Seorang gadis menangis histeris di depan pemuda tampan yang nampak menahan kesal. “Al, kamu nggak boleh batalin pernikahan kita, undangan udah disebar. Mau ditaruh dimana muka keluarga aku, kalau kita nggak jadi nikah."
“Aku nggak cinta sama kamu. Aku rasa ini belum terlambat untuk mengakhirinya.” Ujar Alvaro tegas. Bisa-bisanya dia berkata semudah itu, menyepelekan ikatan pernikahan yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini.
Bulan menggeleng cepat. “Nggak, aku nggak mau! Aku cuma mau nikah sama kamu Alvaro hiks-hiks, aku sangat mencintai kamu.”
Alvaro mengusap kasar wajahnya. “Kamu egois bulan, tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Kamu fikir setelah kita menikah, kamu akan bahagia, hah?!” Tanyanya sedikit membentak memberi pengertian kepada wanita keras kepala didepannya.
Bulan mendekat meraih tangan Alvaro. “Aku akan bahagia hiks-hiks, asal tetap bersamamu.”
Alvaro segera menampiknya kasar. “Kamu nggak akan bahagia, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa mencintaimu. Karena dihatiku cuma ada nama Bintang.”
Pengakuan Alvaro membuat hati Bulan berdenyut nyeri seperti ditusuk beribu jarum. Bagaimana tidak, Bulan sudah menyukai Alvaro sejak kecil ketika umur mereka masih 6 tahun dia sudah mengerti mengenai cinta. Mereka berteman sejak lahir, tumbuh dilingkungan yang sama, bermain, makan, tidur dan bahkan dulu sering mandi bersama. Apapun mereka lakukan berdua.
Kebiasaan itulah yang membuat Bulan menjadi tergantung dengan keberadaan Alvaro sampai sekarang. Bagi Bulan, Alvaro adalah segalanya, dia tidak bisa jauh-jauh dari lelaki itu. Dia tahu Alvaro begitu risih ketika bersamanya karena Bulan adalah gadis yang overprotektif. Bahkan diumurnya yang ke 23 tahun, sifat posesifnya semakin parah tidak terkendali.
Dia mulai membatasi ruang gerak Alvaro. Semua perempuan yang dekat dengan pemuda itu akan mendapat teror dari Bulan hingga membuat mereka semua ketakutan. Sebenarnya Alvaro tidak menuntut banyak dari Bulan, yang dia inginkan agar Bulan bisa berfikir secara dewasa karena dia bukanlah anak-anak lagi yang tidak bisa menjaga sikap.
Puncaknya ketika Alvaro kedapatan mempunyai kekasih yaitu Bintang, Bulan yang sudah tergila-gila dengan lelaki itu tidak tinggal diam. Dia dengan mudahnya menghancurkan hubungan mereka dengan sebuah ancaman yang membuat Bintang perlahan-lahan memilih mundur. Pasalnya Bintang yang terkenal dengan kebaikan hatinya itu tidak ingin bersaing dengan kakak tirinya sendiri. Ya benar, Bulan adalah saudara beda ibu dengan Bintang.
Bukan menjadi rahasia umum lagi, perilaku buruk Bulan kerap membuat orang lain kesal dan memandangnya sebelah mata. Semuanya menganggap dia adalah gadis licik yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya, termasuk mengikat Alvaro lewat benang pernikahan untuk menjadikan Alvaro miliknya seutuhnya.
Bulan malah tersenyum disela-sela tangisnya. “A-aku pasti bisa membuka pintu hatimu untukku, hanya butuh waktu hiks-hiks. Bukankah cinta akan tumbuh karena terbiasa.”
“Butuh berapa lama lagi? Kita sudah bersama bahkan sejak kita masih kecil, tapi perasaanku tetap sama. Aku hanya menganggapmu sebatas sahabat tidak lebih.”
Alvaro melanjutkan ucapannya berusaha meyakinkan Bulan untuk menuruti permintaannya. “Kita bukan anak kecil lagi bulan, aku harap kamu bisa bersikap dewasa.”
“NGGAK!” Bulan berteriak keras sembari berjalan ke dapur.
Alvaro membulatkan matanya ketika melihat Bulan mengacungkan pisau di atas urat nadinya sendiri. “Hiks-hiks-hiks, untuk apa aku hidup jika tidak bisa bersamamu Alvaro hiks. Lebih baik aku mati!"
“Bulan kamu sudah gila!” Bentak Alvaro, dia mencoba mendekati gadis itu.
“Hiks-hiks, kamu mau ninggalin aku dan lebih memilih perempuan lain iya kan? Hiduplah bahagia dengannya dan kamu akan berduka atas kematianku. Sampai mati aku nggak akan rela kamu bersama dengannya hiks-hiks.”
“BULAN!!” Lagi-lagi lelaki itu membentaknya, dia bosan mendengar drama memuakkan yang dilakukan Bulan. Karena setiap Bulan merasa terabaikan, dia akan mengeluarkan jurus andalannya yaitu mengancam.
