NovelToon NovelToon

Pengkhianatan Cinta

1. Keadaan yang berbeda

"Azzura, kamu dimana sayang?" pekik seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah putih khas keturunan China. Pria itu berlari menyusuri rumahnya mencari seseorang yang ada di dalam rumah, siapa lagi kalau bukan istrinya yang bernama AZZURA FATHARANI

"Aku di taman, sayang." Balas seorang wanita cantik bertubuh tinggi, rambut hitam panjang sepinggang dan berparas cantik nan juga terlihat sexy.

Mendengar suara istrinya menyahut, pria bernama lengkap CHIKO KEYTARO segera berlari menuju taman yang ada di samping rumahnya. Dia langsung memeluk tubuh istrinya dan mengecup pipi sang istri berkali-kali.

"Hei, ada apa? Sepertinya kamu sangat senang sekali?" tanya Azzura merasa heran dengan suaminya yang tiba-tiba saja langsung memeluknya. Padahal, dia masih berjongkok dan tangannya masih berlumuran tanah karena sedang menanam tanaman.

"Aku sangat-sangat senang dan lagi bahagia sayang," balas Chiko sambil melepaskan tangannya. Dia beralih menangkup kedua pipi Azzura dan menatap bahagia wajah istrinya.

"Kamu tahu, hari ini aku naik jabatan, sayang." Nampak binar bahagia dari raut wajah Chiko dan Azzura ikut bahagia juga.

"Benarkah? Ini sungguh kabar bahagia, sayang. Selamat ya atas kenaikan jabatannya." Azzura dengan tulus mengucap selamat untuk suaminya dan juga menghadiahi kecupan bertubi-tubi di sekitar wajah Chiko.

"Terima kasih, sayang. Kamu tidak ingin tahu posisi jabatan ku sekarang apa?"

Azzura mengangguk antusias. "Apa?"

"General manager. Jabatan ku naik setelah mereka melihat kerja kerasku yang tekun dan juga bisa di andalkan." Dengan bangganya Chiko memberitahukan pekerjaan dia yang baru.

Chiko memang seorang pekerja keras karena dia merupakan pria pintar dan juga tekun. Demi mendapatkan kepercayaan ini, Chiko begitu ulet bekerja hingga semuanya membuahkan hasil. Dia yang tadinya sebagai sekertaris naik pangkat menjadi manager yang bertugas mewakili setiap pekerjaan atasan dikala sang bos memerintahkan.

"Benarkah? Ah, aku ikut bahagia." Azzura memeluk suaminya. Ia terharu karena suaminya mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik lagi.

"Satu lagi, kita akan pindah dari sini." Azzura terhenyak. Ia melepaskan pelukannya dan memandang Chiko penuh pertanyaan.

"Kenapa harus pindah? Kita sudah lama tinggal di sini dan juga banyak kenangan di rumah ini." Azzura keberatan dan ia memperhatikan rumah sederhana yang selama dua tahun ini menjadi tempat mereka tinggal. Meskipun rumahnya nampak biasa saja, hanya lantai satu dan terdiri dari dua kamar, satu dapur, dan ruang tengah yang di gunakan untuk bersantai sekaligus di gunakan untuk menerima tamu, dan halaman kecil yang ada di samping rumahnya. Rumah yang mereka beli dari hasil jerih payah Chiko bekerja.

"Kita membeli rumah ini dari sejak pertama kali menikah, dan di sini juga banyak sekali suka duka yang kita lalui bersama mulai dari tidak memiliki apa-apa hingga mempunyai sesuatu. Sayang kalau harus di tinggalkan," sambung Azzura sedih.

Chiko menarik pelan tangan Azzura membawanya berdiri, lalu mengajaknya duduk di kursi yang ada di sana. Tangan Chiko memegang kedua tangan Azzura dan ia menatap lekat bila mata indah istrinya.

"Dengarkan aku! Aku tahu rumah ini begitu banyak kenangan, tapi kita pindah tidak jauh dari sini. Hanya beberapa puluh meter saja. Lagian, kita pindah ke tempat yang jauh lebih nyaman dan juga bersih. Di sini terlalu sepi untuk kamu yang seringkali aku tinggal sendiri. Kalau di sana, tempatnya dekat dengan jalan dan ramai penghuni rumah serta banyak anak-anak. Jadi, aku tidak khawatir meninggalkanmu sendirian." Chiko menjelaskan alasan dia mengajak pindah istrinya.

