“Plak!!”
Sebuah tamparan terdengar menggaung di sebuah ruangan yang cukup luas.
Suara tamparan itu berasal dari sebuah tangan besar milik wanita paruh baya bernama Martha yang menampar Rachel, menantunya. Wajah Rachel langsung berpaling dan giginya terdengar menggeretak menahan sakit yang sangat dan tiba-tiba karena tamparan yang keras hingga menyisakan gambar tangan yang jelas dan kemerahan. Sudut bibirnya ikut berdarah dengan luka yang terbuka.
“Apa tamparan itu cukup menyadarkan kamu atas keteledoran yang kamu buat, Rachel?” tanya wanita itu dengan nada suara tinggi.
Mata Martha melotot, tidak habis pikir dengan keteledoran yang dilakukan oleh menantu bungsunya. Wajahnya sampai merah padam dengan sudut bibir yang berdenyut menahan geram.
“Mau sampai kapan kamu bertingkah bodoh seperti ini hah? Sampai kapan?!” kali ini Martha mendorong tubuh Rachel hingga terhuyung dan nyaris jatuh.
“Mah!” seru seorang laki-laki yang baru datang. Ia segera menahan tubuh Rachel agar tidak terjatuh. Ia adalah Nata, sang suami yang baru pulang bekerja. Refleksnya cepat dengan melempar tas kerjanya dan menahan tubuh Rachel.
“Ada apalagi ini?” Nata menatap dua orang ini bergantian. Sekilas ia melirik pipi Rachel yang merah, berbekas tamparan. Ia lalu membantu istrinya untuk berdiri.
“Istri kamu diminta jagain Brandon aja gak bisa. Liat kaki Brandon sampai berdarah karena menginjak pecahan gelas!” tunjuk Martha pada kaki bocah empat tahun yang berada di gendongan seorang asisten rumah tangga.
Anak itu memeluk sang ART dengan erat, tidak bersuara sedikitpun apalagi menangis.
Nata bisa melihat kaki Brandon yang terbungkus kain kasa dengan plester bergambar robot di atasnya.
“Tapi mamah gak perlu nampar Rachel seperti itu. Semua kan bisa dibicarakan baik-baik," bela Nata sambil menarik tangan Rachel agar berpindah ke belakangnya. Ia mengantisipasi kalau-kalau Martha kembali memukulnya.
“Sudah berapa kali mamah bilang baik-baik sama dia, hah? Coba kamu hitung! Heh Rachel, coba berapa kali saya ngomong baik-baik sama kamu?” Benar saja, dengan geram sambil mengeretakkan gigi, Martha berusaha menarik lengan Rachel tapi dengan cepat Nata menahannya.
“Kamu itu disini cuma numpang. Tibang diminta jaga keponakan saja, tidak becus. Ngerawat diri juga tidak bisa. Tinggal di rumah mewah tapi penampilan buluk, kayak babu!” Martha menatap Rachel dengan sinis dari atas hingga ke bawah.
Menantunya memang hanya mengenakan dress sederhana dengan rambut yang sengaja dicepol karena selalu menjadi sasaran tarikan sang keponakan yang istimewa dengan hiperaktif-nya.
Rachel mengusap rambutnya untuk ia rapikan tapi ternyata tidak semudah itu untuk terlihat lebih baik.
“Pantas saja kalian masih belum punya anak juga, dititipin ponakan aja kamu gak bisa jaga!” cetus Martha seperti tanpa menghela nafas.
Rachel hanya bisa menggigit bibirnya kelu, ia tahan sebisa mungkin agar tangisnya tidak pecah. Tapi rupanya ia gagal. Ia gagal mengendalikan perasaannya yang ternyata tidak sekuat itu. Bulir air mata menetes begitu saja dan segera ia usap dengan punggung tangan sambil memalingkan wajahnya.
Hatinya gemetar saat lagi-lagi Martha mengungkit masalah ia yang belum juga hamil padahal sudah satu tahun menikah. Andai ia bisa mengatakan kalau masalah kehamilan bukan karena ia tidak berusaha tapi semuanya bukan atas kuasanya.