Alvaro sudah frustasi menghadapi Bulan. “Jika itu keputusanmu, maka lakukanlah.”
Bulan membulatkan kedua matanya, bisa-bisanya Alvaro berkata seperti itu! Tidakkah dia ingin menahan dirinya? Bulan nampak menelan ludahnya dengan susah payah, dia bahkan memegang pisau tajam itu dengan gemetar. Terlihat raut ketakutan di wajahnya, dia bimbang dan Alvaro dengan tatapan dingin malah tersenyum sinis meremehkan.
Gadis itu mengusap air matanya sejenak. “Ba-ba-baiklah, aku pasti akan melakukannya. Da-dan ka-kamu pasti a-a-akan menyesalinya.” ucapnya terbata-bata.
Alvaro masih berdiri santai menatap gerak-gerik Bulan tanpa minat. Sebisa mungkin Alvaro tidak akan termakan oleh gertakan gadis keras kepala itu.
Bulan menghela nafas panjang, mengumpulkan nyalinya. Dia memejamkan mata perlahan. “Selamat tinggal.”
Sreet
Alvaro terbelalak melihat darah memuncrat berceceran di lantai, Bulan benar-benar memotong urat nadinya sendiri. Alvaro mengira jika gadis itu hanya main-main saja menggertaknya. Rupanya dia beneran nekat ingin bunuh diri, sialan!
Bulan membuka matanya ketika pergelangan tangan kirinya terasa nyeri hebat, dia terkejut ada noda darah pekat membasahi baju putihnya. Seketika pandangan matanya beralih menatap tangannya yang bersimbah darah.
Aku belum mau mati, batin Bulan berteriak.
Brukk
Bulan pingsan karena terkejut melihat darahnya sendiri, segera Alvaro berlari untuk menangkap tubuh gadis itu. Dia menyobek dress bagian ujung bawah Bulan untuk diikatkan pada tangan kirinya, bertujuan menahan aliran darah.
Alvaro mengangkat tubuh Bulan yang pucat, dia berlari keluar dari apartemennya dengan bulan yang berada dalam gendongannya. Beberapa kali Alvaro mengumpati dirinya yang tidak bisa menjaga Bulan.
Semoga Bulan selamat, karena kalau tidak dia akan merasa bersalah.
...****************...
PLAKK
Dirga menampar pipi anaknya dengan keras. "Bodoh kamu Al!"
"Jika keluarga Bramasta tau kelakuanmu yang menjadi penyebab putrinya hampir bunuh diri, kita bisa mendapatkan masalah besar."
Dirga menatap marah anaknya yang masih terdiam di tempat. "Kalau pernikahanmu dengan Bulan gagal dilaksanakan, maka kita akan bangkrut jatuh miskin. Perusahaan kita sedang krisis Al, kita masih membutuhkan bantuan kerjasama dari Bramasta."
Pria paruh baya itu berusaha mengatur nafasnya yang memburu, dia kesal dengan Alvaro sangat sulit di atur. Dia tidak mau perusahaan yang telah dia bangun dengan susah payah hancur, karena ulah anak sulungnya itu.
"Lupakanlah Bintang, gadis itu sudah menolakmu mentah-mentah bukan? Sekarang hanya Bulan yang mau menerimamu, jadi bersikap baiklah dengannya. Karena cuma dia yang bisa menyelamatkan ekonomi keluarga kita." Dirga cukup tau kalau anak lelakinya tergila-gila dengan Bintang bukan Bulan. Tapi nampaknya cinta tulus Alvaro hanya bertepuk sebelah tangan.
"Ingat, Tiara masih butuh uang untuk biaya kuliahnya. Kamu tidak ingin keluarga kita terpuruk dan menjadi gelandangan tinggal di jalan karena perbuatanmu itu kan?" Tanya Dirga sedikit memancing Alvaro agar dia paham bahwa mereka saat ini berada di ujung tanduk.
Alvaro menatap tajam ayahnya, dia hanya bisa mengangguk seraya mengepalkan tangannya kuat. Jujur, dia lelah dengan tingkah ayahnya yang seolah menjadikan dirinya boneka hidup yang senantiasa patuh pada perintah tuannya. Tapi apa boleh buat, dia sangat menyayangi adiknya, Alvaro tidak ingin adiknya menderita dengan hidup serba kekurangan.
Dirga menepuk bahu putranya. “Sekarang tugasmu untuk menemui Bulan dan minta maaflah kepadanya.”
...****************...
Ctak…ctok…ctak!
Suara sepatu high hells terdengar memasuki ruang rawat inap seorang gadis. Nampaklah wanita paruh baya berambut blonde dengan pakaian elegan. Di usianya yang sudah mulai menua dia tetap cantik dengan tubuh langsing masih terawat.
“Sayangku, Bulan.” Panggil wanita paruh baya itu seraya berjalan mendekat dan langsung memeluk Bulan.
