NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Suamiku

Pernikahan mendadak

Habibah POV~

Berawal dari masa lalu yang tidak pernah aku ketahui.

Aku di besarkan di sebuah pesantren milik Bibi Rumini yang sedari kecil sudah ku anggap sebagai Ibu, dan Paman sebagai Ayah bagiku. Kehidupan sederhana yang membuatku nyaman, telebih lagi kakek Raharja yang tinggal di kota selalu datang berkunjung setiap akhir pekan, begitulah setiap waktu hingga aku dewasa.

Sampai akhirnya hari itu tiba.

"Nona habibah, Tuan Raharja meminta anda pulang ke rumahnya, rumah Anda juga. Beliau sedang sakit keras." Seorang laki-laki paruh baya datang menjemput.

"Pergilah, mungkin sudah waktunya." begitu Bibi Rumini memintaku ikut.

Pergi dengan hati yang berat, tiba dengan hati yang sedih.

*Tanpa tahu apapun, bahkan seumur hidup aku tidak pernah datang ke kota besar ini. Ternyata kehidupan Kakek Raharja jauh berbanding terbalik dengan kehidupanku bersama Bibi Rumini, Dia adalah seorang pengusaha ternama yang membuat hidupku berubah.

Tapi tidak lebih baik, melainkan penderitaan dan kesedihan dalam hidupku baru saja di mulai. ~

*

*

*

Habibah, gadis itu berdiri menatap kakek tua yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat terlihat sangat kurus. Tubuh kakek tersebut lemas tak mampu bergerak, hanya masih bisa melihat dan berbicara sedikit, suaranya pelan sekali. "Kakek hanya ingin melihatmu menikah dengan Bram Aditya."

Derai air mata tak henti berjatuhan malah semakin deras ketika mendengar ungkapan kakek tentang permintaan menikah pada seorang laki-laki yang dia sendiri tidak pernah melihatnya. Putra dari salah seorang asisten kakek Raharja.

"Habibah hanya ingin kakek sembuh." jawab Habibah dalam Isak tangisnya.

Senyum tipis terlihat dari wajah tua yang sudah sekarat, tapi berusaha bertahan sekuat tenaga.

"Putraku sudah tiba, Tuan."

Seorang laki-laki paruh baya berperawakan tinggi memberitahukan, beliau adalah ayah dari Bram Aditya, laki-laki yang akan dinikahkan dengan Habibah.

Kakek Raharja hanya memiliki Habibah sebagi pewaris atas perusahaan dan semua aset yang dia miliki, sayangnya harus disembunyikan sang kakek karena Ayah Habibah tinggal di di Singapura bersama istri kedua yang penuh ambisi, tak segan melakukan apa saja untuk menguasai semua hartanya, membuat sang kakek tidak ingin keberadaan habibah di ketahui, takut cucu satu-satunya terancam karena dia adalah pewaris sebenarnya. Belum lagi sebab kematian ibu Habibah belum terkuak hingga saat ini.

"Siapkan semuanya." Perintah pria paruh baya itu kepada bawahannya yang setia berdiri tegak di depan pintu.

Hanya beberapa saat saja, suasana di ruangan itu berubah tegang ketika pria bernama Bram memasuki ruangan.

'Dia tampan.'

Tangan kokoh Bram sudah bertaut dengan tangan tua kakek Raharja. Dengan tubuh lemas kakek tersebut menyandar di tumpukan bantal yang tinggi, mengucap ijab dengan pelan hingga beberapa detik setelahnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Habibah binti Rudy Utama dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!"

Air mata menetes bersamaan dengan kata SAH, dari beberapa orang yang sengaja dihadirkan di ruangan itu.

"Alhamdulillah, ya Allah." ucapan yang terdengar bahagia diantara nafas yang sambung menyambung. Senyum terbit bak bulan sabit di bibir keriput kakek Raharja, namun kemudian nafas yang tertarik itu tak keluar lagi.

"Kakek." Panggil Habibah dengan nafas yang tercekat pula.