"Nangis aja kamu bisanya!” imbuh Martha dengan mata mendelik. Sudah sangat bosan rupanya.
“Mah, udah cukup!” Nata sepertinya sudah jengah.
“Yang sebaiknya kita bahas sekarang adalah masalah Brandon, Mamah tidak perlu memperlebar masalah dengan membahas masalah aku dan Rachel yang belum juga punya anak.” Nata berujar dengan kesal.
Setiap hari di rumah ini selalu diramaikan dengan keributan antara Rachel dengan ibunya. Entah itu soal rasa masakan Rachel yang kurang pas, masalah mengasuh Brandon lah atau penampilan Rachel yang menurutnya memalukan. Gadis ini memang tidak ubahnya seperti salah satu ART di keluarga Wijaksono dibanding sebagai menantu. Semuanya menjadi tugas Rachel alih-alih menjadi tugas ART yang sudah mereka gaji.
Nata akui, sejak Rachel datang ke rumah ini, dua wanita ini memang tidak pernah bisa didekatkan. Meski sudah setahun berjalan, suasananya masih sama, ricuh. Ia sudah lelah melihat kejadian seperti ini yang berulang setiap hari. Martha dengan temperamennya yang keras dan Rachel dengan sikap selalu salahnya di depan Martha.
"Tapi ini jadi masalah di pernikahan kalian. Sudah Mamah bilang,"
“Stop Mah, aku udah muak dengernya!” timpal Nata dengan nada suara yang meninggi. Tidak membiarkan sang ibu meneruskan kalimatnya.
“Oh, jadi sekarang kamu sudah berani melawan Mamah gara-gara perempuan itu?!” tunjuk Martha pada Rachel.
“Kamu harus ingat, Mamah adalah wanita yang melahirkan kamu. Sementara dia-“ Tangan Martha menunjuk Rachel lurus dan tegas sampai gemetar karena kesal.
“Mah! Aku tau!” seru Nata memotong kalimat ibunya.
Melihat Nata yang juga tersulut emosinya, Rachel segera menahan tangan Nata. Ia tidak mau Nata semakin kasar pada ibunya sendiri.
Merasakan tangan Rachel yang menggenggam tangannya, Nata berusaha menenangkan dirinya. Ia menghela nafasnya dalam lalu menghembuskannya dengan kasar.
“Aku minta maaf, kalau istriku sudah membuat Mamah marah tapi, untuk menasehati Rachel, sekarang itu adalah tugasku. Mamah tidak perlu mencacinya dihadapan semua orang.”
Nata refleks mengangkat tangan Rachel yang sedang ia genggam. “Aku harap, mamah juga tidak terus menekan Rachel dengan masalah anak. Bisa kah Mah?” pinta Nata dengan sungguh.
Tangan Martha mengepal, tidak bisa berkata-kata. Kepalan tangan itu kini mengepal erat di sisi tubuhnya. Sungguh ia tidak suka setiap kali Nata membela Rachel.
Rachel, melihat apa yang dilakukan oleh suaminya, ia hanya bisa tertunduk. Hatinya berdesir setiap kali Nata pasang badan untuk membelanya. Tapi di belakang itu?
Lagi, Rachel hanya bisa meneteskan air mata. Ia sadar keberadaannya di rumah ini sudah salah sejak awal. Tapi apa ada gunanya jika ia menyesalinya saat ini?
Perlahan Rachel melepaskan tangan Nata dan Nata tidak menahannya.
“Aku lihat, Brandon baik-baik saja. Dia juga sudah diobati. Nanti biar aku yang ngomong sama kak Ivana soal keteledoran Rachel hari ini,” terang Nata. Tendensi suaranya mulai turun.
“Terserah kamu,” dengus Martha.
Wanita paruh baya itu segera menghampiri Brandon yang ada dalam gendongan ART dan segera mengambil alihnya.
“Aahhh ….” Brandon mengulat tidak mau. Ditepisnya tangan Martha yang hendak menyentuhnya.
“Sudah, ayo ikut sama Oma. Kalau sama tante kamu, bisa-bisa nanti kamu kehilangan kaki kamu," ucap Martha lagi, dengan sinis.
