NovelToon NovelToon

Revenge Of The Ugly Lily

Bab 1. Kehidupan Baru

Di sebuah ruangan gelap bagian belakang sebuah universitas, seorang perempuan bertubuh gempal sedang terpejam. Dia dikelilingi oleh tiga orang mahasiswi lain. Cacian dan umpatan mereka lontarkan pada gadis yang kini sedang tak sadarkan diri itu.

"Hei, bangun!" teriak seorang perempuan muda bernama Ara.

"Kamu masih hidup, 'kan? Ayo bangun! Tidak usah berpura-pura pingsan! Atau kami akan menyirammu dengan ramuan spesial seperti waktu itu!" gertak seorang perempuan lain bernama Hari.

Hari tersenyum geli ketika mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Dia dan teman-temannya mengguyur gadis bertubuh gemuk itu dengan air yang dicampur dengan kecap ikan dan bahan makanan berlemak lainnya. Akibat hal tersebut, aroma tak sedap pun menyelubungi badan gadis yang masih memejamkan mata itu.

"Hei, Lily! Bangun! Jangan berpura-pura lagi! Kamu nggak akan mungkin pingsan hanya dengan sekali pukulan karena tubuhmu yang besar seperti b*bi itu!"

Seorang gadis lain dengan penampilan tomboi mendekat. Dia bernama Sena. Sena menyentuh tubuh gadis yang masih memejamkan mata itu menggunakan ujung sepatunya.

Melihat targetnya tidak merespons, amarahnya memuncak. Dia pun tak segan menginjak-injak tangan gadis bertubuh gemuk itu penuh kemarahan. Si gadis mulai menggeliat sehingga sebuah senyum miring tersungging di bibir Sena.

Gadis bertubuh tambun itu perlahan beranjak dari lantai. Dia mengerjapkan mata berulang kali untuk memfokuskan pandangan. Setelah dapat melihat dengan baik, dia mengerutkan dahi.

"A-aku di mana? Badanku rasanya sakit semua," gumam gadis itu.

"Hei, Lily! Aku pikir kamu sudah mati!" Sena berjongkok kemudian menjepit kedua pipi Lily dengan jemari lentiknya.

Lily mulai membuka matanya lebar. Di sudut ruangan, dua orang yang memiliki wajah sama persis sedang sibuk menghiasi kuku mereka dengan kuteks. Menyadari Lily bangun, mereka pun turun dari tumpukan meja usang dan berjalan ke arah Lily.

"Hei, Gendut! Kamu mau cari mati? Sudah aku bilang jangan dekati Profesor Ed! Ngeyel banget, sih jadi orang!" Yura tersenyum miring seraya melipat lengan di depan dada.

"Profesor Ed itu adalah kekasih Kak Yura! Kamu ini benar-benar nggak tahu diri!" Seorang perempuan lain berwajah mirip dengan Yura menimpali ucapan sang kakak.

Lily berusaha mencerna keadaan. Dia terdiam, karena merasa nama yang disebut semua orang yang ada di ruangan itu bukanlah dia. Lily mengangkat lengannya yang terasa kaku.

Kini Lily dapat melihat dengan jelas tangan berukuran besar dan tampak berlemak itu. Jemarinya sangat bertolak belakang dengan jari-jari lentik yang selama ini dia miliki. Namun, karenanya dia teringat dengan masa lalu yang pernah dia jalani.

Ya, yang ada di dalam tubuh Lily adalah Iris. Berdasarkan ingatan terakhir perempuan itu, dia sedang dalam perjalanan ke Korea. Pesawatnya mengalami turbulensi hebat dan kesadarannya hilang ketika ada barang yang menjatuhi kepala.

"I-ini di mana?" tanya Lily kebingungan sambil menatap semua orang yang ada di sana.

Mendengar pertanyaan dari teman kuliahnya, tentu saja membuat kelima gadis itu tertawa terbahak-bahak. Mereka menganggap ada yang bermasalah dengan kepala Lily. Lebih tepatnya semua perundung itu mengira Lily tengah berpura-pura linglung agar terhindar dari semua perbuatan mereka.

