Sudah sepuluh tahun berlalu Winter meninggalkan Spring dari dunia yang fana. Sepuluh tahun sudah berlalu, namun rindunya masih terasa, begitupun dengan cinta Spring untuk Winter yang masih belum hilang. Di umurnya yang sudah menginjak usia ke 27 tahun, Spring masih menjadi seorang wanita sendiri tanpa ada seorang pria yang mampu mengisi ruang di hatinya. Sudah banyak pria yang mendekat, namun tak seorangpun yang mampu manggantikan posisi Winter di hatinya.
Spring merupakan seorang wanita yang memiliki karir yang cukup gemilang, seorang penulis yang karya-karyanya banyak di gemari orang. Bahkan sudah beberapa novel yang di angkat ke layar lebar. Namun, memiliki karir yang sukses bukan berarti akan menjamin kebahagiannya. Spring selalu menjadi seorang yang murung dan bersikap dingin semenjak di tinggal sahabat sekaligus cinta pertamanya.
10 tahun yang lalu merupakan tahun terakhir untuk Spring berjumpa dengan Winter. Hatinya hancur ketika dirinya di tinggalkan oleh seorang sahabat yang selalu mengisi ruang di hatinya. Terlebih lagi, Winter meninggalkan Spring tepat pada ulang tahunnya yang ke 17. Kepergian Winter meninggalkan luka yang tak bisa di sembuhkan. Winter meninggal bukan atas kehendak tuhan, melainkan pergi atas kemauannya sendiri. Bunuh diri adalah cara alternatif untuk Winter pergi meninggalkan dunia.
Musim semi untuk Spring adalah musim yang paling kelam. Tiap kali Spring berulang tahun, ia selalu bermandi dengan air matanya. la akan selalu teringat akan cinta pertama yang selalu mendiami hatinya. Tak ada hari untuk Spring dapat melupakan Winter.
Walaupun hubungannya hanyalah sebatas sahabat, namun rasa sayang Spring untuk Winter bukan hanya rasa sayang sebagai sahabat saja. Melainkan rasa cinta yang sudah tumbuh sejak lama.
10 tahun yang lalu sebelum kepergian Winter, sahabatnya itu sempat menghubungi Spring dan memintanya menunggu di pohon sakura yang mereka tanam di saat mereka berusia 7 tahun. Pohon tersebut berada di depan villa milik keluarga Winter. Namun sekian lamanya ia menunggu, sahabatnya itu tak kunjung datang. Yang ia dapati hanyalah sebuah kabar dari ibunya yang menghubunginya lewat ponsel, bahwa Winter telah pergi meninggalkan dunia. Saat itu Spring tak percaya bila Winter telah pergi meninggalkannya. Ia sampai marah dan menangis ketika di hubungi ibunya.
Spring yang tak percaya dengan kabar tersebut, bergegas pergi dari villa ke rumah Winter. Ia berlari cepat agar dapat segera memastikan, bahwa yang di katakan ibunya itu tidak benar.
Namun ekspektasinya salah, di saat Spring sampai di depan rumah Winter. Ia mendapati jenazah Winter yang bersimbah darah tengah di masukan ke dalam ambulance. Spring menangis sejadi-jadinya ketika melihat pria yang ia cintai menutup mata untuk selama-lamanya. Spring pikir meninggalnya Winter kerena telah di bunuh oleh seseorang, karena selimut putih yang menutupi tubuh Winter bersimbah darah. Namun, setelah di selidiki polisi, Winter di nyatakan mengakhiri nyawanya sendiri, bukan apa yang di curigai Spring.
Hingga sampai saat ini kepergian Winter membuat Spring menjadi seorang yang selalu menyalahi dirinya sendiri. Spring tahu bila kesehatan mental Winter sedikit terganggu akibat dari hubungan ayah dan ibunya Winter yang sudah tidak sehat. Bahkan di saat Winter berumur 7 tahun, hubungan ayah dan ibunya sudah tidak layak bersama. Mereka terpaksa bersama hanya demi Winter dan kakaknya yang bernama Alex. Itulah yang menyebabkan kesehatan mental Winter tak baik. Dan Spring yakin bila Winter mengakhiri hidupnya karena sudah tak kuat melihat ayah dan ibunya yang hampir setiap hari bertengkar.
