mau nikah”, Nadia menyandarkan kepalanya ke bahu Afifa.
“Harusnya belajar dari sekarang lo Nad, siapa tau kamu nikah cepet kaya Anti,” Afifa mengelus punggung tangan ponakannya.
“Hmmm...kalau gitu, aku pindah aja deh kuliahnya disini” Jawab Nadia tiba-tiba serius.
“Ya...gak harus pindah juga dong Nad, belajar sama bunda kamu aja kan bisa”, jawab Afifa.
Nadia melipat wajahnya, nampak raut muka sedih diwajahnya, “Bunda terlalu sibuk”, ucapnya.
Afifa merasa heran dengan perubahan sikap ponakannya, wajah bulatnya yang tadi begitu ceria, tiba-tiba saja berubah murung.
“Nad...,” panggil Afifa lembut, tangannya kembali mengusap punggung tangan Nadia, “Bunda sibuk kerja kan demi kamu juga, untuk biaya kuliah kamu, kebutuhan kamu”.
“Bukan hanya sibuk kerja An, tapi ngurusin suami manjanya itu,” Ucap Nadia kesal, sambil menegakkan posisi duduknya.
“SubhanAlloh, jangan bilang gitu Nad, dia kan ayahmu juga, memang seharusnya kan seorang istri ngurusin suaminya,” Ucap Afifa lembut.
“Udah ah... jangan ngomongin dia, bikin bad mood aja,” Nadia masih cemberut, kembali menyenderkan kepalanya dipundak Afifa.
Afifa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Fauzi datang menghampiri mereka, “Hei...anak nakal, ngapain manja-manja sama istriku?” ucap Fauzi sambil memelototi ponakannya.
Nadia mendongak, “He...inikan Antiku, ya kan An?” sambil mendelik, masih tetap dalam posisinya.
“Eh...minggir-minggir...! nanti anakku bisa terkontaminasi kenakalanmu”, Fauzi mengibas-ngibaskan tangannya.
“Apaan si Paman? ganggu aja, aku kan lagi pengen manja-manjaan sama Anti”. Nadia malah memeluk Afifa.
“Hus...hus geser sana!” Fauzi berusaha mendorong tubuh Nadia.
Nadia terpaksa menggeser duduknya, menepi ke sisi lain sofa panjang itu, wajahnya semakin ditekuk. “Ih...dasar pelit”, Ucapnya.
“Biarin”, ucapnya cuek sambil melingkarkan lengannya ke bahu Afifa.
Afifa hanya tersenyum melihat perdebatan antara Paman dan Ponakannya itu.
“Kamu capek ya sayang?” tanya Fauzi kemudian kepada istrinya.
“Enggak, aku baik-baik saja”, Afifa mendongak melihat ke arah Nadia yang masih cemberut. “Ponakan kita yang cantik itu gak ngizinin aku melakukan apapun”, ucapnya sambil tersenyum ke arah Nadia.
“Ho...begitu ya?” Fauzi menoleh sekilas pada ponakannya. “Tapi kamu harus hati-hati lo sayang, pasti dia ada maunya”.
“Hei...! Paman nyebelin deh, curigaan amat sama ponakan sendiri, bukannya terimakasih udah jagain istrinya”. Nadia memukul bahu pamannya karena tak terima dengan ucapannya.
“Ha ha ha...” Fauzi tergelak melihat tingkah Nadia yang kesal.
“Jangan gitu sayang, kasian Nadia tuh, wajah cantiknya jadi hilang karena ditekuk”, ucap Afifa pada suaminya, senyuman terukir dari bibirnya kembali memunculkan dua titik dikedua pipinya.
“Gak papa, udah biasa diamah, selalu cemberut” ledek Fauzi.
“Aaaaaa... Paman...!” Nadia mengepalkan telapak tangannya, lalu memukul bahu pamannya bertubi-tubi.