“Mama.” Bulan membalas pelukannya seraya tersenyum.
“Mama benar-benar khawatir ketika mendapat kabar kamu masuk rumah sakit karena tindakan nekat kamu melukai diri sendiri. Mama takut kehilangan kamu sayang, kamu anak kebanggaan mama satu-satunya.” Ujarnya dengan raut wajah sedih.
“Tenang ma, lihatlah.” Laura menatap putrinya. “Bulan baik-baik aja, ini cuma luka kecil.” Dia mengangkat tangan kirinya, menunjukkan luka yang telah diperban.
Laura memegang tangan putrinya. “Ohh sayang, tangan indahmu jadi tergores seperti ini. Pasti nanti akan membekas.”
Bulan mengelus pipi mamanya, mengamati wajah cantiknya yang mirip sekali dengannya. Hanya berbeda generasi saja. “Ma, mama jangan beritahu papa soal kejadian ini ya? Aku takut papa akan marah.”
“Mama nggak akan kasih tau papa, karena jika papa tahu kamu bisa dapat masalah.” Laura mengingat bahwa suaminya seminggu yang lalu pamit pergi ke Swedia untuk urusan bisnis dan kemungkinan pulangnya masih lama.
Untuk saat ini biarlah dia yang berkuasa, karena jika suaminya ikut campur maka hancurlah semua rencana yang telah rapi dia susun selama ini.
“Lalu bagaimana dengan Alvaro?” Tanya Laura penasaran.
Bulan menghela nafas, dia menggelengkan kepalanya. Pertanda bahwa dia tidak tahu keputusan apa yang akan diambil oleh lelaki itu. Laura mengelus lembut rambut hitam putrinya, berusaha menguatkan Bulan.
“Aku telah menuruti semua saran mama.” Ucap Bulan tiba-tiba.
Laura tersenyum. “Iya sayang, tapi kamu jangan lakukan tindakan gegabah seperti ini lagi. Apalagi sampai melukai dirimu sendiri."
“Bukankah mama selalu menekankan bahwa apapun yang menjadi milik kita senantiasa dijaga, jangan sampai ada yang merebutnya. Sebisa mungkin kita harus bisa mempertahankannya, agar tidak lepas dari genggaman.” Ucap Bulan dengan sendu. "Meski caraku mendapatkannya sedikit mengerikan." Cicitnya.
Laura tersenyum, dia menyentuh dagu putrinya dengan jari telunjuk agar mendongak menatapnya. "Itu yang dinamakan perjuangan sayang, dan percayalah usaha tidak akan menghianati hasil. Apapun itu caranya, baik maupun buruk itu tidak masalah. Karena yang terpenting adalah hasilnya harus memuaskan." Nasehat Laura dengan sorot mata tajam.
"Aku ingin Alvaro kelak bisa menerimaku sebagai istrinya, bukan sebagai sahabatnya." Ujar Bulan memberitahu.
"Kamu pasti bisa melakukannya sayang." Sahut Laura seraya tersenyum bangga.
Mama pasti akan selalu membantumu putri manisku.
Jangan jadikan dirimu sebagai seorang pecundang Bulan dengan mengalah. Tetapi jadilah pemenang dengan merebut milikmu kembali. Kata Laura dari dalam hati.
Bersambung...
Alvaro memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit, dia turun dan bergegas untuk menemui Bulan. Langkah Alvaro terhenti di ambang pintu ketika melihat Bulan rupanya sudah tertidur lelap di atas brankar. Dia berjalan mendekat perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengusik tidur gadis itu.
Alvaro mengamati raut tenang di wajah Bulan, dia jadi teringat masa kecilnya 17 tahun yang lalu ketika dia masih kelas 1 SD.
Gadis manis berkuncir 2 menangis sesegukan seraya mendekatinya. "Huaaaaa, hiks-hiks Alpalo meleka semua mengejekku. Katanya aku si jelek yang suka pamel, meleka aja yang miskin nggak punya uang buat beli golengan."
Alvaro yang tidak betah mendengar rengekan cempreng sahabatnya itu segera beranjak berusaha menenangkannya. "Diamlah Bulbul, kamu akan beltambah jelek kalo nangis. Kalo senyum kamu cantik. Kamu nggak mau sepelti nenek sihilkan?"
Bulan menggeleng cepat, dia tidak mau memiliki wajah buruk seperti nenek sihir. "Hiks-hiks-hiks, mereka semua membenciku. Lihatlah Alpalo, lututku teluka kalena meleka sengaja mendolongku jatuh hiks-hiks. Sakit banget tauuu."
Alvaro melihat darah di lutut Bulan. "Siapa yang melakukannya? Aku akan memukulnya." Ujarnya seraya mengepalkan tangan kanan ke atas dengan berani
Benar saja, Alvaro membuat salah satu teman sekelasnya babak belur hingga masuk ke Rumah Sakit. Masalah itu membuatnya harus dikeluarkan dari tempatnya menuntut ilmu.