"Memang benar di sini terlihat sepi. Namun, aku sudah nyaman di rumah sederhana ini."

"Kita tidak akan menjualnya, kita akan menjadikan tempat ini sebagai kenangan dan mungkin suatu hari bisa di tinggali oleh anak-anak jika ada yang bersedia meninggalnya. Kamu mau 'kan?"

Azzura diam dulu dan memikirkan masak-masak ajakan suaminya. Karena Azzura tipekal wanita penurut dan patuh, ia pun menyetujui ajakan suaminya. "Baiklah, aku akan ikut kamu."

Chiko tersenyum lebar dan kembali memeluk Azzura. "Makasih sayang, kamu memang yang terbaik. Sekarang kita beres-beres dan besok pagi kita pindah ke rumah baru kita."

Azzura hanya mengangguk mengikuti suaminya. Bagi seorang Azzura, perintah suami adalah sebuah jalan menuju surga, jadi sebisa mungkin Azzura menyetujuinya.

*****

Tempat berbeda, seorang wanita yang kira-kira seusia Azzura, tapi masih tuaan dia yang sedang marah-marah kepada suaminya.

"Aku capek harus hidup begini terus. Aku juga malu terus ngutang sama tetangga, ke warung untuk memenuhi kebutuhan kita. Kenapa kamu harus mengalami kecelakaan segala sih? Sekarang hidup kita banyak utang dan tidak berkecukupan. Mana harus membeli susu, beras, kebutuhan dapur lainnya, tapi uang tidak punya." Wanita itu mengeluh tentang kehidupannya yang di uji dalam materi. Dia berdiri sembari menggendong bayi berusia enam bulan yang sedikit rewel di pangkuan ibunya.

"Ini sudah kehendak Allah, Ghina. Aku juga tidak menginginkan kecelakaan ini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Maaf harus merepotkan mu," balas pria tampan dengan pakaian sedikit lusuh, rambut sedikit gondrong, dan sedang duduk di kursi roda.

"Pasrah kamu bilang? Pasrah menerima keadaan kita yang semakin hari semakin menderita. Keadaan semakin sulit di saat harga pangan naik. Sedangkan kamu tidak lagi bekerja dan aku pun hanya dapat uang dari jualan kue saja, itupun tidak seberapa, Mas Azzam. Aku capek hidup miskin terus, aku akan mencari pekerjaan agar kehidupan perekonomian kita jauh lebih baik lagi. Izin atau tanpa izin dari kamu aku tidak peduli!"

GHINA NAYSILA, seorang wanita berusia 26 tahun mengeluhkan kondisi suaminya dan perekonomian kita.

"Ya Allah Ghina, kamu tidak bisa mencari pekerjaan lain. Ada AZRIEL yang harus kamu urus dan masih butuh perhatian kamu." Azzam tidak mungkin membiarkan istrinya bekerja di saat anaknya masih butuh ibunya.

"Kan ada kamu yang akan menjaganya. Aku bekerja cari uang dan tugas kamu yang menjaga Azriel serta mengurus keperluan rumah. Pagi-pagi aku akan menitipkan kue ke setiap warung dan setelah siangnya aku akan bekerja."

"Tapi ..."

"Sudahlah, Mas. Ikuti saja saran ku. Kamu mau kita kekurangan terus? Banyak banget yang harus kita beli dan kamu tidak bisa membantuku!" ujar Ghina memutuskan sepihak rencana yang telah ia susun kedepannya.

AZZAM ALFAUZI, beberapa bulan yang lalu, dia mengalami kecelakaan di saat hendak pergi bekerja. Dari kecelakaan itu mengakibatkan kakinya sedikit retak dan butuh waktu untuk memulihkan kondisinya seperti semula. Sudah banyak uang yang di keluarkan oleh mereka demi mengobati kaki Azzam. Namun, sekarang keadaan ekonominya sedang di uji dan Azzam tidak meneruskan pengobatannya.

2. Bersiap-siap

Azzura dan Chiko sedang berkemas mengumpulkan barang-barang yang akan mereka bawa ke rumah baru. Banyak yang mereka masukkan ke dalam dus termasuk berbagai macam foto, hiasan dinding, dan berbagai macam barang-barang penting lainnya.

