Aqila yang baru selesai mandi, mendengar ponselnya berdering, tanda ada pesan masuk. Wanita itu awalnya mengacuhkan suara pesan masuk itu. Dia terus saja memakai baju tidur. Tubuhnya sudah terasa remuk. Capek pulang kerja.
Namun, Aqila tidak bisa menagabaikan saat bunyi pesan masuk secara bertubi. Gadis itu penasaran juga siapa yang mengirim pesan itu. Aqila mengambil ponsel, dan membuka pesan masuk itu.
Aqila membaca pesan masuk itu dengan tangan gemetar. Dalam pesan itu juga ada foto kekasihnya Alen sedang berpelukan tanpa busana dengan seorang wanita yang wajahnya tidak terlihat jelas.
"Jika kamu ingin tahu apa yang sedang kekasih kamu lakukan datang saja ke hotel xx kamar nomor 314 lantai 3." Itulah isi pesan yang Aqila baca.
Aqila mengambil jaketnya. Dengan hanya memakai baju tidur dilapisi jaket, gadis itu pergi. Dia ingin membuktikan kebenaran foto yang dikirim seseorang itu.
Aqila mengacuhkan pertanyaan mamanya, yang ingin tahu kemana dia pergi. Dengan kecepatan tinggi gadis itu menyetir mobil menuju hotel yang disebut dalam pesan.
"Tidak mungkin itu Alden. Dia begitu mencintaiku. Selama ini Alden tidak pernah sekalipun mengecewakan aku. Pasti ini semua rekayasa," ucap Aqila pada dirinya sendiri.
Selama ini memang Alden tidak menyakiti Aqila. Pria itu sangat mencintai gadisnya. Sekalipun belum pernah dia mengecewakan Aqila. Selalu saja melakukan hal manis buat dirinya.
Sampai di hotel, setelah memarkirkan mobilnya, Aqila langsung menuju kamar yang dimaksud. Gadis itu berjalan tergesa, agar cepat sampai di kamar tersebut.
Tiba di depan nomor kamar yang dicari, Aqila berdiri terpaku. Berharap semua itu hanya rekayasa. Cukup lama gadis itu berdiri di depan pintu. Akhirnya dia beranikan diri buat mengetuk. Ketika akan mengetuk, Aqila mengurungkan niatnya.
"Jika aku mengetuk, pasti orang yang di dalam akan bersembunyi dulu. Apa aku minta tolong dengan petugas hotel saja? Tapi itu tidak mudah, mereka tidak akan mau memberikan kunci dengan mudah," ucap Aqila dalam hati.
Aqila yang berdiri dengan bersandar pada pintu kamar terkejut saat merasakan pintu itu terbuka. Didorong pelan pintu itu. Ternyata memang tidak terkunci.
Gadis itu masih berdiri terpaku di depan pintu. Takut jika ini hanya candaan saja dan foto yang dikirim hanya rekayasa. Bagaimana jika yang di dalam kamar orang lain, pasti dia akan marah? pikir Aqila.
Akan tetapi rasa penasaran membuat Aqila akhirnya melangkahkan kaki masuk ke kamar. Didorong pintu perlahan, dan Aqila mulai melangkah. Baru beberapa langkah, kakinya tersandung baju. Aqila melihat ke bawah, tampak mata gadis itu melotot. Dia sangat mengenal baju yang berserakan di lantai itu.
Aqila mengutip baju itu. Tercium bau parfum yang sangat dia hafal. Itu memang parfum Alden, kekasihnya. Gadis itu terus melangkah dan makin kaget melihat sepasang manusia yang sedang tertidur dengan posisi saling berpelukan dan dada terbuka tanpa busana.
Hati Aqila hancur berkeping-keping melihat semua itu. Terlebih wanita yang tidur dengan kekasihnya Alden adalah Viona, sahabatnya.
Dengan sekuat tenaga, Aqila menarik selimut yang menutupi tubuh kedua orang terdekatnya itu. Alden dan Viona serempak membuka mata. Betapa kagetnya Alden melihat Aqila yang berdiri dihadapannya.
"Jadi ini yang kalian lakukan dibelakangku. Menjijikan. Kenapa kalian tidak jujur saja. Terutama kamu, Alden. Jika kamu memang tidak mencintai aku, putuskan aku. Baru kau bisa bercinta sepuasmu dengan Viona," ucap Aqila dengan suara gemetar menahan tangis.
Alden membuka selimutnya. Dia kaget melihat tubuhnya yang masih telanjang. Pria itu menutup kembali badannya. Mengambil celananya yang kebetulan berada di dekat ranjang.
