NovelToon NovelToon

SYSTEM PERAWAN

Penolakan

Jedder!

Gemuruh suara petir menggelegar. Menyentak sebagian orang yang sedang terkurung air dari langit. Hujan deras disertai angin masih mengguyur sebagian wilayah bumi. Udara begitu terasa dingin hingga menyebabkan sebagian penduduk di salah satu muka bumi memilih merapatkan tubuhnya dengan selimut atau apapuan yang bisa digunakan untuk menghalau rasa dingin yang menerpa kulit mereka.

"Ingin menikahi anakku? Apa kamu sedang bermimpi!"

Ucapan lantang seorang pria paru baya terdengar mengejutkan seperti petir yang baru saja menyambar. Pria paruh baya itu menatap sinis kepada pemuda yang sedang menatapnya dengan tatapan nanar. "Kamu ini hanya pemuda miskin, mau di kasih makan apa anak saya? Cilok!"

Pemuda itu terkesiap. Matanya masih menatap orang yang baru saja melontarkan hinaan pedas kepadanya. Ada rasa amarah yan membakar benaknya, namun apa daya pemuda itu tidak bisa meluapkan amarah itu karena dia masih menghormati orang tua dari wanita yang sangat dcintai oleh pemuda itu sejak empat bulan yang lalu.

"Heh, Rafi. Kamu tuh harusnya ngaca, adik aku mana pantas nikah sama kamu!" hinaan yang hampir sama juga keluar dari kakak sang kekasih. Mata pemuda bernama Rafi langsung mengedarkan pandangannya ke arah wanita yang baru ikut melontarkan ucapan pedasnya. "Harusnya kamu tuh mikir, apa adikku serius suka sama kamu? Lihat, dia saja nggak ada disini begitu dia tahu kamu akan datang."

Rafi tercenung. Matanya mengedar ke sekitar teras dimana dia saat ini sedang berhadapan dengan keluarga dari wanita yang dia cintai. Ternyata benar, sejak Rafi datang, dia tidak melihat wanita pujaan hatinya berada di tempat yang sama.

"Kamu itu harusnya berpikir dulu sebelum niat menikahi anak saya," kini gantian wanita yang melahirkan sang kekasih yang angkat suara. "Kamu itu hanya pedagang cilok keliling. Bahkan jualan aja ikut ambil dagangan orang, dan kamu berharap kami akan menerima niat kamu. Sebaiknya kamu bangun dari tidurnya dan menerima kenyataan, jangan terlalu bermimpi ingin numpang hidup pada kita."

Meski tutur katanya sangat lembut, nyatanya ucapan Ibu dari sang kekasih lebih menyayat hati daripada yang lainnya.

"Tapi kami saling mencintai, Bu, dan saya janji, saya akan membahagiakan anak ibu," Rafi tetap berusaha meyakinkan keluarga sang kekasih. Pemuda itu masih berharap kalau keluarga sang kekasih melihat ketulusan dari pria itu.

"Cinta? Hahaha ... Apa anakku bakalan kenyang dikasih cinta sama kamu?" sang Bapak kembali mengeluarkan hinaanya. "Hidup itu realistis, Fi. Nggak ada duit nggak bakalan bahagia. Kamu aja masih kesusahan nyenengin orang tua kamu, pake gaya gayaan mau nyenengin anak aku."

"Tapi, Pak ..."

"Nggak ada tapi tapian, sekali aku bilang tidak ya tidak! Nggak sudi aku memiliki mantu kere kayak kamu. Dua menantuku saja Polisi sama dosen, eh kamu yangg hanya pedagang cilok dengan sangat percaya diri mau menikahi anakku. Enak banget ya mau numpang hidup."

"Udah deh, Pak. Mending kita masuk. Enakan di kamar hangat daripada ngurusin anak nggak tahu diri ini. Miskin, tapi nggak sadar diri."

Semuanya lantas masuk meninggalkan pemuda yang masih menunduk dan menahan segala rasa sakit serta amarah yang berbaur di dalam dadanya. Tanpa terasa ada beberapa tetes air yang keluar dari sudut mata Rafi. Pemuda itu lantas berdiri dengan gontai, beranjak dari teras, meraih mantel tipisnya yang tergeletak di pojokan sana.

Begitu mantel sudah terpakai, Rafi dengan langkah gontai menuju motor bututnya yang telah lama mati pajak. Motor yang sudah basah kuyup itu dia nyalakan. Tapi sayang, motor itu sepertinya mendukung nasib sial pemiliknya malam ini. Motor model lama itu tak mau menyala meski Rafi berkali kali mencobanya. Emosi Rafi makin bertambah, tapi dia masih bisa menahannya dan dengan sangat terpaksa dia menuntun motor butut dengan merk astria, keluar dari halaman rumah sang kekasih.