Tapi Brandon tetap bersikukuh memeluk ARTnya. Ia selalu ketakutan setiap kali ada nada suara tinggi di rumah ini.
“Astaga ….” Nata hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Martha memang sangat sulit untuk dihadapi.
“Kamu masuk, nanti kita bicara," titah Nata tanpa menoleh Rachel. Lantas ia beranjak menghampiri Brandon.
“Brandon, sini sama papi ya,... Kita main di kamar Brandon," bujuk Nata pada keponakannya.
“Eemm, No … Mami Acen ….” rengek Brandon dengan manja memanggil Rachel.
“Udah gak usah sama mami Acen dulu. Masuk kamar sana, tunggu Mami kamu pulang!” hardik Martha yang mendelik kesal. Ia tidak suka Brandon yang begitu ketergantungan pada menantunya.
Beberapa saat ia menatap Rachel dengan tidak suka. “Kenapa masih di sini?” Dengan sudut matanya Martha menunjuk wanita itu.
“Iya Mah ….” Akhirnya Rachel pun pergi. Ia menoleh Brandon yang memandangnya dengan sedih.
“Mami .…” rengek Brandon sambil mengulurkan tangannya. Anak kecil itu tahu persis kalau Rachel tidak bersalah. Wanita itu juga yang mengobati luka di kakinya.
Tapi sayangnya Rachel tidak bisa mendekat. Sebenarnya ia tidak tega tapi akan lebih baik kalau ia pergi ke kamarnya daripada mengundang lagi amarah Martha.
“Maaf Brandon.” Rachel membatin. Langkahnya ia buat cepat untuk meninggalkan ruangan ini.
****
Di dalam kamar, Rachel termenung seorang diri. Ia duduk di tepian tempat tidur sambil memikirkan apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Harus ia akui kalau dadanya masih sesak saat mendengar semua ucapan Martha. Bahasan tentang Brandon, tentang kebodohannya dan tentang pernikahannya yang belum juga dikaruniai seorang anak, seperti tamparan keras berulang yang di berikan sang ibu mertua padanya.
Ia sudah sangat sering mendengar kemarahan yang di lontarkan ibu mertuanya namun hal itu tidak lantas membuat ia terbiasa mendengar kalimat-kalimat yang merendahkan dirinya itu.
Hingga saat ini, ia hanya bisa menelan semua pil pahit itu sendirian.
“Brak!”
Suara pintu tertutup yang cukup kasar itu membuat Rachel terperanjat. Cepat-cepat ia bangkit dan menyambut Nata yang baru masuk ke kamarnya. Lamunan yang membuat air matanya menetes pun buyar dengan sendirinya. Rachel segera menyeka air matanya agar tidak terlihat oleh Nata. Ia tahu persis kalau Nata sangat tidak suka melihatnya menangis.
“Sampe kapan sih kamu mau berantem terus sama mamah?” tanya Nata sambil melepas dasi yang melingkar di lehernya. Jalinan kain ini membuat nafasnya sesak dan lehernya terasa terikat.
Rachel segera menghampiri Nata dan mengambil alih dasi dari tangan Nata.
“Maaf mas, aku gak pernah berniat bikin mamah marah,” timpal Rachel yang hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berani menatap laki-laki itu.
Sama seperti sebelumnya, sikap Nata memang selalu berbeda antara saat dihadapan orang lain di banding saat berdua dengan Rachel. Tapi Rachel masih bersyukur, paling tidak Nata menjaga kehormatannya dan mau membelanya dihadapan orang lain, terutama ibu mertuanya. Itulah alasan yang membuat Rachel bertahan selain karena ia memang mencintai Nata.
Di rumah ini, posisi Rachel memang bukan sebagai menantu yang diidam-idamkan oleh Martha. Di mata wanita berketurunan bangsawan itu, tidak ada satu pun kriteria menantu idaman yang ada pada diri Rachel. Ia hanya gadis sederhana yang dipilih oleh anak perempuannya untuk menjadi istri bagi adiknya. Pernikahannya pun mendadak.
Namun satu hal yang pasti, kalau Rachel sangat mencintai Nata sejak pertama mereka bertemu.
