Hai hai kakak pembaca pecinta genre petualangan. Novel yang lama ditunggu akhirnya hadir juga. Jangan lupa kasih like, vote dan tap favorit ya ❤ Happy reading
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Cari tempat untuk beristirahat!" Gilang memberi komando pada pasukan yang mengawal rombongan.
Komandan pasukan melihat ke sekitar sepanjang perjalanan. Mencari tempat yang tepat untuk mengistirahatkan rombongan.
Hari itu rombongan kecil mereka berjalan sejak fajar menyingsing. Membawa putri Cristal ke tempat pernikahannya di Kerajaan Sihir.
Sebagai seorang sahabat, Gilang bersedia menerima tugas mengantarkan putri Angel mewakili Glenn yang sedang turun untuk menumpas kerusuhan yang diinisiasi oleh Bangsa Orc.
Komandan pasukan mendekati Gilang. "Tuan, di depan sana ada tempat yang cukup sejuk. Bagaimana kalau kita berhenti di sana saja?" tunjuknya ke hamparan rumput luas seratus meter di depan.
"Apakah itu masih termasuk wilayah kita?" Gilang harus waspada di saat-saat seperti sekarang. Karena Bangsa Orc makin sering menimbulkan kerusuhan di mana-mana.
"Ya. Tanah itu masih wiayah negara kita!" Komandan itu mengangguk dengan yakin.
"Baik, kita istirahat sebentar di sana. Jangan lupa beri makan kuda-kuda!" Gilang mengingatkan.
"Siap!" jawab komandan itu, sebelum pergi.
"Paman!" Seorang gadis cantik mengeluarkan kepala dari balik tirai kereta mewahnya.
Gilang dengan cepat mendekat, lalu menurunkan lagi tirai jendela kereta. "Jangan pernah membuka tirai di jalan!" tegurnya tegas.
"Bukankah tidak ada siapa-siapa di sini!" bantah gadis di dalam kereta.
Gilang menghela napas. Dia bisa tahu bahwa gadis cantik itu pasti sedang cemberut sekarang.
"Ingatlah ... Ini bukan istana. Banyak bahaya mengintai di jalan, terutama pada gadis cantik sepertimu!" tegas Gilang lagi. Gadis di dalam kereta tak menjawab.
"Ada apa memanggil paman?" tanya Gilang, kembali pada hal dia dipanggil tadi.
"Apa kita akan berhenti?" tanya gadis itu akhirnya.
"Ya. Kita semua perlu istirahat sebentar untuk memulihkan tenaga. Kuda-kuda juga butuh istirahat," jawab Gilang.
"Baklah. Aku juga ingin ke belakang nanti," timpal gadis itu cepat.
"Di dalam kereta saja. Aku akan panggil pelayanmu!" larang Gilang.
"Tidak! Keretaku bisa bau sepanjang perjalanan!" tolak gadis itu bersikeras.
"Cristal! Bisakah kau memahami ketegangan yang meningkat akhir-akhir ini? Kita harus berhati-hati dan menyembunyikanmu sebaik mungkin!" Gilang mencoba menjelaskan bahaya pada gadis manja itu.
"Huh! Seharusnya Paman Raja mengijinkan kita lewat teleportasi. Jadi tidak perlu melakukan perjalanan yang merepotkan ini!" keluhnya kesal.
"Kan sudah dijelaskan padamu bahwa jalur teleportasi itu dirusak oleh Bangsa Orc. Itu sebabnya semua pintu penghubungnya harus ditutup, agar mereka tidak bisa langsung masuk ke dalam istana!"
Gilang menggeleng lelah. Sudah berapa kali dia dan Angel menjelaskan hal itu tapi Cristal tak juga mau mengerti.
Di depan sana, komandan pasukan sudah memberi aba-aba untuk beristirahat dan membagi pasukan yang berjaga dan yang mengurus makan ternak.
Gilang menjaga kereta yang ditempati Cristal. Sementara dua kereta lagi, berisi pelayan dan barang-barang milik sang putri.
Dua pelayan wanita yang kepalanya mengenakan tudung, datang menghampiri. Gilang membuka sedikit kain tudung untuk memeriksa bahwa mereka benar pelayan istana. Setelah yakin, keduanya dibiarkan masuk ke kereta sang putri.
"Paman, aku mau buang air!" Cristal kembali meminta ijin turun.
"Lakukan di kereta belakang saja. Tidak boleh ke tempat lain!" tegas Gilang, tetap pada pendiriannya.
