NovelToon NovelToon

Kutukar Diriku Demi Sebuah Keadilan

Awal mula

Diruang sepi aku menangis histeris saat mendengar tuntutan hukum yang diberikan oleh jaksa penuntut umum untuk segerombolan pembunuhan terhadap kedua orangtuaku. Mereka hanya di tuntut jauh lebih ringan dari seharusnya, yaitu hukuman mati atau seumur hidup.

Kudapatkan kabar dari kuasa hukumku bahwa mereka telah dibeli oleh kekuasaan yang di miliki oleh Tuan Mahendra. Tangisku semakin pecah. Aku hanya seorang gadis yatim piatu yang berusaha mencari keadilan untuk kedua orangtuaku. Namun tak aku dapatkan. Apalah dayaku yang tak mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk melawan segerombolan mafia kejam yang ber uang itu.

Lama aku menangis dalam keseorangan, jujur aku sungguh tidak rela bila mereka hanya diberikan hukuman ringan, dan mungkin setelah itu mereka akan segera bebas.

Entah kenapa malam ini aku tak bisa tidur. Sudah berulang kali aku mengubah posisi tidurku untuk mencari kenyamanan agar segera berada di alam mimpi. Sepertinya tuntutan jaksa tadi siang yang membuatku mengalami insomnia.

Aku membuka laci dan mencari hal yang aku harapkan ada sesuatu yang bisa membantu diriku. Aku menemui dompet wanita kembaranku yang sudah satu tahun meninggal dunia akibat penyakit jantung yang dia derita.

Sesaat otakku berpikir dan keluar ide menurutku cukup gila dan tidak normal. Namun, hanya hal itu yang bisa membantuku untuk mendapatkan keadilan untuk kedua orangtuaku yang mati dibunuh secara kejam.

Ya, Ayah dan ibuku adalah tokoh agama yang menyebarkan kebaikan, beliau sangat peduli dengan sesama. Ayah yang mempunyai perkebunan kelapa sawit beberapa hektar, beliau memberi gaji pada karyawannya sesuai dengan pekerjaan mereka.

Ayah tahu pekerjaan kasar itu tidaklah mudah, jadi ayah mematut gaji seimbang dengan pekerjaan mereka. Menurut Ayah dan Ibu keuntungan besar tidaklah mereka harapkan yang penting beliau bisa membantu sesama, maka Allah akan memudahkan segala urusan kita.

Disanalah konflik mulai terjadi, Mahendra seorang juragan yang terkenal dengan ketamakannya, Pria itu sungguh mencintai dunia, seakan tak bisa membedakan halal dan haramnya. Dia datang sangat berang kepada ayahku.

"Hei, ustadz Ali! Kau memang bermuka topeng! Beraninya kau menarik pekerja di kebunku. Apakah kau ingin mencari gara-gara denganku!" bentak Pria berkumis tebal itu pada ayah.

"Astaghfirullah, kamu bicara apa Hendra? Saya tidak menarik mereka. Tetapi mereka sendiri yang datang meminta pekerjaan. Jangan emosi seperti ini, ayo, mari kita duduk dulu." Ayah tetap saja bersikap baik, tak pernah membalas dengan amarah.

"Hah! Tidak perlu! Aku datang kesini ingin menegaskan kepada kau. Aku minta kau suruh kembali mereka bekerja di kebunku, kalau tidak lihat saja apa yang bisa aku lakukan padamu dan juga keluargamu!" ancam Pria itu dengan amarah yang menyala. Aku dan Ibu mendengar sangat takut.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Mungkin dia sedang ada masalah," ucap Ayah pada kami.

"Tapi, Yah, ancamannya tidak main-main. Ibu takut dia akan berbuat sesuatu yang buruk. Lebih baik ikuti saja keinginannya. Berhentikan saja mereka," ujar Ibu ingin Ayah memecat mantan pekerja Mahendra yang kini bekerja di kebun kami.