“Aw...aw...sakit Imuuuuuut...!” Fauzi berteriak, berbalik kearah Afifa, memeluknya dan pura-pura berlindung di tubuh mungil istrinya.
“Jangan panggil Imut! aku sudah dewasa...!” teriak Nadia semakin kesal.
Fauzi mendongak”, Ha ha...dewasa dari mananya? Badannya aja yang gede, otaknya masih kayak anak-anak”.
“Sayang, jangan keterlaluan ih”, Afifa menimpali.
“Anti..., lihatkan Paman ngeledekin aku terus”, Nadia mulai merengek.
Afifa hanya bisa menggeleng.
“Eh Imut, lagian ya, kalau seorang perempuan udah dewasa itu, harusnya tau mana yang benar dan mana yang salah, lha ini aurat aja gak ditutup di depan laki-laki yang bukan muhrim,” Fauzi mengibaskan rambut Nadia yang berkucir kuda berwarna pirang karena cat.
“Ih...,ini tu model rambut terbaru Paman, lagian aku kepanasan pake kerudung”, Nadia membela diri.
“Panas mana sama api neraka yang akan membakar rambut kamu? Dan ini lagi celana jeans ketat kamu, yang membentuk badan kamu, itu sama saja dengan tidak berpakaian Imuuuut”. Fauzi mengacak-acak rambut ponakannya.
Nadia terdiam, nampak bibirnya maju beberapa centi, “Jadi aku harus pake gamis kayak Aunty tiap hari gitu?”
“Ya gak begitu juga Nad, yang penting sopan jangan sampai memperlihatkan auratmu didepan pria lain yang bukan muhrim”, Afifa menimpali.
“Tapi celanaku juga panjang An”, Ucap Nadia sambil meraba celana jeans yang dikenakannya.
“Meskipun terbungkus dengan kain, kalau memperlihatkan lengkuk tubuhmu itu sama saja dengan aurat Nad”, jelas Afifa.
“Oh...begitu ya, terus gimana dengan nasib celana jeansku? Sayang banget kalo gak dipake”, Nadia nampak berfikir.
“Ah...kebanyakan mikir kamu, ayo sana mandi udah mau sore!” perintah Fauzi.
“Iya deh”, Nadia berdiri lalu berjalan menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi belakang, wajahnya masih terlihat berfikir.
Sepeninggal Nadia, Fauzi mengajak Afifa masuk ke kamarnya. “ Sayang, kamu pasti capek, ayo istirahat sebentar sambil nunggu maghrib”, dia mengulurkan tangannya ke arah istrinya.
Afifa mengangguk lalu meraih tangan suaminya, keduanya berjalan menuju kamarnya.
Afifa naik ke atas tempat tidur, meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya. Fauzi ikut duduk disampingnya, membiarkan kepala istrinya bersandar dilengannya.
“Sayang...," panggil Fauzi.
“Ya?”
“Tak terasa ya, hampir setahun kita menikah, dan sebentar lagi, buah hati kita akan hadir ditengah-tengah kita, menambah keceriaan dirumah ini”, Fauzi mengusap perut Afifa yang masih rata namun mulai mengeras.
“ Iya,” Jawab Afifa singkat, senyuman terukir dibibirnya.
Fauzi mengangkat tangannya dan melingkarkannya kebahu istrinya, mencium kening Afifa dan memeluknya dengan erat.
Afifa memejamkan matanya, menikmati setiap detik kehangatan tubuh dan aroma khas dari suaminya.
*****
Bersambung...😊⚘⚘⚘...
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hai Readers...😘
Jangan lupa boom like dan kasih Vote buat author ya...😉
dan tetap selalu kasih komentar, biar Author tambah semangat...
Love You All....❤❤❤⚘⚘⚘😘
By : @Rahma Khusnul#
Happy Reading...⚘⚘⚘
Sore menjelang maghrib, dua insan masih duduk bersama diatas peraduan, diselimuti kenyamanan dan kehangatan dari pelukan pasangan halalnya.