"Hei, Lily! Jangan bilang kamu juga lupa dengan namamu sendiri!" seru Hari seraya menendang perut Lily.

Sontak rasa nyeri luar biasa dirasakan oleh Lily pada ulu hatinya. Cairan bening pun keluar dari mulut karena tendangan keras yang dilakukan oleh Hari. Lily terbatuk-batuk sebab rasa sesak yang kini memenuhi dadanya.

"Aku sudah peringatkan kamu, untuk tidak mendekati Profesor Edelweis! Kamu tidak pantas berada di dekatnya! Jika kalian berjalan bersama, rasanya aku seperti melihat angka sepuluh. Itu semua membuatku mual!" seru Yura seraya tersenyum miring.

"Ed siapa? Bahkan aku tidak pernah mengenalnya!" seru Lily sambil menatap heran Yura.

Tiba-tiba saja Yura memberikan kode kepada tiga orang temannya. Mengerti dengan apa yang dimaksud Yura, Ara serta Sena langsung mencengkeram kuat pergelangan tangan Lily. Lily pun berusaha untuk terlepas dari mereka dengan terus memberontak.

Hari mengambil mesin pencukur rambut dari dalam tas, lalu mendekatkan benda itu ke wajah Lily. Sontak Lily menelan ludah kasar. Dia langsung bergidik ngeri ketika membayangkan benda tersebut sampai digunakan untuk menggores tubuh atau wajahnya.

"Hei, Lily! Kami muak sekali melihatmu ada di kampus ini! Ini kampus seni!" Hari mundur beberapa langkah kemudian berpose layaknya model yang sedang berjalan di atas catwalk.

"Kami semua memiliki wajah dan tubuh yang sempurna! Semua orang yang kuliah di sini adalah calon bintang masa depan Korea Selatan! Kamu apa? Mau jadi apa?" ejek Hari diiringi gelak tawa semua orang yang ada di sana.

"Lebih baik kamu meminta ayahmu yang pengusaha terkenal itu untuk membiayai operasi plastik! Yaaa ... paling tidak wajah dan tubuhmu itu tidak membuat malu keluargamu yang notabene adalah pengusaha produk kecantikan nomor satu di Korea Selatan!" imbuh Yuna sembari terkekeh.

"Aku rasa kamu merupakan aib bagi keluargamu! Ibumu saja sampai malas mengakui bahwa kamu adalah putrinya!" timpal Yura.

Ejekan demi ejekan terus dilontarkan kepada Lily. Meski Iris tidak mengenal siapa pemilik asli tubuh yang kini dia tinggali itu, dia merasa semua orang yang ada di sana sangat keterlaluan. Mereka semua dibutakan oleh kecantikan dan penampilan fisik. Akan tetapi, mereka lupa bahwa kecantikan hati dan kepribadian jauh lebih penting.

Lily menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kasar. Dia mengumpulkan segenap tenaga untuk melepaskan lengannya dari cengkeraman Ara dan Sena. Ketika Lily menarik lengan sekuat tenaga dan hampir terlepas dari dua orang yang kini menahannya, tiba-tiba pintu gudang itu terbuka.

Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan terlihat menyilaukan mata. Siluet seorang perempuan bertubuh sempurna membayang di ambang pintu. Semua orang yang ada di dalam gudang pun menoleh ke arah pintu gudang.

"Aku sudah bilang jangan pernah ganggu adikku!"

Perempuan itu semakin masuk ke dalam gudang. Dia melipat lengan di depan dada sambil menatap tajam satu per satu orang yang ada di dalam gudang. Seketika nyali mereka semua menciut. Sontak Ara dan Sena melepaskan lengan Lily.

"Ka-kami hanya ingin memperingatkan Lily agar tidak mendekati Profesor Ed, Nona. Bukankah Profesor Ed adalah calon tunanganmu?" Yura tampak gugup.

