NovelToon NovelToon

Pernikahan Rahasia Dengan Guru Galak

1 : Amanda Ceselia (Versi baru)

“Amanda Ceselia ...?” ucap pak Samudra selaku guru baru sekaligus wali kelas baru mereka yang lebih cocok jadi artis saking gantengnya. Berdiri di depan papan tulis, ia tengah mengabsen sekaligus mencoba mengenal setiap muridnya.

Di kelas 12 B SMA BINA BANGSA, mata tajam pak Samudra yang menatap dingin suasana di sana, tidak mendapati tanda-tanda akan ada yang mengakui nama yang baru saja ia sebutkan. Namun dari semua meja dan kursi di sana, ada satu yang kosong dan itu ada di sebelah belakang pojok kanan, jika dilihat lurus dari keberadaannya.

Jika mencari Amanda Cesilia atau yang lebih akrab dipanggil Amanda, tentu kalian cukup mencarinya di luar kelas. Malahan kini, Amanda sedang menjalani rutinitasnya yaitu memanjat gerbang sekolah yang tinggi, tepat di jam pertama kelas dimulai. Kemudian ulahnya itu akan membuat satpam yang sedang keliling, tunggang langgang menyusul karena merasa kecolongan. Terlebih, Amanda yang dari tampangnya sangat cantik sekaligus feminin, sudah langsung kabur menggunakan motor gede warna merahnya yang ternyata sudah disiapkan oleh teman gadis itu. Lebih menjengkelkan lagi, Amanda sengaja meledek sang satpam dengan menjulurkan lidah sambil tertawa ria.

Lalu, jika kalian berpikir Amanda akan pergi semacam ke mal atau malah menjalani perawatan, bahkan fatalnya kencan buta, kalian salah besar. Karena yang gadis cantik itu lakukan malah tawuran. Amanda tak hanya menjadi satu-satunya perempuan. Sebab Amanda yang sibuk melemparkan batu ke arah lawan, atau malah adu jotos dan adu tendang, merupakan ketua dari pasukannya.

Terlepas dari semuanya, Amanda tipikal pimpinan yang sangat menyejahterakan anggotanya. Tak ada satu pun anggota Amanda yang tertangkap razia polisi saking tertibnya Amanda mengamankan semuanya. Meski yang ada, malah Amanda yang diciduk, dibawa jalan-jalan menggunakan mobil polisi lengkap dengan motornya, hingga semua mata menjadikannya sebagai pusat perhatian. Kendati demikian, Amanda dengan bangga membalas setiap tatapan dengan senyum ceria yang membuat wajah cantiknya sangat tak berdosa.

“Bahagiaku sesederhana ini. Menjadi pusat perhatian, dan mereka kompak bertanya, apa yang orang tuaku lakukan, kenapa aku sampai begini? Menurut kalian, apa yang orang tuaku lakukan kenapa aku sampai begini?” batin Amanda. Ia memang tersenyum dan sampai membuat orang yang melihat geleng-geleng, menganggapnya tak punya otak. Namun, jauh di lubuk hatinya ia menangis. Sungguh ada luka di sana dan membuat gadis itu kerap menjadikan kematian sebagai pilihan.

***

Suara berisik dari belasan motor yang beradu kecepatan di sepanjang jalan sepi sekaligus gelap, kembali membisingkan malam di jalanan sekitar. Pemandangan semacam sekarang yaitu balapan motor liar memang sudah menjadi pemandangan langganan di setiap malam khususnya malam minggu layaknya sekarang.

Dari semua motor yang mengikuti balap liar di sana, motor berwarna merah, terus memimpin. Namun, motor tersebut bersaing sengit dengan motor warna oren aksen hitam yang terus berusaha menyusul. Sepanjang jalannya pertandingan, kedua pembalap tersebut terus bertatap sengit di antara sorak meriah para penonton sekaligus pendukung yang kebanyakan muda-mudi. Meski pada akhirnya, lagi-lagi si motor warna merah yang menyentuh garis finis lebih dulu, membuat si pengendara motor oren menelan kekecewaan untuk ke sekian kalinya.