Spring menyalahi dirinya sendiri, karena ia tak bisa menceggah kematian Winter. Andai saja Spring lebih memilih menemui Winter di rumahnya, Spring mungkin bisa mencegah Winter untuk melakukan tindakan yang menghilangkan nyawanya sendiri. Dan andai saja waktu bisa terulang kembali, Spring akan selalu membuat Winter bahagia, dan membuat Winter melupakan masalah orang tuanya. Namun, harapan untuk mengulang waktu, hanyalah harapan yang tak masuk akal untuk di wujudkan tuhan.
Tepat di hari ulang tahunnya, sekaligus tepat 10 tahun kepergian Winter, Spring pulang ke Chicago untuk menemui orang tuanya. Awalnya Spring menolak untuk pergi ke kota yang penuh dengan kenangan akan cinta pertamanya. Namun ibunya terus memaksa, karena semejak Spring menjenjang pendidikan di universitas, Spring tak pernah pulang ke Chicago. Bila ayah dan ibunya rindu, mereka akan pergi menemui Spring ke California. Begitupun sebaliknya, bila Spring merindukan orang tuanya, ia akan meminta orang tuanya untuk menemuinya ke California.
Bukan tak mau pulang menemui orang tuanya ke Chicago, tapi kota tersebut selalu membuatnya teringat akan kepergian Winter. Terlebih lagi rumah Winter berada tepat di sebelah rumah Spring.
Namun ini sudah 10 tahun Spring tak pulang ke Chicago, Spring tak bisa terus meminta orang tuanya untuk pergi menemuinya di California. Kali ini ia harus mengalah untuk menemui orang tuanya di Chicago, Spring pun terpaksa pulang ke Chicago untuk menemui orang tuanya sekaligus merayakan ulang tahunnya di sana.
Sampainya di sana, Spring menitikan air matanya hanya karena melihat rumah Winter. Ia sampai harus mengatur nafasnya dan menghapus air matanya, ketika hendak akan membuka pintu rumahnya.
Saat pintu di bukanya, ayah dan ibunya menyambut hangat dirinya dengan sebuah kue ulang tahun.
"Selamat ulang tahun, Spring," ucap serentak kedua orang tuanya yang bernama Tessa dan James Scott.
Tadinya ia ingin menahan tangis, tapi Spring malah kembali menangis. Kali ini ia bukan menangis karena teringat akan Winter, tapi ia menangis karena bahagia. Di usianya yang dewasa, orang tuanya masih sempat memberikan kejutan layaknya anak remaja.
Spring pun memeluk ayah dan ibunya secara bergantian. "Terima kasih ayah... Terima kasih ibu."
"Sama-sama anakku," ucap Tessa membalas pelukan putrinya. "Make a wish, lalu tiup lilinnya."
Setelah merayakan ulang tahun sederhananya, Spring berdiam diri di teras rumahnya sembari menatapi rumah Winter.
Seketika James menghampiri sambil menyelimuti putrinya dengan selimut tipis.
"Kenapa diam di sini. Di sini dingin, lebih baik kamu masuk dan segera beristirahat."
"Aku masih ingin di sini," ucap Spring yang terus fokus menatap rumah Winter dengan raut sendunya. "Oh ya, sekarang rumah Winter di tempati oleh siapa?"
"Sekarang rumah itu di tempati oleh Alex beserta istri dan anaknya."
"Apa Alex sekarang sudah menikah?" tanya kembali Spring.
"Iya, Alex sudah menikah. Dan sekarang dia sudah memiliki satu anak perempuan."
"Benarkah? Kenapa aku tak tahu bila Alex sudah memiliki seorang anak."
James tergelak. "Itu karena kamu tak pernah pulang ke Chicago, oleh sebab itu kamu tak tahu."