Mendengar ucapan Yura, Lily terkekeh. Dia heran bisa-bisanya perempuan itu tadi mengaku-aku kalau dia adalah kekasih lelaki yang disebut memiliki nama Ed itu.

"Li-Lilac, aku minta maaf. Kami hanya ingin memberinya sedikit pelajaran."

"Dia ini adikku! Kalian tidak berhak menyentuhnya sembarangan, apalagi menyakitinya!" teriak Lilac.

Perempuan cantik itu pun menghampiri Lily, kemudian menggandeng jemari sang adik dan membawanya keluar dari gudang. Setelah sampai di dalam mobil, Lilac berubah sikap.

Dia mengubah posisi duduknya sehingga kini berhadapan dengan Lily. Lilac menoyor kepala sang adik kemudian melipat lengan di depan dada. Sebuah tatapan tajam dia kayangkan kepada adik kembarnya itu.

"Lily, kamu mau cari mati?"

...****************...

Bab 2. Pulang

"Ha?" Lily terbelalak mendengar ancaman Lilac.

"Kamu kenapa cari masalah sama geng bandit itu? Astaga! Sudah aku bilang jangan dekat-dekat dengan Ed. Dia mungkin akan jadi calon kakak iparmu di masa yang akan datang. Tapi, kamu akan memiliki banyak musuh jika terus meladeni Ed!"

Lily masih terdiam. Dia berusaha untuk memahami keadaan. Perempuan itu mencoba mendalami apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan barunya itu.

"Aku bahkan tidak mengenal siapa itu Ed," ucap Lily lirih hampir tak terdengar.

Lilac yang mendengar ucapan lirih sang adik langsung mendaratkan modul kuliah ke atas kepala Lily. Lily pun meringis menahan sakit seraya mengusap puncak kepala yang terasa sedikit berdenyut.

"Sepertinya kepalamu mengalami cidera setelah pukulan mereka mendera kepalamu ini!"

"Dan kamu malah terus memukul kepalaku! Apa kamu mau membunuhku!" seru Lily.

Mendengar sang adik kembar melawan, membuat Lilac melongo. Si adik yang biasanya hanya diam dan tertunduk ketika dinasihati, tiba-tiba saja menjawab ucapannya.

"Hei, sepertinya pukulan mereka benar-benar membuat kepala serta kepribadianmu bermasalah!" Lilac melipat lengan di depan dada kemudian memelototi sang adik.

"Kenapa? Apa biasanya aku hanya diam ketika ditindas? Apa biasanya aku hanya menunduk ketika mendengar ocehanmu?" Lily kembali membuat sang kakak melongo.

Sontak Lilac mengangkat tangannya, hendak mendaratkan pukulannya ke atas kepala Lily. Jika biasanya nyali Lily mengkerut, kini perempuan itu malah menatap nyalang sang kakak. Lilac langsung menarik lengannya kemudian tertawa terbahak-bahak.

Ujung mata perempuan cantik itu sampai basah karena air mata. Perutnya terasa seperti sedang digelitik ketika melihat sang adik yang berubah 180 derajat. Setelah tawanya berhenti, Lilac mengacungkan kedua jempol ke depan wajah Lily.

"Bagus! Kenapa tidak dari dulu kamu melawan mereka? Coba jika selama ini aku tidak menjagamu! Kamu pasti akan depresi dan mencoba untuk melompat dari atas gedung!"

"Apa aku sepecundang itu?"

"Sudahlah, ayo turun. Aku obati lukamu di kamar. Jika sampai ibu tahu, kita bisa mati. Kamu saja sih lebih tepatnya! Aku kan outri kesayangan ibu" Lilac mendongak seraya melipat lengan.

Lilac pun meminta sang sopir untuk menurunkan mereka di halaman belakang. Mereka memutuskan untuk masuk rumah melalui pintu belakang. Keduanya mengendap-endap saat memasuki rumah mewah tiga lantai itu. Ketika sudah sampai di dekat tangga, tanpa sengaja Lily mentenggol guci kesayangan sang ibu.

