Hari ini, terlihat seorang gadis kecil tengah meringkuk dan merenung didepan peti jenazah ayahnya. Ia diam, air matanya seakan sudah terlalu kering untuk kembali menangis. Tenaganya juga sudah habis untuk meraung meratapi kepergian sang ayah tercinta yang begitu mendadak baginya. Sang ayah bahkan masih bisa tersenyum padanya ketika ia bangun dan membuatkan sarapan.
ini semua seperti mimpi. Dan andai bisa, Ia ingin kembali disaat pagi ia membuka mata untuk kembali melihat senyum ayahnya. Ia tak akan pergi saat itu, dan tetap dirumah bahkan tak pernah memperbolehkan ayah pergi dari sisinya meski sebentar saja.
Namanya Zhavira Anastasya. Dia baru berusia 17 tahun saat itu, dan bahkan ia masih mengenyam pendidikan dibangku SMA. Ia masih disekolah dan berlajar seperti biasa ketika seorang pria bertubuh tegap datang dan memberi kabar atas kematian sang ayah padanya.
"Zha, ada yang cari kamu." Panggil sang guru padanya ketika jam pelajaran masih berlangsung.
Dengan penuh tanya, gadis itu menuruti panggilan itu dan berjalan menuju ke kantor kepala sekolah. Ia melihat mereka semua disana dengan penuh tanya, untuk apa mereka memanggil zha saat itu. Hingga sang guru memintanya duduk dan mengelus pundaknya seakan berusaha menenangkan padahal ia sendiri takt ahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Kau Zhavira, anak Seto?" tanya pria itu padanya.
"Ya, itu Ayah zha. Om siapa ya?" tanya zha padanya. Ia sama sekali belum pernah melihat pria itu, apalagi dalam daftar sahabat ayahnya.
"Ikut aku pulag. Ayahmu baru saja meninggal siang tadi karena sebuah insiden kecelakaan," terangnya tanpa bas abasi pada gadis kecil itu. Andai bisa sedikit lebih lembut, pasti zha tak akan syok mendengar semua berita mendadak mengenai ayahnya.
"Engga mana mungkin ayah zha meninggal. Om bohong kan? Om mau culik zha, ya? Om jahat kan? Hayo ngaku," Zha tampak masih meremehkan semua berita yang mendadak terdengar ditelinganya saat ini. Ia menolak semua kabar itu dan dari hati kecilnya sama sekali tak ingin percaya pada mereka semua yang ada disana.
"Kau fikir, aku akan menculik seorang siswa disekolah dan meminta izin pada gurunya? Itu konyol,"
Deggg!! Dunia gadis kecil itu terasa gelap seketika. Matanya meremang dan kakinya gemetaran. Ia ingin berdiri, tapi sayangnya terjatuh lagi dan lagi. Ia terus memperhatikan wajah mereka semua disana, tampak memang sangat serius dan tak sedang ingin mengajaknya bercanda.
"Engga, Om bohong. Om siapa sebenarnya, sok kenal sama ayah?" tangis gadis itu mulai membuncah mengisi ruangan yang cukup ramai disana, karena pria itu saja membawa beberapa kaki tangannya.
"Aku... Aku bosnya diperusahaan tempatnya bekerja," jujurnya dengan tatapan datar tanpa menundukkan kepala.
"Ayaaah!!! Ngga mungkin ayah meninggal. Engga!! Zha ngga mau ayah meninggal secepat ini." Penolaka demi penolakan dikatakan oleh gadis itu dengan air mata yang terus berderai. Beberapa sahabat ikut masuk, menenangkan dan bahkan beberapa kali memeluk zha dengan kasih sayang mereka semua.
Tangis zha pecah sejadi-jadinya. Ia masih saja tak terima dengan semua kabar yang ada dan datang padanya. Hingga pria itu membawa zha ke Rumah sakit dan melihat sendiri tubuh kaku ayahnya yang penuh luka.