Dan ketika itu pula detik jam berhenti seolah memberi waktu untuk Habibah memanggil dan menjeritkan panggilan kesayangan. Bayangan kebersamaan dengan sang kakek ketika selalu mengunjungi Habibah di rumah pamannya sejak ia masih kecil, setiap akhir pekan selalu datang dengan senyum dan banyak sekali hadiah bahkan untuk seluruh anak pesantren milik pamannya. Tapi sekarang sudah pergi..

"Kakeeek!!"

Kali ini ia berteriak karena laki-laki tua yang menyandar itu tak memberikan respon apa-apa.

"Nona, Tuan Raharja sudah pergi." Begitu dokter dan asisten sang kakek berkata.

Tangisnya menggema memenuhi ruangan bercat putih itu, tubuhnya lemah hingga tersungkur di sisi ranjang yang menjadi saksi bisu bagaimana laki-laki tua itu berjuang melawan sakit dan sesak, hingga akhirnya menikahkan cucu satu-satunya.

Hari-hari berikutnya terasa semakin hampa. Belum lagi Habibah harus bekerja sebagai seorang sekretaris di perusahaan yang seharusnya adalah miliknya.

"Perlahan saja, jangan memaksakan jika sudah lelah maka kau boleh pulang."

Begitu ucapan pria paruh baya itu membimbing menantunya.

"Aku harus bisa Ayah, mana mungkin aku pulang sedangkan Ayah masih sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk."

Suara halus dan perangai yang menenteramkan membuat ayah mertuanya sangat menyukai Habibah.

"Minggu depan Ayah Nona akan datang dari Singapura."

Habibah mengangkat kepalanya dengan banyak berpikir.

"Seperti pesan Tuan Raharja, keberadaan Anda harus dirahasiakan dan Anda akan menjadi sekretaris Tuan Rudy Utama hingga waktunya tiba." jelas Frans kepada Habibah.

"Aku tahu Ayah." Habibah kembali menunduk sedih. "Tapi apa yang membuat kakek tidak memberi tahu Ayah tentang diriku, bukankah saat ini aku sudah cukup dewasa?"

"Karena di sampingnya ada seorang wanita licik, kau tidak akan bisa berbuat apa-apa apalagi melawannya ketika kau sudah menjadi bagian dari keluarga baru ayahmu. Jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa dirimu adalah putri dari Rudy Utama sebelum waktunya." jelas Frans ayah mertua Habibah.

Tentu saja Habibah hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan Frans, lagi pula dia tak tahu apa-apa tentang perusahaan dan entah apalagi sehingga harus bekerja dan bersandiwara dalam waktu bersamaan.

Rudy Utama menikah lagi dengan seorang wanita muda. Mereka juga memiliki seorang anak perempuan yang juga seumuran Habibah. Tak hanya itu, Berkas penting perusahaan pun di bawa oleh Rudy dan istri keduanya sehingga ketika Raharja meninggal maka mereka akan menguasai semuanya.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa?" wajah cantik nan polos itu terlihat bingung.

"Ada Ayah dan beberapa orang yang akan membantumu." jawab Frans meyakinkan Habibah.

Belum ada bahagia yang datang mendekat.

Pahitnya hidup sejak lahir itu belum juga berakhir, malah bertambah lagi saat sudah menikah dengan Bram. Pria yang belum dikenal Habibah sama sekali. Dia tidak peduli dengannya meskipun tak memperlihatkan perangai buruk, namun hubungan yang bahkan belum berkenalan, hanya tahu nama ketika akan mengucapkan ijab kabul hari itu, membuat keduanya selalu berada dalam suasana canggung di setiap harinya. Bahkan malam pengantin baru itu berlalu begitu saja.

Pukul 21:30 Habibah pulang diantarkan ayah mertuanya. Lelah dan mengantuk, begitu yang dirasakan Habibah akhir-akhir ini. Tak ada lagi hidup aman dan sederhana seperti sebelumnya.