"Huh! Paman keterlaluan! Ini kan hal pribadi. Nanti semua pengawal itu membicarakanku!" protesnya lagi.
"Akan kupotong lidah mereka jika berani bicara yang bukan-bukan!" jawab Gilang dingin.
"Ah ... baiklah ... baiklah. Ayo, bantu aku ke belakang!" ujar gadis itu sewot.
"Jangan lupakan tudungmu!" tegur Gilang lagi saat gadis itu keluar tanpa penutup kepala.
"Paman cerewet sekali!" dengusnya kesal tapi tetap berbalik juga untuk mengambil tudung di kursi dan memakainya.
"Sudah, apakah puas?" katanya menunjukkan tudungnya pada Gilang.
Gilang tersenyum. "Kau tahu paman lakukan ini karena menyayangimu, kan." Gilang mengikuti dari belakang.
"Jangan membujukku. Aku sedang kesal!" putri cantik itu merajuk.
Gilang diam tapi senyuman tetap mengembang di wajahnya. Sang putri memang dekat dengannya sejak kecil. Gilang sudah sangat hafal tingkah laku gadis itu. Sering bersikap manja pada orang-orang yang dekat dengan keluarganya, termasuk Gilang.
Waktu istirahat satu jam sudah selesai. Semua merasa lega, karena sudah bisa melanjutkan perjalanan lagi. Meskipun tanah itu masih wilayah bangsa Elf, akan tetapi ancaman Orc tetap menghantui. Jadi, tak bisa berlama-lama berdiam diri di suatu tempat terbuka yang jauh dari pemukiman.
"Pukul berapa perkiraan kita tiba di perbatasan Negri Penyihir?" tanya Gilang pada komandan.
"Dengan kecepatan ini, kita akan melewati tanah tak bertuan sekitar petang hari. Jarak yang harus kita tempuh dari sana sampai negri Penyihir, antara satu hingga satu setengah jam," katanya.
"Berarti, saat matahari turun, kita mungkin masih akan berada di tanah tak bertuan?" Gilang memastikan.
Komandan itu mengangguk. Gilang bisa menangkap kegelisahan di matanya.
"Percepat laju kendaraan, agar kita bisa tiba di tanah itu lebih siang!" perintah Gilang.
Komandan terkejut. Dia tak menyangka jika Gilang akan memberikan perintah seperti itu.
"Tuan, kita membawa sang putri di kereta," katanya mengingatkan.
"Justru karena membawanya, maka kita harus bisa sampai di tempat yang aman sebelum gelap turun!" Gilang memberikan alasannya.
"Baiklah." Komandan itu kembali ke posisi depan untuk memberi aba-aba pada semua pasukannya.
"Kita akan berjalan sedikit lebih cepat. Sebab menebus waktu yang terpakai untuk istirahat. Semoga Tuan Putri tidak keberatan." Gilang memberi laporan secara resmi.
"Apa? Itu berarti---"
"Aaahhhh ...!" terdengar pekik tertahan saat kereta dipacu untuk berlari kecil.
"Paman Gilang! Ada apa ini? Jika alasanmu tidak tepat. Maka kau akan dihukum karena ini!" ancam sang putri yang terguncang di dalam kereta.
"Berpeganganlah pada sesuatu agar kau tidak jatuh!" saran Gilang. Kudanya terus berlari di samping kereta sang putri.
Satu jam berlari seperti itu, kuda-kuda mulai kelelahan. Padahal tidak dipacu kencang. Hanya sedikit lebih cepat dari biasa. Akhirnya, mau tak mau kecepatan kembali dikurangi, untuk memberi keringanan pada kuda yang kelelahan.
Setengah jam terlewat, Gilang meminta mereka kembali berlari kecil dan tidak berhenti hingga mencapai daerah perbatasan yang aman.
Rombongan itu kembali memacu kuda agar bisa segera melewati tanah tak bertuan.
Tanah tak bertuan adalah wilayah kosong tanpa pemilik yang posisinya berada tepat diantara kelima bangsa. Tempatnya yang ada di tengah-tengah, membuatnya jadi jalur penghubung yang disukai oleh dua negara yang tidak berbatasan langsung. Seperti halnya Negeri Bangsa Elf dan negeri Bangsa Penyihir yang dibatasi oleh negeri Para Peri.