Suara gaduh dari pecahan guci itu pun menggema di ruang keluarga. Lilac menepuk dahinya dan melayangkan tatapan tajam ke arah sang adik. Dia kembali menoyor kepala Lily sambil mengumpat tanpa mengeluarkan suara.

"Siapa itu?" Dari lantai satu tampak seorang perempuan paruh baya memakai gaun santai melipat lengan seraya menatap keduanya dengan tatapan tajam.

"I-ibu, itu ...." Lilac mencoba menjawab pertanyaan sang ibu dengan terbata-bata.

"Kamu kenapa lagi, Lily? Kamu buat masalah apa lagi di kampus?" tanya Safron sambil terus melangkah menuruni anak tangga.

"I-itu ... dia ...."

"Kamu diam saja, Lilac! Aku tidak bicara kepadamu!" seru Safron kepada sang putri.

Mendengar sang ibu mulai bicara dengan nada tinggi membuat Lilac tertunduk lesu. Perempuan itu menelan ludah kasar dan semakin menguatkan genggaman tangannya kepada Lily. Jantungnya berdegup begitu kencang seiring dengan langkah kaki sang ibu yang semakin mendekat.

"Lily, kamu masih punya mulut untuk bicara, bukan?"  tanya Safron seraya memicingkan mata.

"Tadi aku dihajar oleh lima orang mahasiswi lain karena alasan tak masuk akal. Aku ...."

Belum sampai Lily menyelesaikan ucapan, tiba-tiba saja Safron menjambak rambutnya. Dia terus diseret ke arah sebuah pintu yang ada di dekat dapur. Ketika pintu terbuka, aroma kayu tua dan debu pun merasuki saluran pernapasan Lily.

Derit tangga kayu yang mulai lapuk terdengar begitu mengerikan. Lily bergidik ngeri melihat kondisi ruangan gelap itu. Dia takut lantai kayu yang dia pijak mendadak ambrol karena berat badannya yang diperkirakan mencapai 100 kilo itu.

Ketika sampai di sebuah pintu besi, Safron mendorong tubuh gemuk Lily. Gadis itu tersungkur di atas lantai dengan debu yang sangat tebal. Lily pun terbatuk-batuk karena debu-debu itu seakan menggelitik tenggorokannya.

"Kamu tetap di sini sampai besok lusa! Aku tidak akan memberikanmu makan! Kamu hanya boleh minum air saja! Renungkan kesalahanmu di sini!" seru Safron.

"I-Ibu, bukankah ini terlalu kejam? Apa Ibu lupa terakhir kali ketika menghukum Lily di sini?" Lilac melayangkan protes kepada sang ibu.

"Lily harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan! Dia paling tidak bisa terlambat makan! Lambungnya bermasalah sejak kecil!"

"Jika dia bermasalah dengan lambung, bukankah seharusnya dia akan menjadi lebih kurus? Tapi, kenapa dia terus bertambah 1 kilo setiap minggunya?" Safron tersenyum miring kemudian keluar dari ruang bawah tanah.

Lilac mendekati Lily yang kini memegangi jeruji besi yang membatasinya dengan dunia luar. Lily terlihat layaknya penjahat sekarang. Lilac menggenggam jemari sang adik sambil tersenyum lembut.

"Aku akan membawakanmu makanan tengah malam nanti. Kamu bisa menahannya sampai nanti, 'kan? Di laci meja ada kotak P3K bersihkan lukamu dan segera obati agar tidak infeksi, mengerti?"

Lily hanya mengangguk sekilas. Setelah itu, Lilac pun menyusul sang ibu yang masih berdiri di ujung tangga sambil menatap sinis mereka. Safron pun menutup pintu ruang bawah tanah dan menguncinya, lalu meninggalkan Lily sendirian di bawah sana.

Setelah pintu tertutup, suasana di dalam ruang bawah tanah semakin gelap. Lily meraba dinding untuk mencari sakelar lampu. Setelah menemukan sakelar, dia pun langsung menekannya.

