Bab. 1
Di bawah rintiknya hujan yang kian deras, terlihat seorang gadis yang tampak kesusahan membuka jok sepeda motornya. Gadis itu sudah berteduh di bawah pohon memang, tetapi dedaunan pohon tersebut tak cukup untuk melindungi gadis itu dari derasnya hujan.
"Kenapa susah banget sih bukanya!" kesal gadis itu.
Kunci yang ada di bawah jok belakang tampak terlihat susah untuk di putar ke kana. Mungkin karena sedikit berkarat. Alhasil jok tersebut susah untuk di buka.
Tidak bisa mengelak lagi, alhasil bajunya basah semua. Percuma saja meskipun bisa mengambil jas hujan yang tersimpan di sana. Tentu saja hal itu membuat Sherinda Agastya menyerah dan kembali naik ke atas sepeda motornya lagi. Lalu bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Selang beberapa menit, motor yang Sherinda kendarai pun sampai juga di depan rumah bertingkat dua. Tidak luas memang, hanya berukuran sepuluh kali lima belas meter saja. Namun tampak cukup menenangkan. Karena di halaman rumah itu terdapat banyak tanaman bunga meskipun tidak terlalu lebar.
"Astaga, Rindaaaa ....!" teriak seseorang dari dalam rumah ketika Rinda, sapaan Sherinda Agastya, tengah memarkirkan sepeda motornya. "Kenapa kamu bisa basah kuyup kayak gini?" imbuh wanita patuh baya tersebut. Datang dan menghampiri Rinda dengan membawakan handuk kepada Rinda.
Sementara Rinda dengan sangat santainya berjalan menuju pintu yang ada di sisi kanan bagian depan rumahnya.
"Ya mau gimana lagi, Bu. Orang namanya kena hujan. Ya jelas basah kuyup lah!" jawab Rinda sedikit sebal.
Bukannya segera di suruh masuk dan direbuskan air hangat, tetapi ibunya ini malah melakukan paduan suara terlebih dulu. Sungguh, membuat Rinda ingin cepat masuk ke dalam kamar secepatnya.
"Ya tapi kan kamu bisa berteduh di mana dulu gitu loh, Rinda. Nggak harus basah-basahan kayak gini. Kamu nggak sadar sama penampilanmu? Hem?" omel ibu lagi yang tidak bisa dipersingkat memang. Padahal tubuh Rinda sudah sangat menggigil.
Sebenarnya Rinda tipe orang yang tidak bisa terkena air hujan. Karena dapat di pastikan besok dia tidak akan bisa berangkat ke sekolah karena demam.
"Udah tadi, Bu. Tapi ya mau gimana lagi, hujannya bandel sih. Kangen Rinda. Katanya Rinda udah lama nggak main sama dia," jawab Rinda asal. Membuat bu Mela menahan geram.
"Ngawur aja kalau ngomong. Mana ada hujan kangen sama kamu. Udah, sana buruan mandi terus langsung minum paracetamol. Biar besok bisa masuk sekolah. Ada ulangan kan besok?" ingat bu Mela pada putri keduanya tersebut.
"Siap, Bu!" seru Rinda.
Kemudian gadis itu langsung masuk ke dapur dan menuju kamar mandi yang ada di lantai satu. Selesai dengan urusannya, Rinda naik ke lantai atas hanya dengan berbalut handuk yang melilit di dada.
Jelas saja, Rinda kena omel lagi oleh bu Mela.
"Astagaaa ... anak perawan kok main ngelunyur gitu aja sih, Rinda! Gimana kalau ada tamu dan itu seorang laki-laki?" sepertinya bu Mela sampai migrain menasehati Rinda yang sangat ceroboh.
"Ya anggap aja amal, Bu!" seru Rinda yang langsung berlari menuju kamarnya.
Bu Mela menggeleng kepala. "Kapan anak itu bisa berubah sedikit lebih waspada," gumam bu Mela.
Sementara itu ada seorang perempuan yang diam-diam tersenyum melihat tingkah Rinda dan ibunya. Lalu perempuan itu mendekati bu Mela.
"Kenapa lagi dia, Bu?" tanya perempuan itu sembari memijat bahu bu Mela. Membuat bu Mela menoleh ke arahnya.
"Adik kamu itu susah banget di bilangin, Na. Coba kamu ajari dia gimana seharusnya sikap seorang gadis. Masa hujan-hujanan tanpa makai jaket. Mana seragamnya warna putih, lagi. Ya kelihatan dong, kacamata dalamnya itu!" ujar bu Mela pada Nara, anak pertamanya.
Nara menahan tawa mendengar cerita dari ibunya. Ia sangat tahu gimana cerobohnya Rinda.
"Nanti Nara coba bilangin, Bu. Ibu jangan makai emosi kalau sama dia. Ingat, tensi Ibu sering tinggi loh kalau udah emosi," ingat Nara lebih kalem. Sangat berbeda sekali dengan Rinda.
