NovelToon NovelToon

The Only Daughter Of Lancaster

Bagian Satu: Dimulai dari Nol

"Lalisa!" Panggilan itu membuatku berlari lebih cepat. Aku tak mau berhenti, tak mau pemilik suara itu menangkapku. Sudah cukup membiarkan mereka menyiksaku. Sudah cukup, aku ingin bebas.

Tinggal satu belokan lagi dan aku akan tiba di halte. Aku mempercepat lariku, berteriak maaf kepada orang-orang yang tak sengaja tertabrak. Belokan itu ada di depan, tetapi yang aku lihat adalah cahaya putih dan suara klakson yang kencang.

Apa yang terjadi? Aku tak merasakan apapun. Di hadapanku hanya ada cahaya putih dan bising suara orang.

"Lalisa!" Ah, suara itu lagi. Aku tak mau mendengarnya.

Apa aku mati? Tidak. Aku tak ingin mati. Aku ingin bebas. Aku ingin hidup!

"Aku bisa mengabulkan satu permintaanmu."

Siapa?

"Katakan saja permintaanmu."

Mataku semakin berat. Apa permintaanku akan dikabulkan? Kalau ya, aku ingin hidup bahagia bersama keluarga yang mencintaiku.

"Permintaanmu benar-benar detail ya. Beruntung, aku sangat menyukaimu. Akan kukabulkan. Kali ini, hiduplah dengan bahagia."

"Hua! Hua!"

Mataku terbuka dan suara berisik itu yang pertama kudengar. Suara siapa itu?

"Huwaa!"

Ah, berisik! Bayi mana yang menangis?

Derap langkah kaki yang terburu menghampiri. Seorang wanita berambut abu-abu berdiri di sampingku. Senyumnya menghangatkan. Rambutnya digulung, membuatnya terlihat elegan. Ia menggunakan gaun hitam khas seorang maid. Heh, apa ini? Kenapa dia menggendongku dengan mudah?

"Ah, nona muda waktunya tepat sekali. Nyonya sudah menunggu di kamarnya." Ucapannya membuatku heran.

Kuulurkan tanganku dan kini aku percaya. Aku kembali menjadi bayi. Heh? Apa-apaan?

Oke, Lalisa, tenang. Tarik napas, buang, coba tenangkan dirimu dulu. Terakhir kali yang aku ingat adalah suara klakson dan tubuhku terhempas. Artinya aku kecelakaan dan harusnya aku sudah meninggal. Akan tetapi aku terbangun dan menjadi bayi, lagi? Apa ini? Aku bereinkarnasi?

Tahun berapa ini? Bangunan ini terlalu tua untuk ada di tahun 2015. Atapnya tinggi, dindingnya terbuat dari marmer dengan banyak lukisan. Lantai yang kupijak terdapat karpet merah. Ini seperti kastil atau istana? Entahlah. Wanita yang menggendongku juga menyebutku, milady. Apa aku kembali ke abad 17? Apa ini Prancis? Atau Inggris?

Ugh, semua ini membuat kepalaku pusing.

"Huhuwaaaaaaa!"

Dari segala hal, suara ini membuatku semakin marah. Aku ingin bertanya! Aku tak ingin menangis!

"Huwaaaaaaa!"

Wanita yang menggendongku dengan sabar menepuk punggungku. Ah, ini membuatku merasa nyaman. "Nona, sabar ya. Kita sudah tiba."

"Elena memberi hormat pada Duchess." Salamnya kuno sekali.

Oh, perempuan cantik yang kini tersenyum itu ibuku? Rambutnya berwarna emas. Benar-benar emas! Senyumnya meneduhkan dan matanya bagaikan lautan. Hijau dan biru menyatu. Aku tak pernah melihat mata yang secantik ini. Jika mata ibuku seperti lautan, bagaimana dengan mataku?

"Putriku yang cantik datang. Apa kau lapar? Hehe," suaranya lembut sekali. Jadi, seperti ini rasanya dipeluk seorang ibu? Hangat dan nyaman.

"Hung," aku menyandarkan kepalaku pada tubuh ibuku. Hangat.

"Wah, Amabel, rindu ibu ya? Manja sekali." Ucapannya benar-benar membuatku tenang.