Alvaro sebenarnya tidak ingin menyakiti Bulan, dia sangat menyayanginya. Tapi kebaikannya selama ini malah disalah artikan oleh gadis itu, dia menjerat tali rantai di leher Alvaro hingga membuatnya sesak untuk bergerak.
Dua anak kecil nampak duduk berdua di padang rumput. “Cuma Alpalo aja yang mau temenan sama Bulan. Bulan suka Alpalo, Alpalo janji akan selalu ada buat bulan kan? Tanyanya.
Alvaro menatap bulan sembari mengerjabkan matanya beberapa kali. Dia lalu mengangguk membuat bulan tersenyum lebar merasa senang.
“Nanti kalau kita udah gedhe Alpalo mau nikah-nikahan sama Bulan ya? Bial bisa sama-sama telus kaya papa sama mama hehe.”
Bulan mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Alvaro. “Janji dulu Alpalo, kalau nggak bulan nangis nih.” Ujarnya cemberut.
Alvaro yang tak ingin melihat sahabatnya sedih segera menyambut tautan tangan bulan. “Alvalo janji.”
Bukankah janji harus ditepati? Tapi itu adalah janji yang keluar dari mulut anak kecil berumur 6 tahun, itu hanyalah bualan semata. Nyatanya Alvaro tidak pernah menginginkannya, namun dia sudah terbelanggu oleh janji itu dan tuntutan dari orang tuanya.
Alvaro menghela nafas lelah, dia tidak ingin berlama-lama disini, Lebih baik dia keluar mencari udara segar, ketika kakinya melangkah untuk pergi tiba-tiba sebuah tangan dingin seseorang menahannya.
“Akhirnya kamu datang Al” Alvaro menoleh menatap bibir pucat Bulan yang bersuara.
Alvaro mendekati bulan sembari menyibakkan anak rambut kebelakang telinga gadis itu. “Maafkan aku Bulan.”
Bulan meletakkan jari telunjuknya di bibir Alvaro. “Aku udah maafin kamu, aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu.” ujarnya lirih sembari mengembangkan senyumnya.
Alvaro menyunggingkan senyumnya. “Kita akan tetap melanjutkan rencana pernikahan kita.” Seketika wajah Bulan berbinar mendengar penuturan Alvaro. “Tapi ingat bulan, kamu hanya bisa memiliki ragaku, tidak untuk hatiku.” Tekannya.
“Aku sangat tau, aku tidak akan menyerah. Karena aku yakin, sekeras-kerasnya batu lama-kelamaan akan dapat terkikis degan air.” ujar Bulan dengan percaya diri.
Alvaro sedikit tersentuh dengan kegigihan Bulan, dia mengelus puncak rambut gadis itu. Dia cukup tau bahwa sahabatnya ini mempunyai sikap keras kepala. “Cepatlah sembuh.” Ujarnya tulus.
“Aku tidak bisa berlama-lama menemanimu, aku harus kembali ke kantor untuk meyelesaikan pekerjaanku.” Lanjutnya.
Bulan mengangguk sembari tersenyum. Dia sangat bahagia, kini hubungannya dengan Alvaro mulai membaik. Terimakasih tuhan, Bulan mengucap syukur dengan perasaan gembira.
Alvaro pergi meninggalkan Bulan, dia berjalan di lorong rumah sakit. Ketika ditengah langkah kakinya, dia berpapasan dengan Bintang. Seolah angin berhembus, mengunci keberadaan kedua insan manusia.
Mereka seketika berhenti sejenak, mata mereka bertemu bertatapan cukup lama. Jujur, Alvaro begitu merindukan Bintang begitupun sebaliknya. Tapi apa daya, kisah cinta mereka harus berhenti cukup sampai disini. Alvaro sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya, dan Bintang harus melupakan kisah cintanya.
Bintang yang tidak ingin larut dalam situasi, dia segera memutus kontak matanya. Dia melanjutkan langkahnya kembali. Tapi--
“Bintang, tunggu!” panggilan Alvaro membuat Bintang berhenti.
“Bisakah kita bicara.” Ujarnya.
Bintang menoleh berbarengan dengan Alvaro yang masih tidak lepas menatap keberadaannya, gadis itu mengangguk. Bintang penasaran dengan apa yang ingin Alvaro bicarakan dengannya.
Mereka memutuskan untuk berbincang di taman belakang rumah sakit, jujur saja Bintang gugup karena mereka hanya berdua disini. Sedangkan Alvaro masih senantiasa mengamati wajah cantik Bintang, gadis yang begitu dia cintai hingga detik ini. Perlahan Alvaro mengulurkan tangannya membelai lembut pipi Bintang hingga gadis itu mendongak.
“Kamu tau, betapa inginnya aku untuk hidup bersama denganmu.” Ucapnya serak, Bintang bisa melihat pria didepannya terluka, sama sepertinya. Mereka menjalin hubungan diam-diam selama setahun tanpa sepengetahuan kakaknya. Bintang cukup tau, bagaimana egoisnya Bulan.