"Jangan, Bu, kasihan mereka. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Sudahlah, kita serahkan semuanya kepada Allah."

Aku dan ibu tak bisa bicara apa-apa lagi. Seperti yang dikatakan Ayah. Kami hanya berdo'a setiap sujud agar selalu dalam lindungan Allah.

Satu minggu berlalu. Aku sudah kembali ke kota tempatku menuntut ilmu. Hari ini adalah sidang skripsi, aku harus fokus dengan segala ujian dan pertanyaan yang akan diberikan oleh Dosen penguji, dan juga dosen pembimbingku.

Saat aku sudah tiba di kampus hendak mengikuti sidang. Tiba-tiba vibrasi ponselku bergetar. Aku segera menerima panggilan itu.

Seketika duniaku runtuh dan air mataku jatuh berderai. Aku terduduk lemah di pelataran yang ada di depan kampusku.

"Zahira, apa yang terjadi?" tanya Dina teman sekampusku.

Aku masih menangis sesenggukan, rasanya lidahku begitu kelu untuk bicara. Aku berharap kabar yang kudapat tidaklah benar. Aku berharap Ayah dan Ibu masih hidup dan baik-baik saja.

"Din, A-ayah dan ibuku meninggal dunia, karena dibunuh. Hiks.. Hiks... Hu hu ..." Tangisku pecah dalam pelukan sahabatku itu.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un. Zahira kamu harus sabar dan kuat ya."

Kutinggalkan momen penting itu. Aku segera pulang ke kediaman orangtuaku. Setibanya, aku melihat rumah sudah di kerumuni oleh warga setempat, dan aku juga melihat ada beberapa wartawan dari media cetak untuk meliput kejadian perkara.

langkahku gemetar saat ingin menginjakkan kaki masuk kedalamnya. Polisi sedang melakukan olah TKP, dan jasad kedua orangtuaku segera dibawa ke RS untuk dilakukan otopsi.

Aku meraung bagaikan orang gila. Pakaian syar'i yang kugunakan sudah kotor terkena noda lumpur yang tergenang di halaman rumahku, karena hujan turun secara tiba-tiba, seakan dunia tahu bahwa aku sedang berduka lara atas kepergian kedua orangtuaku.

"Tidaaakkk! Siapa yang berani membunuh ayah dan ibuku?! Kenapa mereka tega sekali. Apa salah orangtuaku?! Hiks... Hiks."

"Sudah, Nak. Sabar, istighfar. Nduk," ucap Ibu-ibu tetangga kami. Ya, kami hanya perantauan, Ayah dan Ibu tidak mempunyai sanak famili, dikarenakan semua keluarga membuang ibu lantaran Ibuku menjadi seorang mualaf saat menikah dengan Ayahku yang terkenal religius.

Aku masih larut dalam tangisan pilu. Hatiku benar-benar hancur berantakan, pegangan dan sandaranku telah hilang, seakan aku seperti kehilangan arah tujuan hidupku karena sudah tak ada lagi orang yang amad aku cintai didunia ini.

"Maaf, anda anak dari kedua korban?" tanya seorang polisi yang sedang menangani kasus pembunuhan ini.

"Iya, Pak. Saya putri mereka," jawabku sembari menghapus air mata dan berusaha untuk tegar.

"Baik, kalau begitu mari ikut kami ke kantor polisi untuk kami mintai keterangan."

"Baik, Pak." Aku segera ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan.

Saat polisi sedang menanyakan segala hal yang aku ketahui, dan apakah ayah dan ibu mempunyai musuh atau pernah ada masalah dengan seseorang. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada Mahendra. Ya, hanya dia yang datang waktu itu mengancam Ayah dan Ibuku.

Aku menceritakan semuanya pada penyidik itu, dengan mendapatkan informasi dariku, maka memudahkan polisi untuk mendalami kasus pembunuhan ini. Tak menunggu lama, hari itu juga para pembunuh itu diringkus dan di jebloskan dalam penjara.

