Zivanya memasang standar motor lalu melepas helm-nya. Ia baru saja sampai di rumah, sehabis pulang sekolah. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan ibunya dari dalam rumah.
"Ada apa ya? Kok ibu sampai menangis gitu?" gumamnya seraya turun dari motor. Ia bergegas dengan mempercepat langkahnya supaya segera masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan yang sebenarnya.
Brak!
Pintu dibuka cukup kencang olehnya. Hingga dua orang yang sedang duduk di kursi ruang tamu itu menoleh bersamaan dan suara isakan tangis pun seketika berhenti.
"Assalamualaikum," ucap Zivanya dengan rasa khawatir sekaligus penasaran.
"Waalaikumsalam," balas kedua orang itu. Mereka adalah kedua orang tua Zivanya.
Melihat tatapan mereka yang tidak enak dipandang mata, Zivanya menundukkan pandangannya lalu berjalan masuk ke dalam melewati mereka sambil berkata, "Maaf Ibu, Ayah."
"Zivanya, tunggu!" perintah sang ayah membuatnya langsung menghentikan langkah, lalu berbalik badan.
"Ada apa Yah?" tanyanya lalu menatap kedua orang yang ada di hadapannya saling bergantian.
"Tabungan sekolah kamu ada berapa? Sini bantu Ayah buat bayar hutang!"
Zivanya tentu merasa terkejut. Ia seperti sedang ditodong oleh seorang preman yang ada di jalanan. Terlebih raut wajah ayahnya tampak sedang bingung dan juga marah.
"Hutang?" Zivanya mengerutkan alisnya. "Ku kira selama ini Ayah tidak punya hutang ... Lantas itu hutang apa Yah?" tanyanya kemudian.
Bukannya mendapat jawaban, Zivanya justru mendapat sebuah tatapan tajam dari ayahnya. Sementara ibunya menunduk wajah sambil menangis pelan, terdengar pilu dan menyesakkan.
"Bilang saja tabungan sekolahmu ada berapa? Ayah sedang butuh uang!" Suara sang ayah tiba-tiba meninggi. Pria itu sangat emosi sekaligus bingung, terlebih mengingat hutang yang dimilikinya sangat banyak.
"Yah, itu kan tabungan untuk kelulusanku nanti. Kenapa Ayah minta? Kalau diambil sekarang, nanti aku bayar pakai apa?" Zivanya tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selama hampir tiga tahun ia menyisihkan uang jajannya untuk ditabung. Bahkan tak jarang Zivanya harus menahan lapar karena memang uang saku yang diberikan oleh ibunya itu sangat pas-pasan.
Sang ayah semakin tidak terima dan langsung beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Zivanya.
Prat!
Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi sebelah kanannya. Rasa perih bercampur panas dirasakan oleh Zivanya. Ia berusaha untuk tidak menangis sambil memegangi pipinya.
"Kenapa Ayah menampar aku?" lirihnya dengan suara bergetar.
"Itu akibat kamu membangkang pada Ayah!" Zivanya yang mendapat bentakan seketika dadanya terasa sesak, matanya mulai memerah ditambah cairan bening yang berhasil menjadi berkaca-kaca.
"Maaf Ayah, tapi itu uangku. Hampir tiga tahun aku mengumpulkan uang itu dengan susah payah," kata Zivanya berusaha mempertahankan miliknya.
"Uang saku yang Ayah berikan padamu itu cukup besar Zivanya. Dikemanakan? Apa selama ini kamu berfoya-foya dengan anak orang kaya?" cecar sang ayah. Hati Zivanya terasa teriris. Rupanya ayahnya itu tidak tahu serta tidak mengerti dirinya.
Zivanya melirik ibunya yang masih menunduk. Sorot kebencian begitu menusuk dari matanya. Karena selama ini Zivanya tidak tahu menahu tentang keuangan kedua orang tuanya seperti apa.
"Memang Ayah kira uang saku sekolah aku perharinya berapa?" tanya Zivanya. Namun matanya masih enggan berpaling dari ibunya.