"Assalamualaikum." ucapnya lirih, tak berharap ada yang mendengar, karena asisten rumah tangganya sudah tentu ada di belakang. Dan suaminya mungkin ada di kamar, atau juga sedang keluar seperti saat malam sebelumnya, ia pergi dan pulang hingga larut malam.

Habibah memilih tidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu, membiarkan kerudung yang mengikat erat itu tak longgar sedikitpun dan tertidur sendirian.

Di ajarkan untuk selalu menjadi wanita yang baik dan penurut, hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan belajar sehingga tak terlalu kenal bagaimana kehidupan luar yang liar.

Tapi ternyata begitu sulit memahami dan mengerti bagaimana kehidupan Bram suaminya.

Sosok pria yang tertutup, namun terlihat hangat ketika menerima telpon dari teman-temannya.

Malam itu Bram sudah siap dengan pakaian yang rapi.

"Mau kemana Mas?" tanya Habibah di malam akhir pekan, Bram sudah siap pergi, tubuh tegap dan wajah indo yang tampan. Sungguh jika boleh jujur, Habibah menyukainya, menginginkan bersamanya, tentu itu tak aneh karena Bram adalah suaminya.

"Hanya bertemu teman yang baru pulang dari London, maaf aku tidak bisa mengajakmu karena mereka tahunya aku belum menikah."

Tadinya ingin menghabiskan waktu berdua, namun urung dengan kekecewaan. Jangankan berbicara, melirik saja Bram tak mau lama.

Habibah tersenyum sedikit, tak mau membahas perasaannya apalagi sampai berdebat. Mungkin memang mereka butuh waktu untuk dekat.

Lamunan Habibah menghantar kepergian mobil berwarna silver milik Bram yang kian menjauh hilang.

Mendadak malam yang biasa-biasa saja itu, kini menjadi sepi, gelap dan membuat sesak di dada. Tanpa sadar jika seorang Habibah yang polos sudah jatuh cinta.

*

*

*

⭐🌟🌟🌟 Karya baru othor sudah terbit ya, jangan lupa like, vote, dan favoritnya...

Terimakasih....

Ingin menikah lagi

Akan tetapi sebuah kebetulan mempertemukan mereka malam itu pula, Habibah pergi makan malam diluar atas permintaan ayah mertuanya bersama rekan kerja mereka di sebuah cafe.

Meja yang di pesan khusus itu sudah di kelilingi beberapa orang, menunggu kedatangan Habibah yang sedikit terlambat.

Mereka berbincang hangat membahas tentang pekerjaan mereka. Namun kemudian sedikit terganggu dengan canda tawa terdengar riuh dari orang yang duduk di meja berseberangan, beberapa orang pria dan seorang wanita yang tampil cantik dan glamor, memakai gaun berwarna hitam terbuka dengan rambut hitam tertata rapi.

Dan yang menyita perhatian Habibah adalah pria yang duduk menempel dengan wanita tersebut.

"Mas Bram!"

Ternyata Bram memiliki wanita selain Habibah.

Bram tampak bahagia, tertawa lepas sesekali wanita itu menyandar dan tangan hangat Bram memeluknya mesra.

Cemburu, marah dan benci. Namun sepertinya itu sia-sia, Bram tidak mencintainya. Tak pantas rasanya seorang wanita memperlihatkan cinta dan cemburu lebih dulu, terlebih lagi suaminya memiliki wanita lain yang dicintai.

Tapi semakin tak tahan rasanya membiarkan suaminya terlalu lama duduk mesra di seberang sana. Habibah beranjak dari duduknya menghampiri meja tersebut.

"Mas Bram."

Habibah menatap tajam pada Bram yang tampak terkejut, terlihat kekecewaan di wajahnya walau tersenyum sedikit berusaha menguatkan hati yang sudah terhenyak begitu landas.

"Habibah!"

Bram berdiri segera melepaskan tangannya dari bahu gadis disampingnya, tenggorokannya mendadak kering dengan kehadiran wanita berhijab yang merupakan istrinya.

Habibah menatap wanita di samping suaminya yang juga berdiri.

"Siapa dia Bram?" tanya gadis itu menatap tak suka pada Habibah.