"Ah, iya. Kamu yang bicara sama dia aja. Biar dia berubah sedikit nggak ceroboh banget. Ibu cuma takut kalau sampai ada orang yang memanfaatkan kecerobohan Rinda, Na."
Nara mengangguk paham. Kemudian mereka pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Bab. 2
Pagi ini kelas akan di mulai setelah beberapa hari libur karena dipakai anak kelas dua belas yang tengah melakukan ujian Nasional.
Seperti biasa, Rinda terlihat begitu panik menyiapkan keperluan untuk sekolah dengan terburu. Gadis itu berlari ke sana kemari demi mengejar waktu. Karena sekarang sudah setengah tujuh lewat.
"Bu, Kak, Rinda berangkat dulu, ya?" sapa Rinda yang baru turun ke lantai dasar dan menghampiri dua wanita berbeda generasi tersebut di dapur. Bersalaman dengan mereka secara bergantian.
Baru setelah itu menuju ke kursi yang paling ujung, di mana di sana ada seorang pria paruh baya yang menatap ke arahnya seraya menggelengkan kepala.
"Yah, Rinda juga pamit berangkat sekolah dulu, ya?" sapa Rinda mencium punggung telapak tangan ayahnya lalu memberi kecupan di kening.
"Nggak sarapan dulu, Nda? Kan kalau sekolah pulangnya sore. Nggak sempet makan siang di rumah juga, kan?" tanya ayah dengan sangat lembut.
Sangat berbeda sekali dengan ibunya yang selalu bersemangat kalau berbicara dengan dirinya. Sangking semangatnya, terkadang Rinda menutup telinga jika sudah ibunya latihan vokal.
"Enggak, Yah. Nanti bisa makan di kantin. Ini sama Kak Nara dikasih uang lebih buat jajan," jawab Rinda sembari menoleh ke arah kakaknya dan membuat gerakan simbol hati yang beri keluar dari dadaanya.
"Ck! Kalau ada maunya!" timpal Nara, yang memang selalu memanjakan adik satu-satunya tersebut.
"Ya sudah, Rinda berangkat dulu semuanya! Assalamu'alaikum!" pamit Rinda sambil berlalu dari sana setelah menyambar kunci motornya.
Rinda menuju motornya yang sudah terparkir rapi di depan rumahnya. Gadis itu kembali mengecek jas hujan yang ada di dalam jok.
Kemarin, setelah mengatakan kepada ayahnya kalau kunci bagian belakang sepeda motornya agak susah, pria paruh baya itu menyempatkan diri untuk memperbaikinya sebelum berangkat ke kantor.
Alhasil sekarang Rinda bisa dengan mudah membuka joknya. Tidak lagi kehujanan seperti kemarin. Beruntung juga kemarin ibu memberinya obat paracetamol agar tubuhnya tidak demam.
Beruntung, Rinda sampai di sekolah dengan selamat. Dan yang paling penting ialah dia tidak telat hari ini. Bisa bahaya kalau sampai telat. Bisa-bisa ia berhadapan dengan para anggota osis yang sedang berjaga di gerbang hari ini.
"Bawa apaan lo?" tanya Bianka saat Rinda mau lewat.
Rinda yang ditunjuk pun menatap ke arah tangannya yang tengah membawa beberapa buku. Tentu, di dalam buku tebal itu juga ia selipkan berapa komik kesukaannya.
"Memangnya lo nggak liat apa yang gue bawa?" bukannya menjawab pertanyaan, Rinda justru melempar pertanyaan lain dan seolah meledek Bianka. "Buku sebesar ini masa masih nggak jelas di mata lo? Ck! Udah parah mata lo. Buruan periksa sana." imbuh Rinda.
"Sialaan, lo!" sentak Bianka yang tidak terima dibalas seperti itu oleh Rinda.
Gadis itu berusaha untuk mendekat ke arah Rinda dan ingin sekali menjambak rambutnya. Namun, pergerakannya dihadang oleh anggota osis yang lain.
"Jangan bertindak di luar tugas kita, Bi!" sentak salah seorang cowok dengan nada yang keras.
"Tapi dia nyebelin banget!" balas Bianka yang masih tidak terima.
"Iya, gue tau. Lagian dia nggak melanggar peraturan, kan? jadi nggak ada alasan buat lo nyentuh dia," ingat cowok itu lebih menekankan lagi kalimatnya.
Diam-diam Rinda tersenyum puas melihat Bianka yang ditarik seperti itu oleh kakak kelasnya. Cewek yang paling suka mencari kesalahannya itu, hari ini tidak akan bisa mencatat namanya di buku catatan murid-murid yang melakukan pelanggaran.
"Gue nggak ada langgar apa-apa, kan?" tanya Rinda dengan nada yang begitu menjengkelkan.
"Enggak," jawab seorang cewek berkacamata dengan buku tebal di tangannya.