Aku segera mencari kuasa hukum untuk mendampingiku dalam mencari keadilan untuk almarhum kedua orangtuaku. Aku bergerak dengan cepat, tak harus berpikir panjang lagi. Aku menjual kebun kelapa sawit milik orangtuaku, karena Simpanan yang kami miliki tidak cukup untuk menyewa pengacara.

Tiga hari setelah kejadian itu, dan kini aku sudah mempunyai kuasa hukum. Aku kembali mendatangi tahanan Bareskrim untuk menemui Manusia lak nat yang telah berani menghabisi nyawa kedua orangtua yang teramat aku cintai.

Bersambung....

NB. Hai, selamat datang di karya baru author. Semoga suka dengan ceritanya 😍 jangan lupa tinggalkan jejak dukungan agar Author semangat untuk update 🙏🥰🤗

Happy reading 🥰

Tuntutan

Setibanya ditahanan, aku menatap wajah para pembunuh kedua orangtuaku di balik jeruji besi itu. Tubuhku bergetar saat mengetahui bahwa otak pembunuhan itu adalah Mahendra juragan tamak itu.

Kutatap wajah mereka satu persatu, tanganku mengepal erat, ingin rasanya aku memukul wajah manusia berhati ib lis itu.

"Apa yang ingin kau katakan, hah? Katakan saja, kau ingin memakiku? Kau ingin menyumpahiku. Hahaha... Lakukan saja! Kedua orangtua itu tidak akan hidup lagi!" seru Pria yang menjadi otak pembunuhan itu.

Hatiku benar-benar sakit mendengarnya. Bibirku bergetar, air mataku jatuh tanpa kuminta. "Bren gsek kau Mahendra!"

"Awhh! Lepaskan wanita gila!" Pekik Pria itu saat tanganku menarik rambutnya sekuat tenaga dari celah jeruji besi itu.

"Mbak Zahira, lepaskan Mbak!" ucap kuasa hukumku meraih tanganku.

"Ibu Zahira, lepas! Apa yang anda lakukan!" ujar penjaga lapas.

Aku segera melepaskan. Rasanya hatiku belum puas hanya menarik rambutnya dengan sekuat tenagaku.

"Dengar Mahendra! Kau memang punya segalanya. Aku bersumpah pada diriku sendiri demi kedua almarhum orangtuaku, aku akan pastikan kau juga akan mati. Camkan itu!" pekikku sebelum meninggalkan tahanan itu.

Satu minggu berlalu, kini tiba saatnya persidangan dibuka, untuk menadili kasus pembunuhan orangtuaku. Dua hari sidang digelar, dan hari ini adalah aku menjadi saksi di persidangan itu.

Hakim dan jaksa mencecarku dengan segala pertanyaan yang aku ketahui tentang kasus ini. Dari mulai perselisihan antara Mahendra dan kedua orangtuaku hingga pembunuhan itu terjadi.

Aku menjawab dengan apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar sendiri. Berawal persidangan itu berjalan sesuai dengan apa yang kami inginkan. Jaksa dan hakim juga berusaha menimbang secara adil dalam menguak kasus itu.

Kini tibalah saatnya jaksa penuntut umum memberi tuntutan pada para terdakwa yang berjumlah lima orang itu.

Aku dan kuasa hukumku duduk di ruang persidangan untuk menyaksikan tuntutan jaksa pada mereka para pembunuh kejam itu.

"Kami penuntut umum dalam perkara terdakwa Mahendra Husni. Dengan memperhatikan undang-undang yang bersangkutan. Menuntut mohon agar majelis hakim pengadilan negeri X yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama Mahendra Husni, memutuskan, 1, menyatakan terdakwa Mahendra Husni telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yang melakukan tindakan pembunuhan berencana secara bersama-sama, melanggar pasal tiga empat puluh. kami menuntut menjatuhkan pidana 15 tahun penjara!"