"Bruk...!"
"Bundaaaa...!"
Suara benturan keras disusul teriakan seseorang mengagetkan Fauzi dan Afifa yang masih didalam kamar.
Keduanya tersentak dan langsung bangkit, "Apa itu Kak?" tanya Afifa memandang cemas kearah suaminya.
Fauzi nampak kaget, "Sebentar!" Ucapnya sambil memegang tangan istrinya. "Kamu tenang, jangan panik", Dia segera turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar menuju sumber suara.
Afifa yang penasaran tak mampu menghentikan langkahnya mengikuti suaminya.
Kegaduhan bersumber dari dapur, Nampak semua orang berkerumun mengitari tubuh seorang perempuan yang tergeletak disamping kamar mandi belakang, seorang gadis menangis tersedu-sedu memeluk tubuh wanita itu.
Tubuh Mama nampak berguncang membelakangi arah kedatangan Afifa, dia menangis memegang tangan perempuan itu sambil sesekali memanggil namanya.
"Dewi..., bangun Nak, kamu kenapa?" Ucap Mama disela tangisnya.
Afifa menghampiri kerumunan itu, "Kak Dewi?" Gumam Afifa, "Kak Dewi kenapa?" Afifa segera menghampiri tubuh kakak iparnya yang sedang berusaha diangkat Fauzi dan Papa.
"Kita bawa ke Rumah Sakit sekarang", Kata Fauzi, matanya menatap semua orang yang hadir disana tanda meminta persetujuan. Semua orang mengangguk.
Afifa menghampiri Nadia yang sedang menangis dipelukan Mama, Kak Hanita turut menenangkan Nadia disampingnya. Begitupun dengan Umi dan Abi serta yang lainnya.
"Dek..., ambil kunci mobil! biar Kak Arman mengeluarkannya dari garasi", pinta Fauzi pada istrinya, "Sama tas dan ponsel juga".
Afifa yang hendak berjongkok menghampiri Nadia kembali berdiri, lalu segera masuk kekamarnya untuk mengambil kunci mobil, tas dan ponsel suaminya, tak lama ia kembali, "Ini Kak", ucapnya sambil menyerahkan kunci itu kepada kakak iparnya.
Arman mengangguk dan bergegas menuju garasi.
Lalu Afifa menghampiri suaminya untuk memberikan tas dan ponselnya, "Ini Kak," ucapnya.
Fauzi segera memasukan ponsel kedalam tas kecilnya, lalu mengalungkannya dileher.
"Kak Dewi kenapa Kak?" tanya Afifa penasaran.
"Entahlah, Mama bilang dia tiba-tiba pingsan saat mau masuk kamar mandi", Jelas Fauzi.
"Bukan kepeleset?" tanya Afifa lagi.
"Bukan, tidak ada yang basah ataupun licin disini"
Afifa terdiam, matanya berkeliling, barangkali saja ada sesuatu yang menjadi penyebab jatuhnya Kak Dewi, Namun dia tidak menemukan apapun.
Telinga Afifa mendengar suara Cici samar-samar menangis, nampak dipojokan Nisa sedang menenangkan Cici juga Talita yang ketakutan.
Nadia masih menangis diantara kerumunan orang yang berusaha menenangkannya, Afifa ingin sekali ikut menenangkan ponakannya, namun matanya kembali menatap anak-anak itu, mereka sama sekali tidak didampingi orang dewasa, padahal nampak jelas ada rasa takut dari wajah mereka.
Dia segera menghampiri anak-anak itu, lalu berjongkok dengan lutut sebagai tumpuannya berdiri, "Kalian tenang ya, tidak akan terjadi apa-apa, mungkin tante Dewi hanya kecapean", Ucapnya, seulas senyum tak lupa ia sunggingkan dari bibir manisnya, Kedua tangannya direntangkan untuk memeluk ketiganya.