"Ya udah, kalau gitu. Permisi," ucap Rinda sesopan mungkin. Karena biar bagaimanapun mereka semua kakak kelasnya.
Bab. 3
Rinda berjalan menuju kelasnya dengan hari yang sangat riang. Gadis itu berhasil lolos dari penjagaan ketat para anggota osis di gerbang sana. Dengan begini, waktu istirahat tiba nanti dia bisa ke perpus untuk melanjutkan membaca komik yang belum ia selesaikan semalam.
Sebenarnya membaca di aplikasi yang ada di ponselnya pun juga bisa. Hanya saja Rinda bukan orang yang terlalu bergantung dengan benda pipih tersebut. Dia lebih suka membaca versi cetaknya. Bahkan terkadang benda pipih itu pun dia tinggal begitu saja di kamarnya. Kalau saja kak Nara tidak mengingatkannya setiap selesai mandi.
"Kenapa lo mendesaah kek begitu?" tanya seorang gadis yang duduk di samping Rinda. "Kek habis enak-enak aja lo!" tuduh gadis itu seraya terkekeh. Sontak, Rinda langsung membungkam mulut temannya itu dengan tatapan melotot.
"Ini mulut enaknya digeprek apa dicabein ya? Lemes banget omongannya," kesal Rinda yang masih membungkam mulut temannya itu.
Sementara teman Rinda yang bernama Felisha tersebut pun melepas tangan Rinda dari mulutnya.
"Singkirin nih tangan! Bau terasi, Rind!" pekik Felisha sedikit keras.
"Enak aja! Orang gue belum makan apa-apa pagi ini," sahut Rinda yang kemudian mencium tangannya sendiri. Apakah benar memang ada bau terasi di sana. "Enggak ada baunya sama sekali, Fel!" ujar Rinda setelahnya.
Felisha tertawa melihat Rinda yang bisa-bisanya ia bohongi.
"Ya kali tanganmu bau terasi, Rind. Gue bercanda. Lagian lo main bekap mulut gue. Kesel nih!" jelas Felisha yang dibalas dengan senyuman oleh Rinda.
"Eh, lo udah garap itu PR dari Pak Rio nggak?" tanya Rinda yang teringat jika di jam pertama ada mata pelajaran yang diisi oleh pak Rio.
"Udah dong! Kalau lo?" mata Felisha menyipit, menelisik ke arah Rinda. Curiga kalau teman satu bangkunya ini belum mengerjakan.
Rinda mengeluarkan dompetnya dari dalam tas, lalu mengambil uang berwarna biru.
"Udah, semalam baru kerjainnya. Ke kantin yuk, Fel! Laper banget gue," rengek Rinda sembari memegang perutnya.
"Udah mau masuk, Rind. Ntar aja deh. Bilangin itu caving di perut lo. Kalau mau makan, suruh kerja sendiri. Jangan ngandelin tuannya," kekeh Felisha yang begitu absurd.
"Gila lo! Mana ada ca—"
Kring kring kring
Kalimat Rinda terpotong secara otomatis di kala bel tanda masuk terdengar begitu jelas di telinga mereka. Bahkan di seluruh sekolah.
Jam pelajaran pun di mulai. Tidak ada yang berani bersuara sedikit pun di kala guru muda yang ada di depan mereka tengah menjelaskan materi pelajaran.
Di saat jam istirahat tiba, Rinda melupakan niatnya untuk pergi ke perus dan membaca komiknya di sana. Gadis itu justru menuju ke kantin, karena sudah tidak bisa menahan lagi rasa lapar yang teramat sangat.
"Pelan-pelan aja makannya. Siapa juga yang mau minta makanan lo," ingat Felisha yang melihat cara makan Rinda seperti orang yang tidak makan selama satu minggu penuh. Begitu rakus.
"Laper banget gue, Fel," sahut Rinda dengan mulut yang penuh akan makanan yang dia suap.
Sedangkan Felisha menggeleng kepala melihat sikap random Rinda. Terkadang gadis ini terlihat sangat begitu anggun, cantik kalem, namun juga bisa begitu teledor dan berantakan. Contohnya saja seperti sekarang ini.
Tidak memperhatikan sekitar, di mana dia berada dan harus bersikap seperti apa. Tidak. Tidak sama sekali Rinda memperhatikan hal yang sangat rumit itu. Dia lebih bersikap apa adanya tanpa adanya pencintraan yang berarti.
"Padahal lo itu termasuk salah satu murid tercantik di sekolah ini loh, Rind. Tapi kalau liat kelakuan lo kayak gini, gue udah ilfil duluan mau ngajak lo ngedate," ujar Felisha sembari menghela napas.
semenjak kenal dengan Rinda, memang sikap gadis di depannya itu tidak pernah berubah sama sekali.
"Gue juga nggak napsu sama lo. Gue masih normal!" sahut Rinda di sela makannya. Membuat Felisha menahan geram.
"Ini hanya perumpamaan, Rinda!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!