"Kau juga sama menjijikkan dengan Alden. Bukankah kau tahu jika Alden itu kekashku. Kenapa kau mau bercinta dengan kekasih sahabatmu? Apa tidak ada pria lain yang menarik bagimu selain Al?" tanya Aqila dengan memegang dadanya.
Dada Aqila terasa sakit. Tidak menyangka dua orang terdekatnya, menusuk dari belakang. Apa salah dia selama ini? Yang Aqila tahu, satu-satunya kesalahan dirinya hanyalah dia terlalu percaya dan terlalu mencintai Alden.
Alden yang telah menggunakan celananya, mendekati Aqila. Pria itu ingin meraih tangan Aqila, tapi gadis itu mundur.
"Jangan sentuh aku. Aku jijik sama kamu!" ujar Aqila. "Hari ini, detik ini juga, kita putus!"
"Qila, dengar dulu. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku ...." Suara Adel terhenti karena wwjahnya yang ditampar Aqila. Gadis itu menampar pipi Adel dengan sekuat tenaganya.
"Tidak seperti yang aku bayangkan. Apakah sebenarnya lebih dari ini yang sering kalian lakukan?" tanya Aqila dengan suara lantang.
"Tapi semua memang tidak seperti yang kamu lihat, aku ...." Ucapan Alden kembali terhenti karena kembali Aqila melayangkan satu tamparan lagi ke pipi pria itu.
"Kau, semoga kau bahagia karena telah berhasil merebut kekasihku. Terima kasih, karena aku jadi tahu jika Alden bukanlah pria baik seperti yang selama ini aku pikirkan," ucap Aqila sama Viona.
Viona, sahabatnya Aqila itu hanya diam di atas ranjang. Tanpa rasa bersalah, dia hanya memandangi sepasang kekasih itu bertengkar.
Dengan langkah gontai, Aqila berjalan perlahan meninggalkan kamar hotel itu. Air matanya sudah tidak bisa dibendung.
"Aqila, tunggu! Aku bisa menjelaskan. Ini nggak seperti yang kamu bayangkan," ucap Alden masih berusaha membela dirinya.
Alden mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Dengan tergesa pria itu memakainya. Dia berlari mengejar Aqila, sang kekasih.
"Aqila ... tunggu! Kita harus bicara," teriak Alden.
Tanpa pedulikan teriakan Alden, gadis itu tetap berjalan menuju lift. Saat akan masuk, tangannya di tahan Alden. Kekasihnya itu menarik tangan Aqila keluar dari lift. Aqila berusaha melepaskan.
"Lepaskan ...!" teriak Aqila.
"Aku nggak akan melepaskan, sebelum kamu mendengar penjelasan dariku."
"Apa lagi yang harus aku dengar. Semua yang aku lihat telah menjelaskan."
"Itu nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Lalu, apa?" tanya Aqila.
"Aku dan Viona hanya berteman. Aku ...."
"Teman biasa di ranjang?" tanya Aqila dengan suara tinggi memotong ucapan Alden.
"Dengar dulu Aqila. Jangan mengambil kesimpulan dari apa yang kamu lihat. Terkadang apa yang kita lihat itu tidak seburuk apa yang terjadi sebenarnya."
"Apa yang lebih buruk saat melihat kekasih kita sedang tidur berdua dengan wanita lain dalam keadaan tanpa busana! Dan yang lebih menyakitkan wanita itu sahabatku!" ucap Aqila masih dengan nada tinggi.
"Aku mengaku salah. Kemarin aku dan teman-teman kuliah ke klub. Kami mabuk, dan seperti yang kamu lihat. Aku tidak tahu kenapa aku berakhir di ranjang bersama Viona!" ucap Alden berusaha menjelaskan.
"Aku tidak tahu apa yang lebih buruk, orang yang berbohong atau orang yang menganggapku cukup bodoh untuk mempercayai kebohongan! Jangan pernah menipu seorang gadis. Kamu tidak pernah tahu apa yang telah dia korbankan untuk bersamamu."
"Aku nggak bohong, Aqila. Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Viona. Kamu juga mengenalnya. Aku dan Viona nggak sengaja, itu semua di bawah kesadaran. Aku mengaku salah. Aku janji nggak akan mengulangnya lagi."
"Selingkuh dan berbohong tidak terjadi begitu saja. Itu adalah pilihan yang disengaja, jadi berhentilah bersembunyi di balik kata "kesalahan" saat kamu ketahuan." Aqila menarik napasnya dan kembali melanjutkan ucapan.