Ruangan itu tampak temaram dengan cahaya dari lampu bohlam berwarna kuning. Di dalam ruangan kecil itu terdapat sebuah ranjang yang menurut Lily terlalu kecil untuk tubuh besarnya. Selain itu, ada sebuah meja belajar dengan beberapa tumpukan buku.

"Ibu yang kejam. Apa dia ibu tiri atau semacamnya?" Lily berdecap kesal kemudian menarik kursi di hadapannya.

Lily mulai melihat-lihat buku yang bertumpuk di sana satu per satu. Kebanyakan buku yang disediakan adalah buku-buku panduan diet dan cara bermake-up. Ketika membuka laci, Lily menemukan sebuah kotak make-up.

"Sepertinya dia dipaksa untuk mengubah penampilan. Jika dibandingkan kakaknya, gadis ini memang terlihat begitu menyedihkan." Lily menatap pantulan wajahnya dari cermin.

Tumpukan lemah bergelayut manja di bawah kulit pipi serta dagunya. Bibir tebal yang seksi itu tampak kering tak terawat. Belum lagi jerawat dan bekas-bekasnya yang menodai wajah Lily.

"Dia sebenarnya sangat cantik, tapi tidak pandai merawat diri. Kasihan sekali! Pasti gadis ini sangat stres dengan kondisi badan dan wajahnya yang tidak sesuai standar di lingkungan sosial." Lily tersenyum kecut.

Kini mata Lily tertuju pada sebuah buku catatan kecil yang ada di sudut laci. Dia pun meraih buku itu dan membukanya perlahan. Dari sana dia tahu bagaimana kehidupan sehari-hari Lily.

Setiap harinya Lily dihina oleh teman-temannya. Bahkan sang ibu juga selalu membandingkannya dengan Lilac yang memang terlihat sangat cantik dan anggun. Akan tetapi, Lily juga menuliskan bahwa ayah serta Lilac selalu melindunginya.

Lilac selalu menjaganya ketika dirundung oleh teman-teman kuliahnya. Sang ayah juga melindunginya ketika sang ibu menghukum Lily. Hati Iris tersentuh dengan kisah yang ditulis oleh Lily dalam buku hariannya itu.

"Menyedihkan sekali hidupnya. Hanya ada dua orang yang terus mendukungnya untuk tetap tegar menjalani hidup." Lily mengusap air mata yang kini menetes membasahi pipi.

Tiba-tiba rasa kantuk membuatnya tertidur dengan posisi terduduk. Lily kembali terbangun ketika mendengar suara pintu ruang bawah tanah terbuka. Siluet seorang lelaki bertubuh tegap mendekati jeruji besi sambil tersenyum lebar.

"Si-siapa kamu!" seru Lily dengan nada cemas.

...****************...

Bab 3. Lahirnya Kecantikan

"Lily, ini Ayah." Lupin, ayah dari Lily dan Lilac berbicara dengan suara lirih.

Lelaki itu mendatangi sang putri dengan membawa satu keranjang penuh makanan. Lupin tersenyum lebar kemudian membuka pintu besi itu. Terdengar derit pintu yang menggema memenuhi ruangan, sehingga memecah keheningan yang ada di ruang bawah tanah tersebut.

Iris masih memasang mode waspada. Bagaimana pun juga, Lupin merupakan orang asing baginya. Dia diam-diam menyembunyikan pulpen di balik punggung untuk berjaga-jaga jika lelaki di depannya itu memiliki niat buruk.

"Makanlah, kamu pasti lapar. Ayah membawakanmu semua makanan yang kamu sukai! Cepat makan sebelum ibumu tahu!" Lupin menyodorkan keranjang yang terbuat dari anyaman rotan itu kepada sang putri.

Lily melirik keranjang makanan itu sekilas. Dia menelan ludah kasar karena melihat ada kue beras yang mengintip di balik wadah. Makanan yang sangat dia sukai selama hidup menjadi Iris. Setiap menemui restoran makanan korea di Paris, maka dia akan memesan kue beras.