Seketika tubuhku lemah tak berdaya saat mendengar tuntutan jaksa. Aku Segera berdiri dan berjalan menuju meja dimana para jaksa masih duduk disana.

"Tuntutan apa yang kalian berikan terhadap mereka Pak? Bukankah kalian mengatakan bahwa mereka sudah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, dan kalian juga mengatakan mereka melanggar pasal tiga empat puluh! Tuntutan semacam apa ini!" teriakku diruang sidang.

Aku dan kuasa hukumku benar-benar dilukai oleh keadilan ini. Aku menatap para jaksa tak ada satupun diantara mereka yang memberiku penjelasan.

"Saudara! Harap anda tenang!" bentak hakim ketua padaku. Aku menyorot ketua hakim muda yang memimpin persidangan ini. Pria itu juga tak kalah menyorotku sangat tajam.

"Saya tidak bisa diam bila keadilan ini melukai perasaan saya! Jika jaksa menuntut tak sesuai dengan pasal yang ada, maka saya berharap anda yang mulia hakim dapat memberikan keadilan untuk kedua almarhum orangtua saya!" seruku sebelum meninggalkan ruang sidang itu.

Aku meninggalkan gedung pengadilan negeri itu, dan berpesan pada kuasa hukumku untuk mencari tahu ada apa dibalik tuntutan jaksa ini.

Setibanya dirumah aku segera masuk kedalam kamar. Kutumpahkan segala tangis yang sedari tadi kutahan. Aku kembali meraung sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat pada bongkahan daging yang kunamakan hati.

"Ya Allah, kenapa engkau tidak membiarkan saja mereka mendapatkan hukuman yang setimpal. Kenapa engkau masih menguji kesabaranku? Sungguh aku tidak akan bisa sabar untuk hal ini ya Rabb. Ampuni aku!"

Aku menangis sembari mengadukan kepada Tuhanku atas rasa sakit dan kecewaku. Saat aku masih larut dalam tangisan. Ponselku berdering. Ternyata kuasa hukumku yang menghubungi.

"Halo Mbak Zahira, saya sudah mendapat informasi kenapa jaksa menuntut lebih ringan. Ternyata pihak jaksa dan hakim telah diberikan amplop coklat. Karena saya sudah mencari tahu dari intelejen saya, bahwa Mahendra sudah menjual puluhan hektar lahan sawitnya, dan terdapat bukti transfer pada mereka."

"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanyaku dengan lirih. Air mataku kembali luruh begitu saja. Jika sudah uang yang berkuasa, maka tak ada yang bisa aku lakukan. Karena aku tidak mempunyai uang untuk membayar jaksa dan hakim yang pastinya harus lebih besar dari pemberian para penjahat itu.

"Kalau sudah seperti ini kita tidak bisa banyak berharap, Mbak. Karena antara hakim dan jaksa saling menutupi. Maka membuat kita sulit akan melaporkan pada pihak komisi yudisial," jelas Kuasa hukumku.

Aku hanya bisa menangis histeris. Entah berapa lama aku menangis sehingga aku melupakan segalanya, bahkan aku seharian ini tidak makan dan minum.

***

Aku mengamati identitas kembaranku yang masih beralamat di kediaman kami yang lama dulu. Kumantapkan hati untuk mengambil keputusan ini. Ya, aku tahu ini adalah keputusan yang sangat buruk. Tetapi aku harus melakukannya demi sumpahku yang akan membuat para pembunuh itu mendapatkan hukuman setimpal.

Pagi ini aku menghubungi kuasa hukumku untuk bertemu dengannya. Kami bertemu untuk membahas masalah yang semalam. Merasa belum menemukan jalan, padahal dua hari lagi sidang putusan pengadilan akan dijatuhkan.

"Pak, apakah Bapak mempunyai kartu nama Hakim ketua yang memimpin persidangan?" tanyaku memberanikan diri.