"Suatu hari kamu akan mengingatku dan menyadari betapa aku mencintaimu, maka kamu akan membenci diri sendiri karena membiarkan aku pergi.Suatu saat semua akan berbalik. Yang menyakiti akan disakiti. Yang mengkhianati akan dikhianati. Yang melukai akan dilukai. Yang meninggalkan akan ditinggalkan."
"Apa maksud kamu, Aqila?"
"Kita putus! Jangan pernah temui aku lagi!"
...***************...
Selamat siang. Mama datang dengan karya terbaru mama. Mohon dukungannya.
Tepat saat pintu litf tertutup, tubuh Aqila ambruk di atas lantai lift dengan dada terasa sesak. Gadis itu tidak mampu membedung rada sakit atas pengkhianatan dua orang yang sangat dia percayai.
"Kenapa harus seperti ini? Apakah tidak ada wanita lain sampai kekasihku selingkuh dengan sahabatku sendiri?" lirih Aqila.
Dia mendongak demi mencegah air mata menetes di manik indahnya. Dada yang terasa sesak itu dia remas sekuat mungkin berharap rasa perihnya segera menghilang, nyatanya sia-sia saja.
Suara lift akan terbuka membuat Aqila buru-buru berdiri agar tidak terlihat lemah oleh pengunjung hotel lainnya. Gadis itu berjalan sempoyongan meninggalkan hotel bukti pengkhiatan kekasih juga sahabat baiknya.
Sahabat yang selama ini selalu mendengar sagala curhatan dan kisah cintanya bersama sang kekasih. Tega mengkhianati dirinya.
Dikuasai emosi dan rasa sedih membuat Aqila tidak sadar melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata tanpa peduli pada nyawa pengendara lain juga nyawanya sendiri.
Sesampainya dirumah, Aqila disambut oleh mamanya yang sejak tadi menunggu kedatangan gadis itu karena pergi secara tiba-tiba.
"Sayang, kenapa mata dan penampilan kamu acak-acakan seperti ini? Sebenarnya kamu dari mana?" tanya Kinanti ibu dari Aqila.
Aqila hanya mengelengkan kepala sebagai jawaban dan menuju kamarnya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil koper besar yang sering kali Aqila bawa jika bepergian.
Aqila mengisinya dengan keperluan penting dan beberapa helai baju. Sekarang rasanya menghirup udara di negara yang sama bersama Alden adalah hal yang menyakitkan.
"Ternyata kesetiaan aku salama ini hanya permainkan oleh Alden, dia benar-benar tidak tulus menerima cintaku," lirih Aqila.
Gadis cantik itu terus mengusap air matanya seraya memasukkan barang-barang ke koper.
"Qila, kamu mau kemana Nak? Kenapa berkemas selarut ini?" tanya Kinanti. Wanita paruh baya itu menghampiri putrinya.
Sejak pulang, tingkah Aqila sangat aneh dan itu membuat Kinanti khawatir. Putri satu-satunya pulang dalam keadaan berantakan tentu saja Kinanti penasaran.
"Cerita sama mama Sayang." Kinanti meraih tangan Aqila.
Detik itu juga Aqila langsung menghambur kepelukan mamanya, mencurahkan rasa sakit yang dia terima.
"Al Ma, di-dia sudah mengkhianatiku," lirih Aqila dalam pelukan mamanya. "Aku kurang apa sampai Alden melakukan hal sekeji ini padaku? Aku bahkan tidak melakukan apapun yang tidak dia sukai. Berhenti bekerja dan tinggal dirumah hanya karena tidak ingin membuatnya cemburu, tapi ...." Tangisan Aqila semakin histeris dalam dekapan mamanya.
"Sssttttt, anak Mama tidak kekurangan satupun. Anak mama cantik dan hampir mendekati sempurna." Kinanti mengusap rambut Aqila penuh kasih sayang.
"Lalu kenapa Ma?"
"Itu karena Tuhan masih sayang sama kamu Nak. Dia memperlihatkan sifat Alden sebenarnya sebelum rencana pernikahan benar-benar diwujudkan."
"Aqila harus apa sekarang Ma? Rasanya sakit banget." Aqila melerai pelukannya dan menatap mamanya dengan tatapan penuh luka.
"Negara ginseng adalah negara impian kamu selama ini Nak, tapi tertunda karena Alden tidak ingin kamu pergi terlalu jauh. Bagimana jika sekarang kamu menghibur diri dengan melakukan hal-hal yang kamu sukai?"