Dengan bangga, pembalap motor merah itu melepas helmnya. Detik itu juga rambut panjang bergelombang warna kecokelatannya tergerai dengan sangat lembut. Ditambah terpaan angin, senyum di wajah cantik orientalnya membuat setiap mata laki-laki di sana terpana menatapnya. Dia adalah Amanda Cesilia Wicaksana, satu-satunya pembalap wanita yang juga selalu menjadi pemenang di setiap pertandingan balapan. Terhitung sejak pertama kali gabung dan itu sekitar empat bulan lalu, Amanda menjadi ratu balap mereka. Gadis cantik yang juga hobi bolos sekolah sekaligus berbakat tawuran.

Tak mau kalah, si pembalap motor warna oren melepas helmnya juga. Bedanya, ketika Amanda melakukannya dengan senyum penuh kemenangan, ia justru melakukannya penuh kekesalan. Pemuda bermata sipit, berkulit putih bersih, bernama Miko itu mendengkus sebal menatap Amanda.

“Balapan aja langganan kalah, kok bisa-bisanya mimpi jadi pacar sayaaah!” sinis Amanda sengaja menyindir dan ditanggapi tawa geli oleh teman yang mengerumuni.

“Kalau memang enggak mau pacaran karena takut enggak halal, sini aku nikahin sekalian!” kesal Miko yang sampai turun dari motor. Teman-teman yang mengerumuninya balas menertawakan Amanda berikut rombongannya. Kejadian yang selalu terjadi karena cekcok dan tidak pernah akur memang sudah menjadi slogan sekaligus kebangsaan mereka.

Miko sengaja menyusul Amanda yang kiranya hanya berjarak sekitar tujuh meter dari keberadaannya, sebelumnya.

“Uang hadiah menang dibagi-bagi saja. Aku cabut dulu!” pamit Amanda buru-buru mengenakan helm.

Amanda memilih pergi karena tak mau berurusan dengan Miko yang awalnya merupakan pimpinan balap motor liar di sana. Amanda kembali mengemudikan motornya dengan kecepatan penuh, membelah hiruk pikuk suasana malam di ibukota yang mau tak mau membuatnya turut menjadi bagian dari kemacetan.

Selain macet parah, di depan sana juga sampai lampu merah. Amanda terpaksa melepas helmnya lantaran terbatuk-batuk. Ia memutuskan untuk minum sisa air mineral di sebelah setang kanannya. Di waktu yang sama, ia tak sengaja menoleh ke kirinya, di sana ada seorang pria tampan yang tampak kesal dengan kemacetan yang menjebak mereka. Ketika akhirnya tatapan mereka bertemu, si pria langsung terkejut. Pria itu menatap Amanda seolah memang mengenal Amanda, tapi terlalu ragu untuk menyapa.

Hingga akhirnya, kemacetan yang mulai terurai, membuat Amanda memilih kembali mengendarai motornya.

“Itu si Amanda yang mau dijodohin sama aku, kan? Murid berbakat bolos yang hobinya tawuran sama balap liar?” lirih si pria, Samudra Wijaya. Ia melongok penasaran kepergian Amanda yang juga menjadi tujuan kepergiannya.

“Nanti kalau Manda sudah lulus SMA, kalian langsung nikah saja yah, Sam. Biar Mamah juga tenang karena dulu Mamah sudah janji sama almarhum mamah Manda,” ucap ibu Sintia yang duduk di bangku penumpang belakang Samudra.

Ibu Sintia tak duduk sendiri karena ia ditemani oleh seorang bocah perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, dan memanggil Samudra dengan sebutan papah, walau usia Samudra memang baru menginjak awal kepala tiga. Sedangkan di sebelah Samudra, pak Jaya yang sibuk tersenyum, jelas setuju dengan pembahasan pernikahan yang sedang berlangsung.