"Wa Dewi akan bangun lagi kan anti?" Tanya Cici polos disela isakannya. Anak berumur 5 tahun itu menatap Afifa penuh tanya.
Afifa melepaskan pelukannya, lalu meraih tubuh Cici dan mendudukannya diatas pangkuannya. "Iya sayang, Makanya Cici jangan nangis, lebih baik kita berdo'a agar Wa Dewi cepet bangun lagi". jari Afifa mengusap sisa air mata yang masih tersisa di pipi anak itu.
"Bunda..., memangnya tante Dewi kenapa?" Tanya Talita.
Mata Afifa menatap Talita yang masih berdiri mematung dihadapannya. "Gak papa sayang, Paman Akan segera membawanya ke Rumah Sakit untuk diobati agar cepat sembuh", Afifa tersenyum, "Ayo Talita juga sini, peluk Bunda", Tangan Afifa merentang untuk beraih tubuh Talita.
Talita tersenyum dan menghambur kepelukan Afifa.
"Nisa kok diem aja?" Afifa melirik adiknya.
"Hehe...iya teh, Nisa gak papa kok", Ucap Nisa sambil tersenyum pada Kakaknya.
Talita sengaja dijemput oleh Afifa kerumah Wulan, karena akan ada acara selamatan 4 bulanan dirumahnya. semenjak pertemuan mereka, Afifa dan Talita semakin dekat, tak jarang setiap malam minggu Talita menginap di rumah Afifa, apalagi kalau Wulan sedang ada acara keluar kota, sepertinya Wulan lebih mempercayakan putrinya bersama Afifa dibanding bersama pegawainya Rina yang memang sering teledor menjaga putrinya.
"Tidid...tidid...!" Suara klakson mobil dari luar rumah.
"Itu mobilnya sudah siap Zi" Kata Papa pada putranya.
"Iya Pah..., biar Aji yang angkat Kak Dewi," Ucapnya, Fauzi tak merasa kesulitan mengangkatnya, karena memang tubuh Kak Dewi jauh lebih kurus dari sebelumnya.
"A...Aku, i...kut Paman", Ucapan Nadia terbata-bata karena tangisannya.
Fauzi mengangguk.
"Mama juga ikut", Ucap Mama sambil bergegas mengambil tas dan menuntun Nadia menuju pintu depan, "Nita dan Afifa tunggu dirumah, jaga anak-anak!" Pinta mamah kepada putri keduanya dan menantunya.
Mama kembali menoleh kebelakang, dilihatnya Umi dan Abi yang juga ikut cemas, "Umi dan Abi maaf ya, jadi ikut cemas, saya tinggal dulu", pamitnya kepada Umi dan Abi Afifa.
"Gak papa bu, silahkan", Ucap Umi dan Abi sambil mengangguk.
Semua orang mengantar ke teras rumah menatap mobil yang sudah siap membawa Dewi.
Fauzi kembali turun setelah menidurkan kakaknya didalam mobil, dia berlari menghampiri istrinya, "Dek..., aku pergi dulu ya, kamu jangan banyak fikiran dirumah, tenang saja, semuanya pasti baik-baik saja".
"Iya Kak," Afifa mengangguk dan meraih tangan suaminya, menyalaminya dan menciumnya.
"Talita baik-baik dirumah sama Bunda ya", pandangan Fauzi beralih pada Talita yang setia bergelayut dilengan Afifa, tangannya mengusap pucuk kepala anak itu, lalu tersenyum.
Talita hanya mengangguk.
Fauzi berpamitan pada umi dan Abi juga yang lainnya. lalu setengah berlari menuju mobil. Mobil itupun melesat meninggalkan kediaman Afifa menuju Rumah Sakit.
Afifa dan yang lainnya masih berdiri menatap mobil hitam itu diteras sampai tak terlihat lagi.