Dalam guyuran hujan deras, kaki Rafi terus melangkah. Meski dirinya memakai mantel, tapi mantel seharga empat ribu rupiah itu tidak sepenuhnya bisa melindungi pakaian Rafi dari air hujan. Pemuda itu tetap kebasahan di sepanjang langkah kakinya. Begitu Rafi sampai di jalan raya, dia kembali mencoba menyalakan motor.

"Brengsek! Sialan! Motor nggak ada gunanya!" maki Rafi sambil menendang motor itu hingga terjungkal. Rafi sungguh meluapkan amarahnya yang sedari tadi dia pendam kepada motornya. Dadanya kembang kempis dengan amarahnya yang begitu besar, dia merutuki nasibnya saat ini.

Puas melampiaskan amarahnya, Rafi kembali memperbaiki posisi motornya lalu menuntun motor itu menuju rumahnya yang jaraknya masih cukup jauh. Saat langkah kakinya menghinjak jalan di depan sebuah hotel, mata Rafi dikejutkan dengan seseorang yang baru turun dari mobil di depan hotel tersebut.

...@@@@@@...

Karya baru telah datang. Hy reader, selamat datang, dan selamat menikmati karya terbaru saya. Othor mencoba karya diluar jalur yang sering othor bikin nih. Semoga kalian suka dan sudi memberi dukungannya ya? Bagi yang sudah suhu dalam dunia, silakan nanti tuangkan kritik dan sarannya. Semoga kalian terhibur dan jangan lupa dukungannya ya? Terima kasih.

Visual Rafi

Pengkhianatan

"Arinda!"

Rafi memekik menyebut nama wanita yang sudah empat bulan membuat hari harinya bahagia. Wanita yang sangat dia cintai, kini tak jauh dari tempat Rafi berdiri. Wanita itu tersenyum manis, tapi sayang senyum wanita itu bukan untuk Rafi. Senyum wanita itu terkembang dan tertuju pada pria yang baru saja turun dari mobil yang sama yang dipakai Arinda.

Sakit tak berdarah, itu yang Rafi rasakan saat ini. Bagaimana mungkin wanita yang sedang dia perjuangkan bisa berpeluk mesra dengan pria lain. Wanita yang selalu dituruti permintaannya oleh Rafi hingga pemuda itu harus terlilit hutang demi membahagiakan sang pujaan hati, kini justru wanita itu masuk ke dalam hotel bersama pria lain di depan mata Rafi.

Ya, sejak menjalin kasih dengan Arinda, Rafi menjadi orang yang terlilit hutang cukup banyak, baik kepada bos cilok, teman atau tetangganya. Semua itu Rafi lakukan demi menyenangkan hati sang kekasih agar selalu bersamanya. Karena cinta, Rafi membutakan mata dan menulikan telinga, untuk menepis setiap nasehat yang mengalir untuknya. Di mata Rafi, Arinda adalah wanita yang sangat cantik dan sangat baik karena mau menerima dia apa adanya.

Dengan segala amarah yang menderu, Rafi melangkah cepat menuju ke arah dimana Arinda saat ini berada. "Arinda!" panggil Rafi dengan suara yang cukup lantang hingga wanita yang dia panggil langsung menoleh.

Arinda awalnya terkejut melihat seseorang yang telah berteriak memanggil namanya, tapi rasa terkejutnya tak berlangsung lama, Arinda langsung menatap jengah pada pria yang tidak diharapkan kemunculannya.

"Siapa?" tanya pria yang sedang bersama wanita itu.

"Bukan siapa siapa," jawab Arinda enteng lalu dia kembali memutar kepala dan meneruskan langkah kakinya bersama sang lelaki melangkah menuju pintu hotel.

Rafi terkejut, Arinda mengabaikannya. Dia segera menghampiri wanita itu dan mencekal tangannya. "Apa yang kamu lakukan disini, hah!" hardik Rafi begitu tubuh Arinda berbalik dan menghadapnya.

"Kenapa? Suka suka aku lah," jawab Arinda cuek.Dia langsung menepis tangan Rafi dengan keras.

"Siapa kamu? Gangguin pacar aku. hah!" laki laki yang bersama Arinda balik menggertak.

"Apa! Pacar? Hahaha ... Rin, jelaskan sama pria itu, siapa aku?"

"Kamu siapa? Dia memang pacar aku."