“Akhirnya, Mir. Akhirnya sebentar lagi kita akan membuat janji kita menjadi nyata. Sebentar lagi Manda dan Samudra akan menikah. Sebentar lagi aku bisa menjaga Manda dengan leluasa dan Manda sungguh akan menjadi anak perempuanku,” batin ibu Sintia. Di tengah suasana temaram dalam mobilnya, ia menyeka kedua sudut matanya yang basah mengiringi sesak di dada. Sebab di setiap ia mengingat Amanda dan juga Miranda mamah dari Amanda selaku sahabatnya, hatinya selalu teriris. Benar-benar pedih.

***

2 : HAH?!

“Puffffttt!” Amanda menyemprotkan minuman yang harusnya ia telan. Sebagian minumannya sampai mengenai wajah sang papah.

“N-nikah, Pah?” Amanda sampai tidak bisa berkata-kata karena terlalu syok. Untuk beberapa saat, otaknya sampai tidak bisa bekerja.

Dada Amanda sampai kebas dan rasanya sungguh sakit melebihi ketika ia terkena tinju, tendangan, atau malah lemparan batu oleh lawan saat sedang tawuran. “Enggak salah? Hanya karena Papah sudah enggak mau urus aku, Papah ingin hidup damai dengan istri baru dan anak tiri kesayangan Papah, Papah mau nikahin aku sama orang yang bahkan enggak aku kenal? Gitu ...?”

Mata Amanda sudah langsung basah seiring hatinya yang tercabik pedih. “Kenapa harus nikah, Pah?” ucapnya nyaris tak terdengar karena suaranya tertahan di tenggorokan.

“Biar kamu lebih mikir, enggak sibuk bolos buat balapan apalagi tawuran terus! Hobi kok nyumbang nyawa, bikin susah orang saja!” tegas pak Edo yang tak lain papah dari Amanda.

Mendengarnya, Amanda tersenyum miris, mengangguk-angguk di tengah tatapannya yang masih fokus pada kedua mata sang papah. “Iya, maksud aku, ... maksud aku kenapa Papah mau nikahin aku? Kenapa Papah enggak jual aku saja sekalian, biar Papah sama keluarga baru papah bisa menikmati hasilnya?!”

Kali suara yang Amanda masih lirih, tapi itu karena gadis cantik itu sudah telanjur sakit.

Tangan kanan pak Edo langsung terangkat, siap menampar Amanda andai ibu Lista sang istri baru tidak berseru. Wanita cantik yang juga sangat menjaga penampilan itu buru-buru mendekat, merengkuh Amanda tapi Amanda langsung menepis. Tak sudi dan telanjur jijik, Amanda sungguh benci ibu tirinya. Hingga yang ada, tamparan panas yang awalnya tertunda mendarat juga di pipi kiri Amanda.

Amanda langsung sempoyongan dan berakhir terduduk di lantai dapur dengan agak terbanting. Sementara gelas yang awalnya Amanda pegang menggunakan tangan kanan turut jatuh, pecah. Naasnya tangan kanan Amanda sampai bertopang pada lantai yang dihiasi pecahan gelas. Drama yang empat bulan terakhir mewarnai rumah mereka semenjak pak Edo menikahi ibu Lista, berakhir dengan kepedihan seorang Amanda yang merasa dibuang. Selalu begitu, anak sendiri tapi seperti samppah yang tak seharusnya ada.

Sejak sebelum pak Edo menikah lagi, tak lama setelah mamah Amanda meninggal, Amanda sudah merasakan betapa sang papah lebih mirip orang asing. Sang papah terlihat jelas lebih menyayangi keluarga barunya, bahkan itu putri tiri yang tentu saja bukan darah dagingnya.

“Cinta udah mematikan logika sekaligus kewarasan Papah. Mungkin ini yang dinamakan, yang namanya telanjur benci, apa pun yang orang itu lakukan pasti selalu akan terlihat salah untuk orang yang membencinya. Dan setelah mamah pergi, aku mulai yakin, ada yang bisa menghancurkan kekentalan darah dan itu pemilik darah itu sendiri!” ucap Amanda lelah.

Tanpa memedulikan rasa sakit akibat luka di telapak tangan kanannya, Amanda melangkah pergi. Ia melangkah lemas seolah semuanya baik-baik saja, walau tentu saja, darah segar begitu gesit mengalir, seolah mereka sedang berlomba, siapa yang paling cepat jatuh ke lantai meninggalkan jejak kepergian seorang Amanda.