Sebelumnya, ada portal penghubung ke dunia lain di situ. Tetapi karena terjadi perebutan oleh Bangsa Orc dan mengakibatkan perang besar bertahun-tahun, maka portal itu dihancurkan. Dan tanah itu menjadi tanah tak bertuan yang sangat berbahaya untuk dilewati. ¹)
"Kita memasuki Tanah Tak Bertuan! Tingkatkan kewaspadaan!" teriak komandan pasukan dengan keras.
Dada setiap orang berdegup kencang. Mereka berpacu dengan waktu, dan kuda dipacu lebih cepat lagi, agar segera melewati tempat itu.
"Hiya!" para prajurit itu menggebah kuda sambil tetap memasang kewaspadaan dan memperhatikan keadaan sekitarnya.
Langit senja kemerahan yang seharusnya membawa kesan romantis dan syahdu, justru seperti gulungan api yang menggentarkan nyali di tanah itu.
******
¹) Bisa dibaca di Novel PARA PENYINTAS
Satu jam berlalu. Kuda-kuda sudah mulai kelelahan karena dipacu sukup kencang. Bahkan Cristal yang berada di dalam kereta, berkali-kali protes. Namun, Gilang mengabaikannya. Dia lebih memilih keamanan sang putri, ketimbang kenyamanannya kali ini.
"Berapa lama lagi kita sampai perbatasan Negara Penyihir?" tanya Gilang pada komandan pasukan.
"Setengah jam lagi, kurang lebih. Tetapi, kuda-kuda sudah sangat lelah, karena dipacu lebih dari dua jam," katanya,
"Langit sudah menggelap. Tak ada waktu memikirkan para kuda. Kita harus sampai tepat waktu di sana, baru bisa istirahat!" tegas Gilang.
"Baik!" Komandan itu pergi memeriksa barisan belakang. Gilang tetap mengawasi ke depan.
Rombongan kecil itu harus melewati celah tebing tinggi, sebelum mencapai perbatasan negara Penyihir. Dan tebing itu mulai terlihat samar-samar dari balik bayang pepohonan lebat.
"Sebentar lagi kita sampai. Pertahankan kecepatan!" perintah Gilang.
Prajurit pengawal sudah merasa senang, saat melihat bayangan tebing di kejauhan. Memang sudah tak jauh lagi. Dan mereka akan aman.
Seperempat jam kemudian, rombongan itu berhasil mencapai perbatasan negara Penyihir, dengan tanah tak bertuan. Semua bersorak gembira. Seperti baru lolos dari lubang jarum
"Apa kita sudah sampai, Paman?" taya Cristal ingin tahu.
"Belum. KIta baru melewati perbatasan yang berbahaya. Sekarang lebih aman, karena kita sudah berada di tanah Bangsa Penyihir.
Rombongan itu masih berjalan perlahan hingga dua ratus meter dari perbatasan. Namun, tak ada satupun penjaga perbatasan yang terllihat.
"Tak ada satupun penjaga yang menyambut, di sini," kata Gilang heran. Padahal keluarga Glenn sudah mengirimkan pesan, bahwa Cristal akan datang hari ini.
"Apa kita perlu istirahat dulu, atau bagaimana?" tanya komandan pasukan pada Gilang.
"Di sini belum cukup aman, jika tak ada pasukan Bangsa Penyihir yang menunggu!" tolak Gilang.
Komandan mengangguk dan terus mengajak kudanya berjalan. Betul-betul hanya berjalan. Karena semua kuda sudah sangat kelelahan.
Brakk!
Kereta barang di belakang, tersungkur jatuh. Kudanya tergeletak dengan napas tersengal. Tak lama, dia mati. Gilang dan komandan pasukan sangat terkejut melihat kejadian itu.
Komandan memeriksa tubuh kuda. Dia harus meyakinkan hati bahwa sebelumnya kuda itu baik-baik saja.
Gilang membuka kereta belakang yang diisi oleh satu pelayan. Matanya melotot melihat keadaan di dalam.
"Hati-hati serangan!" teriak Gilang keras. Dia berlindung di balik kereta yang rubuh, untuk mengeluarkan pelayan yang sudah berlumuran darah. Lengan atasnya terkena panah kecil, hingga tak terlihat mata saat melintas.
"Lindungi kereta!" perintah komandan pasukan sambil memacu kudanya menuju kereta Cristal. Para prajurit pengawal itu berhamburan ke arah kereta yang sekarang terpaksa berhenti.
"Bawa sang Putri!" perintah Gilang pada komandan.