Tanpa menjawab Bram meraih bahu Habibah dan mengajaknya segera keluar, tentu saja dia takut jika Habibah mengungkapkan bahwa ia adalah istrinya.

"Bram!" Wanita yang baru saja lepas dari pelukan Bram itu berteriak tak terima ditinggalkan begitu saja.

"Bram!"

Namun tak di dengar. Langkah yang cepat itu tak kalah cepat dengan detak jantung keduanya yang seolah sedang berlari.

"Masuklah." perintah Bram tak terlalu memperhatikan wajah istrinya yang sedang menahan tangis.

"Jangan sampai menangis." begitu Habibah menahannya sekuat hati.

Sepanjang jalan pulang keduanya hanya membisu hingga beberapa saat kemudian tiba di rumah mewah Habibah.

Habibah keluar dari mobil suaminya dengan langkah pelan, ya langkahnya selalu pelan seperti tutur katanya, tapi tidak untuk kali ini.

"Habibah."

Suara bariton Bram membuat Habibah berhenti di depan pintu kamarnya.

Seolah bingung dengan apa yang akan di sampaikan, ucapan pria itu terjeda.

Habibah berbalik menghadap suaminya, tentu ia tahu Bram sedang bingung harus berbicara apa.

"Mas Bram."

Panggilnya, membuat laki-laki itu menatap wajahnya, panggilan Habibah sedikit membebaskan ia dari kecanggungan.

"Tolong hargai pernikahan kita, jangan membuat malu diri sendiri dengan hubungan yang jelas membuatmu rugi."

Pelan namun terasa menganggu seorang Bram Aditya.

"Haram bagimu menyentuh wanita yang bukan siapa-siapa." lanjut Habibah.

"Dia kekasihku sejak lama Habibah, jauh sebelum ayahku menjodohkan aku denganmu."

"Tapi saat ini posisinya sudah berbeda, dia hanya orang asing diantara pernikahan kita."

"Perjodohan Habibah! Aku hanya menuruti keinginan Ayahku, jelas jika aku tidak mencintaimu." ucap Bram penuh penekanan.

"Apapun itu Mas Bram, Sebagai wanita yang sudah menjadi istrimu aku tak akan membiarkan suamiku menyentuh wanita lain yang bukan siapa-siapa bagimu."

"Tapi untuk menyentuhmu aku tidak bisa." Bram membuang pandangannya.

"Ada banyak hak seorang istri Mas. Kau mempertahankan gadis itu hanya karena dia kekasihmu sejak masih menempuh pendidikan di London, maka kau tak perlu belajar sejauh itu untuk mengetahui hak seorang istri."

"Habibah_"

"Aku pun tidak mencintaimu!" bohong Habibah berusaha menekan perasannya."Tapi aku akan mencintai apa yang menjadi milikku, bukan hal yang aku sukai tapi tak baik bagiku, bukan milikku. Apakah kau tidak bisa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan padamu?"

Tak menyangka seorang Habibah yang polos bisa menceramahi seorang Bram Aditya yang selalu ingin benar, cenderung keras kepala.

"Dia haram untuk kau peluk seperti itu."

"Kalau begitu aku akan menikahinya."

"Aku tidak setuju!" ucapnya begitu tegas. Bibir tipisnya tertarik sedikit, menampilkan senyum penuh kekuatan seorang wanita.

Bram terpaku melihat Habibah yang meninggalkannya masuk ke dalam kamar.

Tentu saja Bram tahu jika Habibah menyukai dirinya, dia bukan laki-laki yang tak peka, tapi tak menyangka pula Habibah bisa sekuat itu saat berhadapan dengan Bram, apalagi ketika Bram mencoba menekan Habibah dengan permintaan menikah lagi.

*

*

*

Kantor Media utama tampak ramai di pagi itu, banyaknya karyawan kantor mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tak terkecuali Habibah sudah datang tanpa dihantarkan suaminya, padahal ia juga mulai bekerja di kantor tersebut sesuai permintaan ayahnya, Bram harus bekerja di kantor yang sama dengan Habibah.