"Lima puluh ribu, dan uangnya sudah Ayah berikan ke ibumu," jawab sang ayah. Sontak ibunya langsung mengangkat wajah seketika.
"Bohong! Itu tidak benar!" Mata ibunya memerah karena memang habis menangis. Dia memberi tatapan benci pada suaminya. "Kamu tidak pernah memberiku uang yang cukup. Bahkan dalam satu minggu, kamu hanya memberikanku uang sebesar lima ratus ribu rupiah. Kamu kira mengatur uang itu gampang?" Nada suaranya ikut meninggi.
"Jangan asal bicara kamu, Gita!" bentak ayahnya Zivanya pada wanita yang masih duduk dengan menatapnya penuh keberanian.
Lain halnya dengan Zivanya, kepalanya terasa pusing. "Cukup Ayah, Ibu!" sentaknya karena tidak tahan dengan pertengkaran kedua orang tuanya.
"Kalau kalian butuh uang, jual saja motor yang biasa aku pakai. Tidak usah meributkan yang lain ... " Zivanya menatap kedua orang tuanya saling bergantian.
"Aku lebih rela motorku dijual dibanding melihat kelian bertengkar," pungkasnya. Deru napasnya bergitu memburu, karena emosi yang sedang dirasakan oleh Zivanya sangat menyesakkan dada. Ia masih menahan keinginannya untuk menangis.
Seketika sang ibu menatap Zivanya lalu berkata, "Motor saja tidak cukup Zivanya. Maka dari itu, ayahmu meminta uang tabungan sekolahmu untuk tambahan."
"Memangnya hutang Ayah sebanyak apa sampai meminta uang tabungan sekolahku?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan Zivanya pada ayahnya.
"Seratus juta rupiah," jawab sang ayah membuat mata serta mulut Zivanya membulat bersamaan. Tubuh gadis itupun melemas seketika.
"Astaghfirullah. Kenapa bisa sebanyak itu, Yah? Bisnis yang selama ini Ayah jalani bukannya sudah mulai maju?" Zivanya menggelengkan kepalanya, merasa tidak habis pikir.
"Ayah ditipu orang, Zivanya ... " Pria yang sudah tampak paruh baya itu menghela napasnya. Emosi yang tadi kian memuncak, perlahan meredam. Tubuhnya lemas lalu terduduk kembali di kursi.
"Astaghfirullahal'adzim .... " Suara Zivanya bergetar. Tubuhnya pun semakin terasa lemas. Gadis itu mundur ke belakang dan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
"Bagaimana aku bisa membantu melunasi hutang ayah? Aku pun belum lulus sekolah. Masa iya rumah juga dijual? Mau tinggal dimana nanti? Saudara dari ayah dan ibu mana mau menampung kami? Terlebih kakek sudah meninggal. Rumahnya pun sudah ditempati adiknya ibu, apalagi nenek dari ayah. Rumahnya saja sudah mau roboh," batin Zivanya kian menjerit.
Gadis itu tidak bisa menahan tangisnya. Ia segera berbalik badan dan pergi ke kamarnya.
"Zivanya! Ayah belum selesai bicara!" teriak sang ayah. Namun sayangnya teriakannya tidak dihiraukan oleh anak gadisnya itu.
...----------------...
Namanya Zivanya Larasati, gadis berusia 17 tahun yang lahir dari keluarga sederhana, namun berkecukupan.
Sedangkan ayahnya baru saja merintis usaha showroom mobil sejak Zivanya masuk SMA. Semenjak usaha itulah keuangan kedua orang tuanya mulai membaik.
Ditambah kecerdasan yang dimilikinya pun selalu mencetak prestasi di sekolah. Tentunya hal itu membuat nama kedua orang tuanya kian harum di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
...----------------...
Sesampainya di kamar, salah satu teman sekelas Zivanya menghubunginya melalui telepon. Akan tetapi karena ia sedang butuh waktu untuk melampiaskan emosinya, panggilan itu tidak dijawab.