Setelah sekian lamanya memperhatikan rumah Winter, Spring bukannya bergegas masuk, ia malah pergi ke villa untuk melihat pohon sakura yang ia tanam bersama Winter. Kebetulan villa tersebut tak jauh dari rumahnya, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke villa.
Akses untuk memasuki villa tersebut menggunakan sandi yang berada tepat di pintu gerbangnya. Saat Winter menekan tombol sandi di pintu, ternyata kode sandi di pintu belum di ganti, hingga membuat pintu gerbang terbuka setelah Winter selesai menekan beberapa nomer.
Namun, di saat Winter hendak berjalan ke arah pohon sakura, tiba-tiba saja ia mendapati Alex tengah berdiri memandangi pohon sakura dengan mata yang berlinang.
"Alex," seru Winter sembari menepuk lengannya.
"Spring." Alex terkejut, lalu terburu-buru menyeka air matanya. "Sejak kapan kamu pulang ke Chicago."
"Baru tadi sore. Sedang apa kamu berada di sini."
"Hm, hari ini adalah tanggal kepergian Winter. Dan saat ini aku sedang melepas rindu di pohon kesayangan adikku."
Ternyata kepergian Winter tak hanya meninggalkan rindu untuk Spring saja, tapi juga untuk kakaknya.
Melepas rindu hanya dengan mengenangnya dalam suatu obrolan. Spring dan Alex mengenang Winter dalam obrolannya. Setiap kenangan yang teringat, terlontarkan dari mulut Spring dan Alex. Terasa sakit namun juga terasa menyenangkan, karena setiap kenangan bersama Winter terbayangkan dalam mata dan pikirannya.
Mereka hanyut mengenang Winter, hingga sosok pria yang menjadi sahabat sekaligus cinta pertamanya Spring, terasa sangat dekat seperti tengah berada duduk di samping mereka. Apa karena Spring terlalu hanyut mengenang Winter, hingga kedua matanya pun ikut tergenang.
Walau Spring ingin menangis, namun ia tahan sebisa mungkin. Karena terlalu malu bila harus menunjukannya kepada Alex. Alex yang sebagai kakaknya saja tak cengeng ketika mengenang sosok adiknya.
Mereka mengobrol cukup lama, hingga ketika mereka cukup puas membicarakan Winter, Alex pun beranjak pulang. Namun, Spring masih tetap diam di bawah pohon sakura tanpa mau melangkahkan kakinya sedikit pun. Padahal hari sudah mulai larut, tapi Spring enggan untuk pulang. Karena menurutnya hanya dengan berada di dekat pohon kesayangannya, sosok Winter seperti terasa ada di dekatnya.
Spring terlalu merindukan Winter, ia yang tadi menahan tangis, akhirnya dapat dengan leluasanya mengeluarkan air matanya.
Dengan perlahan tanganya mulai menyentuh pohon sembari menangis dengan terisak. "Aku sangat merindukanmu, Winter. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Tuhan, bisakah engkau membawaku pergi ke tempat Winter berada. Hidup tanpanya terlalu sulit bagiku."
Namun, tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang hingga membuat dedaunan dan bunga sakura berterbangan. Sontak Spring pun kebingungan dengan cuaca yang tiba-tiba saja berangin, padahal tadi langit sangat cerah tak memungkinkan untuk adanya angin. Terlebih lagi angin yang bertiup sangat kencang itu, seperti sebuah badai di musim hujan.
Bila Spring terus berdiam di bawah pohon, akan sangat berbahaya bila ada ranting ataupun batang yang jatuh menimpa dirinya. Spring pun bergegas beranjak pergi. Namun, di saat langkahnya berada pada injakan ke lima, tiba-tiba saja pandangannya kabur. Dan secara perlahan hanya cahaya putih yang terlihat di matanya.
Spring pun panik dengan pandangannya yang tak jelas di lihatnya itu. Ia takut untuk melangkah, karena bila sampai ia melangkah entah apa yang akan di tabraknya. Kemungkinan, Spring juga akan terjatuh bila sampai salah melangkah.