Ketika akan keluar dari dapur, Amanda berpapasan dengan Anya. Gadis feminin yang selalu tampil necis sekaligus seksi itu diam-diam tersenyum sinis kepadanya walau ketika melongok ke pak Edo, Anya akan memasang wajah sedih.

“Aku obatin, ya?” tawar Anya bersandiwara peduli kepada Amanda.

Tentu saja itu hanya siasat dan Amanda membalasnya dengan tersenyum. “Sekitar satu jam yang lalu, aku kembali menolak cinta Miko untuk yang ke sebelas kali! Kamu tahu apa yang dia lakukan? DIA, NGAJAK, AKU, NIKAH!”

Satu hal yang membuat Amanda merasa menang dalam perang dingin di antara mereka. Miko si bos balap liar yang juga ketua osis sekaligus siswa berpengaruh di sekolah mereka, hanya mencintai satu gadis dan itu Amanda. Padahal, nyaris semua siswi termasuk itu Anya, rela melakukan hal murahan hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian seorang Miko.

Sungguh, kenyataan Miko yang merupakan siswa tertampan di sekolah mereka, tapi Miko selalu bersikap dingin kecuali kepada Amanda, menjadi jurus pamungkas seorang Amanda membalas semua lukanya kepada Anya maupun itu Lista.

Anya terdiam membeku menahan kekesalannya kepada Amanda. Namun ia juga tak lupa sengaja memasang wajah teraniaya agar sang papah sambung makin membenci Amanda.

“Sudah, kamu enggak usah peduliin dia lagi!” sergah pak Edo kepada Anya.

Persis yang Anya harapkan. Papah sambungnya, jauh lebih menyayangi sekaligus peduli kepadanya.

***

Sekitar sepuluh menit kemudian, rombongan pak Samudra datang. Namun, Anya tidak berminat ikut serta karena kedatangan pak Samudra sekeluarga memang sengaja tidak membuat janji. Tentunya, yang Anya tahu, pak Samudra calon suami Amanda, sudah bapak-bapak, seorang duda dan anaknya sudah besar, yang tentu saja sama sekali tidak menarik. Malahan Anya merasa musibah andai ia sampai kenal atau setidaknya sekadar menampakkan diri di depan pak Samudra.

“Sayang, tangan kanan kamu? Pipi kiri kamu?” Ibu Sintia yang memaksa menemui Amanda di kamar gadis itu, tak kuasa membendung kesedihannya apalagi air matanya.

Ibu Sintia nyaris merengkuh tubuh Amanda, tapi melihat luka di telapak tangan kanan Amanda yang masih baru dan memang belum diobati, membuatnya memboyong paksa gadis itu.

“Sam ... Sam, ini tolongin Amanda. Ayo bawa Amanda ke rumah sakit!” seru ibu Sintia.

“Samudra?” batin Amanda.

Amanda tahu, Samudra merupakan nama dari pria yang akan dinikahkan dengannya. Namun, Amanda juga terkejut karena pria yang dikata pak Edo merupakan seorang duda, dan juga memiliki seorang putri berusia sepuluh tahun, masih sangat muda. Bisa Amanda tafsir, harusnya Samudra itu baru berusia di akhir kepala dua.

“Ah, enggak mungkin. Paling memang dasarnya si Samudra ini awet muda! Duda kan kebanyakan gitu, rutin perawatan buat jaring daun muda atau mangsa menguntungkan lainnya! Enggak usah jauh-jauh, contohnya saja papah Edo!” batin Amanda yang diam-diam menilai sosok Samudra.

“Dia yang tadi di jalan, yang di motor pas macet, ... dan juga ... murid di kelasku yang berbakat bolos!” batin Samudra yang hanya akan melirik Amanda dan itu pun sangat sebentar sekaligus jarang.

Amanda mau-mau saja diboyong ke rumah sakit karena gadis itu juga sudah sangat ingin angkat kaki dari rumah orang tuanya, untuk selama-lamanya.