Zha akhirnya diam. Ia bersimpuh disamping brankar sang ayah dan Kembali menangis disana. Ia terisak, air matanya begitu banyak keluar hingga menetes kelantai yang saat itu ia duduki. "Ayaaaah," panggil zha pada ayahnya. Berharap saat itu sang ayah masih bisa bangun dan memeluknya untuk yang terakhir kali.
Namun itu semua tak mungkin. Bahkan mereka sudah menutup mata ayahnya dengan kasa dan membuat surat keterangan kematian untuknya. Zha hanay bisa meratap, suaranya hilang setelah semalaman menangis disana hingga waktunya jenazah sang ayah dibawa pulang. Tapi karena rumah asli zha begitu kecil, mereka membawa mereka ke Gedung persemayaman., dan disana semua rekan datang untuk mengucapkan bela sungkawa mereka untuknya.
***
Suara Langkah terdengar. Pria itu datang lagi untuk menemui sahabatnya untuk yang terakhir kali. Zha segera berdiri, ia membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada pria yang Bernama Edo Lazuardo itu, karena saat ia pulang sebentar, ia melihat sebuah foto sang ayah bersama pria itu dengan begitu akrab bahkan berpelukan. Tak seperti seorang pegawai dan bos pada umumnya. Mereka justru tampak seperti seorang kakak dan adik karena begitu akrab dengan senyum mereka.
"Zhavira," panggil edo dengan suara baritonnya. Begitu dalam, tegas dan penuh karisma. Zha hanya tertunduk menjawab panggilan itu, dan begitu segan untuk membalasnya.
"Usai ayahmu dimakamkan, kau akan ikut kerumahku. Kau, tanggung jawabku sejak saat ini."
Zha tercengang mendengarnya. Kenapa dan bagaimana bisa sang ayah memberikan zha pada sahabatnya, padahal zha sebenarnya masih memiliki mama. Meski, sang mama sama sekali tak pernah tampak hanya sekedar untuk menjenguknya.
"Zha, nunggu mama, Om. Mendengar berita ini, pasti mama akan datang jemput zha."
"Kau yakin? Bahkan suaminya meninggal saja dia tak datang. Atau bahkan, ia sudah memiliki keluarga sendiri dan Bahagia saat ini. Ingat, dia bahkan meninggalkanmu sejak bayi," balas edo dengan cerutu diantara kedua tangannya. Ia bahkan begitu santai menghisapnya deadpan jenazah sang sahabat, tanpa rasa sungkan sama sekali bahkan pada zha yang terganggu dengan asapnya saat itu.
Ia terdengar tak perduli, bahkan ketika zha teerbatuk dan sesak akibat cerutu yang ia hisap di mulutnya. Yang bahkan ketika ia menghisapnya, rahang itu menegang memperlihatkan ketegasan dirinya bersama sisi dewasa yang ada.
Pria itu telah berusia 30 tahun dan masih lajang hingga saat ini, ia begitu selektif terhadap wanita yang mendekatinya. Ia seorang pengusaha yang memiliki bisnis property dimana-mana, dan ayah zha adalah salah seorang kaki tangannya.
Mereka memakamkan jenazah itu sesuai keinginan terakhir sang ayang yang ingin tubuhnya berbaur dengan tanah. Saat itu zha menyaksikan semuanya dari awal hingga akhir semua proses hingga sang ayah benar-benar tak Nampak lagi dihadapannya.
"Jangan menangis, zha. Ayah selalu bilang, jika kamu harus menjadi gadis yang kuat dan tak mudah goyah dalam kondisi apapun. Jangan menangis," ucap zha menguatkan dirinya sendiri.
Zha termenung sendirian dijendela kamarnya. Ia menatap langit didalam kegelapan malam, saat ia begitu sulit untuk menutup matanya. Ia tak bisa, ia jarang sekali tidur tanpa dekap hangat sang ayah meski usianya sudah beranjak remaja.