Tak lama adzan maghrib berkumandang, merekapun masuk rumah dan segera melaksanakan kewajibannya.
Setelah sholat maghrib Umi dan Abi berpamitan hendak pulang, karena malam ini Abi harus mengajar ngaji anak-anak di suraunya.
Dengan berat hati Afifa pun mengizinkan keluarganya pulang.
Setelah pekerjaan dirumah Afifa beres, Bi Yati juga berpamitan pulang ke Ruko toko.
Dirumah Afifa hanya tersisa Kak Hanita dan kedua putranya, juga Talita yang memang sudah berencana menginap dirumahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 8 malam, tapi belum juga ada kabar tentang Kak Dewi, Afifa duduk bersama Hanita di sofa, Anak-anak sedang tiduran didepan televisi menyaksikan acara paforitnya.
"Kok belum ada kabar ya Fa?" ucap Kak Hanita.
"Iya, Fifa telphon Kak Aji ya Kak". Jawab Afifa sambil mengambil ponselnya yang tergeletak dimeja.
Hanita mengangguk dan bersiap mendengarkan adik iparnya bicara lewat ponselnya.
Tak butuh waktu lama, panggilan tersambung.
"Assalamualaikum Dek..."
"Waalaikum Salam, Gimana keadaan Kak Dewi Kak?"
"Dia sudah siuman, tapi sekarang sedang diperiksa kembali memastikan penyakitnya, dokter bilang dari hasil rontennya ada kelainan dibagian paru, kita juga masih menunggu hasil lebnya besok".
"MasyaAlloh...semoga semuanya baik-baik saja"
"Aamiin..."
"Nadia gimana Kak? aku khawatir sama dia"
"Dia sedang ke mesjid sholat isya".
"Syukurlah, Kak Aji mau nginep di RS?"
"Kemungkinan iya, kasian Muthya sendiri, Mama sama Papa biar pulang dulu diantar Kak Arman".
"Iya Kak, hati-hati ya, jangan lupa kasih kabar kalau ada perkembangan ataupun sesuatu yang terjadi sama Kak Dewi".
"Iya sayang, kamu juga hati-hati dirumah, jaga diri dan calon anak kita, juga Talita".
"Iya Kak, Assalamualaikum".
"Waalaikum Salam".
Afifa menutup telphonnya, dia menatap Hanita, "Hasil rontennya menunjukan ada kelainan pada parunya Kak Dewi".
"Apa mungkin penyakitnya menular dari ayahnya Nadia ya Fa?" Hanita nampak berfikir.
"Apa ayah Nadia juga punya penyakit paru Kak?" Tanya Afifa yang memang belum pernah mengenal ayah Nadia.
"Iya, beliau meninggal karena penyakit itu", jelas Hanita.
"Oh...jadi begitu, berarti kemungkinan itu sangat besar Kak", ucap Afifa, " Semoga saja dokter bisa menyembuhkan Kak Dewi".
"Aamiin..., kasian Nadia, ayahnya sudah meninggal, sekarang ibunya sakit". Hanita nampak merenung.
"Apa suami Kak Dewi sudah diberi tahu?" tanya Afifa lagi.
"Mungkin sudah sama Nadia, Kakak juga gak tahu nomornya", Jelas Hanita lagi.
Akhirnya mereka berdua terdiam dalam fikirannya masing-masing, sampai anak-anak meminta untuk tidur karena malam sudah larut.
**********
Bersambung...❤⚘⚘⚘...
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hai Readers... komentarnya aku tunggu lho.
Bukan apa-apa, memang itu yang bikin Author semangat menulis, meski cuma satu kata, boleh kritik ataupun saran...untuk menambah kwalitas novel ini...😊
Terimakasih...😊kalian sudah meninggalkan jejak disini😘😘😘
Like, Vote dan tekan bintang 5nya tetap kutunggu 😊
Love you All...❤❤❤⚘⚘⚘
By : @Rahma Khusnul#
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!