“Aku sudah mengingatkan, jangan memancing kemarahan mamah. Karena itu akan sangat berpengaruh sama Brandon. Kamu tidak lupa kan kalau kita masih tinggal di rumah ini karena kita sepakat untuk menjaga Brandon?”
Satu per satu kancing baju Nata ia lepas sambil terduduk di sofa. Ia sempatkan melirik Rachel yang terdiam di tempatnya, menunggu titah Nata berikutnya.
“Iya mas, aku ingat. Aku minta maaf.” Hanya itu yang bisa ia katakan untuk saat ini. Dalam sehari, entah berapa kali ia mendengar kata maaf dari mulut Rachel. Ia sudah sangat bosan.
Rachel sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat Nata dan ternyata Nata sedang memandanginya dengan tidak habis pikir. Nata segera memalingkan wajahnya saat tatapan mereka bertemu.
“Rapikan penampilanmu. Aku sudah memintamu untuk terlihat bersih saat aku pulang. Jangan pakai baju tidur seperti itu. Aku sudah membelikanmu banyak baju tidur 'kan?”
Nata beranjak dari tempatnya, ia pergi untuk membersihkan tubuhnya.
“Baik, Mas.” Lagi Rachel mengangguk patuh. Ia memberikan handuk pada suaminya.
Nata segera masuk ke kamar mandi setelah menggeleng tidak habis pikir dengan tingkah Rachel setiap harinya.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, Rachel segera mengambil pakaian ganti untuk dirinya dan Nata. Ia mengambil stelan pijama favorit suaminya, kaos oblong dan celana training. Sementara untuk dirinya ia mengambil nightgown. Nata suka melihat istrinya terlihat cantik dengan pakaian tidur berrenda seperti itu.
*Warna marron* adalah warna favoritnya. Entahlah, mungkin karena terlihat seksi. Walau sebenarnya Rachel lebih suka memakai setelan pijama celana panjang agar tidak kedinginan. Tapi kebahagiaan suaminya lebih utama saat ini.
Rachel juga menyisir rambutnya dengan rapi, tidak lagi di cepol seperti tadi. Ia menyesalkan karena dirinya yang lamban dalam mengerjakan apa-apa hingga ia masih berpenampilan lusuh saat Nata pulang. Jujur, hanya dengan mengurus Brandon waktunya terasa begitu cepat habis. Ia bahkan sering lupa untuk mengurus dirinya sendiri.
Seharian terasa berat bagi seorang anak manja yang dipaksa dewasa setelah menikah. Bukan kondisi seperti ini yang Rachel harapkan tapi ia hanya bisa menerimanya. Semuanya berada pada kondisi terlanjur. Terlanjur berjanji, terlanjur jatuh cinta dan terlanjur menyayangi.
Belum selesai merapikan dirinya dan baru memakai lipbalm, Nata sudah keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu sempat melihat bayangan Rachel di cermin dan saling bertatap beberapa saat tapi kemudian masing-masing memalingkan wajahnya.
“Mana bajuku?” tanya Nata.
“Oh, ini mas.” Rachel segera beranjak tapi karena tergesa-gesa, tanpa sengaja ia menginjak ujung bajunya sendiri.
Tubuh Rachel melayang ke udara dan Bruk! Ia menubruk tubuh Nata hingga jatuh terduduk. Beruntung tubuh Rachel yang lebih kecil tidak membuatnya jatuh terlentang. Kedua tangannya masih sanggup menopang bobot tubuhnya.
Saat ini, tubuh Rachel berada tepat di atas tubuh Nata, terkungkung oleh kedua kakinya yang tertekuk paksa.
Bibir Rachel yang sudah di olesi lipbalm itu berada persis menempel di ujung hidung Nata yang bangir. Jangan tanyakan soal handuk yang melingkar di tubuh Nata, sudah pasti melorot karena tertarik oleh lutut Rachel.
Untuk beberapa saat mata mereka saling berpandangan. Sama-sama mengerjap beberapa kali seolah sedang mengumpulkan kesadaran masing-masing. Tapi kemudian Nata dan Rachel sama-sama melihat ke dada Nata, tempat satu tangan Rachel berada dan satu tangan lagi berada di lantai dan menyentuh sesuatu milik Nata yang sedang menegang karena kedinginan.