"Korea?" Aqila terisak.
Kinanti menganggukkan kepalanya. "Mama akan menyuruh ayah untuk memesan tiket, jadi bekemaslah tanpa buru-buru. Tenang saja Nak, Mama tidak akan memberitahu siapapun dimana keberadaan kamu," ucap Kinanti menenangkan.
Aqila semakin terisak, untung saja ada orang tua yang selalu ada untuknya jika berada dalam keterpurukan seperti ini.
***
"Aaakkkkhhhhh, kenapa ini semua harus terjadi?" Teriakan pria menggema di dalam kamar mewah bernuansa warna gelap tersebut.
Dia adalah Alden yang merasa frustasi tentang apa yang baru saja terjadi padanya juga Aqila. Pria itu masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Harusnya ini semua tidak terjadi, harusnya aku dan Qila tidak berpisah," geram Alden dengan tangan terkepal hebat.
Berkali-kali pria itu berusaha menghubungi kekasihnya tapi panggilannya tidak pernah dijawab, bahkan sekarang dia telah diblokir oleh gadis yang dia cintai. Alden makin frustrasi.
"Ini salahku, harusnya aku tidak melakukan hal bodoh seperti itu," sesal Alden meremas rambutnya frustasi.
Segala cara telah Alden lakukan untuk menemui Aqila malam ini, tapi dia tidak dapat menerobos masuk kedalam lingkungan rumah Qila karena penjagaan yang sangat ketat.
"Aku akan menjelaskannya besok, Qila mencintaiku dan dia akan menerimaku kembali. Dia tidak akan sanggup putus dariku begitu saja," gumam Alden seiring kesadarannya yang mulai berkurang sebab terlalu mabuk.
Pria itu terkapar tepat di samping ranjangnya dengan beberapa botol minuman keras juga puntung rokok. Tidak peduli dengan lantai kotor, pria itu terlelap.
Mata hazel itu perlahan-lahan mengerjap ketika merasakan cahaya mulai menyilaukan maniknya. Kedua tangannya menutup wajah demi menghindari silaunya matahari dari jendela yang hordennya tersingkap entah sejak kapan
"Kenapa cepat sekali?" gumam Alden dengan tubuh lemasnya.
Sepertinya dia baru saja memejamkan mata, tapi matahari kini telah bersinar terang menganggu tidurnya yang memang sejak semalam tidak terlalu lelap.
Alden meraih ponselnya yang terus berdering di kaki ranjang.
"Kenapa?" tanya Alden di seberang telpon.
"Ada rapat jam 8 pagi Tuan, saya harap Tuan tidak ...."
"Batalkan saja saya masih ada urusan," ucap Alden dan memutuskan telpon dari asisten pribadinya.
Dengan sisa tenaga yang ada, Alden mencoba berdiri tapi tetap saja terjatuh karena rasa pusing di kepalanya sebab terlalu banyak minum.
***
Merasa tubuhnya jauh lebih baik, Alden segera meninggalkan rumah mewah yang dia tinggali sendiri tanpa dampingan orang tua sejak berusai 25 tahun.
Pria itu melajukan mobil Fortuner hitam miliknya menuju rumah Aqila kekasihnya. Laju mobil itu seketika memelan setelah sampai di depan gerbang tapi belum juga dibukakan pintu seperti biasa oleh pemiliknya.
Alden turun menghampiri penjaga di depan pagar.
"Buka! Saya ingin bertemu dengan Qila!" perintah Alden sedikit tidak sopan, tapi itu dia lakukan agar segera bertemu dengan Aqila dan menjelaskan semuanya.
"Tidak bisa Tuan, Tuan Joan memerintahkan agar tidak membukakan pagar untuk Anda," jawab sang penjaga.
Alden langsung saja menarik kerah seragam milik pengaja itu dan hendak melayangkan pukulannya. Namun, sebuah pukulan lebih dulu mendarat di wajahnya.
"Jangan membuat keributan di depan rumah saya!" tegas Joan ayah dari Aqila. Pria paruh baya itu baru saja akan berangkat ke kantor dan melihat keributan di depan pagar.
"Biarkan saya bertemu Qila sebentar saja Om, saya ingin bicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," pinta Alden tanpa memperdulikan lebam diwajahnya.
"Qila tidak ada di sini, dia telah pergi dan tidak ingin bertemu denganmu lagi!"
"Kemana om?" desak Alden.