Deg

Rafi tercengang. Dia sangat terkejut dangan apa yang baru saja diucapkan wanita yang dia cintai. "Maksud kamu?"

"Apa kamu tuli? Dengarkan baik baik, dia pacar aku, paham!" Arinda malah membentak Rafi tepat di depan wajahnya.

Rafi semakin ternganga. Kali ini dia bagai tersambar petir mendengar ucapan Arinda. "Rin, bukankah selama ini kita ..."

"Pacaran? Hahaha ... jangan mimpi. Aku nggak sudi punya pacar miskin kayak kamu."

Arinda!"

"Apa!" Arinda berseru lebih keras sampai semua mata yang ada di hotel sederhana itu menatap ke arah mereka. "Mungkin memang sudah waktunya kamu mendengar kenyataan, Fi. Dengarkan baik baik,selama ini aku tuh tidak pernah cinta sama kamu."

"Apa!"

"Ya. seperti yang kamu dengar, selama ini aku tidak pernah cinta sama kamu. Jangan berpikir berlebihan, Fi. Hanya gara gara kamu sudah nolongin aku, terus kamu layak disebut pahlawan dan latyak untuk berpacaran dengan aku? Nggak. Jangan mimpi! Kamu nggak layak buat aku."

Mata Rafi membulat dan menatap tajam wanita yang sedang menghinanya. Tangannya terkepal. Betapa dia sangat terkejut mendengar setiap kata yang keluar dari mulut wanita yang sangat dia cintai. "Kamu bercanda kan?" ucap Rafi yang masih tak percaya dengan apa yan terjadi di depan matanya.

"Kamu pikir aku bercanda? hahaha ... ngaca dong, Fi, ngaca! Kamu itu pria menyedihkan yang pernah aku kenal. Oke kamu memang sudah menyelamatkan aku dari preman preman dulu. Tapi bukan berarti aku jatuh cinta sama kamu, tidak. aku hanya membalas budi atas apa yang kamu lakukan kepadaku. Jadi aku rasa aku impas bukan? Kamu menyelamatkan aku dan aku berpura pura mencintai kamu agar kamu bahagia, adil, bukan?"

"Apa! Jadi selama ini?"

"Ya, seperti yang baru saja kamu dengar, aku hanya pura pura jadi pacar kamu saja. Maaf. Mending kamu cari cewek lain yang sama miskinnya sama kamu."

Emosi Rafi semakin meninggi. Tangannya yang mengepal terangkat dan sebuah bogem mendarat sempurna di hidung Arinda.

"Sialan!" teriak Rafi.

Bugh

"Akhh!" Arinda langsung terpental dan terjerembat ke lantai. Hidungnya sontak berdarah. Laki laki yang bersama Arinda hendak membalas dengan memberi pukulan, tapi gerakannya kalah cepat dengan gerakan tangan Rafi. laki laki itu pun langsung terkapar akibat tendangan kaki Rafi yang mendarat di perutnya.

Rafi berjongkok dan meraih kerah baju Arinda dan menatap tajam wajah wanita yang saat ini sedang ketakutan. "Aku akan buat perhitungan sama kamu, Arinda! Kamu pikir aku akan membiarkanmu? Nggak akan!"

Rafi menghempas tubuh Arinda dengan keras dan dia langsung meninggalkan tempat tersebut dengan segala amarah yang berkobar.

...@@@@@...

Kabar Buruk

Rafi meninggalkan Arinda dengan segala amarah yang masih tersisa. Dia tidak peduli dengan segala teriakan dan ancaman dari dua orang yang baru saja Rafi hajar. Beruntung, hotel yang tadi Rafi sambangi, adalah hotel kecil yang lebih tepatnya disebut motel, sebab dengan ongkos sewa hanya sebesar lima puluh ribu rupiah, pengguna bisa menggunakan kamar selama empat jam saja. Karena termasuk hotel yang mura, jadi tidak ada petugas keaamaan yang berjaga di sana. Yang ada hanya satu karyawan hotel dan beberapa penyewa kamar yang ingi sekedar membuang benih saja.

Rafi masih menuntun motor bututnya diantara rintik hujan, menuju rumahnya yang memang terletak di kampung berbeda. sepanjang perjalanan bahkan Rafi tidak menemukan bengkel satu pun yang buka. Hingga ada sebuah mobil bak terbuka yang berbaik hati menawari tumpangan untuk Rafi menuju ke rumahnya.

Saat sampai rumah, Rafi dikejutkan dengan beberapa tetangga yang sedang berada di depan rumahnya. Kening Rafi berkerut, sebab dari wajah yang ditunjukkan para tetangga, Rafi merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. benar saja, begitu melihat Rafi datang, para tetangga langsung menyambutnya.