“ASTAGA!!” seru Rachel yang segera bangkit.
“Ma-Maaf Mas,” ucapnya yang tergesa-gesa untuk bangun dan sempoyongan hampir terjatuh lagi karena menginjak gaun tidurnya sendiri.
Akh sial, inilah yang tidak Rachel sukai dari memakai gaun tidur seperti ini.
Setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya, Rachel segera berlari keluar kamar dan menutup pintu kamar dengan tergesa-gesa. Di balik pintu itu ia menyandarkan tubuhnya sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Jantungnya berdebar sangat kencang, ia usap-usap pun tidak ada artinya. Wajahnya memerah dengan mata terpejam berusaha mengusir bayangan sesuatu yang tabu dilihatnya secara utuh.
"Jangan dibayangin, jangan dibayangin, jangan dibayangin....” Seperti membaca mantra, beberapa kali ia ketuk-ketuk kepalanya untuk mengusir bayangan yang tadi di lihatnya. Tapi sayangnya malah terrefleksi di otaknya semakin nyata saja.
“Tenang Chel, tenang, okey?” Rachel bergumam menenangkan dirinya sendiri.
Ia berusaha mengatur nafasnya, menghela lebih dalam dan menghembuskannya lebih pelan. Beberapa kali ia lakukan sampai debaran jantung perlahan mulai melambat.
“Astaga Rachel, kenapa kamu lari? Mas Nata kan suamimu sendiri?” umpatnya setelah mengingat kebodohannya sendiri.
“Tapi aku gak bisa kalau melihatnya utuh-utuh begitu. Adduuuhhh....” Rachel mengacak rambutnya kasar. Rambut yang sudah ia sisir dengan rapi malah berantakan lagi.
“Tenang-tenang!” kali ini ia menepuk-nepuk wajahnya berulang kali hingga merah.
“Krieet....” Tanpa Rachel sadari ternyata pintu yang ia sandari terbuka.
“HWAAAAAA....”
Rachel nyaris terjengkang ke belakang. Beruntung Nata menahan tubuhnya. Seperti adegan di film romantis, mereka kembali saling bertatapan dengan keterkejutan masing-masing.
'Astaga, suami aku ganteng banget,... Bewoknya kok seksi ya? Apa benar aku bisa nikah sama laki-laki setampan Mas Nata gara-gara kalo nyapu suka gak bersih? Apa ini anugrah?’ batin Rachel dengan pikiran yang entah kemana.
Tatapan Nata benar-benar menguncinya dan membuat jantungnya berdebar sangat kencang. Seperti ada banyak bunga yang bermekaran di sekitarnya.
“Mau sampai kapan kamu begini?” tanya Nata dingin.
Bunga-bunga yang melayang itu sekarang jatuh berguguran. Hah, laki-laki dingin ini benar-benar merusak imajinasi Rachel.
“Oh maaf, Mas.” Rachel segera menegakkan tubuhnya.
“Sedang apa kamu di sini?” lagi kulkas dua pintu ini bertanya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana training.
“A-Aku?” Rachel menunjuk hidungnya sendiri dengan kaku. Matanya membola bingung untuk menjawab.
“Pikirmu ada yang lain?” laki-laki dingin itu menyilangkan tangannya di depan dada, menunggu jawaban Rachel.
“A-Aku, mau ke kamar Brandon. Mau mengeceknya,” jawab Rachel sekenanya.
“Lalu kenapa masih di sini?” Haisshh, dingin sekali laki-laki ini.
“Oh iya. Aku pergi sekarang,” cicit Rachel.
Cepat-cepat ia pergi dari hadapan Nata, tapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Ia melihat pakaian yang di kenakannya.
“Akh sial!” dengusnya. Tidak mungkin ia berkeliaran di dalam rumah dengan pakaian seperti ini. Terpaksa ia harus kembali ke kamarnya dan mengambil jacket.
“Permisi Mas, aku mau mengambil jacket,” ujarnya sambil membungkuk melewati Nata.