Seperti yang Amanda ketahu dari sang papah, pria yang bernama Samudra sungguh sudah memiliki seorang putri berusia sepuluh tahun. Bocah itu dipanggil Pia, tapi Pia langsung memanggil Amanda dengan sebutan kakak.

Setelah sampai di rumah sakit, Amanda yang hanya ditemani ibu Sintia walau tadi mereka datang rombongan, langsung menjalani perawatan. Luka di telapak tangan Amanda sampai diperban karena terbilang parah. Sarafnya saja ada beberapa yang nyaris putus. Dan setelah selesai tanpa sampai menjalani rawat inap, Amanda langsung diboyong ke rumah Samudra. Di sana sudah ada pak Edo dan beberapa pria berpeci dan tampak agamis.

“Mulai sekarang, ini jadi kamar kamu juga,” ucap ibu Sintia.

Kamar yang dimaksud ada di lantai dua, dan di sana tampak berpenghuni. Kenyataan tersebut dikuatkan dengan kenyataan meja belajar yang penuh buku dan juga sebuah laptop. Semua lemari pakaian pun dalam keadaan penuh. Sementara yang di lemari gantung dan pintunya terbuka sempurna, berisi pakaian lengan panjang pria. Amanda berpikir itu kamar Samudra atau malah laki-laki lain yang tinggal di sana.

Belum sempat berkomentar maupun bertanya, seseorang mengetuk pintu dan ternyata itu dua orang ART yang membawakan barang-barang Amanda. Yang membuat Amanda terkejut, tentu suara bariton seorang pria yang berkata tegas di lantai bawah sana.

“Saya terima nikah dan kawinnya Amanda Cesilia Wicaksana binti .....”

“HAH?” Amanda panik sepanik-paniknya. Buru-buru ia keluar dari kamar. Dari terali menuju tangga, ia mendapati sesi ijab kabul atas nama dirinya diucapkan oleh Samudra dan baru saja dijawab “SAH!” oleh semua orang di sana, termasuk itu pak Edo sang papah!

3 : Langsung Tidur Bareng?

“Saya terima nikah dan kawinnya Amanda Cesilia Wicaksana binti Edo Sultan Wicaksana, dengan emas kawin tersebut dibayar tunai!”

Amanda nyaris berteriak dari pinggir tangga, tapi ibu Sintia langsung merengkuhnya. Wanita itu memperlakukannya penuh ketulusan, mirip almarhumah mamah Amanda.

“Alhamdullilah Sayang, mulai sekarang enggak akan ada yang bisa melukai kamu lagi. Mulai sekarang, sudah ada yang jagain kamu,” ucap ibu Sintia.

“Tapi enggak harus nikah gini juga kali, Tan!” protes Amanda. “Lagian kalaupun aku enggak nikah, aku tetap bisa jaga diri sendiri. Semacam bantiing orang saja, aku bisa dan memang saking gampangnya!” Amanda yakin seyakin-yakinnya. Namun yang membuat hatinya melow, ibu Sintia yang menatapnya penuh ketulusan, malah berlinang air mata.

Tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua mata Amanda, ibu Sintia membingkai wajah Amanda menggunakan kedua tangannya. “Izinkan Tante menjalankan wasiat mamah kamu, ya? Mulai sekarang, kamu jangan panggil tante lagi karena mulai sekarang juga, kamu sudah jadi menantu sekaligus anak Mamah. Iya, mulai sekarang, tante Mamah kamu. Dan mulai sekarang juga, kamu jangan pernah merasa sendiri lagi. Urusan papah kamu sama keluarga barunya, sudah biarin saja mereka. Semacam gana-gini peninggalan mamah kamu, nanti Mamah bantu perjuangkan!”

“Bisa-bisanya papah kamu malah mengorbankan kamu hanya untuk kebahagiaannya sendiri bersama keluarga barunya. Mamah pastikan, mulai sekarang juga, papah kamu enggak berani macam-macam lagi ke kamu!”