Zha tak benar-benar sendirian. Diluar sana ada Om ryang yang bertugas menemaninya malam ini, tapi ia tidur di sofa ruang tamu karena tak ada kamar lain disana. Mendiang sahabatnya tidur satu kamar dengan putrinya, karena ada dua ranjang disana. Tapi, ia tak mungkin melakukan hal yang sama.
Suara petir menggelegar, mengagetkan zha yang tengah melamun bersandar. Ia tersentak, apalagi ketika mendadak turun hujan dengan begitu derasnya saat itu juga. Ia gugup, ia segera meraih sebuah selimut tebal yang ada didekatnya saat itu dan membawanya keluar.
"Om! Om dimana?" panggil zha pada penjaganya malam ini. Karena merasa terlalu lama merespon, akhirnya zha nekat membuka pintu untuk keluar dari rumahnya saat itu juga.
"Zha!" pekik Om ryan yang saat itu juga baru keluar dari dapur.
"Zha mau kemana?" Om Ryan segera mengejar zha dan menggenggam lengannya. Hari hujan mendadak, dan zha seperti cemas hingga membuatnya tergesa-gesa untuk segera pergi dari rumahnya saat itu juga.
"Om, tolingin zha, Om. Tolong bawa zha ke makam ayah sekarang juga," mohon zha dengan rengekannya. Bahkan ia sudah akan berlutut jika om yan tak segera menuruti permintaannya.
"Kamu mau apa ke makam ayah? Ini hujan, zha."
"Iya, zha tahu ini hujan. Ayo om, anterin zha. Om, zha mohon." Zha terus merengek pada om yan saat itu. Hingga tak ada pilihan lain untuk om yan menuruti permintaanya.
Om yan segera meraih kunci mobil, dan menyetir menuju makam ayah zha yang cukup jauh dari rumahnya.
Mereka hanya berhenti digerbang. Saat itu zha segera keluar membawa selimut yang ia peluk bahkan sejak mereka belum berangkat tadi.
Tubuh mungil zha berlari sekuat tenaga dengan selimutnya, basah kuyup dan dingin pun tak ia rasa. Ia terus berlari, dan berlari hingga tiba di makam ayahnya.
"Ayah, maaf zha telat. Ayah dingin kah? Ini zha bawain selimut buat ayah. Zha juga mau disini. Zha peluk ayah ya, biar ngga kedinginan?"
Zha membentang selimut itu hingga menutupi makam ayahnya yang masih basah itu, lalu bersimpuh memeluk dan menepuk seolah ayahnya tengah ada didekatnya sekarang. Ia bahkan sesekali mengecup nisan yang bertuliskan nama sang ayah disana.
"Zha ngga mau ayah kedinginan. Pasti didalam sana dingin. Zha cari jaket kesayangan ayah, tapi ngga ketemu. Apa ayah bawa kerja?" tanya zha. Ia terus meracau. Mungkin saat itu tubuhnya mulai kedinginan dan menggigil tanpa ia sadari.
Tak berapa lama setelahnya om yan datang. Ia membawa payung dan memayungi zha disana meski ia sendiri kejujanan. Bukan tanpa alasan om yan lama mendatanginya. Melainkan om yan hanya ingin memberi ruang pada zha untuk meluapkan segala isi hatinya saat itu.
"Zha?"
"Om kalau mau pulang, pulang aja. Zha masih mau disini bareng ayah. Kasihan, ayah kedinginan kalau ngga dipeluk."
"Zha... Ayahmu sudah tak akan merasakan itu semua,"
"Engga! Zha tahu ayah dingin. Kalau kedinginan kakinya suka linu, saat itu dia minta pijetin sama zha. Sekarang, ayah ngga ada yang pijetin." Zha kembali menaruh kepala diatas pusara ayahnya..
Hari semakin deras, dan jujur saja Om yan sudah mulai menggigil kedinginan. Zha juga sudah begitu tenang, om yan melihatnya sudah tak bergerak lagi atau menangis seperti tadi.