"Ada, Mbak, untuk apa?" tanya kuasa hukumku yang bernama Andre.

"Berikan pada saya, Pak. Saya akan mencoba untuk menemuinya. Semoga saja hatinya terbuka dan sehingga dia tidak terpengaruh oleh uang sogokan itu," ucapku bersikap sewajarnya saja.

"Baiklah, ini kartu namanya."

"Apakah Bapak tahu dia disini menginap dimana?" tanyaku kembali mencoba mengorek informasi tentang Pria yang akan menentukan keputusan itu.

"Dia menginap di hotel xxx."

"Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang dulu, Pak. Beri kabar saya bila ada informasi terbaru."

"Baik, Mbak."

Setelah mendapat apa yang aku perlukan, aku kembali pulang kerumahku. Dalam kamar ini aku duduk melamun sendiri. Kuamati kartu nama Hakim ketua yang bernama. Zico Hamdi.

Pria itu tergolong hakim paling muda yang pernah aku temui, karirnya juga bagus. Diusianya yang baru 31 tahun, dia sudah bisa menjadi ketua hakim dalam memutus perkara.

Awalnya aku mencoba untuk menghubunginya melalui sambungan telepon, berharap lelaki itu bermurah hati dan mau bicara denganku.

"Halo, siapa ini?" tanyanya diseberang sana

"Assalamualaikum, Pak Hakim, ini saya anaknya korban dari kasus yang sedang Bapak tangani," jawabku mencoba untuk tetap ramah.

"Untuk apa kamu menghubungi saya?"

" Maaf sebelumnya, Pak, apakah kita bisa bertemu dan bicara sebentar saja?"

"Tidak! Saya tidak punya waktu untuk bicara dengan kamu. Jangan pernah hubungi saya lagi!"

Sambungan terputus. Aku menghela nafas dalam. Kutatap sekeliling ruangan itu. Kembali ingatanku kepada kedua orangtuaku. Bagaimana bila mereka tak mendapatkan keadilan, sungguh hatiku tidak rela.

Bersambung....

Nb. Mohon dukungannya ya, like komen dan subscribe. 🙏🥰

Happy reading 🥰

Menemuinya

Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi. Besok pagi adalah sidang putusan pengadilan, sementara aku dan kuasa hukumku tak mempunyai jalan lain untuk mencegah kejahatan itu.

Dengan deraian air mata, aku membuka kain penutup wajahku selama ini. Dan aku buka pakaian syar'i yang jadi pelindungku dari tatapan liar lelaki diluaran sana.

Aku mengenakan pakaian saudara kembarku. Ya, kami memang kembar, tetapi sikap kami tidak sama. Bila aku terbiasa menggunakan pakaian yang menutup seluruh aurat. Berbeda dengan kembaranku, dia wanita tomboi dengan pakaian formal.

Aku menatap wajah dan penampilanku didepan cermin. Kembali gemuruh rasa berdosa menghantam qalbuku.

"Jika hukum dapat dibeli dengan uang, maka aku bersumpah, hukum itu akan kutukar dengan tubuhku! Lihat saja Mahendra, apapun akan aku lakukan demi mendapatkan keadilan itu! Aku pastikan kau akan segera mati!"

Ku usap air mataku yang jatuh. Tidak, aku tidak boleh lemah. Ini adalah keputusan yang sudah kuambil. "Ampuni aku ya Allah. Aku hanya wanita lemah yang sangat ingin keadilan untuk kedua orangtuaku. Aku ikhlas menerima segala hukuman dan siksaan dariMu kelak di akhirat."

Aku persiapkan segalanya sebelum aku berangkat menuju dimana Pria yang seharusnya menjadi perantara Tuhan untuk memberi keadilan, malah sebaliknya Pria itu menjadi pelindung bagi para penjahat itu.

Setibanya di hotel xxx, aku segera menuju meja resepsionis hotel. Aku mencoba untuk sesantai mungkin berjalan dengan pakaian yang rasanya sangat risih kugunakan. Kulihat tatapan lelaki tak terlepas padaku.