"Sayang, ini akan di bawa tidak?" tanya Azzura mengangkat sebuah pas bunga yang terbuat dari bahan anyaman rotan.

"Itu tidak perlu, kita bisa membelinya yang baru. Barang yang di bawa hanya barang-barang penting saja, sayang. Kamu juga kumpulkan barang-barang apa saja yang akan kita sumbangkan ke orang-orang yang membutuhkan. Karena di rumah baru sudah banyak barang-barangnya, jadi kita hanya membawa barang penting saja. Baju juga kamu pilih yang kamu suka dan sisanya kita sumbangkan."

Azzura tersenyum senang mendengar sebuah ide dari suaminya. Ia merasa beruntung memiliki suami yang peduli terhadap sesama manusia.

"Kamu sangat baik, sayang. Aku semakin cinta sama kamu. Semoga rumahtangga kita tetap langgeng sampai maut memisahkan." Azzura memeluk suaminya dan sangat bahagia serta beruntung memiliki suami idaman.

"Aamiin, tetap bersamaku, ya." Azzura mengangguk dan mendongak. Chiko mengecup lembut bibir istrinya dan mereka kembali bersiap-siap membereskan barang-barang yang akan dibawa pindahan serta yang akan di bagikan.

Waktu semakin larut malam, baik Azzura maupun Chiko bekerja sama mengumpulkan setiap barang yang akan di bawa dan di bagikan. Sudah banyak dus-dus yang berjejer rapi buat di angkut esok hari.

"Akhirnya selesai juga. Besok tinggal di angkut," tutur Chiko seraya menepuk-nepuk telapak tangannya. Azzura mendudukkan bokongnya di salah satu kursi. Dia nampak terlihat kelelahan dan juga matanya terpejam seakan merasakan lelah yang di rasa.

"Kita istirahat, yuk? Sudah malam. Maaf membuatmu lelah." Chiko kasihan kepada istrinya dan ia membopong Azzura membawa sang istri ke kamar mereka. Tentu dengan senang hari Azzura melingkarkan tangannya ke leher Chiko dan menelungkupkan wajahnya ke ceruk leher Chiko.

*****

Kediaman Azzam.

Tak kalah dari Azzura beserta pasangannya, Ghina juga tengah bersiap-siap membuat aneka jajanan kue yang akan di titipkan ke warung-warung. Meski hasilnya tidak cukup, Ghina berusaha untuk tetap menjualnya. Hanya dari jualan itulah Ghina mampu sedikit melunasi setiap utang yang ia miliki dan juga mampu membantu perekonomian mereka walau tidak akan cukup.

"Ghina, belum tidur?" ujar Azzam menghampiri istrinya yang sedang berkutat di dapur membuat kue lapis. "Ini sudah mau jam satu dini hari, Ghin," sambung Azzam yang terbangun dari tidurnya karena tidak ada di Ghina di sampingnya.

"Pekerjaanku masih banyak, Mas. Mau tidak mau aku harus mengerjakan semua ini agar besok pagi tidak keteteran dan tinggal menitipkan ke setiap warung terdekat," balas Ghina sambil tangannya fokus membungkus aneka jajanan kue.

"Tapi kamu juga harus menjaga tubuh kamu agar tidak terlalu kelelahan. Istirahat dulu baru nanti bangun lagi. Jangan lupa juga shalat malam agar kamu di berikan ketenangan dan apa yang kita kerjakan menjadi berkah." Azzam mencoba menasehati istrinya, ia tidak ingin sang istri menjadi sakit karena terlalu sering bergadang.

Ghina memberhentikan kegiatannya dan ia menoleh tidak suka dengan ceramah yang di berikan suaminya. "Kamu bisa diam tidak sih? Bukannya membantuku malah menceramahi ku. Mau aku shalat malam ataupun tidak itu terserah aku, dong. Lagian, kalau aku tidak begadang siapa yang akan bikin kue-kue ini? Kamu? Tentu saja kamu tidak becus membuatnya. Jangankan membuat, bantu cari uang saja tidak bisa." Sindir Ghina tanpa sadar menyakiti suaminya dalam ucapan.

"Bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak ingin kamu lupa kepada tuhanmu dan ..."

"Halah, sudahlah, Mas! Jangan bawel jadi suami! Mending sekarang bantu aku agar semuanya cepat selesai. Kalau mau ceramah di mesjid saja, bukan di sini, paham?" sergah Ghina bertambah kesal dengan ocehan suaminya.