Selama 17 tahun, aku tak pernah merasakan kasih sayang orangtua. Hari ini aku merasakannya. Aku benar-benar berterima kasih, bahkan meski aku harus menjadi bayi lagi. Bahkan meski aku harus mempelajari semuanya dari awal, tak masalah.

Jika memulai dari nol adalah harga yang harus kubayar, aku rela melakukan ini semua. Tiap momen bersama keluarga ini akan aku ingat. Pasti tidak akan aku lupakan.

Satu yang harus aku lupakan adalah Lalisa. Saat ini, aku Amabel, buka. Lalisa. Karena pada kehidupan sebelumnya Lalisa tak memiliki keluarga, tetapi Amabel punya. Itu yang akan aku jaga.

Sampai jumpa, Lalisa. Tidur yang tenang. Kali ini, Amabel akan berusaha agar kita dapat merasakan kebahagiaan yang tak pernah kita miliki.

Hei, ini karya pertamaku di sini. Awal ceritanya mungkin udah gak asing sama beberapa dari kalian. Tapi, beda kok sama yang udah kalian baca he he.

Kindly leave some love please :)

-amel

Bagian Dua: Saudara Laki-laki

Hari membosankan lainnya dimulai. Aku harus bisa bergerak lebih bebas hari ini. Elena, pengurusku sedang keluar. Aku mencoba menggerakkan tangan, kepala, juga kaki. Ini agak aneh, tentu saja. Ugh, tetapi ya mau bagaimana lagi? Akan aneh jika aku tiba-tiba bisa bicara bukan? Jadi, aku harus puas dengan suara tangisan menyebalkan ini.

"Amabel sudah bangun!" Aku tak kenal suara ini. Ya, meski aku baru mengenal suara Elena dan ibuku, sih.

"Jangan berisik! Elena akan melapor pada ayah jika kau berisik." Suara lainnya.

Aku rasa mereka laki-laki. Tebakanku benar. Dua orang anak laki-laki berdiri di sisi ranjangku. Satu berambut emas seperti ibu dan yang satu berambut cokelat. Si rambut emas memiliki mata biru tua, sedang di rambut cokelat memiliki mata yang sama dengan ibu. Aku tebak keduanya adalah kakak laki-lakiku.

Aku tersenyum. Pertama karena, tentu saja senang memiliki seorang kakak. Hal lainnya karen aku ingin keduanya terpesona padaku. Aku ingin mereka menyukaiku!

Keduanya terdiam, sampai si rambut pirang bereaksi. "Wuah! Amabel kita benar-benar manis! Lihat senyumnya yang menawan itu. Cantik sekali!"

Si rambut cokelat langsung memukul kepala si rambut pirang. "Berisik! Kau akan membuat seluruh penjaga datang."

Sementara si pirang mengaduh dengan kesal, si rambut cokelat mengusap pipiku lembut. Aku tersenyum, menatapnya senang. "Bububu!"

Keh, kenapa sih harus suara menggelikan ini yang keluar? Namun, meski menggelikan aku rasa kedua bocah itu senang. Buktinya mereka tertawa. Wah, Amabel, kau benar-benar dicintai banyak orang.

"Alec, Eli, apa yang kalian lakukan? Mengganggu adik kalian, huh?" Suara berat ini juga belum pernah kudengar sebelumnya. Kutebak dia adalah ayahku.

Tebakanku benar. Seorang pria tinggi dengan jas berwarna hitam masuk. Rambutnya berwarna cokelat, seperti milik Alec. Aku menebak namanya Alec karena dia yang pertama menoleh. Aku rasa dia kakak pertamaku dan Eli kakak keduaku.

"Kami sedang menjaga Amabel, ayah." Jawab Eli sambil menatapku. "Lihat, Amabel kita benar-benar cantik bukan? Lihat senyumnya itu, huh, manis sekali."

Saat ini Eli tengah memegang kedua pipinya dengan mata berbinar. "Lihat, dia tertawa!"

Bagaimana aku tidak tertawa jika kau membuat wajah bodoh seperti itu?

"Dia menertawakanmu karena kau bodoh."

Wah, kakak Alec luar biasa! Aku menatapnya kagum. Dia kembali mengusap pipiku. Aku mulai terbiasa dengan sentuhan ini, meski sering membuatku tak nyaman.

"Sh, jangan ganggu adik kalian dan kembali berlatih." Usir ayahku. Keduanya cemberut, namun tentu saja harus menurut.