"Kau tidak perlu tahu kemana putri saya pergi, karena kau bukan lagi kekasihnya!" jawab Joan dengan suara dinginnya, padahal selama ini Joan dan Alden sangat dekat. Entah sebagai calon menantu atau rekan bisnis.
Namun, kesalahan satu malam membuat hubungan baik berubah menjadi asing. Alden tidak bisa menerima semua ini.
...****************...
Suara pukulan kian mengema di dalam sebuah mobil mewah. Alden tidak henti-hentinya memukul setir kemudi hanya untuk melampiaskan rasa kesal dan marah dalam dirinya.
Kesal karena telah membuat kesalahan yang membuat dia harus kehilangan Aqilanya. Marah pada diri sendiri karena terlalu bodoh menghadapi Viona.
"Aku tidak ingin putus Aqila! Aku mencintaimu!" teriak Alden sekencang yang dia bisa.
Puas memukul setir kemudi, pria itu melajukan mobilnya menuju perusahaan karena sejak tadi asistennya terus saja menelpon hanya untuk menyuruhnya keperusahaan.
Sebelum turun dari mobil, Alden merapikan jas dan kemeja yang dia miliki agar tidak terlalu kentara bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
Sesakit apapun yang Alden rasakan, dia tidak boleh putus asa sebab pria itu memiliki tanggung jawab yang besar.
Perusahaan, benda satu-satunya yang ditinggalkan orang tuanya sejak dia berusia 25 tahun.
Alden berjalan dengan angkuhnya memasuki perusahaan, mendaratkan tubuhnya di kursi kebesaran yang dia miliki.
Langsung saja Alden melepas jas juga dasi yang melingkar di lehernya sejak tadi. Pikiran pria itu masih dipenuhi akan kesalahan-kesalahan yang dia lakukan pada kekasihnya.
Hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun harus hancur dengan kejadian satu malam. Sungguh itu tidak adil bagi Alden sendiri.
"Tuan, para pimpinan ingin bertemu Tuan secara langsung untuk membicarakan proyek kerja sama yang akan kita ...."
"Keluar!" bentak Alden tanpa ingin mendengarkan ucapan asistennya.
"Bacalah berkas yang saya bawa Tuan, setelah itu saya akan keluar." Randy, Asisten Alden tetap pada pendiriannya.
Alden melirik Randy sekilas, kemudian mengambil berkas yang ada di atas meja. Meneliti sebentar hingga tatapannya kembali menukik pada Randy.
"Lalu apa yang mereka katakan?"
"Karena rapat ditunda pagi tadi, Tuan harus datang keperusahaan Tuan Joan."
Alden menghela nafas panjang mendengar penjelasan Randy, tidak lama kemudian dia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Bagaimanapun Alden tidak mungkin menghancurkan perusahaan hanya karena putus cinta seperti ini, terlebih usianya sudah menginjak 30 tahun, bukan anak-anak lagi yang harus mengedepankan Ego semata.
"Cari tahu dimana keberadaan Qila, jika kau tidak mendapatkannya, cari orang-orang terdekat yang mungkin mengetahui keberadaan dia!" perintah Alden.
"Baik Tuan."
***
Perselisihan dan perdebatan terus terjadi di dalam sebuah ruangan yang telah dihadiri oleh tiga pemimpin perusahaan. Sebagai yang lebih muda dan perusahaanya masih dalam kadar aman, Alden hanya diam saja memperhatikan perdebatan tersebut.
"Kami tidak bisa menerima proyek Tuan Joan begitu saja. Kalaupun saya ingin, perusahaan belum tentu," ucap pimpinan yang akan diajak kerjasama oleh Joan dan Alden.
Perusahaan keduanya saling berkaitan, yaitu Perusahaan entertaimen dan Desainer.
"Sketsa yang diberikan oleh desainer Tuan Joan belum masuk kriteria pemasaran perusahaan kami. Berbeda dengan Tuan Alden yang memang mempunyai koneksi yang kuat dalam dunia Media sosial."
"Kecuali jika dalam waktu satu bulan, Tuan Joan bisa memberikan sketsa lebih menarik lagi, mungkin kami akan mempertimbangkan."
Helaan nafas terdengar dari mulut Joan setelah pimpinan dari luar negeri meninggalkan ruangan.
Alden langsung bangkit dari duduknya hendak menyalami tangan ayah dari wanita yang dia cintai, sayangnya uluran tangan Alden dilewati begitu saja oleh Joan.
Kekompakan yang dulu pernah tercipta benar-benar telah hilang karena kesalahannya sendiri.