Azzam menghelakan nafas berat, ia tidak menyangka perekonomian mampu merubah sikap istrinya. Ghina yang tadinya selalu bertutur akta lembut, sopan, tidak pernah membangkang, dan tidak pernah memarahi dirinya mendadak berubah menjadi kebalikannya. Namun, karena rasa cinta dan kasih sayang serta karena putranya, Azzam memaklumi itu dan ia akan berusaha membimbing istrinya lagi. Azzam meyakini kalau lambat lain Ghina pasti kembali ke sikap semula. Dan sikap itulah yang membuat Azzam memilih Ghina sebagai istrinya meski ia harus melawan restu orangtuanya.

Azzam pun tidak diam saja, ia membantu Ghina menyusun kue-kue kedalam box kotak plastik tempat kue. Dia juga sesekali mencoba mengingatkan istrinya untuk shalat malam.

"Jangan lupa kita shalat malam dulu, ya."

"Iya, iya. Bawel banget jadi suami," sergah Ghina menggerutu kesal.

Sekian lama berkutat di dapur, Azzam dan Ghina bisa menyelesaikan pekerjaan mereka dan kembali tidur sambil menunggu adzan subuh berkumandang.

Keesokan harinya.

Di kediaman Chiko, mereka sedang menyuruh seorang kuli untuk mengangkut barang-barang mereka.

"Pak, yang di sebelah kiri bisa diambil dan bisa disumbangkan ke mereka yang membutuhkan. Sedangkan yang di kanan, tolong angkut dan bawa ke ...." Azzura menjelaskan dulu apa saja yang harus mereka lakukan.

Terdapat dua mobil pickup untuk mengangkut barang mereka. Yang satu mengikuti Chiko, dan yang satunya pergi ke tempat yang Azzura perintahkan.

Mereka pun tiba di rumah barunya. Azzura turun dari mobil dan ia menatap rumah dua tingkat minimalis yang terlihat lebih mewah dari rumah kemarin.

"Sayang, ini?" Azzura tidak menyangka kalau ternyata rumahnya sebagus itu.

"Ini rumah baru kita, uang hasil dari kerja kerasku aku belikan ke rumah ini." Chiko merangkul pundak Azzura dan tersenyum ikut menatap rumah barunya.

*****

"Permisi, Bu. Mau titip kuenya ya." Ghina menitipkan satu box kue ke warung.

"Nak, kalau boleh jangan titip banyak-banyak, ya! Soalnya mereka jarang beli dan makanannya pun akan mubazir. 'Kan sayang kalau tidak laku mah." Ibu pemilik warung memberikan saran pada Ghina. Bukan tidak mau, tapi karena memang orang-orang udah jarang banget beli kue-kue yang Ghina titipkan.

"Oh gitu ya, Bu. Iya, gak apa-apa. Lain kali aku hanya akan menyimpan sebagian dari biasanya." Meski kecewa, tapi Ghina tidak bisa apa-apa.

Dia kembali berjalan membawa satu box kue lagi. Anaknya di titipkan ke suaminya dengan alasan berat dan merepotkan. Setibanya di dekat warung ke dua, Ghina melihat tetangga baru sedang menuruni beberapa barang.

"Bu, itu baru pindahan, ya?" tanya Ghina pada ibu pemilik warung.

"Iya, dia baru hari ini mengisi rumah itu."

"Oh." Ghina memperhatikan pergerakan orang-orang dan dia juga memperhatikan sepasang suami istri yang nampak bahagia.

"Seandainya aku yang ada di posisi wanita itu, pasti hidupku tidak akan sampai harus menjual kue begini."

3. Mengundang

"Yang sabar ya sayang. Sebentar lagi mama akan pulang. Kamu harus jadi anak yang shaleh, penurut, pintar, dan menjadi kebanggaan kami," tutur Azzam seraya menggendong putranya sambil menunggu Ghina pulang.

"Permisi pak Azzam," ucap salah seorang pria menghampiri Azzam.

"Eh, pak RT. Pasti mau iuran Jum'attan, ya?"

"Iya, Pak. Seperti biasa." Di sana, setiap KK di haruskan ikutan iuran setiap Jum'at. Uangnya di kumpulkan di bendahara RT dan jika nanti ada yang sakit atau meninggal uang iuran itu bisa membantu sebagian orang.