Beberapa saat kemudian, ia telah puas menangis sampai matanya sembab dan terasa panas. Sebab ia sendiri bingung, motor dan uang tabungannya saja tidak akan cukup melunasi hutang mereka. Terkecuali, rumah pun ikut dijual.
Zivanya melirik ke arah ponselnya. Tiba-tiba layarnya menyala dan terdapat sebuah notifikasi di sana. Ia meraih lalu membuka layar yang sempat terkunci itu.
[Glenka : Ziv, besok malam aku mau pergi ke pesta anak teman bokap. Tapi kalau aku pergi sendiri, aku takut. Kamu temenin aku ya? Mau kan?]
[Zivanya : Pesta apa sih? Bokap kamu kan temannya kaya-kaya semua. Aku gak punya baju bagus.]
[Glenka : Udah gak usah kamu pikirin. Ini pesta penting banget, doi baru aja naik jabatan. Aku takut di omelin Rendy juga. Kamu tahu sendiri kan, cemburunya Rendy kayak apa?]
Zivanya terdiam. Besok malam memang libur aktifitas sekolah. Meskipun sebelumnya Zivanya selalu tidak punya waktu libur karena harus ekstrakulikuler. Namun sekarang ia lebih senggang karena sebentar lagi kan lulus.
"Aku harus jawab apa ya? Malah kondisi kedua orang tuaku sedang begini. Ah rasanya pening sekali," gumam Zivanya lalu membuka kerudungnya. Tak lama, noifikasi pesan dari Glenka pun muncul kembali.
[Glenka : Gimana Ziv? Please, mau ya?]
Bersambung ....
Zivanya tidak membalas pesan dari Glenka, teman satu kelasnya. Ia sendiri bingung. Satu sisi ia ingin tahu bagaimana pesta para oeang kaya seperti yang sering dihadiri temannya itu. Namun di sisi lain, ia merasa tidak mungkin bersenang-senang disaat kedua orang tuanya sedang terpuruk memikirkan cara mendapatkan uang untuk melunasi hutang.
Jikalau terus melihat kehidupan Glenka yang glamor dengan barang branded yang selalu dibawa ke sekolah, membuat Zivanya tidak akan pernah bersyukur. Gadis itu pasti juga tidak bisa menabung untuk uang kelulusan.
Namun untungnya Zivanya tidak seperti itu. Dia tetap Dia, dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hatinya.
Walaupun dalam hati sering tergiur untuk mecoba gaya hidup mewah. Akan tetapi Zivanya sadar diri, kalau dia bukan Glenk, gadis terkaya di sekolahnya.
...----------------...
Kumandang suara adzan Shubuh bagai alarm untuk Zivanya. Gadis itu terbangun dengan kedua mata yang masih bengkak dan berair. Zivanya lekas mandi supaya tidak kesiangan untuk melaksanakan sholat Shubuh.
Seusai sholat, Zivanya duduk dengan khusyu' dengan kedua tangan yang diangkat, meminta sepenuh hatinya.
"Ya Rabb, berilah kemudahan untuk kedua orang tuaku dalam melunasi hutang sebanyak itu. Berikan juga ketenangan batin untuk mereka, jangan buat mereka menjauh darimu dan juga diriku. Bukakanlah pintu rezeki untuk kami selebar-lebarnya. Supaya kami, bisa hidup dalam ketenangan lahir maupun batin, aamiin."
Zivanya menangis lagi, namun kali ini air matanya tidak sebanyak kemarin. Terlebih sebenarnya ia sedang sangat ingin dipeluk oleh Sang Pemilik muka bumi ini. Dengan cinta dan kasih sayang-Nya.
Setelah hatinya merasa cukup tenang, Zivanya beranjak dan segera mengenakan seragam sekolahnya. Hari ini memang hari terakhir belajar di penghujung pekan ini. Ditambah ada kelas bimbel di akhir jam belajar normal. Sepertinya Zivanya akan pulang lebih sore ketimbang kemarin.