Nata hanya mundur beberapa langkah, memberi celah pada Rachel untuk lewat. Wanita itu pun masuk, mengambil jacketnya lalu memakainya.
“Permisi lagi Mas.” Ia lewat lagi sambil membungkuk dan Nata hanya terpaku tanpa merespon apapun. Di pandanginya punggung Rachel sampai ia menghilang di anak tangga paling bawah dan berbelok menuju kamar Brandon.
Setelah Rachel pergi, Nata pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya yang tersisa.
Kenapa Rachel selalu saja membuatnya kesal?
****
Rachel berhasil meloloskan diri masuk ke kamar Brandon tanpa larangan dari Martha. Sepertinya Martha sudah masuk ke kamarnya dan meninggalkan Brandon yang sudah terlelap sendirian di tempat tidurnya.
Rachel memperhatikan seisi kamar Brandon yang rapi. Ruangan ini memang sengaja di buat seminimalis mungkin. Tidak banyak furnitur karena hanya akan membahayakan Brandon. Tidak ada mainan yang bertebaran seperti layaknya anak kecil pada umumnya. Nyala lampu pun di atur sedemikian rupa agar membuat Brandon tetap nyaman.
Di setiap sisi dinding, di tempeli matras dinding untuk menjaga keselamatan Brandon saat ia tantrum.
Ya, tepat tebakan kalian kalau mengira Brandon adalah seorang anak yang istimewa. Ia terlahir sebagai anak autis yang memerlukan perhatian intens orang sekitarnya. Orang yang diharuskan fokus menjaga balita ini adalah Rachel. Karena saat bersama Rachel, Brandon lebih bisa tenang dan terkendali.
Kondisi Brandon yang istimewa ini seringkali membuat Rachel kewalahan mengurus Brandon. Bukan hanya karena ia masih kecil tapi karena memang prilakunya pun unik. Waktunya terkuras habis untuk mengasuh Brandon. Walau ia sudah membuat jadwal harian untuk Brandon dari anak ini bangun hingga tidur lagi tapi tetap saja, jadwal itu sangat sulit untuk dipatuhi.
Dengan rasa bersalahnya, Rachel mendekat pada Brandon, duduk di tepian tempat tidur sambil memperhatikan wajah Brandon yang sudah terlelap.
“Maafkan Mami Acen ya Brandon?” Rachel bersuara lirih. Melihat wajah polos Brandon membuat Rachel semakin merasa bersalah.
Ia memandangi luka Brandon yang tertutup kasa dan plester. Rasanya menyedihkan melihat anak sekecil ini terluka karena kecerobohannya. Jika ia lebih cekatan, tentu Brandon tidak akan terluka.
Brandon dan keluarga ini sekarang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia pun jadi teringat asal mula ia masuk ke keluarga ini.
Setelah perkenalan tanpa sengaja anatara ia, Ivana, Nata dan Brandon, tidak lama Ivana mengajak mendiang ayahnya datang ke rumah Rachel. Rumah sederhana yang menerima mereka berdua dengan baik dan hangat, sekitar satu tahun lalu.
Rachel dengan wajah polosnya, tampak terkejut saat melihat kedatangan Ivana dan Bary Wijaksono. Lebih terkejut lagi saat ia mendengar maksud kedatangannya bersama sang ayah mertua.
“Saya datang ke sini, untuk melamar anak ibu, sebagai istri dari putra saya, Nata.” Urai Bary seraya menyodorkan foto putranya pada ibu Rachel, Eva.
“Melamar anak saya? Siapa, Ruby?” tanya Wanita itu, tidak yakin. Ia hanya tahu kalau putri pertamanya memang memiliki kekasih tapi tidak pernah dikenalkan padanya.
“Bukan ibu, maksud Papah saya adalah Rachel.” Timpal Ivana dengan penuh keyakinan.
Rachel yang sedang membawa baki berisi air minum dan makanan di tangannya, tampak terkejut. Eva menoleh pada putrinya dengan heran.
“Dia tidak pernah mengatakan kalau dia punya pacar. Lagi pula dia masih kuliah.” Berganti Ivana dan Bary yang di tatap heran oleh Eva.