Habibah berjalan menuju ruangan asisten sekaligus ayah mertuanya.

"Kau pikir ayah tidak tahu jika semalam kau masih berhubungan dengan wanita itu?" suara Frans terdengar marah di dalam ruangannya.

"Aku tidak bisa mengabaikannya Ayah, dia kekasihku sejak awal dan aku mencintainya, bukan Habibah." jawab Bram tak mau menerima begitu saja kemarahan Frans Ayahnya.

"Tapi sekarang Habibah istrimu." ucap Frans lagi pada putranya.

"Aku tahu Ayah, tapi Larisa kekasihku. Mengapa ayah lebih memilih Habibah daripada Larisa. Jika Ayah memilih Habibah karena dia bekerja, tentu kau juga tahu jika Larisa adalah pewaris dari perusahaan ini."

"Tidak Bram! Jauhi Larisa sebelum kau menyesal. Ayah tahu jika hanya Habibah yang pantas untuk dicintai, bukan dia!"

"Apa yang membuat Habibah istimewa?" tanya Bram lagi masih tidak terima.

"Harusnya seorang suami lebih tahu daripada aku. Sebaiknya kau pikirkan baik-baik sebelum kehilangan berlian hanya karena emas palsu yang lebih berkilau." Frans mengingatkan.

Bram mendengus kesal, keluar dengan langkah terburu-buru menuju ruangannya. Marah dan kesal membuatnya tak memperhatikan Habibah yang mengecilkan tubuh langsingnya di balik ruangan itu.

Belum habis semalam ia menangisi kenyataan jika Bram lebih menginginkan wanita itu daripada dirinya yang sudah sah sebagai istri, sekarang malah semakin diperjelas dengan pertengkaran Bram dengan ayah mertuanya. Rasanya tak mungkin cintanya akan terbalas.

Lalu wanita itu, jika dia di sebut pemilik perusahaan ini artinya dia adalah?

Habibah semakin terhenyak dengan banyaknya masa lalu yang terkuak dengan sendirinya.

Jika dulu ibu Larisa sudah merebut ayahnya, lalu sekarang? Putrinya juga akan merebut Bram dari dirinya.

"Habibah."

Frans memergoki menantunya masih berdiri terpaku, dapat dipastikan jika Habibah mendengar perdebatan ia dan Bram. Frans hanya bisa menatap Habibah dengan iba.

Menunduk menatap dirinya sendiri.

'Ternyata kehidupanku yang sebenarnya sangat menyedihkan, menyakitkan dan penuh kecurangan. Rasanya aku ingin mundur...'

Terdengar suara langkah kaki mendekati mereka.

"Pak, Frans, Tuan Rudy Utama sudah tiba." sekretaris Frans datang memberitahukan.

"Baiklah." Frans kembali menatap Habibah menantunya, menarik nafas berat.

"Bersiaplah Nak, perang yang sesungguhnya akan di mulai."

Rasanya, hari-hari akan semakin berat untuk di jalani Habibah, walaupun sejak beberapa hari terakhir ia berharap untuk segera bertemu dengan ayahnya. Tapi kedatangan ayahnya malah membawa seorang wanita pula untuk merebut Bram suaminya.

Ceraikan istrimu

"Ambil milikmu, rebut kembali Ayahmu."

Ucapan sang ayah mertua seolah menyentak, seperti musik yang mengejutkan Habibah merasakan jantungnya berdegup keras untuk pertama kali. Menguatkan tapi juga kesakitan hatinya, ingin segera melihat bagaimana wajah laki-laki yang telah menyia-nyiakan ibu dan dirinya.

Habibah menyeka air matanya kembali. "Aku harus kuat." melangkah menuju lobby kantor Utama.

Di sana semua karyawan sudah berbaris rapi tak terkecuali Bram, pria itu berdiri paling depan dengan wajah tampannya menjadi pusat perhatian. Habibah hanya meliriknya sedikit.

"Selamat datang Pak Rudy Utama" Frans menyapa direktur baru itu dengan hormat.