***
"Sebenarnya kamu dimana Qila? Apa benar kamu tidak ingin memberiku kesempatan lagi?" lirih Alden mengusap frame foto ukuran 10R yang selalu berada di atas nakas.
Frame itu berisi fotonya bersama Aqila saat liburan dua tahun yang lalu.
"Harusnya kamu mendengarkan semua penjesalan aku malam itu Qila, sungguh tidak ada niatan dalam hatiku untuk mengkhianatimu."
"Aku tidak sebodoh itu hingga harus selingkuh dengan sahabat kekasihku sendiri." Setitik air mata kembali membasahi pipi Alden.
Pria itu sangat mencintai Aqila, melebihi mencintai dirinya sendiri. Dan perpisahan dadakan ini sungguh menyiksa batin dan pikirannya.
Alden melirik ponselnya yang berdering, dia segera menjawab karena itu berasal dari Randy.
"Apa kau sudah menemukan Aqila?" tanya Alden.
"Saya tidak bisa menemukan apapun tentang Nona Qila, Tuan. Semua teman-teman Nona Qila juga menolak untuk bicara," jelas Randy.
"Berikan alamat dan kontaknya, saya akan mencarinya sendiri!" perintah Alden kemudian memutuskan telpon begitu saja.
Sekarang jam 1 dini hari tapi matanya tidak kunjung terpejam. Setiap kali manik hazelnya terpejam, bayangan Aqila menangis dan menatapnya penuh rasa jijik selalu terlintas begitu saja membuat Alden selalu merasa bersalah.
Alden melirik ponselnya yang kembali berdering, kali ini penelpon yang berbeda. Tidak ingin diganggu, dia menolak panggilan dari Viona, hingga bilah status muncul di benda pipih yang dia genggam.
"Setelah meniduriku kau menghilang begitu saja Al? Kau sungguh pria bejat yang pernah aku kenal. Harusnya kau menenangkan diriku karena telah melecahkan bahkan mengambil kehormatanku!"
Itulah isi pesan yang dikirimkan Viona untuk Alden, membuat pria itu semakin frustasi menghadapi dua perempuan dalam hidupnya.
Satu wanita yang berhasil dia nodai, dan satu wanita yang sangat dia cintai. Tragisnya lagi, dua perempuan itu berteman baik.
"Aku ada di depan rumahmu, aku tidak akan pergi sebelum kau menemuiku!"
Alden menghela nafas panjang membaca pesan berikutnya dari Viona. Pria itu berjalan menuju balkon untuk memastikan Viona benar-benar ada di bawah.
Benar saja, ada mobil terparkir di depan rumahnya padahal tengah hujan lebat. Hati Alden yang memang lembut dan tidak tega pada orang lain, memutuskan untuk menemui Viona, setidaknya membujuk wanita itu agar segera pulang karena sudah tengah malam.
Dia membuka pintu lebar-lebar, saat itu juga Viona langsung memeluk tubuh Alden.
"Jangan tinggalkan aku Al," lirih Viona.
Susah payah Alden mendorong tubuh Viona agar tidak memeluknya seperti itu, sebab orang yang berhak memeluknya hanya Aqila saja.
"Maaf karena mengambil kehormatanmu begitu saja, tapi aku tidak mengingat apapun malam itu Vi. Dan tentang meninggalkan, bukankah kita memang tidak ada hubungan apa-apa?"
"Tapi Al, kamu sudah mengambil sesuatu yang berharga dalam hidupku." Air mata Viona terjatuh begitu saja membasahi pipinya. "Aku tahu ini salah, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain memintamu untuk bersamaku. Bagaimana jika aku hamil?"
"Tidak, kamu tidak mungkin hamil hanya karena kejadian malam itu Vi, jadi jangan khawatirkan apapun. Aku mencintai Qila, dan tidak akan mengkhianatinya!"
"Aku akan bunuh diri Al!" ancam Viona dengan mata memerah.
"Apa kau tidak waras Vi? Kau ingin merebut kekasih sahabatmu sendiri!" bentak Alden karena tidak suka dengan ancaman Viona.
Sekarang pikirannya tidak jernih karena kepergian Aqila, tapi Viona malah datang dan semakin menambah beban hidupnya.
"Tapi kau telah menodaiku Al, apa kau pantas dianggap pria jika seperti ini?"
"Cukup Viona! Pergi sekarang juga sebelum kesabaranku habis! Hujan sudah reda kau tidak punya alasan lagi untuk tetap tingga!"
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!