Apa yang ibu Sintia katakan membuat hati seorang Amanda tersentuh. Ternyata ada orang yang bisa memahami isi hati Amanda, memahami betapa ia tersiksa dengan keputusan sang papah yang menikah lagi, ditambah perubahan sang papah yang juga menjadi pilih kasih. Mungkin karena ini juga, hati seorang Amanda luluh. Amanda tidak bisa menolak hal yang sebenarnya sangat tidak bisa ia terima.

“Tapi kenapa harus nikah, Tan? Bahkan aku masih sekolah. Mikirin pelajaran saja sudah bikin rambutku keriting, apalagi mikirin suami, anak, dapur, rumah ... ini namanya bundir!”

Sangat sabar, ibu Sintia menghela napas pelan. “Biar ada yang jagain kamu. Urusan sekolah, nanti bisa diatur karena Mamah jamin, pernikahan ini bersifat rahasia! Termasuk urusan kamu sama Samudra, kalian juga akan tetap tidur terpisah, terserah kalian yang atur sendiri. Semacam urusan masak dan lain-lain, ... sudah, kamu enggak usah urusin. Daripada kamu tetap bareng papah kamu, lama-lama kamu malah hancur!” Selalu itu yang ibu Sintia katakan, sampai Amanda lelah untuk bertanya lagi.

Amanda tahu, tidak ada pilihan yang benar-benar akan menguntungkan. Pasti ada risiko, tapi paling tidak, menjalani pernikahan rahasia dengan Samudra akan membuatnya tidak berurusan lagi dengan Anya maupun ibu Lista. Tentunya, ia juga tidak harus terus-menerus melihat kehangatan keduanya dengan sang papah yang selalu membuatnya cemburu.

“Ya sudahlah, gampang kan gini doang. Toh, aku juga enggak harus jadi IRT. Alasanku di sini murni agar papah dan keluarga barunya enggak seenaknya melukai aku! Oke, aku siap!” pikir Amanda.

Amanda pikir, memang semudah itu. Jadi, gadis itu mau-mau saja menerima. Membiarkan ibu Sintia menuntunnya masuk kembali ke kamar yang dikata wanita itu akan menjadi kamarnya.

Sekitar dua jam kemudian, pak Samudra memasuki kamar yang Amanda tempati. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu melepas peci hitam dari kepalanya. Suasana kamar yang sepi membuatnya mengamati kamar lebih teliti.

“Beneran, dia enggak tidur di sini? Padahal dari tadi kayaknya aku enggak lihat dia gentayangan, dalam artian, harusnya dia tetap di kamar ini.” Pak samudra mematikan lampu nakas, membuat suasana di sana benar-benar gelap sebelum akhirnya mengambil posisi tidur di pinggir sebelah kanan dan langsung lelap.

Padahal di kamar mandi, Amanda yang memakai headset, tengah membaca buku sambil duduk di kloset. Barulah sekitar tiga puluh menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi. Kenyataan kamar yang sudah gelap gulita membuat Amanda berpikir lampu nakas yang awalnya menyala, russak. Apalagi ketika ia memastikan, benar tidak ada perubahan. Padahal pak Samudra sengaja mencabut colokannya karena pria itu menggunakannya untuk mengisi daya ponselnya.

Tanpa banyak berpikir apalagi ketika ia melangkah memastikan pintu, pintu juga dalam keadaan terkunci, Amanda segera mengambil posisi tidur di seberang Samudra tidur. Amanda tidur dengan kedua telinga tang masih disumpal headset.

“Kok dirasa-rasa ada parfum laki-laki, ya? Kayaknya ini parfumnya si Samudra, dan aromanya kuat banget, seolah tuh orang ada di sini?” pikir Amanda. Namun, kenyataannya yang telanjur sangat mengantuk, membuatnya tidak kuasa memastikan.

Baik Amanda maupun pak Samudra sama-sama tidur dengan lelap. Bedanya, Amanda tidur dengan gaya baling-baling dan benar-benar tidak bisa tenang. Beberapa kali, kaki maupun tangan gadis itu menimpa Samudra. Namun yang ditimpa juga kebal dan hanya sesekali menyingkirkan asal. Kedua sejoli itu sama sekali tidak curiga karena telanjur lelap dengan tidur mereka. Barulah ketika dering dari beker bunyi, pak Samudra langsung terjaga.