Sontak Spring pun menutup kedua matanya sembari berjongkok. Nafasnya terengah-engah karena kepanikan dan ketakutan yang tak bisa di kontrolnya. Ia diam di tempat sembari berteriak meminta tolong.
"Tolong... Tolong, adakah orang yang dapat menolongku," ucapnya yang berulang kali.
Setelah sekian lama Spring berteriak, akhirnya ada seseorang yang memanggil namanya. Perlahan kedua matanya pun terbuka. Namun, saat matanya sudah terbuka, pandangannya malah lebih aneh lagi dibandingkan yang tadi. Yang ia lihat kali ini bukan lagi cahaya putih, melainkan sebuah langit-langit seperti berada di suatu ruangan.
Lalu suara yang memanggil namanya, kembali terdengar. Kali ini suaranya semakin jelas terdengar keras di telinganya, bahkan terasa ada yang menyentuh lengannya.
"Spring." panggil seseorang yang memanggilnya sembari mengoyang-goyangkan lengannya.
Dengan cepatnya Spring menoleh ke arah sampingnya. Ia terkejut setengah mati ketika menatap jelas orang yang memanggil namanya tersebut.
"Lucy," ucap Spring menatap sesosok orang yang sedari tadi memanggil namanya itu.
Dia adalah Lucy, sahabatnya yang sudah lama tak di lihatnya. Terakhir kali Spring melihatnya, saat itu dirinya berulang tahun yang ke 17 sekaligus di hari kepergian Winter. Selain Spring di tinggal pergi oleh Winter, Spring juga di tinggal pergi oleh sahabatnya yang bernama Lucy. Kepergian Lucy berbeda dengan kepergian Winter. Lucy pergi meninggalkan Chicago karena ikut bersama orang tuanya pindah jauh ke luar kota. Yang saat itu, Spring tak sempat bertanya ke kota mana sahabatnya itu akan tinggal. Karena 10 tahun yang lalu, hubungannya dengan Lucy sempat renggang. Bahkan sampai saat ini Spring tak mengetahui nomor ponsel milik Lucy.
Tak hentinya Spring memandangi wajah Lucy dengan raut wajahnya yang terheran-heran.
"Hei, kenapa kamu terus memandangiku seperti itu. Apa menurutmu wajahku terlihat aneh?" tanya Lucy keheranan.
"Iya, wajahmu sangat aneh. Kamu bahkan tampak sama seperti yang ku lihat 10 tahun yang lalu."
Lucy mengerutkan alisnya. "Apa wajahku tampak seperti anak kecil yang berumur 7 tahun."
Spring tergelak. "Kamu tak seperti anak yang berumur 7 tahun. Tapi lebih tepatnya seperti anak remaja yang berusia 17 tahun, padahal umurmu sekarang sudah menginjak 27 tahun."
Seketika Lucy memegangi dahi Spring. "Apa kau jadi tak waras setelah tertimpa oleh bola. Aku ini memang gadis yang berumur 17 tahun."
"Apa ada bola yang terbawa oleh angin hingga sampai menimpa kepalaku. Yang ku ingat tadi, aku sedang berjongkok sembari menutup mataku. Dan aku tak ingat bahwa ada bola yang menimpa kepalaku."
"Hei Spring, tak ada angin yang bertiup kencang. Tadi kau terkena bola di saat kelas kita sedang melakukan olahraga di lapangan. Bahkan kau sampai pingsan dan harus di gendong Winter ke UKS."
Ini benar-benar sangat aneh, bagaimana bisa ia pingsan karena terkena oleh bola. Padahal yang di ingatnya, Spring sedang berjongkok di depan Villa milik keluarganya Winter. Ia memang ingat pernah pingsan karena kepalanya tertimpa bola, tapi kejadian itu terjadi 10 tahun yang lalu. Dan yang lebih anehnya, bila memang ini hanya mimpi, entah mengapa rasanya seperti nyata. Terutama bagian kepalanya yang terasa sakit seperti memang sudah tertimpa sesuatu.