"Kamu kemana saja, Fi? dar tadi kami menunggumu. Nomer telfon kamu juga nggak aktif," ucap salah satu tetangga saat langkah kaki Rafi sampai di depan pintu rumah kecilnya. Rumah Rafi memang tidak luas. Hanya ada tiga petak dalam rumah yang terbuat dari dinding bambu tersebut. Tiga petak itu terdiri dari dapur, satu kamar dan satu ruang yang bisa berfungsi untuk apa saja.

"Ada apa, Pak? Ponselku ada di dalam, tadi ketinggalan," tanya Rafi yang cukup bingung melihat sikap tetangganya itu.

"Tadi ada polisi yang datang kesini. Dia ngasih kabar katanya Bapak kamu dan bosnya diserang oleh segerombolan perampok. Sekarang ayahmu berada di rumah sakit, Fi."

"Apa!" Rafi memekik tak percaya. "Bagaimana bisa?"

"Aku juga nggak tahu, Fi. Katanya Bapak kamu berusaha melindungi bosnya."

"Terus, kondisi Bapak gimana?

"Katanya sih terluka parah, Fi, mending kamu segera pergi ke kota menyusul Bapakmu. Nih, alamatnya, tadi polisi yang ngasih."

Tanpa pikir panjang lagi Rafi menyetujui saran tetangganya. Dia bergegas berganti pakaian dan membawa bekal seadanya. Tabungan yang rencananya untuk membeli cincin buat sang kekasih, dia gunakan untuk ongkos menuju kota. Dia lantas pamit kepada para tetangga dan dia juga berangkat ke terminal diantar oleh salah satu tetangganya.

Wajar jika Rafi begitu khawatir saat tahu kondisi Bapaknya. Saat ini hanya dialah satu satunya keluarga Rafi yang tersisa. Ibu Rafi sudah meninggal tepat di saat Rafi berusia tujuh belas tahun. Saat itu menjadi hari yang paling menyedihkan bagi Rafi karena sang ibu harus menyerah dengan penyakitnya.

Sebenarnya Rafi juga masih memiliki keluarga besar dan cukup terpandang. Tapi karena kesalahan orang tua Rafi, Ayah dan Ibu Rafi diusir oleh keluarganya masing masing. Karena hamil di luar nikah, keluarga besar mereka langsung bertindak menghukum keduanya. bahkan tak jarang orang tua Rafi mendapat hinaan dari keluarganya sendiri dan saudaranya karena hidupnya yang jauh dari kata mampu setelah terusir dari daftar nama keluarga. Maka itu, ayah Rafi memilih pindah ke tempat yang lebih jauh dari keluarga besarnya untuk menghindari segala rasa sakit hati yang terus mendera istri dan anaknya.

Begitu sampai di terminal, tepat ada satu bis yang akan berangkat menuju ke kota, Rafi sontak bertanya tentang kota tujuannya dan bis itu memang menuju ke kota yang Rafi tuju. Rafi langsung masuk ke dalam bis tersebut dan tak lama kemudian bis itu berangkat.

Setelah menempuh waktu hampir sepuluh jam, akhirnya Rafi kini sudah berada di rumah sakit dimana ayahnya berada berdasarkan alamat yang dia terima semalamm. Rafi langsung menanyakan keberadaan sang Bapak kepada seorang suster dan dia segera saja menuju tempat yang ditunjukkan suster tadi.

"Apa kamu anaknya Pak Mail?" tanya seorang pria yang kemungkinan usianya sama dengan usia Bapaknya Rafi.

"Iya, bagaimana keadaan Bapak saya?"

"masuklah. dia sedang menunggumu."

Tanpa membuang waktu Rafi langsung masuk keruang bapaknya di rawat. Betapa sakitnya hati Rafi saat melihat keadan sang ayah yang tergeletak tak berdaya. "Bapak," ucap Rafi lirih.

Pria yang sedang terpejam itu lantas membuka matanya, pria itu tersenyum saat melihat sang anak sudah berada di depan matanya. "Kamu sudah datang?" tanya sang Bapak dengan suara yang sangat lemah.

"Bapak kenapa bisa begini? Apa yang terjadi? siapa yang menyerang bapak dan Bos bapak?"

"Bapak juga tidak tahu, Nak. Wajah mereka tertutup rapat. Tapi bapak melihat punggung tangan dari dua orang yang menyerang bapak, ada tato bergambar tulang ikan dan di sampingnya ada tulisan TGM."

...@@@@@...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!