"Tunggu sebentar ya, Pak." Azzam masuk kedalam rumah. Terlihat sekali jika dia kesulitan memutar roda kursinya.

"Pak, anaknya biar saya bantu pegang dulu," ucap tetangga yang ikut mengantarkan Pak RT keliling kampung.

"Maaf pak merepotkan." Azzam menitipkan sebentar putranya kepada tetangga. Dia pun masuk ke dalam mengambil uang dan kertas yang berisi nama-nama bulan.

*****

Kediaman Chiko.

"Sayang, berhubung kita sudah pindah kesini, aku mau mengundang anak-anak panti asuhan, ya. Tidak apa-apa 'kan?" tanya Azzura sedang berdiri menyusun foto-foto dirinya dan beberapa barang ke dalam lemari kristal.

"Tentu tidak apa-apa, justru ini akan sangat lebih baik. Mudah-mudahan saja dengan kita berbagi ke anak yatim rezeki kita semakin berlipat ganda." Chiko tidak mungkin keberatan karena Azzura memang selalu melakukan hal itu setiap kali dirinya gajian.

"Oh iya, aku lupa. Kita juga harus ke Gereja beribadah sekaligus meminta doa kepada Tuhan." Azzura mengingatkan suaminya untuk berdoa ke tempat Tuhan mereka.

"Iya, nanti setelah semuanya selesai kita ke Gereja hari ini juga. Sekalian akan mencari aneka macam kue buat menyuguhi para tahu."

"Baiklah, sayang. Kalau begitu aku mau menyelesaikan pekerjaan ini dulu," tutur Azzura sambil menyelesaikan tugas beres-beres nya. Dia tidak mau merepotkan orang lain dan hanya ingin dia sendiri yang menyusun semuanya sesuai dengan imajinasinya.

Sekian lama berkutat dengan berbagai macam barang, akhirnya Azzura dan Chiko selesai juga.

"Akhirnya selesai juga," gumam Chiko sambil melihat jam di dinding. "Baru jam dua belas siang. Kita mandi dulu yu! Baru kita ke Gereja." Ajak Chiko dan diangguki oleh Azzura.

*****

Hal pertama yang dilakukan Azzura dan Chiko berdoa ke Gereja, lalu pergi ke panti asuhan yang sama-sama memiliki agama seperti mereka berdua.

"Begini, Bu. Kami ingin mengundang ibu dan adik-adik semua syukuran ke rumah baru kami di jalan xxx no 20." Chiko bersuara.

"Terima kasih, Nak. Kami Pasti akan datang dan mendoakan kalian."

Chiko dan Azzura tersenyum, setelah dari sana mereka kembali pulang. Saat di dalam mobil, Azzura meminta suaminya mengundang salah satu panti asuhan para anak-anak muslim.

"Sayang, kita undang lagi anak-anak panti orang muslim ya?"

"Apa itu tidak akan mengganggu mereka? Soalnya cara mereka mendoakan pasti beda." Chiko takut nantinya asa pro dan kontra.

"Bagaimana pun cara mereka berdoa, tetap yang mereka lakukan hal yang benar. Sekalipun mereka beda agama, kita tidak bisa menghakimi agamanya. Yang penting kita tulus membantu anak yatim-piatu. Mau, ya?" Azzura berharap suaminya mau membantu.

"Baiklah, sekarang kita akan mencari panti asuhan terdekat lagi. Aku bangga sama kamu, aku semakin mencintaimu." Chiko merasa beruntung memiliki istri sebaik dan juga sepeduli Azzura. Meskipun wanita itu sering kali terlihat sexy dan penampilannya suka terbuka, tapi di balik itu semua hatinya sangatlah lembut dan baik hati.

Pasangan calon istri itu pun telah mengundang satu panti asuhan lagi.

"Tapi, Bu. Maaf, Sebelumnya kami mau bertanya apa ibu dan adik-adik bersedia datang ke rumah kami? Kami ini non muslim, Bu," kata Azzura memastikan dulu kesediaan mereka.

Terlihat keterkejutan dari wajah pemilik panti. Namun, sedetik kemudian mereka tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Nak. Justru kami terharu ada, maaf, non muslim mau mengundang kami. Dengan senang hati kami akan datang dan mendoakan kalian." Ibu itu menyetujui dan terharu karena baru pertama kalinya mereka di undang ke rumah beragama lain. Karena biasanya, yang lain tidak memperbolehkan hal itu. Ibu panti itu merasa ada secerca hidayah masuk ke relung hati mereka.