Lily pun segera menyambar wadah berisi kue beras itu kemudian menyantapnya dengan lahap. Keterampilan Lily dalam mennggunakan sumpit yang kurang baik, tentu saja membuat Lupin mengerutkan dahi.

"Lily, bukan begitu caranya makan menggunakan sumpit. Seperti ini caranya," ucap Lupin seraya membenarkan posisi jari sang putri.

"Bagaimana sih, kamu ini! Apa tanganmu ada yang terluka, sampai memegang sumpit saja kesulitan?" tanya Lupin dengan nada penuh kekhawatiran.

Iris yang sejak lahir tidak merasakan perhatian seorang ayah pun tersentuh. Dia merasa Lily sedikit lebih beruntung darinya karena memiliki ayah yang sangat baik. Sebuah senyum tipis terukir di bibir Lily.

Ketika sedang asyik menikmati kue beras dan beberapa makanan lain, tiba-tiba saja pintu yang menghubungkan ruang bawah tanah dan rumah utama terbuka. Tampak siluet perempuan bertubuh ramping yang diduga Lily adalah Safron, ibunya.

Lupin bergegas menyembunyikan makanan yang dia bawa ke kolong ranjang. Dia pun menatap perempuan yang terus menghampiri itu dengan tangan gemetar. Ketika dia semakin dekat dan wajahnya terlihat jelas, Lupin pun mengembuskan napas lega.

"Astaga Lilac! Ayah pikir kamu ...."

Lilac langsung menempelkan jari telunjuknya ke atas bibir. Setelah itu dia membuka pintu besi di depannya secara perlahan. Ternyata gadis itu juga membawakan beberapa camilan untuk Lily.

"Ayo Lily, makanlah! Cepat! Sebelum ibu bangun dari tidurnya!" Lilac menyodorkan semua makanan ringan itu kepada sang adik.

Namun, perut Lily yang terasa sudah penuh tak sanggup lagi menerima makanan yang dibawakan oleh Lilac. Dia pun menolaknya dengan halus. Raut wajah Lilac sedikit berubah kali ini. Tidak ada senyum manis seperti biasanya.

"Kak, maaf. Bukannya aku tidak menghargai pemberianmu. Tapi, aku benar-benar sudah kenyang." Lily berusaha menjelaskan kondisinya saat ini.

"Begini saja ... biar aku simpan dulu makanan ini. Saat nanti kembali terasa lapar, aku akan memakannya." Lily menggenggam jemari Lilac untuk meredam emosi gadis cantik itu.

"Baiklah, jangan lupa dihabiskan! Aku sudah membawanya kemari dengan bertaruh kartu kredit dan uang jajan! Kamu tahu kan setiap kita tidak mematuhi ibu, maka beliau akan memblokir kartu ATM dan memangkas habis uang jajan untuk satu minggu ke depan?"

Lily mengangguk tanda mengerti. Akhirnya Lilac dan Lupin pun  berpamitan, meninggalkan Lily seorang diri di dalam ruang bawah tanah. Sejak hari itu Lily mencoba untuk mengurangi porsi makan seperti yang dikonsumsi oleh Iris.

Meski tubuh Lily seakan menolak kebiasaan itu, Iris tetap melakukannya. Bahkan dia terus melakukan latihan kardio untuk menurunkan berat badan. Dia ingin Lily terlihat cantik ketika hari kelulusan tiba.

Setiap hari, Lily terus mendapat hinaan dan cacian dari Yura dan yang lain. Bahkan sesekali mereka masih mengganggunya dengan banyak hal yang tidak menyenangkan. Mereka semua masih sering mengguyur Lily dengan campuran air dan kecap ikan, melumuri kursinya dengan lem, bahkan yang paling parah gadis-gadis nakal itu masih sering memukuli Lily di gudang dan menakut-nakutinya dengan mesin pencukur rambut.

Lily yang masih belum bisa melawan karena tubuh yang sulit bergerak hanya bisa menatap satu per satu wajah anak-anak yang selalu mengganggunya. Dia bertekat akan membalas semua perbuatan mereka suatu saat nanti. Puncak aksi perundungan itu terjadi ketika acara wisuda selesai.