"Apa ini mimpi? Aku sepertinya sedang tak sadarkan diri setelah tadi terkena hantaman angin yang sangat kencang. Aku harus secepatnya terbangun dan segera pulang, agar tak membuat ayah dan ibuku khawatir."
Seketika Lucy mencubit lengan Spring. "Kau memang sudah terbangun, dan sekarang kau sudah benar-benar sadar."
Semakin aneh lagi, cubitan Lucy itu benar-benar sangat terasa sakit. Sontak saja Spring pun terburu-buru beringsut dari baringannya. Ia sudah benar-benar di buat kebingunan dengan situasi yang memang tak mungkin terjadi. Ia kembali ke masa di mana, ia bersekolah dulu.
"Sekarang tahun berapa?" tanya Spring panik.
"Sekarang tahun 2012. Kamu sangat aneh Spring, orang biasanya lupa dengan tanggal, tapi kamu malah lupa dengan tahun."
"Lalu, sekarang bulan apa?" tanya kembali Spring.
Lucy menghela. "Apa sekarang kamu juga lupa dengan bulan, sekarang bulan februari. Jangan lupa sama tanggalnya juga, bila hari ini tanggal 29.
"Dan sekarang Winter di mana ?"
"Winter sekarang berada di lapangan bola, karena anak laki-laki di kelas kita sedang bertanding sepak bola dengan kelas sebelah."
Spring lalu terburu-buru beringsut dari ranjang pasien. Ia berlari walau kepalanya terasa sangat pusing, karena mungkin seperti yang di sebutkan Lucy tadi, bahwa kepalanya sempat tertimpa oleh bola. Bila memang sekarang bulan februari tahun 2012, berarti Spring dapat bertemu kembali dengan sesosok pria yang selalu di rindukannya.
Setibanya di lapangan, Spring terkejut setengah mati ketika melihat sosok Winter yang sangat jelas terlihat di matanya. Ia pun berlari kencang menghampiri Winter sembari menangis. Dan dengan cepatnya, Spring memeluk pria yang setiap hari di rindukannya itu.
"Aku sangat merindukanmu, Winter."
Spring terisak dalam pelukan cinta pertamanya, ia tak menyangka bahwa tuhan telah mengabulkan permintaannya agar bisa bertemu dengan sesosok pria yang selalu di tangisinya. Dan tuhan telah mengabulkan permintaannya untuk pergi ke tempat Winter berada, yaitu di tahun 2012.
"Spring, apa kamu baik-baik saja? Kondisimu sepertinya sedang tak baik-baik saja setelah tadi tertimpa oleh bola," ucap Winter kebingungan.
"Hiks... Aku sangat merindukanmu, Winter."
Winter menghela. "Kamu benar-benar sangat aneh. Setiap hari kita bertemu tapi mengapa kamu merindukanku. Sebaiknya kamu harus periksa ke dokter, kepalamu sepertinya cedera."
Spring menggeleng. "Aku sangat baik-baik saja setelah bertemu dengamu."
Winter melepaskan tubuhnya dari dekapan Spring. "Lebih baik kamu lepaskan aku. Karena gara-gara kamu, aku sampai gagal menendang bola ke arah gawang. Dan lihat di sekelilingmu, semua orang tertuju menatap ke arah kita dan mereka kompak menertawai kita." Winter menggeleng. "Kamu sudah sangat membuatku malu, Spring."
Tak peduli akan pandangan dan tertawaan orang, yang jelas saat ini Spring tak ingin melepas pelukannya. Walau Winter sudah membuat tubuhnya terlepas dari pelukan Spring, Spring tetap kembali memeluknya sambil menangis. Karena bertemu kembali dengan Winter masih terasa mimpi baginya. 10 tahun di hidupnya tanpa adanya Winter, kerinduan ini masih terasa nyata walau Winter sudah berada di depan mata.
"Spring, bisakah kamu melepasku. Biarkan aku bermain bola terlebih dahulu. Kemenangan kelas kita sedang di pertaruhkan."