" Zha?" panggil om yan dengan lembut. Tapi, saat itu tubuh zha begitu dingin rasanya. Ia mulai cemas, apalagi zha tampak begitu pucat di bibir dan sekujur kulitnya.
"Zha? Astaga, zha. Kamu kenapa seperti ini?"
Om yan semakin panik. Ia lantas meraih tubuh gadis itu dan membopongnya menuju mobil. Namun, seseorang ternyata sudah menunggunya diujung sana dengan sulutan cerutunya. Ia begitu tenang menatap zha dalam gendongan om yan, tapi kemudian turun mengambil tubuh zha dari sahabatnya itu.
"Maaf, aku biarkan dia keluar hujan begini. Aku_..."
"Kembali ketempatmu."
"Baik," angguk Om yan pada sang tuan.
Zha dibawa oleh om edo ke rumah mewahnya. Saat itu para asisten rumah tangga segera datang untuk menyambut gadis kecil itu dan membawanya kekamar.
Ya, kamar yang memang telah disiapkan untuk zha tentunya. Karena sesuai dengan mandat, bahwa pengasuhan Zha akan berada ditangan om edo sejak hari ini.
"Tuan, maaf..." ucap wika padanya. Yang saat itu wika akan membuka dan mengganti pakaian basah Zha dengan yang bersih agar rasa dingin itu hilang dari tubuhnya.
Om edo lantas keluar. Ia sendiri masih begitu canggung pada gadis belia itu, yang mendadak harus ia asuh sejak saat ini. Ia harus apa, bahkan baru kali ini bertemu denganya. Selama ini ayah zha hanya suka membanggakan putrinya yang cantil jelita, dan bahkan sering bercanda jika akan menjodohkan zha pada sahabatnya itu jika dalam usia 35tahun masih belum mendapatkan jodohnya.
"Apa-apaan?" Om edo berusaha membuang semua ingatan itu dari fikirannya.
Zha masih terlalu kecil jika disandingkan dengan dirinya. Atau bahkan justru akan terlihat seperti ayah yang tengah mengasuh putrinya. Apalagi Om edo entah kenapa belum memiliki hasrat sama sekali pada wanita, terutama untuk menjalin hubungan pernikan sejak ia dikhianati kekasihnya Lima tahun lalu.
"Jangan berfikir aneh-aneh. Dia saja masih anak-anak, dan aku bukan p3dofil."
Zha tertidur pulas dan sudah sedikit hangat ketika pakaiannya diganti, dan ruangan itu juga memiliki penghangat hingga tidurnya semakin nyaman saat ini meski masih beberapa kali sesegukan dan memanggil ayahnya. Tapi wika terus menunggu disana untuk memberi kontrol istimewa pada zha.
"Kenapa kau biarkan dia pergi menerobos hujan? Bagaimana jika dia sakit?"
"Maaf, aku hanya memberinya kesempatan untuk_..."
"Menangis lagi? Kau tak lihat saat pemakaman ia sempat berhenti menangis, Yan?" sergah om edo pada sahabatnya itu.
Om yan tertunduk lesu dengan apa yang sahabatnya katakan. Tapi, ia juga amat mengerti tentang perasaan zha yang masih belum bisa terima atas kepergian ayahnya.
" Dia harus belajar apa itu perpisahan,"
" Do... "
" Apa? Kau mau memanjakannya? Dia bahkan sudah cukup dewasa untuk tangisan manjanya." Om edo dengan amat santai mengucapkan itu semua, duduk dengan satu kaki diatas kaki lain dan segelas wine ditangannya.
Ia memang seperti itu. Begitu dingin bagai bongkahan salju yang sudah ratusan tahun mengeras yang bahkan panas matahari saja begitu sulit untuk melelehkannya.
"Ya, terserah kau saja."
Om yan lantas pergi dari hadapannya. Ia kembali ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh yanhg sudah luar biasa lelah itu. Sebuah kalung penuh kenangan ia genggam, sebagai tanda persahabatannya dengan ayah zha yang sudah terjalin puluhan tahun lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!