"Ini adalah hari terakhir kita di kampus tercinta. Jadi, ayo kita bermain-main sebentar! Kita akan membuat kenangan yang mengesankan di hari kelulusan ini!" seru Yura seraya menyalakan mesin pencukur rambut dalam genggaman.

"Yura, aku peringatkan kamu untuk menghentikan semua ini! Mundur!" teriak Lily.

Suara dengung mesin itu menjadi momok tersendiri bagi Iris. Di kehidupannya sebelum ini, dia pernah menyaksikan ibunya meregang nyawa karena dibunuh menggunakan mesin tersebut. Sekujur tubuh ibu Iris dilukai menggunakan alat itu dan dibiarkan hingga kehabisan darah oleh pembunuhnya.

"Aku bilang berhenti!" teriak Lily dengan mata yang mulai memerah.

Dada Lily kembang kempis karena menahan amarah dan ketakutan secara bersamaan. Dia menatap tajam ke arah Yura yang kini bengong melihat keberanian Lily. Yura semakin melangkah mendekat ke arah Lily.

Sebuah senyum miring mengerikan kini terukir di bibir Yura. Dia mendekati Lily dan semakin mendekatkan mesin itu ke telinganya. Lily terus berontak agar bisa terlepas dari cengkeraman Sena dan Hari. Namun, usahanya gagal.

"Mari kita buat kenangan indah hari ini, Lily!"

Rambut panjang Lily pun dicukur habis. Bahkan mata pisau pada alat cukur itu sengaja digoreskan ke kulit kepala Lily berulang kali. Setelah puas melalukan perbuatan jahat kepada gadis itu, Yura dan yang lain langsung meninggalkan Lily di dalam gudang.

"Aku sudah mengingat nama dan wajah kalian. Kalian semua akan menyesali semuanya di kemudian hari! Air mata kalian tidak akan cukup untuk menebus kesalahan ini kepada Lily!" Jemari Lily mengepal kuat seraya menatap kawanan kejam itu keluar dari gudang.

Ternyata di hari yang sama, ibu dan ayah Lily juga mengusirnya dari rumah. Mereka sangat marah ketika melihat kondisi Lily yang terlihat begitu menyedihkan itu. Sang ayah yang biasanya sabar pun ikut marah.

Lily berusaha menjelaskan semuanya. Akan tetapi, Lupin menutup telinga. Mau tidak mau sekarang dia harus keluar dari rumah itu. Sebenarnya ini semua bukan masalah, toh ketika hidup menjadi Iris dia juga memulai semua sendirian.

"Aku akan buktikan kalau Lily yang selalu diremehkan ini bisa mengubah dirinya. Dia akan kembali dengan wajah baru dan membalas semua hal menyakitkan yang kalian lakukan!" seru Lily dalam hati.

***

Delapan belas bulan kemudian.

"Jadi, apa alasan Anda ingin bergabung dengan tim make-up kami?" tanya Sara Kim, seorang pemilik salon terkenal yang biasa menangani riasan idol serta aktris Korea ketika mereka hendak menghadiri acara penghargaan.

"Karena saya yakin, kemampuan saya dapat membuat nama salon ini semakin melambung, Kak." Seorang gadis berwajah cantik bak bidadari sedang diwawancarai ketika melamar pekerjaan di Salon Sara.

"Benarkah? Kemampuan apa saja yang kamu miliki?" Sara mencondongkan tubuh ke arah gadis itu seraya tersenyum miring.

Ya, gadis cantik yang tengah melakukan wawancara pekerjaan itu adalah Lily. Lily dengan kecantikan dan tubuh ideal impian para kaum hawa. Perempuan yang dulu selalu dihina karena bertubuh gendut dan wajah penuh jerawat itu, kini menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik.

"Apa pun yang Anda perintahkan, bisa aku lakukan dengan baik!" Lily tersenyum lebar penuh keyakinan.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!