"Mataku bengkak sekali. Coba kompres pakai ea batu deh. Siapa tahu bisa cepat kempis," katanya bermonolog ketika sedang menyisir rambutnya di depan cermin.
Ia bergegas keluar dari kamar menuju dapur. Namun suasana rumah sangatlah sepi. Apalagi karena Zivanya memang anak tunggal.
"Ayah sama Ibu masih di kamar kali ya? Tumben jam segini sepi sekali," gumam Zivanya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah yang ada di depannya.
Tak ingin berlama-lama, ia segera membuka salah satu pintu lemari pendingin itu.
"Alhamdulillah, masih ada ternyata es batunya."
Zivanya mengambil beberapa es batu di tangan lalu membawanya ke kamar. Sebelum diaplikasikan ke mata, ia mengambil selembar tisu terelebih dahulu yang akan digunakan sebagai wadah untuk es batu tersebut.
Dalam beberapa menit, bengkak pada area matanya pun mengempis. Seketika matanya melihat ke arah jam dinding yang terpasang di kamarnya.
"Sudah jam enam lewat lima belas ... " Lalu bercermin kembali. "Sudah deh, sepertinya bengkak mataku tidak terlalu buruk. Tidak seperti tadi."
Zivanya segera memoleskan bedak tabur bayi merk J dengan cover warna ungu pada wajahnya. Tak lupa lipglos pun dipakai olehnya. Setelah itu, barulah ia memakai kerudung.
"Selesai. Bismillah, semoga belajar disekolah hati ini lancar! Aamiin." Ia bermonolog di drpan cermin.
Tepat pukul enam lebih dua pulu menit, Zivanya keluar dari kamar dengan membawa tas ransel di punggungnya. Namun lagi-lagi, kedua orang tuanya sama sekali tidak terlihat.
Karena tidak ingin sampai kesiangan, Zivanya tidak mau terlalu memikirkannya. Ia segera keluar dari rumah. Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika tidak melihat motor yang biasa dipakainya itu di halaman rumah.
"Hah? Apa motor benar-benar dijual? Mobil ayah juga tidak ada." Zivanya bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah ya sudahlah, aku naik angkutan umum saja berarti."
...----------------...
Tepat di depan gerbang sekolah, Zivanya menghentikan angkutan umum yang dinaikinya. Namun ia tidak sendiri, ada beberapa adik kelas yang juga naik di mobil yang sama dengannya.
Ketika selesai membayar, tiba-tiba saja tangan Zivanya ditarik oleh seseorang. Alhasil gadis itupun terkejut, terlebih hampir saja terjatuh karena roknya model span panjang.
"Glenka!" pekiknya sambil membulatkan mata. "Astagfirullah, masih pagi ini tuh. Kalau aku sampai jatuh gimana? Malah banyak sekali orang di sini," gerutunya merasa kesal.
Sementara itu Glenka menyunggingkan senyum yang paling lebar. "Maaf, Ziv."
Lain halnya dengan Zivanya yang mengempaskan napas kasar. "Ada apa sih?" tanyanya seakan tidak tahu apa-apa tujuan Glenka melakukan hal itu.
"Ih kamu sudah pikun apa ya? Aku mau nagih yang kemarin Zivanya."
Gadis itu mengalihkan pandangannya seraya berpikir. "Oh itu. Kenapa?"
Mendengar pertanyaan Zivanya, Glenka memutar malas bola matanya lalu menggelengkan kepala. "Pakai tanya kenapa lagi? Jadi gimana? Mau ya? Please tolong aku. Daddy-ku mewajibkan aku untuk datang ke sana. Kalau gak bisa dicoret jadi ahli waris keluarga."
Zivanya tampak bingung. Kedua tangannya menggenggam tali tas ranselnya itu kuat-kuat, karena sedang berpikir keras.
"Ziv, aku gak punya baju bagus. Kalau nanti malu-maluin kamu bagaimana?" tanya Zivanya merasa ragu.
"Kan udah aku bilang, gak usah dipikirin. Baju, make up, heels biar urusan aku saja. Yang penting kamu mau dulu," jelas Glenka terdengar sangat meyakinkan Zivanya.