"Semoga dengan hadirnya kami ke dalam rumah kalian mampu mengetuk hati kalian dan merangkul agama kami, aamiin." Batin pemilik panti bersuara.

Azzura tersenyum, "Terima kasih sudah mau bersedia datang ke rumah. Kami tunggu kedatangannya."

"Insyaallah, Nak. Kami pasti datang."

****

"Sekarang kita tinggal mencari pemasok kue buat menyuguhi mereka. Kita cari kemana ya, sayang." Azzura dan Chiko turun dari mobil hendak masuk ke dalam rumah.

"Coba kita tanya ke warung yang ada di sebrang jalan, sayang." Chiko mengajak Azzura ke warung dan wanita yang sedang ia rangkul pinggangnya mengangguk saja.

"Permisi."

"Iya, mau beli apa?"

"Oh tidak, Bu. Kami hanya ingin bertanya, apa di sini ada yang jualan jajan kue? Soalnya kami mau pesan buat acara syukuran rumah baru," tanya Azzura karena Chiko sedang menerima telpon.

"Ada, namanya Ghina. Dia suka bikin jajanan kue dan ini salah satu contohnya." Ibu warung itu menunjukkan kue-kue buatan Ghina.

"Kalau boleh tahu rumahnya di mana, ya?" Azzura tertarik untuk memesan kue ke Ghina.

"Ada di sebelah sana. Hanya terhalang lima rumah dan cat rumahnya warna hijau." Azzura mengangguk mengerti. Ia pun tersenyum ramah.

"Makasih, ya. Bu. Oh iya, besok siang datang ya ke rumah. Kita silaturahmi saja."

"Eh, iya. Insyaallah."

Azzura dan Chiko pun pamitan mencari rumah Ghina. Ibu warung itu menatap Azzura, "sangat cantik sekali dan juga ramah, tapi sepertinya mereka non muslim," gumam ibu itu setelah melihat kalung yang di kenakan Azzura.

*****

Kediaman Azzam.

Azzam sedari tadi tidak tenang sebab istrinya tak kunjung pulang padahal waktu sudah sangat siang. Tidak biasanya Ghina belum pulang setelah mengantarkan kue ke warung. Biasanya, jam delapan pagi sudah kembali lagi ke rumah, tapi kali ini sudah Dzuhur Ghina tidak pulang.

"Ghina, kamu kemana? Azriel rewel tidak tenang." Azzam mengeluh dan ia mencoba menenangkan putranya yang terlihat rewel. Mungkin karena Azriel masih membutuhkan asi, jadi bayi itu mencari mamanya.

Orang yang di tunggu pun datang menenteng belanjaan. "Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam. Kamu darimana saja, Ghina? Pergi tidak izin dulu membuatku khawatir. Azriel rewel, sepertinya mau Mimi dulu." Azzam lega istrinya sudah pulang dan bisa segera menyusui putranya.

Terlihat tangan mungil itu bergerak ingin menggapai Ghina.

"Aku habis bekerja, Mas. Bukan main-main. Lagi cari pekerjaan tambahan buat memenuhi kebutuhan kita. Emangnya kamu mau cari uang? Cacat gini mana bisa cari uang. Jadi jangan banyak tanya." Ghina berkata ketua dan terdengar marah sambil masuk menyimpan barang belanjaannya dulu.

Azzam pun masuk sambil memangku putranya dan mencoba menggerakkan kursi rodanya. Ia tidak mengambil hati pembicaraan istrinya yang semakin hari semakin tidak baik saja. "Aku hanya mengkhawatirkan mu, Ghina. Kasihan Azriel selalu merengek."

"Kan kamu bisa kasih dia susu formula dulu, jangan nungguin aku pulang. Untuk apa aku membeli susu kalau bukan untuk Azriel," seru Ghina menoleh kesal sambil mengambil bayi mungil di pangkuannya Azzam.

Tok ... tok ... tok ....

"Permisi," ucap seseorang membuat Azzam dan Ghina menoleh.

"Biar aku saja yang buka," ucap Ghina dan Azzam mengikutinya dari belakang.

Ceklek.

"Siapa, ya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!