Disaat Bintang ingin mengumumkan hubungannya dengan Alvaro, kakaknya itu malah memberitahu keluarga bahwa dia ingin ditunangkan dengan Alvaro. Menggunakan trik liciknya, Bulan dan Mama Laura mampu mengelabuhi keluarga hingga Zhafran sebagai kepala anggota keluarga terpaksa mendukungnya. Pada akhirnya Bintang memilih mundur, dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro yang sudah tidak ada harapan lagi. Meskipun Alvaro mencoba ingin mempertahankannya, Bintang lebih memilih menyerah.
“Aku tau kak, akan lebih baik kita menjalani kehidupan masing-masing. Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Kak Bulan. Aku harap kakak belajar untuk menerimanya sebagai seorang istri nantinya.” tutur Bulan dengan lembut.
Alvaro menggeleng. “Entahlah, dihati dan fikiranku hanya ada kamu.” sanggah Alvaro jujur.
“Aku harap, aku nantinya juga bisa mendapatkan pria sebaik kakak.”
Alvaro seketika mengepalkan tangannya mendengar ucapan Bintang, dia masih belum rela ada pria lain bersanding dengan gadis dihadapannya ini.
“Akan lebih baik jika aku juga segera menikah, agar hubungan kalian damai. Karena Kak Bulan pasti akan terus mencurigaiku.”
“Cukup! Jangan katakan itu.” Sentak Alvaro. Bintang meneteskan air mata mendengarnya, hatinya sebenarnya juga sakit. Bayangkan saja orang yang kamu cintai akan bersanding dengan kakakmu sendiri? Betapa hancurnya perasaan Bintang saat ini.
Alvaro menangkup pipi Bintang dengan kedua tangannya, dia mendekatkan wajahnya hingga mereka bisa merasakan deru nafas satu sama lain hingga beberapa detik kemudian bibir Alvaro sudah mendarat tepat di bibir merah Bintang. Ciuman Alvaro begitu lembut membuat gadis itu melayang sesaat. Beberapa detik menyalurkan hasrat kerinduannya yang menggebu, tautan bibir mereka terlepas. Bintang masih mengatur nafas dan irama jantungnya yang berdebar hebat.
“Hatiku hanya milikmu Bintang Berlian Bramasta, ingat itu.” Bisik Alvaro di dekat telinga Bintang, gadis itu hanya bisa mengangguk.
Alvaro tersenyum, dia memeluk Bintang erat seolah tidak ingin kehilangannya dan Bintangpun membalas pelukan hangat mantan kekasihnya itu. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat kejadian itu, bahkan dia merekamnya dengan jelas.
Bersambung...
Bulan berdiri menatap awan biru dari balik kaca ruang rawat inapnya, matanya berkaca-kaca dan setetes bulir air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Entah apa yang Bulan sedang fikirkan. Perlahan dia menyentuh dadanya, perasaannya kini sungguh sesak.
“Bulan." Panggil Laura, segera Bulan mengusap air matanya. Dia tidak ingin Mamanya melihat dirinya tengah menangis.
Bulan menoleh seraya tersenyum.
"Bulan kamu harus segera menikah dengan Alvaro minggu depan. Aku sudah membicarakannya kepada keluarga Mahendra, mereka menyetujuinya.” Ujar Laura tiba-tiba.
Bulan terkejut bukan main mendengarnya. “Apa?! Tapi mengapa secepat itu Ma?" Seharusnya pernikahan kami masih 3 minggu lagi karena menunggu Papa. "Papa belum pulang dari Swedia, dia pasti akan marah jika pernikahan dilaksanakan tanpa kehadirannya.”
“Papa kamu malah mendukung keputusan ini, karena Mama bilang kepadanya bahwa kamu hamil duluan dengan Alvaro. Karena itu mama ingin mempercepat pernikahanmu.”
Bulan tidak habis fikir dengan tindakan mamanya. “Mama membohongi Papa?”
“Sssttt, sayang mama melakukannya demi kebaikanmu.” Laura mengambil ponselnya, memperlihatkan video yang telah direkamnya kemarin di taman belakang rumah sakit. “Lihatlah kelakuan adikmu, dia menggoda calon suamimu. Jika pernikahanmu tidak dipercepat, apa yang akan terjadi? Mungkin Bintang akan merebut Alvaro darimu.”
Bulan menghela nafas lelah. "Ma rasanya aku ingin menyerah saja." Ujarnya dengan sendu. "Tidak apa-apa jika Alvaro bersanding dengan Bintang, aku capek Ma mengejar lelaki yang sama sekali tidak peduli denganku."
Laura melotot melihat tampang pasrah putrinya. Laura menangkup kedua pipi putrinya. "Lihat Mama." Bulan masih saja menunduk enggan untuk menatap Mamanya.