“Benar, Rachel dan Nata memang tidak berpacaran, tapi mereka saling menyukai.” Tegas Ivana sambil tersenyum memandangi Rachel yang gemetar di tempatnya.
Ivana memang pernah bertanya apa ia suka atau tidak pada Nata dan dengan polos, Rachel mengaku kalau ia menyukai Nata. Tapi ia tidak pernah menyangka kalau Ivana akan langsung menganggap serius pengakuan Rachel.
“Kemari Nak, duduk di samping ibu.”
Eva memanggil Rachel untuk mendekat. Ia menepuk tempat disampingnya. Ia masih belum yakin kalau Rachel menyukai seorang laki-laki karena putrinya belum menceritakan apapun.
Malu-malu Rachel menghampiri. Menaruh makanan dan minuman di atas meja, lalu duduk di samping Eva. Ia mengangguk sopan pada Ivana dan Bary yang menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Ibu mau nanya, benar kamu mengenal pria di foto ini?” Eva menunjukkan foto Nata pada Rachel.
“Iya Bu.” Rachel menyahuti tanpa ragu.
“Kamu menyukainya?”
Rachel terdiam beberapa saat, malu-malu ia menoleh Ivana dan Bary lalu menunduk. Sambil tersenyum kecil ia mengangguk.
Eva menghembuskan nafasnya lega, ternyata dua orang ini tidak salah alamat. Dan saat itu Rachel pun mau menerima pinangan Ivana dan Bary untuk Nata.
Hal berbeda terjadi pada Nata. Tanpa Rachel tahu, suaminya terang-terangan menolak untuk dinikahkan.
“Kenapa kalian menemui keluarga itu sebelum berbicara denganku dulu? Aku tidak mau menikah! Apalagi dengan wanita yang tidak aku kenal.” Tolak Nata dengan tegas. Ia menatap Ivana dan Bary penuh kemarahan.
“Nata, gadis itu wanita baik-baik. Papah dan kakak kamu tidak mungkin salah memilih.” Timpal Bary tidak kalah tegas.
“Memangnya mungkin papah memilihkan aku calon istri yang tidak baik? Tidak kan? Tapi bukan berarti aku bisa menerima begitu saja pilihan Papah dan Kakak!” Timpal Nata. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Nata, tolong pikirkan lagi keputusan kamu. Ini pilihan yang terbaik. Kakak kamu sudah bersumpah, dia tidak akan menikah sebelum kamu menikah. Apa kamu mau selamanya Brandon gak punya ayah? Kamu mau Brandon dicap sebagai anak hasil hubungan gelap dan kumpul kebo?” tantang Bary dengan tegas.
“Akh sial!” Nata hanya bisa mendengus kesal.
Ia menatap Ivana dengan penuh kemarahan. Ivana tahu, kalau keputusannya mungkin salah dengan mengancam Nata seperti ini. Tapi semua ini ia lakukan agar Nata tidak terus terpuruk dalam kesedihan karena hubungannya yang kandas dengan kekasih yang sangat ia cintai.
Sudah empat tahun Nata seperti ini, acuh pada wanita, menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan dan gila bekerja hingga tidak memikirkan hal lain. Maka, Ivana sengaja mengancam Nata dengan ancaman tidak akan menikah sebelum Nata menikah. Ia sangat yakin, Nata tidak akan tega membiarkan Brandon tumbuh tanpa tanggung jawab Brams sebagai ayahnya.
Tapi setelah pernikahan itu disetujui dan terjadi, ternyata masuknya Rachel ke keluarga ini tidak bisa diterima oleh Martha, ibunya. Wanita itu terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Rachel.
Bagi Martha, Rachel tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Status sosialnya lebih rendah di banding keluarganya. Dan hingga saat ini, Martha masih belum bisa menerima kehadiran Rachel sebagai menantu di rumah ini.
Segala bentuk kekerasan sudah pernah di terima Rachel, baik itu kekerasan fisik ataupun psikis.
Beruntung Nata masih melindunginya sehingga Rachel ada tempat berlindung. Walau sikap Nata masih tetap dingin pada istrinya tapi paling tidak Nata ada untuk membela Rachel.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!