"Permisi, Mbak, bisa kami bantu?" tanya pegawai hotel itu.

"Ah, saya ingin bertemu dengan Hakim Zico Hamdi. Karena saya adalah kuasa hukum dari salah satu kasus yang sedang ditanganinya," jawabku dengan tenang.

"Baiklah kalau begitu biar kami telpon beliau dulu."

"Ah, tidak usah, Mbak! Tadi beliau telpon saya, dan meminta saya untuk langsung datang ke kamarnya. Mbak tidak perlu khawatir. Ini saya mempunyai kartu nama beliau, dan ini identitas saya." Aku menunjukkan kartu nama Hakim itu, dan identitasku.

"Ah, baiklah. Silahkan, beliau ada di kamar xx."

Baik, terimakasih."

Aku segera menuju kamar yang tertera nomornya. Dadaku terasa bergemuruh saat sudah berada didepan pintu kamar itu. Kucoba untuk menghela nafas dalam, kubuang semua rasa takut dan gelisahku. Aku berfokus pada tujuanku. Malam ini misiku harus berhasil. Dengan api dendam yang menyala maka aku singkirkan segala pertimbangan yang ada dalam hatiku.

Tok! Tok!

Aku mulai mengetuk pintu kamar. Cukup lama akhirnya pintu kamar itu terbuka, seorang Pria hanya menggunakan bathrob berdiri dihadapanku. Jantungku berdebar dan segera memalingkan muka.

"Kamu siapa?" tanya Pria itu menatapku begitu lekat. Tatapan itu menyiratkan makna yang tertentu.

"Ah, Nama saya Azzuri, saya diutus oleh pihak PH dari tuan Mahendra untuk menemui Bapak," jawabku berusaha untuk tetap tenang.

"Dalam hal apa? Kenapa tidak mereka saja yang menemui saya secara langsung?" tanyanya sedikit curiga.

"Maaf, Pak, mereka takut ada mata-mata dari pihak korban yang melihat. Jadi saya datang kesini berkedok sebagai wanita panggilan untuk Bapak," ujarku sembari mengulas senyum menggoda.

Astaghfirullah... Ampuni aku ya Allah. Aku sudah melangkah sejauh ini. Aku harus mendapatkan keadilan itu. aku mohon untuk kali ini saja biarkan rencanaku berjalan sesuai harapanku. Aku rela masuk kelumpur dosa ini.

"Benarkah? Bisa saya lihat identitasmu?"

"Ya, sangat benar sekali, ah, ini kartu identitas saya." Aku menunjukkan kartu identitas yang pasti milik Azzurri kembaranku.

"Ternyata kamu mahasiswi hukum?"

"Iya, Pak, maka dari itu PH Tuan Mahendra meminta bantuan saya."

"Oke, masuklah, kita bicara didalam."

Akhirnya dia mengizinkan aku untuk masuk. Dengan menekan segala rasa takut dalam hati, aku mencoba tenang menghadapi Pria ini.

"Ayo duduklah. Sekarang coba katakan, apa yang ingin kamu sampaikan. Kenapa kamu cantik sekali? Apakah kamu mau menemaniku malam ini?" tanyanya dengan senyum genit dan tangannya terulur menyentuh tanganku. Ucapannya melenceng dari pembahasan.

Aku berasa ingin menamparnya saat itu juga, tetapi aku segera menahan segala gejolak jiwaku. Ternyata dia Pria hidung belang juga, yang tak bisa melihat wanita cantik. Aku mulai mengatur nafas, sekarang dia sudah mulai masuk perangkapku.

"Ah, Bapak bisa aja. Tapi, tugas saya bukan untuk itu, Pak, saya diminta untuk bicara pada Pak Hakim agar tak melupakan janji yang telah disepakati. Pihak PH juga meminta agar Bapak dapat memberikan hukuman ringan untuk terdakwa Mahendra."