"Tapi aku gak bisa bayarnya," kata Zivanya lagi, berharap Glenka tidak jadi mengajaknya.
"Kamu gak usah bayar. Itu semua urusan aku. Please ya, tolongin aku," sahut Glenka dengan wajah memelas.
"Kenapa harus aku Glenka? Kan masih banyak anak kelas kita atau kelas lain yang lebih cantik dari aku," timpal Zivanya berkilah. Sungguh, ia belum percaya diri berada dalam ruang lingkup para orang kaya. Terlebih ia takut kalau mereka mulai memerkan gaya hidup dan juga barang mahal yang mereka miliki.
"Karena kamu baik dan lebih cantik dari mereka pastinya. Ayo dong, mau ya?" pinta Glenka lagi.
Seketika hati Zivanya tergugah untuk menerimanya. "Ya ... udah deh aku mau. Tapi kita kan bimbel pulang sore hari ini. Mau ke acara jam berapa?"
"Tenang, tenang ... " Glenka merasa lega karena Zivanya mau diajak olehnya. "Sepulang sekolah, aku akan mengantarmu ke rumah. Setelah itu, aku tungguin kamu mandi dan ganti baju. Barulah nanti ikut ke rumahku. Oke?" usulnya kemudian.
"Jangan deh Glenka. Gimana kalau aku saja nanti yang pergi ke rumahmu? Kamu share location saja," sanggah Zivanya. Ia tidak mau kedua orang tuanya mengambil kesempatan dari Glenka. Mengingat motor saja langsung dijual, ditambah meminta uang tabungan kelulusannya juga. Zivanya tidak mau berbuntut panjang karena ia memiliki teman sekaya Glenka.
"Loh kenapa?" tanya Glenka mengerutkan kening.
"Gak apa-apa. Rumahku jelek dan kurang bersih. Takut kamu gak suka ada di sana," jawab Zivanya mengadi-ngadi.
"Ya memangnya kenapa? Selama kita satu kelas aku gak pernah main ke rumahmu. Begitupun sebaliknya. Masa iya sudah mau lulus saja, aku belum tahu rumahmu," kata Glenka merasa kesal.
"Gini, kedua orang tuaku lagi ada masalah. Aku gak enak kalau bawa teman ke rumah. Lebih baik nanti saja aku yang ke rumahmu ya, oke? Kalau gak, aku gak jadi ikut nih?" balas Zivanya sedikit memberi ancaman.
"Oke, oke. Baiklah ... Kalau gitu nanti aku share location saja ya!" Glenka akhirnya menyetujui.
Bersambung ....
"Kiri, kiri!" perintah Zivanya pada seorang sopir angkutan umum, ketika baru saja tiba di depan gang menuju rumahnya. Sopir pun menghentikan mobilnya, lalu Zivanya turun dengan hati-hati.
"Ini Bang uangnya," sambungnya seraya memberikan beberapa lembar uang pada sopir itu.
"Pas ya Neng, terima kasih," kata sopir lalu melajukan mobilnya kembali.
"Iya Bang, sama-sama," balasnya dengan sopan.
Zivanya berbalik badan dan mulai berjalan menuju rumahnya. Sepanjang menulusuri gang dengan lebar tiga meter itu, tampak ramai dengan anak-anak yang sedang bermain. Usia mereka rata-rata enam sampai delapam tahun. Namun tidak sedikit pula para ibu muda yang sedang menggendong anak balitanya dengan kain jarik sambil menyuapi makan.
Hal yang mereka lakukan itu tentunya sudah pernah dirasakan dan dialami Zivanya sewaktu kecil. Apalagi dia anak tunggal. Sedari kecil sama sekali tidak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Namun saat Zivanya beranjak dewasa, Sang Maha Pencipta memberinya sebuah ujian dengan masalah yang sedang dihadapi kedua orang tuanya itu.