"Terimakasih." jawabnya dengan senyum tipis, sungguh berbeda dengan Raharja yang berwibawa.

"Mulai hari ini aku yang akan memimpin perusahaan ini, mohon kerja samanya." Rudy berbicara dengan banyak staf yang berbaris tak terkecuali Habibah yang berdiri di urutan kedua setelah Frans. Kemudian mengikuti Rudy berjalan menuju ruangannya.

Pria itu duduk di kursi kebesaran ayahnya, menatap sekeliling lalu berhenti di sebuah foto.

"Beliau berpesan untuk menjaga semua yang ia tinggalkan." ucap Frans.

"Aku tahu, dan aku menyesal karena telah meninggalkan Ayahku dalam waktu lama." ucapnya pelan.

Habibah mengangkat kepalanya, menatap wajah Direktur baru itu sejenak, membayangkan bagaimana rasanya berada dalam pelukan sang ayah. Walau mustahil karena kehadirannya saja Rudy tidak tahu.

"Siapa namamu?" tiba-tiba Rudy bertanya, membuat Habibah sedikit kelabakan saat ayahnya memergoki dirinya memandangi wajah tampan sang ayah.

"Oh, aku_"

"Namanya Habibah, Pak." Frans menjelaskan, takut jika Habibah akan lebih gugup setelah itu.

Rudy menatap gadis yang kini menunduk itu, lama-kelamaan tatapannya semakin dalam hingga menautkan alisnya. "Sepertinya kita pernah bertemu?" Rudy menatapnya dengan wajah yang mendadak sendu.

"Tidak Pak, bahkan aku baru saja tiba di kota ini Dua Minggu yang lalu." jelas Habibah tak mau Rudy curiga.

Tentu saja ia merasa pernah bertemu, wajah Habibah mirip seperti ibunya, tapi hidung dan bibirnya seperti Rudy sendiri.

'Tidakkah kau sedang melihat dirimu dan istrimu sendiri Ayah?' gumam hati Habibah.

"Kau pegawai baru?" tanya Rudy lagi semakin ingin tahu.

"Ya, atas rekomendasi Tuan Raharja Pak, Habibah pernah menolong beliau dan merawatnya." jelas Rudy membela menantunya itu, mengeluarkan selembar kertas yang ditanda tangani sang kakek dan memberikannya kepada Rudy agar ia percaya.

"Oh, baiklah." Rudy mengangguk tak membantah jika sudah menyangkut perintah ayahnya. Cukup sekali saja ia membantah demi seorang wanita yang kini menjadi istrinya.

"Kalau begitu silahkan bekerja, hari ini anggaplah kita sedang berkenalan. Tidak perlu terlalu sungkan." Rudy tersenyum santai.

"Terimakasih Pak."

Habibah dan Frans keluar dari ruangan itu.

"Bram, aku ingin belanja di temani olehmu."

Tampak seorang wanita sedang merengek manja kepada Bram yang menoleh kiri kanan serba salah.

"Aku masih bekerja Larisa, bahkan aku baru bekerja beberapa hari." Bram mencoba menolak.

"Ini perusahanku sekarang, kau bisa datang dan pergi kapanpun kau suka, tak akan ada yang berani memarahimu." gadis itu bersi kukuh, tak mau melepaskan lengan Bram.

"Larisa, aku mohon jangan seperti ini. Kita berada di kantor bukan di rumah." Bram berusaha menolak lagi.

"Masuk keruangan mu." suara Frans memerintah Bram putranya. Membuat gadis bernama Larisa itu terkejut dan berbalik menatap Frans juga Habibah.

Bram segera berlalu, sempat menoleh Habibah yang berdiri di samping ayahnya.

"Bram!" Larisa memanggil dan akan menyusul.

"Ayah Anda sedang menunggu Nona." Frans mengehentikan Larisa yang akan melangkah masuk ke ruangan Bram.

"Paman, aku tahu kau tidak menyukai hubunganku dengan Bram, tapi kali ini kau adalah bawahan Ayahku. Aku harap kau tidak menolak keinginanku juga Ayahku jika nanti kami ingin menikah." ucap Larisa dengan berani.