"Lihat Mama sayang." Perintahnya lagi tegas, Bulan akhirnya mendongak memberanikan diri melihat mamanya dengan berlinang air mata. "Kamu sudah berjanji sama Mama kalau kamu nggak akan kecewain Mama." Ujarnya mengingatkan.
Laura berjalan menjauh, dia berhenti membelakangi putrinya. Laura terisak pelan. "Sampai detik ini rasa sakit yang ditorehkan Papamu di hati Mama tidak pernah bisa hilang. Bagaimana Papamu menghianati Mama dengan memasukkan orang ketiga di dalam rumah tangga kita." Dia menjeda ucapannya, namun beberapa detik kemudian dia bersuara kembali masih dengan isakan menyayat hati yang terdengar sampai ke telinga Bulan. "Sulit untuk memaafkan perbuatan Papamu, akan tetapi rasa cinta ini lebih besar daripada perasaan benci." Ujarnya memberitahu.
Kedua mata Laura memerah karena menangis, sorot matanya tiba-tiba menajam dengan kedua tangan terkepal kuat. "Perempuan itu pantas mendapat balasan." Lanjutnya penuh dengan emosi.
Flashback on
Seorang wanita menemani putri kecilnya di ruang tamu. Wanita itu tampak gembira melihat tingkah lucu anak perempuan berkepang dua tersebut. "Mama lihatlah penampilanku pakai baju plincess cantikan Ma?" Ujarnya seraya berputar sembari melompat-lompat dengan mengacungkan tongkat sailormoon pemberian Mamanya.
"Putri Mama cantik banget deh, nanti kalau Papa dateng kita kasih kejutan ya." Wanita itu memasang lilin di atas kue ulang tahun yang membentuk angka 28. Tak henti-hentinya dia tersenyum, dia tidak sabar melihat ekpresi suaminya nanti.
"Bulan kemarilah." Panggil Mamanya
"Sebental Ma." Bulan mengintip dari jendela rumahnya, dia melihat mobil Mercedes-Benz berwarna hitam memasuki gerbang rumahnya. Itu mobil papanya, Bulan kembali melompat-lompat girang.
"Yey-yey-yeiiiii. Papa pulang-papa pulang Ma." Teriak Bulan menghampiri Mamanya.
"Iya sayang-iya." Laura segera menyalakan lilinnya, dia sudah bersiap untuk menyambut suami tercinta 'Zhafran'
Ceklek.
Pintu terbuka lebar, memperlihatkan pria gagah besetelan jas kantornya bersama dengan seorang wanita cantik seusia Laura tengah menggendong anak perempuan berusia 3 tahun.
Zhafran menatap kue ulang tahun yang dipegang Laura dengan datar. "Selamat ulang tahun Papa." Ujar Bulan dengan polos sembari memeluk kaki Papanya yang masih terdiam kaku.
Gadis cilik itu menatap nanar Papanya yang sama sekali tidak membalasnya, ada aura ketegangan di tempat ini. Tatapannya beralih pada anak kecil yang bergelayut seperti koala pada seorang wanita di samping papanya.
Apakah Papa membawa teman baru untuknya? Papa tahu dia kesepian di rumah jika Mamanya pergi hangout bersama teman sosialitanya. Jika benar Bulan akan sangat bahagia dan akan mengajaknya main boneka barbie setiap hari. Batin Bulan yang masih polos
"Perempuan itu siapa Mas?" Tanya Laura menyelidik, banyak pikiran buruk yang berputar di otaknya.
"Dia istri dan anakku yang telah aku nikahi secara siri." Seketika kue ulang tahun yang diperuntukkan untuk suaminya terjatuh tercecer di lantai. Niat hati ingin memberikan kejutan kepada suaminya, tapi malah Laura yang dibuat shock. Apa ini balasan hadiah yang diberikan suaminya untuknya? Kabar buruk!
Air mata Laura berlinang membasahi pipi. "Kamu jahat mas, benar-benar jahat!"
Pranggg! Vas bunga melayang terlempar begitu saja.
Bulan hanya bisa diam melihat Mamanya yang menangis histeris sembari memukuli Papanya membabi buta meluapkan semua amarahnya pada lelaki yang selalu Bulan bangga-banggakan dan sayangi. Bulan baru sadar bahwa wanita dan anak kecil yang sempat dikiranya teman adalah seorang penyihir jahat yang membuat mama dan papanya bertengkar. Semenjak kejadian itu hidupnya yang indah perlahan hancur.
Flashback off
Bulan mendekati Laura, menyentuh pundak Mamanya yang bergetar karena menangis. "Maafkan Bulan Ma."
Laura menggeleng. "Bukan salah kamu, sayang."
Bulan menghapus lelehan air mata di kedua pipi Mamanya. "Mama jangan sedih, Bulan akan lakuin apa saja yang Mama suruh. Bulan janji nggak akan pernah kecewain Mama."