"Kami akan kembali lagi nanti, Amabel." Eli tersenyum lebar dan tentu saja aku membalasnya.

"Aku akan datang nanti." Pamit Alec dan aku tersenyum.

Memang apa yang bisa aku lakukan? Mengatakan sampai jumpa nanti, kak dan membuat orang-orang heboh? Tentu saja tidak. Lagipula aku belum bisa bicara selancar itu. Kecuali mengeluarkan suara aneh dan tangisan.

Setelah menatapku beberapa lama, ayahku menggendongku. Dia membawaku keluar kamar. Dari balkon, aku bisa melihat betapa besar rumah kami. Terdapat danau di sebelah kiri, taman di depan kamarku, dan kota terlihat dari sisi kanan. Itu pun terlihat sangat kecil. Di sisi kiri itu juga aku melihat sebuah kastil. Rumah kami kemungkinan berada di tengah antara kota dan istana.

"Bwaa!"

Hah, padahal aku hanya ingin berkata bahwa ini cantik. Ayahku mengangkat tubuhku, menatapku tanpa emosi kemungkinan dengan cepat menurunkanku. "Wah!" Efeknya seperti ketika aku terbangun karena terjatuh di dalam mimpi.

Ujung bibirnya terangkat kemudian tertawa. Cih, menyebalkan. Dengan tanganku, aku menepuk wajahnya. "Babababa!"

"Huwaa!" Lagi-lagi dia mengangkatku tinggi-tinggi.

"Huhuhuwaaaaaa!" Aku tak tahan! Aku tak suka. Jantungku rasanya mau copot.

Wajahnya berubah, kurasa dia khawatir. Kali ini dia hanya memeluk dan menepuk punggungku. Tak lama aku tertidur.

sebenernya aku takut zonk alurnya :(

tapi pengen nulis jgn berekspektasi ya gais

tell me if u like the story!

-amel

Bagian Tiga: Waktu Berlalu

Tujuh tahun kemudian...

"Rosemary."

Aku menoleh, hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama itu. Jean Rahel Hutger, temanku. Dia adalah putri dari Count Ziglin Karl Hutger dan Jean Carolina Hutger. Aku memeluknya sekilas.

"Kau tampak begitu bersemangat pagi ini Rahel. Ada sesuatu yang terjadi akhir pekan lalu?" Tanyaku sembari mempersilakannya duduk.

Rahel kembali tersenyum, tanpa bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu. "Kau tahu, kemarin aku tak sengaja melihat Pangeran!" Rahel kini tengah menyatukan tangannya dengan mata berbinar. "Dari jauh saja Pangeran sudah terlihat tampan. Tsk, aku tak sabar melihatnya secara langsung."

Aku tersenyum, mendengar cerita Rahe selalu menyenangkan. "Kau tak sabar melihatnya secara langsung atau kau tak sabar datang ke pesta ulang tahun Pangeran?"

Wajah Rahel sekarang benar-benar merah, bahkan hingga telinga. "Tentu dua-duanya. Tapi Rosemary, ini bukan karena aku menyukainya seperti itu."

"Itu? Apa itu?" ulangku meledeknya.

Wajahnya kembali bersemu hingga tangannya bergerak karena gugup. "Seperti wanita ke pria. Aku hanya mengaguminya. Pangeran kita yang berbakat, pintar, dan seorang revisioner! Sudah begitu, dia tampan pula! Aah, melihatnya dari dekat saja sudah menjadi berkah untukku."

Aku terkekeh pelan. Ya, Rahel memang sering kali berlebihan. "Kau benar-benar memujanya. Omong-omong, bagaimana kabar Vincent?"

Vincent Brian Hutger, anak pertama sekaligus kakak dari Rahel. Dia dan kedua kakakku berteman, seperti aku dan Rahel. Bahkan Vincent yang mengenalkan aku pada Rahel saat kami berusia lima tahun.

Rahel kini mengibaskan tangannya, "jangan khawatir dia masih hidup meski jatuh dari kuda gila itu."

"Aku mendengar tulangnya patah hingga tak bisa pergi ke akademi?" Tanyaku saat teringat cerita dari Eli minggu lalu.