"Masalahnya saat ini Bram sudah menikah." jawab Frans tersenyum.

Gadis itu sungguh terkejut dengan ucapan Frans, matanya melebar sempurna hingga bibir merahnya ikut terbuka. "Me_ menikah?"

"Ya, dan ku harap Anda bersikap lebih sopan terhadap suami orang." Frans meninggalkan Larisa yang masih berdiri terpaku, matanya mulai berembun.

Habibah tak mau ikut menjelaskan, walau bisa saja dia mengaku sekarang bahwa istri Bram Aditya Jenan adalah dirinya.

"Bram!"

Larisa berlari masuk ke dalam ruangan Bram hingga mengundang perhatian semua orang. Tak dapat di bayangkan apa yang akan terjadi.

"Mengapa kau tega padaku Bram?" teriak Larisa pada pria yang berdiri menatap lurus pada wajah kekasihnya yang dipenuhi air mata.

"Katakan padaku, siapa wanita itu? Katakan Bram!" kali ini ia menarik jas Bram hingga bergoyang tubuh pria itu.

"Bram jawab aku!"

Bram masih terpaku, dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Percuma merahasiakan pernikahannya, pada akhirnya Frans sendiri yang memberi tahu Larisa. Ya, ayahnya lebih menyukai Habibah, membuat Bram berdecak kesal.

"Bram..." Larisa terus saja menarik dan meminta Bram bicara.

"Aku juga tidak ingin ini terjadi Larisa!" Bram sedikit membentak.

"Kalau tidak mau mengapa sampai terjadi? Kau sudah berjanji akan menikahi ku, kau bilang hanya aku yang akan menjadi istrimu, nyatanya kau malah menikah dengan orang lain!" Larisa masih teramat marah, bahkan sekarang barang-barang di atas meja Bram menjadi sasaran, berhamburan dilantai karena ulah Larisa.

"Larisa tenanglah." Bram tidak tahan melihat tangan Larisa yang semakin melampiaskan amarahnya pada benda apa saja di ruangan itu, Bram meraih tubuh yang terhuyung dan menangis sejadi-jadinya itu, memeluknya agar tidak semakin mengamuk.

"Bagaimana aku bisa tenang Bram, ada wanita lain yang memilikimu." Larisa semakin menangis. "Aku tidak rela, aku tidak mau."

"Tenanglah Larisa, kau tahu aku hanya mencintaimu saja, bukan wanita lain, bukan pula istriku." ucap Bram memeluk Larisa yang tersedu-sedu.

"Kau bohong." tangisnya lagi, memukul-mukul lengan Bram yang memeluk dirinya.

"Tidak, aku tidak mencintainya. Aku hanya menuruti keinginan ayah dan seseorang yang ku rasa Ayah berhutang Budi padanya." jelas Bram lagi, mengelus rambut Larisa, mengecup pucuk kepalanya.

Tangisnya sedikit berhenti. "Kau tidak bohong?" tanya Larisa mendongak wajah Bram.

"Aku tidak bohong." jawab Bram tampak serius.

Larisa memeluk erat Bram, menangis hingga puas di dada bidang suami orang.

"Bram." panggilnya pelan, sedikit masih terdengar isak tangisnya dengan bahunya ikut bergerak.

"Hem." pria itu tak juga melepaskan pelukan terhadap Larisa, dagunya bertumpu pada kepala gadis yang tersedu di dadanya.

"Aku tidak mau kehilanganmu." ucapnya semakin mengeratkan pelukannya, masuk ke dalam pelukan Bram Aditya.

"Aku juga tidak mau berpisah denganmu Larisa."

Larisa melonggarkan pelukannya. "Kalau begitu ceraikan istrimu!"

Di balik pintu itu Habibah menutup mulutnya dengan tangan. Sempat menduga jika wanita itu akan terluka dan menyerah setelah tahu Bram sudah menikah, ternyata dugaannya salah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!