"Jadi mereka memintamu datang hanya untuk itu saja? Dia kira saya ini Hakim yang amnesia, ya tentu saja saya tidak akan melupakan kesepakatan itu. Tenanglah, itu semua sudah aman."

"Baiklah, kalau begitu tugas saya sudah selesai. Boleh saya pergi sekarang, Pak," ucapku mencoba memancing. Aku segera berdiri, tetapi Pria itu kembali meraih tanganku.

"Ah, tunggu cantik!" serunya menatapku begitu lekat dengan wajah sayu penuh keinginan.

"Ya, ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Seperti yang saya katakan tadi. Saya menginginkan dirimu. Apakah kamu mau menemani saya?"

"Hihi... Bapak ternyata genit juga. Dengar ya, Pak, saya sebenarnya bersedia menemani Bapak, tapi saya ini masih Ori. Tentu saja Bapak tahu bayarannya tidak akan kaleng-kaleng," tawarku sembari menatap Pria yang menambah daftar orang yang aku benci dalam hati.

"Benarkah? Berapa banyak yang kamu inginkan?" tantangnya, dia bergerak melangkah mendekati aku. Tangannya menyentuh lenganku yang terbuka.

"Eiiit, tunggu dulu, Pak. Tawar menawar kita belum deal."

"Haha... Baiklah. Ayo katakan berapa uang yang kamu inginkan?"

"Apakah Bapak bersedia membayarku mahal?"

"Tentu saja. Kapan perlu uang sogokan itu kujadikan untuk membayarmu. Tapi, ingat! Kamu jangan membohongiku bahwa kamu memang benar-benar masih original."

Aku meletakkan tasku di atas meja. Kudekati manusia ingkar itu. Bagaimana mungkin Pria tidak amanah sepertinya dijadikan perantara Tuhan untuk memberi keadilan. Ingin rasanya kedua tanganku mencekik lehernya saat itu juga.

Kutarik bagian atas bathrob yang dikenakannya. Kini tatapan kami begitu dekat. Nafas hangatnya menyapu wajahku. "Benarkah Bapak ingin memberiku bayaran yang sangat mahal?" tanya ku, kubalaut rasa perih hatiku dengan senyum semanis mungkin.

"Yes of course dear!"

"Hmm, baiklah. Bagaimana jika uang sogokan itu saya tukar dengan keadilan yang sesungguhnya. Apakah Bapak mau membatalkan kesepakatan itu dan menjatuhkan hukuman mati pada para terdakwa?" tanyaku berharap Pria itu menerima tawaranku.

"Hshaha... Permintaan apa itu?" tanyanya menatapku dengan curiga, dia berjalan memutar tubuhnya membelakangiku. "Aku jadi curiga. Jangan-jangan kamu adalah seorang penyusup?"

Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya. Tidak, aku tidak boleh ketahuan, dia harus masuk perangkapku malam ini. Aku berusaha untuk bersikap biasa dan masih tersenyum manis.

"Aw Aw... Kenapa Bapak bicara seperti itu?" tanyaku sembari mendekatinya. Ku usap bahunya dengan lembut, setelah itu tanganku beralih kepada pipinya, andai saja misiku sudah selesai, maka saat ini juga aku akan membunuhnya agar tak ada lagi hakim culas tamak yang ingkar di muka bumi ini.

"Aku hanya ingin menguji Bapak saja. Aku kira Bapak rela berkorban apa saja demi mendapatkan tubuhku yang indah ini. Maka dari itu aku mencoba memberi Bapak pilihan terberat. Ternyata Bapak orang yang cukup berpegang teguh dengan perjanjian dalam masalah uang. Hahaha..."

Tawaku muak dan kesal kuhiasi dengan rayuan manis. Dia menatapku dengan nafas memburu. Tangannya terangkat merangkum kedua pipiku.

Bersambung....

Happy reading 🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!