Laura tersenyum seraya menggenggam tangan putri semata wayangnya. "Mama ingin kamu selalu menang, tidak akan Mama biarkan orang lain merebut milik anak kesayangan Mama. Cukup Mama saja yang merasakan kehilangan, tapi tidak dengan dirimu."
"Mama ingin yang terbaik untukmu Bulan." Bulan mengangguk, berharap kali ini dia memutuskan sesuatu yang benar.
...****************...
Bulan duduk di depan meja rias menatap pantulan wajahnya yang telah berbalut make up di cermin. Dia gemetar, ada rasa takut yang menghantui perasaannya. Bulan menjadi bimbang, sungguh.
Laura masuk ke kamar perias, dia tersenyum melihat penampilan putrinya yang cantik menggunakan kebaya pernikahan sangatlah cocok menempel di tubuh indah Bulan.
"Sayang, Mama yakin Alvaro pasti akan terkesima melihatmu. Lagipula siapa yang bisa menyaingi seorang model cantik sepertimu." Ujar Laura bangga.
Bulan menghela nafas berusaha menyunggingkan senyumnya. Dia tidak sampai hati jika mengutarakan unek-uneknya di depan Mamanya yang kini terlihat bahagia. Ya, Laura memang senang meskipun ini hanyalah pernikahan sederhana, namun dia akhirnya bisa melihat putrinya bersanding dengan Alvaro.
Laura sebenarnya ingin pernikahan yang mewah, namun Alvaro menolaknya dengan tegas. Pria itu menyetujui permintaan Laura untuk mempercepat pernikahan, asalkan acaranya dilaksanakan secara sewajarnya mengingat Bulan adalah seorang model yang cukup terkenal dan juga Alvaro adalah pebisnis muda yang disoroti mungkin akan banyak wartawan yang meliput. Oleh karena itu Alvaro dengan tegas mengatakan bahwa acara pernikahannya diadakan secara tertutup, dia malas untuk menjawab pertanyaan dari awak media. Dengan perasaan yang kesal, Laurapun sepakat dengan Alvaro. Biarlah hanya sederhana, yang terpenting putrinya bisa segera menikah dengan lelaki yang dia cintai.
"Ayo sayang, Mama akan antar kamu. Semua orang sudah menunggumu." Risa mengangguk seraya berdiri dengan menggandeng tangan Mamanya berjalan keluar dari ruang rias.
Masjid Agung An-Nur tempat yang menjadi saksi menyatukan hubungan kedua insan dalam bahtera rumah tangga. Mengukir kisah dalam membuka lembaran baru kehidupan bersama. Bulan melihat Alvaro duduk disana dengan pakaian jas putih yang pas melekat ditubuhnya menambah kadar ketampanan lelaki itu. Sayangnya Alvaro enggan untuk balik melihatnya, mungkin karena pernikahan ini atas dasar paksaan membuat lelaki itu muak.
Sesakit apapun hatinya saat ini Bulan berusaha tersenyum di hari bahagianya, para undangan yang hadir dari kerabat maupun teman-temannya bersedia hadir disini. Dia tidak ingin terlihat sedih dihadapan mereka apalagi didepan Mamanya. Bulan kamu pasti bisa melakukannya, batinnya menyemangati dirinya sendiri.
Bulan duduk disamping Alvaro, dia melirik sekilas calon suaminya dari dekat. Alvaro nampak acuh seolah mengabaikan keberadaannya.
"Bisa dimulai?" Ucap penghulu
"Bisa pak." Alvaro mengangguk dengan raut wajah masam.
"Baiklah, silahkan anda menjabat tangan saya." Setelah menjabat tangan, ijab qabul pun dimulai.
"Bismillahirohmanirohim, saya nikahkan dan saya kawinkan Alvaro Artha Mahendra bin Dirga Suryo Mahendra dengan saudari Bulan Cahaya Bramasta binti Zhafran Hadi Bramasta dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
"Saya trima nikah dan kawinnya Bi--." Ucapan Alvaro terhenti, Bulan menoleh menatap lelaki disampingnya yang tak lepas pandangannya dari adik tirinya 'Bintang'. Rasa nyeri didalam ulu hati Bulan seketika mencuat. Semua orang bahkan nampak heran melihat Alvaro yang gelagapan. Namun beberapa detik kemudian dia mengulangi ucapannya. "Saya trima nikah dan kawinnya Bulan Cahaya Bramasta binti Zhafran Hadi Bramasta dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi ?"
"SAHH."
"Alhamdulillah..." Ucap semua orang.
Kemudian penghulu membacakan doa. Kini Bulan resmi menjadi istri seorang Alvaro, pria tampan yang begitu dicintai Bulan. Alvaro mencium kening Bulan membuat wanita itu seketika tersenyum.
Ada rasa bahagia karena akhirnya impiannya selama ini untuk bersanding dengan Alvaro terwujud, tapi disatu sisi dia juga sedih karena telah menghancurkan perasaan lelaki itu berkeping-keping. Miris! Bagaimana dia bisa merasa senang diatas penderitaan suami dan adiknya sendiri.