Spring menggeleng cepat kepalanya. "Aku tak ingin melepasmu, Winter. Hidup tanpamu selama 10 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku takut bila pertemuan ini hanyalah mimpi dari tidur lelapku."
Winter menghela panjang nafasnya. "Kumohon lepaskan aku sebentar saja. Aku berjanji setelah sepulang sekolah, aku akan mengantarmu pergi ke rumah sakit untuk memeriksa luka di kepalamu."
"Aku sangat sehat, dan aku sangat baik-baik saja. Kamu tak perlu membawaku pergi ke rumah sakit. Hanya bersamamu aku akan baik-baik saja."
Winter kembali menghela nafasnya. "Aku yakin bila kamu sedang tak baik-baik saja. Bila kamu baik-baik saja, mana mungkin kamu berbicara hal yang tak ku pahami."
Lalu tiba-tiba saja Lucy datang menghampiri, lalu dengan cepatnya ia menarik paksa tubuh Spring dari Winter.
"Bisakah kamu membiarkannya menyelesaikan pertandingan. Winter adalah striker andalan di kelas kita."
"Aku tidak bisa melepasnya, lagi pula kelas kita sudah mendapatkan satu gol. Dan kelas yang kita lawan sudah di pastikan sampai akhir pertandingan tak dapat memasukan bola ke gawang."
"Memangnya kamu tahu dari mana bila kelas yang kita lawan tak akan bisa memasukan bola?"
Seketika Spring menggaruk tengkuknya walau tak terasa gatal. Spring menelan salivanya. "Ka...rena laki-laki di kelas kita pandai bermain bola," ucapnya yang terbata-bata.
Spring terpaksa mencari alasan lain, agar tak di anggap aneh lagi oleh Lucy. Spring memang sangat yakin bila kelasnya akan menang dalam pertandingan sepak bola, secara ia pernah menyaksikannya sebelumnya.
Karena Spring masih berdiam diri di tengah lapangan, pertandingan terpaksa di jeda. Hingga akhirnya Lucy pun harus menarik paksa Spring keluar dari lapangan. "Jangan membuat kacau pertandingan, lebih baik kita menonton saja di pinggir lapangan."
Lucy menarik Spring ke pinggir lapangan untuk menyaksikan kelasnya menyelesaikan pertandingan sepak bola. Hingga pada menit akhir, kelas yang di lawan oleh Winter dan teman laki laki di kelasnya, tak dapat memasukan satu gol pun, seperti apa yang di katakan Spring tadi.
"Prediksimu memang benar." Lucy mengerutkan alisnya menatap Spring. "Sejak kepalamu tertimpa oleh bola, kamu menjadi aneh. Kamu bahkan bisa tahu jika kelas kita akan menang. Apa di tubuhmu terdapat jiwa orang lain. Setelah sadar dari pingsan, kamu bukanlah Spring yang ku kenal."
"Apa menurutmu aku terlihat aneh?"
"Iya, kamu sangat aneh setelah kepalamu tertimpa oleh bola. Kamu bahkan menyebutku seorang wanita yang berumur 27 tahun. Apa kamu ini datang dari masa depan, hingga sampai membuatmu kaget ketika melihatku yang masih tampak muda."
Spring menelan salivanya. "Kamu berbicara apa? Mana mungkin orang bisa melakukan time traveler. Lihatlah wajahku masih tetap sama, tidak seperti orang dewasa pada umumnya."
"Bisa saja jiwamu ini yang datang dari masa depan."
"Apa kamu percaya bila aku datang dari masa depan?"
Lucy tergelak. "Tentu saja tidak. Seperti katamu tadi, tak akan ada orang yang bisa melakukan time traveler."
"Ku pikir kamu percaya dengan mitos time traveler."
"Aku hanya membual saja. Yang lebih logis, kepalamu perlu di periksa ke dokter. Sepertinya kepalamu mengalami cedera."