Setibanya di halaman rumah, keadaan masih sama seperti pagi tadi. Sepi seperti tanpa penghuni. Padahal rumah model minimalis dengan tipe empat puluh lima per tujuh puluh itu, bisa dibilang sangat luas. Karena terletak di pemukiman padat penduduk di pinggir kota.
Dulu rumah itu selalu dirindukan Zivanya setiap kali sedang berkunjung kerumah kakek neneknya di luar kota. Namun sekarang tidak lagi sama, terasa asing baginya.
Zivanya masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Dua bulan lagi, ia akan lulus sekolah. Setelah itu mencari kerja, barulah memikirkan kuliah. Sebab, ia ingin menyandang gelar di belakang namanya. Itulah sekilas rencananya yang ada dipikirannya saat ini.
Sebelumnya Zivanya ingin setelah lulus sekolah langsung masuk perguruan tinggi ternama melalui jalur program pemerintah. Qadarullah, Allah menginginkan cara lain supaya ia bisa belajar tentang hidup menuju dewasa.
"Assalamualaikum," ucap Zivanya ketika ia memasuki rumah. Pandangannya seketika menatap kesekeliling ruangan yang ada di depannya.
Setelah cukup puas, ia menutup pintunya kembali lalu bergegas pergi ke kamarnya. Hari yang kian beranjak sore, Zivanya lekas mandi untuk bersiap menunaikan sholat Maghrib terlebih dahulu. Sebab sebelum pulang tadi, ia sempat melaksanakan sholat Ashar di masjid sekolah.
...----------------...
Tepat saat Zivanya selesai bersiap, Glenka mengirimkan pesan berisi share location rumahnya.
"Kalau ini sih perumahan elit, angkutan umum pun tidak ada yang lewat sana. Apa aku pakai ojek online saja mungkin ya?" gumam Zivanya lalu melihat isi dompetnya.
"Hanya tersisa dua puluh ribu, apa cukup sampai ke rumah Glenka? Perumahannya lumayan jauh pula. Apa aku batalkan saja ya? Ya Allah, tapi sudah terlanjur janji padanya," sambungnya merasa sangat bimbang sekali.
Zivanya mondar mandir di kamarnya sambil merumat tangan yang masih memegangi ponsel. Karena terlalu lama berpikir, Glenka pun meneleponnya.
"Yah, dia telepon. Bagaimana ini?" katanya semakin panik.
Hingga pada deringan terakhir, ia akhirnya menjawab.
"Hallo, Glenka?" sapa Zivanya. Ia tidak memberikan salam kepada temannya itu karena keyakinan mereka berbeda.
"Kamu dimana Ziv? Sudah berangkat? Pestanya akan dimulai sebentar lagi."
Zivanya rasanya ingin menangis. Sisa uang sakunya benar-benar sangat menipis. Ia juga tidak tahu akan diberi lagi oleh kedua orang tuanya atau tidak. Ia benar-benar sedang berpikir keras.
"Maaf Glenka, sepertinya aku gak bisa ikut sama kamu ke pesta itu. Badanku tiba-tiba tidak enak," jawab Zivanya lalu menahan napasnya beberapa saat.
"Serius kamu Ziv? Aku antar ke dokter ya? Share location sekarang!" Glenka mulai panik.
Memang harus diakui, selama hampir tiga tahun satu kelas dengan Glenka, dia memang sangat baik. Meskipun tidak sedikit kebaikannya itu disalah gunakan oleh teman-teman satu kelas lainnya yang mengambil kesempatan. Namun Glenka sendiri bisa menilai, dia tidak bodoh. Mana teman yang benar-benar baik dan mana yang hanya memanfaatkannya saja.
"Gak usah Glenka, aku cuma butuh istirahat saja di rumah." Zivanya mengelak, berusaha menolak secara halus.
"Astaga kamu ini, Ziv. Sudah cepat share location. Kalau gak aku marah banget sama kamu!" gertak Glenka yang sebenarnya hanya pura-pura marah saja. Padahal sebenarnya tidak apa kalaupun Zivanya tidak mau ikut, tapi perasaannya bilang kalau Zivanya memang sedang membutuhkan bantuannya sekarang.