Dengan malas pak Samudra merangsek menuju nakas di sebelah Amanda untuk mematikan beker yang ada di sana. Tak sampai benar-benar di dekat nakas, tangan pak Samudra sudah berhasil meraih beker. Amanda yang awalnya masih lelap dan sama sekali tidak terusik oleh berisiknya beker yang sempat berdering, langsung terusik oleh sentuhan tangan pak Samura yang tak sengaja merabaa dadanya.

Tak kalah terusik, pak Samudra yang awalnya masih merem-melek dan benar-benar malas untuk bangun juga menjadi bengong. Tangan kanannya menyentuh sesuatu, dan pria itu paham apa itu.

Tanpa direncanakan, kedua mata Amanda maupun pak Samudra berangsur terbuka. Tatapan mereka berakhir bertemu, kemudian refleks memastikan apa yang tangan pak Samudra genggam.

“ARRRRRRRGGGGGGHHH!” Amanda berteriak sekencang-kencangnya, kemudian refleks menenndang tubuh pak Samudra yang masih ada di atas tubuhnya.

Tubuh pak Samudra berakhir mental dan terkapar di lantai saking kuatnya tendangan yang Amanda lakukan. Pak Samudra meringis kesakitan, sementara Amanda yang panik sekaligus syok, buru-buru bangun. Amanda melangkah pergi menuju dekat pintu, menekan sakelar listrik dan membuat suasana di sana terang-benderang.

“Kamu ngapain ... kamu ngapain ada di kamar ini, dan tadi, tadi tangan kamu ....” Amanda benar-benar kacau karena sekadar bertanya, ia sampai tidak bisa saking bingungnya. Untuk pertama kalinya, ada pria yang dengan lancang memegang bagian dadanya. Dan meski pelakunya memang pria yang sudah menjadi suaminya, ia tatap marah.

Amanda mondar-mandir sambil menyikap dadanya menggunakan kedua tangan. Sesekali, ia melirik pak Samudra yang masih diam. Pria itu berangsur duduk dan malah pergi begitu saja tanpa sedikit pun membalasnya apa lagi meminta maaf.

“Heh, langsung nyelonong begitu saja? Seenggaknya kamu minta maaf dengan apa yang sudah kamu lakukan!” sergah Amanda sengaja mengejar.

Pak Samudra yang sudah masuk kamar mandi langsung balik badan. “Ini kamar aku, dan kita sudah menikah. Tolong jaga sikap kamu. Jangan sampai aku jadi orang yang keji juga ke istri sendiri!” tegasnya menatap Amanda penuh peringatan. Tak lupa, ia juga menatap luka di tangan Amanda yang sampai diperban.

Amanda yang memang masih marah, langsung bungkam. “Jari, semalam kita beneran tidur bersama?”

“Enggak terjadi apa-apa. Tadi itu aku hanya refleks buat matiin beker. Lagian, beker seberisik itu, kamu tetap anteng, seolah di kamar ini hanya ada aku!” balas Pak Samudra.

“Tapi yang berisik itu bekernya, dan matiinnya pun harusnya yang disentuh bekernya, bukan dada aku, kan?” protes Amanda. Kali ini pak Samudra tak lagi menjawab. Pria itu hanya menghela napas dalam kemudian menggeleng tak habis pikir sambil masuk ke kamar mandi.

“Astaga ... kami beneran sudah langsung tidur bareng dan dia, ... dia sudah langsung pegang-pegaang dada aku?” batin Amanda masih merasa sangat tidak nyaman. “Andai tadi aku enggak bangun, pasti dia sudah lebih! Dasar dudaa garong!” batin Amanda. Belum genap dua puluh empat jam mengenal pak Samudra, ia sudah langsung sebal kepada pria itu. Tanpa peduli status pria itu telah menjadi suaminya, kesan pertama Amanda terhadap pak Samudra sudah langsung bobrokk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!