Rahel kontan tertawa. Saking kencangnya hingga mendapat dehaman kencang dari Missa--pelayan Rahel. Gadis itu langsung berhenti tertawa, menjadi anak bangsawan itu benar-benar sulit. Percaya padaku. Kami anak-anak dari keluarga bangsawan harus belajar etika saat berumur lima secara formal. Bukan cara menulis atau membaca, tetapi cara menggunakan sendok dan pisau lebih penting. Harus begini, tak boleh begitu. Banyak sekali aturan hingga aku sering kabur dari kelas etika.

Tentu saja aku tak melakukanya sendiri, tetapi bersama Alec dan Eli. Kami bertiga sering sekali bolos pelajaran etika dan bersembunyi di dapur. Tentu saja kami dihukum setelahnya dan akan kembali bolos saat kami bosan. Sungguh, pelajaran etika itu benar-benar membosankan.

Selama tujuh tahun aku hidup sebagai Amabel, aku belajar bahwa tempat yang aku tinggali bernama Plodnavor bagian dari kerajaan Yerkink. Plodnavor dipimpin oleh ayahku, Duke Lancaster dan merupakan wilayah terbesar dari kerajaan.

Kembali pada Rahel yang kini tengah menceritakan soal Vincent. "Dia benar-benar berlebihan. Kakinya hanya keseleo dan tubuhnya memar, tetapi seperti yang kau dengar tentu saja dia akan melebih-lebihkannya. Dia Vincent, kau tahu."

"Dan itulah kenapa Vincent dan Eli sangat cocok." Ujarku sambil terkikik. Aku rasa orang-orang akan berpikir demikian. Vincent memiliki rambut emas dan mata biru seperti Eli, hingga terkadang mereka dianggap sebagai adik-kakak dibanding dengan Alec dan Eli.

Rahel kembali mengangguk, gadis di hadapanku ini cantik. Rambutnya berwarna rosegold, bermata biru jernih, dan memiliki senyum yang menawan. Meski baru berusia delapan dan berasal dari keluarga Count, Rahel sudah mendapat banyak undangan pesta. Tentu Rahel baru akan datang ke pesta resmi saat berumur enam belas nanti.

Rahel perempuan yang cerdas, meski sering kali dia tertawa terlalu kencang. Ini yang menyebabkan Missa sering kali menegurnya. "Omong-omong, kau sudah menentukan sekolah yang akan kau masuki? Tak terasa tahun depan kita sudah harus mengikuti ujian." Wajahnya terlihat sedih, aku rasa ini karena Rahel tak suka sekolah.

Aku memotong kueku dan memakannya. Aku tak tahu apa yang aku ingin lakukan nanti. "Ya, kau benar. Aku tak tahu tentang hal itu. Akan kupikirkan nanti."

Rahel menatapku lama sampai akhirnya dia mengangguk. "Tentu, kau masih memiliki waktu. Memang kau tak punya mimpi?"

Keningku langsung berkerut. "Tidak." Aku tersenyum, mungkin terlihat terlalu senang hingga Rahel menatapku aneh. "Ah, tapi aku ingin hidup dengan kedua orangtuaku selamanya."

Mulut Rahel terbuka lebar. Aku sampai takut jika lalat masuk ke dalam mulutnya. "Rahel, kau harus menutup mulutmu."

Gadis itu akhirnya sadar dan melakukan apa yang aku minta. Ia berdeham, kali ini duduknya lebih tegak dari biasanya. "Rosemary sayang, pada akhirnya seorang putri seperti kita akan meninggalkan rumah dan menjadi seorang istri. Aku tak ingin menghancurkan mimpimu, hanya saja jika kau ingin mewujudkannya keluarga Lancaster pasti akan diremehkan."

Aku menghela napas panjang. Aku tak pernah berpikir demikian. Harapanku hanya bisa hidup dengan keluarga yang sebelumnya tak aku miliki. Rahel mungkin melihat kesedihan di mataku hingga membuatnya meraih tanganku dan menepuknya pelan. "Apapun mimpimu aku akan selalu mendukungmu. Bahkan meski terdengar gila seperti tadi. Aku minta maaf karena sudah meragukan mimpimu."

Rahel adalah perempuan baik. Dia bukan hanya pintar dala pelajaran, namun juga melihat emosi seseorang. Aku mendongak, menatapnya langsung ke mata birunya yang indah. "Terima kasih."

tadinya mau bikin pas amabel masih balita cuma karena aku malas jadi dipercepat saya ya. kalau diperlukan nanti akan ada di flashback

-amel

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!