"Glenka---"
Seketika sambungan telepon terputus. Zivanya memejamkan matanya seraya mengembuskan napas yang tadi sempat tertahan.
Sebuah pesan pun masuk ke ponselnya.
[Glenka : Aku otw.]
"Loh kok OTW ? Perasaan aku belum mengirimkan share location padanya," kat Zivanya bermonolog sambil menatap ke layar ponselnya.
Kemudian ia menjatuhkan bo kongnya ke atas kasur dengan kaki yang dibiarkan menjuntai ke bawah. Berkali-kali ia melihat ke layar ponsel. Tiba-tiba suara mobil berhenti tepat di halaman rumahnya.
"Rasanya aku kenal suara mobil itu," gumamnya lalu beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar untuk mengintip dari jendela ruang tamu. Sebab kamarnya terletak di belakang.
Zivanya menyingkap gorden, dirinya tercekat ketika melihat orang yang turun dari mobil itu. "Ayah, ibu ... Mereka darimana saja? Kenapa wajah mereka sekarang terlihat saling acuh?"
Ia segera membukakan pintu untuk kedua orang tuanya.
"Assalamualaikum," ucap ibunya ketika masuk ke dalam rumah. Kemudian disusul ayahnya.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam," jawab Zivanya yang masih berdiri di samping daun pintu. Namun kedua orang tuanya seperti menganggapnya tidak ada. Sontak, hal itu bagai sebuah tamparan baginya.
"Sebegitu salahkah aku dimata mereka?" Zivanya bertanya-tanya dalam hatinya.
"Ayah, Ibu ... Kalian dari mana?" Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu tidak perlu tahu kami darimana. Selama kamu masih menjadi beban untuk kami, lebih baik diam saja," jawab ayahnya terdengar ketus. Apalagi tatapan pria itu bak ujung bambu runcing.
"Apa? Beban? Jadi bagi mereka aku hanya beban?" Hati Zivanya rasanya sakit sekali. "Aku anak kandung 'kan? Bukan anak tiri?" batinya mencoba menerka.
Tak lupa, berkali-kali ia beristighfar dalam hati. Berusaha keluar dari perasaan tidak nyaman yang tengah dirasakan saat ini. Ia ingin menangis, dan mengeluarkan keluh kesahnya. Namun apalah daya, mengutarakan segala masalahnya pada manusia bukan Zivanya orangnya.
Bagi gadis itu, lebih baik menggelar sajadah di sepertiga malam. Mengadu sambil menangis dalam sujudnya. Karena dia yakin, keluh kesahnya akan sampai pada Sang Pemilik langit dan bumi.
Karena tidak tahan, Zivanya masuk ke kamar untuk mengambil tas yang berisi ponsel dan juga dompetnya. Lalu pergi dari rumah. Ia butuh menenangkan diri.
"Zivanya! Kamu mau kemana?" teriak ibunya. Namun sama sekali tidak di dengar oleh anak semata wayangnya itu.
"Sudahlah Bu. Dia itu sudah besar. Nanti juga pulang sendiri ke rumah," timpal ayahnya tidak memperdulikan Zivanya.
"Ayah! Dia itu anak semata wayang kita. Kenapa kamu seakan lepas tangan begitu saja? Sekarang tuh lagi marak penculikan anak remaja seusia Zivanya!" bentak wanita itu merasa kesal pada suaminya.
"Alah! Kamu urus saja anakmu itu. Kalau terjadi apa-apa padanya kamu yang salah. Karena kamu tidak becus mendidiknya!" Mata pria itu membola seakan ingin keluar dari kelopaknya. Tatapan benci begitu tergambar jelas dari sorot matanya.
Keduanya pun semakin saling menuduh dengan nada tinggi. Ada apa dengan mereka? Apa semua itu karena hutang yang belum juga tertutupi? Lantas kenapa tidak dijual saja mobil yang sering mereka pakai? Sehingga bukan anak yang menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!