Spring menghela, ia pikir Lucy percaya dengan adanya time traveler. Ia kecewa, bila temannya itu hanya membual dengan ucapannya. Spring juga tak bisa meyakinkan Lucy, bila dirinya memang datang dari masa depan. Ia akan di kira aneh bila dirinya menjelaskan perjalanan waktunya dari tahun 2022 ke tahun 2012. Terlebih lagi, Spring juga masih berpikir bahwa saat ini dirinya tengah bermimpi. Karena Spring tidak terlalu yakin dengan adanya time traveler seperti di film-film fantasi. Bila memang ini hanyalah mimpi, Spring enggan terbangun. Karena hanya dalam mimpilah Spring dapat bertemu dengan Winter. Namun, bila ini memanglah nyata, Spring akan berusaha keras untuk mencegah kematian Winter.
Selain menyesal tak dapat menyelematkan Winter dari kematian, ada satu hal lagi yang membuat Spring menyesal. Yaitu, Spring tak dapat mengutarakan perasaannya kepada Winter. Karena persahabatannya memiliki prinsiv untuk tak memiliki perasaan lebih selain rasa sayang sebagai sahabat. Jadi bila perjalanan waktunya merupakan kenyataan, Spring tak akan lagi memendam perasaannya terhadap Winter seperti dulu.
Seusai pertandingan selesai, Spring kembali menghampiri Winter. Bahkan ia terus mengikuti Winter kemanapun sahabatnya itu pergi. Spring masih terlalu takut bila ia akan terbangun dari tidurnya dan mendapati kenyataan bahwa kembalinya ia ke tahun 2012 merupakan mimpi dari tidur lelapnya.
Winter sampai menghela kesal karena Spring terus mengikutinya seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Spring, bisakah kamu tak mengikutiku, aku ingin berganti pakaian. Bila kamu terus mengikuti, bagaimana aku bisa mengganti pakaianku."
"Kalau begitu aku akan menunggumu di depan ruang ganti."
"Tidak bisa! Kamu akan di anggap aneh bila berdiam diri di depan ruang ganti pria." Winter lalu memegang kedua pundak Spring. "Aku mohon, tunggulah aku di kelas. Aku tak akan pergi kemana-mana, mengerti!"
"Aku takut bila saat ini aku sedang bermimpi dari tidurku."
"Tidak Spring, ini bukanlah mimpi, ini nyata. Kamu tak perlu takut bila saat ini kamu sedang bermimpi. Karena bila ini mimpi pun, ini bukanlah mimpi yang buruk."
"Aku tahu bila ini bukanlah mimpi yang buruk. Karena pada saat terbangunlah mimpi burukku yang sebenarnya, karena di sana tak ada kamu, Winter."
Winter seketika membuka gelang di pergelangan tangannya, lalu memberikannya kepada Spring. "Bila kamu takut ini hanyalah mimpi, maka terus terjagalah agar tak terbangun dari tidurmu." Winter lalu tersenyum dengan manisnya menatap Spring. "Tunggulah aku di kelas, dan teruslah genggam gelangku, agar kamu tetap berada di mimpi indahmu ini."
Walau Spring enggan untuk pergi, tapi setelah mendengar perkataan Winter, Spring akhirnya mau melangkahkan kakinya. Namun, karena ia terlalu takut tak bertemu lagi dengan Winter, sesekali ia menengok ke arah belakang, memastikan bahwa Winter masih tetap ada dari pandangannya.
"Cepatlah masuk ke kelas, Spring. Jangan terus menengok ke arahku, nanti kamu akan terjatuh bila kamu terus melihat kebelakang," teriak Winter.
Sampainya di kelas, Spring duduk sembari menggenggam erat gelang milik Winter. Tangannya gemetar, perasaannya gelisah, dan duduknya tak terasa nyaman. Ia masih merasakan takut akan terbangun dari mimpi indahnya. Sesekali ia melihat ke arah pintu untuk memastikan bahwa Winter akan segera datang ke kelas.
"Tuhan, ku harap bahwa yang sedang ku alami ini bukanlah sebuah mimpi dari tidur lelapku. Aku terlalu takut bila aku terbangun dari mimpi indahku ini," gumam Spring di batinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!