Maaf. Hanya itu yang bisa Bulan ucapkan dalam hatinya.
...****************...
Hari sudah malam saat sepasang pengantin sampai dipelataran rumah megah Alvaro. Rumah modern bergaya Eropa yang baru dibeli suaminya sejak 8 bulan lalu sebenarnya bukan untuknya, melainkan dipersembahkan untuk Bintang kekasih hatinya.
"Sekarang ini rumahmu." Ujar Alvaro dingin, setelahnya lelaki itu langsung memasuki rumah dengan Bulan yang berjalan mengekorinya dari belakang.
"Istirahatlah, aku tahu kamu lelah." Bulan mengangguk mendengar penuturan suaminya, setelah acara kumpul-kumpul keluarga yang begitu membuatnya penat, dia ingin sekali merebahkan tubuhnya di kasur.
Alvaro membukakan pintu kamarnya, setelahnya dia langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Bisa Bulan dengar gemercik air yang jatuh dari shower.
Bulan masih mengamati kamar suaminya. Pikirannya melayang pada beberapa hari yang lalu saat memindahkan beberapa baju dan barang-barang keperluannya. Sekarang bahkan sudah ada meja rias minimalis yang menghiasi kamar bernuansa maskulin tersebut. Siapa lagi kalau bukan Mama Laura yang memilihnya. Mulai sekarang kamar ini akan menjadi kamarnya juga dan malam pertama akan mereka lakukan disini? Senyumnya tiba-tiba mengembang dengan rona merah dikedua pipi, Bulan jadi gugup.
Bulan menepuk jidatnya pelan untuk mengenyahkan fikiran mesum diotaknya. Dia menghela nafas memilih duduk di depan cermin, Bulan mulai untuk mencopot berbagai aksesoris di kepalanya. Dia mengambil beberapa kapas dan membasahinya dengan make-up remover untuk membersihkan wajah.
Ceklek
Mendengar pintu kamar mandi terbuka, Bulan seketika beranjak berdiri. Bulan menoleh, dia menatap heran penampilan Alvaro yang telah segar dengan memakai kaos putih dengan celana jeans.
"Aku akan pergi, ada urusan di luar." Ujarnya sembari mengambil jaket dari lemari.
Bulan melihat jam menunjukkan hampir tengah malam. Apakah Alvaro sengaja keluar karena ingin menghindarinya? Batinnya heran. "Kemana Al?" Tanya Bulan.
Brakk
Alvaro menutup lemari cukup keras hingga membuat Bulan tersentak kaget. "Kita memang sudah menikah, tapi bukan berarti kamu harus tau apapun yang aku lakukan!" Alvaro berbalik menatap gadis didepannya dengan sinis. "Ingat bulan, pernikahan ini terjadi hanya atas kehendakmu saja. Aku tidak pernah menginginkannya." Ujarnya tegas.
Bulan hanya bisa terdiam di tempat melihat Alvaro memakai jaketnya berlalu pergi meninggalkannya dengan perasaan kesal. Gadis itu sangatlah tahu jika Alvaro tidak mencintainya karena lelaki itu sudah mengatakan berulangkali hingga Bulan muak. Tetapi setidaknya Alvaro bisa menghargai dirinya sebagai seorang istri.
Bulan meraih kunci mobilnya, dia penasaran kemana suaminya pergi malam-malam begini. Segera dia menuju garasi, memasuki mobil lalu menyalakannya. Dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi agar tidak kehilangan jejak dari sang suami.
Graharaja Residence
Mobil Alvaro memasuki parkiran begitupun dengan Bulan. Wanita itu mengernyit heran, bukankah ini adalah apartemen tempat tinggal Alvaro?
Alvaro turun dari mobilnya dia berjalan menjauh, bulan bergegas mengikuti. Langkah Alvaro memasuki lift, Bulanpun juga memasuki lift yang tentunya berbeda namun tujuannya sama yaitu lantai 5.
Ting! Pintu lift terbuka
Bulan keluar dan betapa terkejutnya dia melihat Bintang berjalan mendekati Alvaro. Bulan yang tidak ingin ketahuan dia langsung bersembunyi di balik dinding.
Mata bulan melotot tajam ketika Alvaro memeluk gadis itu dengan sayang dan tanpa menunggu lama Alvaro mempersilahkan Bulan memasuki kamar apartemennya. Bulan hanya bisa menutup mulutnya tidak percaya, lagi-lagi Alvaro menyakiti hatinya. Dia meremas kuat baju pengantin yang masih menempel ditubuhnya. Fikirannya kini tidak karuan, dimalam pertama pernikahannya Alvaro malah memilih menghabiskan waktu bersama perempuan lain.
Bulan tidak bisa membendung air matanya, dia terduduk lemas di lantai yang dingin sembari menangis sesenggukan. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain meratapi nasibnya yang miris.
Bersambung...
Jangan lupa untuk dukung ceritaku dengan like dan komentar❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!