"Dia harus sampai di istana, malam ini!" kata Gilang penuh penekanan.
Putri Cristal dan dua pelayan turun dari kereta dan berlindung dari ancaman panah yang tak terlihat dalam keremangan senja.
"Tuan Puteri, Saya harus membawa Anda ke istana," kata komandan.
Cristal melihat keretanya dengan ngeri. Komandan seakan tahu apa yang tengah dipikirkannya, langsung mengabarkan. "Kita akan naik kuda saja. Itu jauh lebih cepat."
"barang-barangku di sini semua ...." ujar Cristal lirih. Dia merasa sayang dengan begitu banyak perhiasan, asesoris dan pakaian indah yang tertinggal di kereta, jika dia pergi naik kuda.
"Pergi bersama Paman Gilang?" tanyanya ragu.
"Tuan Gilang. Bertahan di sini. Kita harus segera ke istana dan meminta dikirimkan pasukan tambahan untuk menyelamatkan mereka semua!" jelas komandan itu lagi.
Tiga kuda dipilih, dan dua prajurit dibawa untuk menemani komandan menyelamatkan sang putri.
Sementara itu, serangan panah kembali meluncur. Karena para prajurit sudah mencari tempat berlindung, maka yang banyak kena adalah para kuda tunggangan mereka.
Pekik dan lenguhan kuda yang kesakitan, menambah kengerian di hati Cristal.
"Semua sudah siap!" Komandan memberi tanda pada Gilang.
Gilang mengangguk dan memberi kode pada pasukan yang tinggal, untuk membalas serangan, agar komandan dan Putri Cristal bisa punya kesempatan untuk menjauhi tempat penyergapan itu.
"Sesuai aba-abaku," ujar Gilang dengan kode. Komandan kembali mengangguk, dan bersiap.
"Satu, dua, Tiga!" Gilang berteriak keras. Semua prajurit yang bertahan, mengirimkan panah secara bergantian, ke arah asal mula senjata melesat mengenai mereka.
Di saat bersamaan, komandan pasukan dan dua prajurit lain, masing-masing membonceng seorang wanita bertudung di belakangnya, segera memacu kuda mereka. Memaksa binatang itu lari sekuat tenaga, untuk menjauh dari tempat kereta dan pasukan tertinggal.
Setelah serangan balasan tadi, Gilang tak mendengar reaksi apapun. Pasukan yang dibawanya bukan pasukan sembarangan. Mereka sangatlah terlatih. Jadi mustahil sekali jika mereka salah sasaran.
Gilang dan pasukan itu menunggu serangan balasan. Setelah cukup lama, tempat itu tetap sangat sunyi, tanpa ada satu pun panah meluncur.
"Sial!" Gilang bergegas berdiri. "Mereka mengecoh kita dan pasti sudah mencegat sang Putri serta komandan pasukan!"
Para prajurit itu terkejut mendengar kesimpulan tersebut. Mereka telah dibodohi. Dengan segera menaiki kuda yang ada dan mengejar Gilang seperti orang kesetanan.
Deru langkah kuda berderap di tanah kering. Debu-debu berhamburan. Tapi pasukan kecil itu tak peduli sama sekali. Mereka harus mengejar sang putri dan komandan pasukan yang bermaksud menyelamatkan diri.
"Dari kejauhan sudah terdengar denting pedang. Gilang mempercepat lari kudanya, nyaris seperti terbang. Di depan sana, tiga orang prajurit dikeroyok sekelompok Orc yang bertubuh tambun dan tinggi besar.
Pasukan itu langsung menyerbu ke dalam pertarungan dan membantu tiga orang mereka yang sudah sangat kepayahan.
Pertarungan itu mulai seimbang. Mereka bisa membat kedudukan yang sama. Saat ada kesempatan berdekatan dengan komandan, Gilang bertanya. "Di mana sang putri?"
Komandan itu jadi kebingungan. "Tadi di belakangku!" ujarnya heran.
"Sial!" umpat Gilang. Dia terus merangsek ke depan pria yang besar tubuhnya dua kali tubuh gilang sendiri. Namun, pria itu tak kenal takut.
Putri Cristal adalah tanggung jawabnya. Jadi dia harus bisa keluar dari kepungan dan mencari sang putri di sekitar.
Seperti bisa membaca pikirannya, Orc raksasa itu terus memepet Gilang, tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk bisa melepaskan diri dari ayunan pedangnya.
"Kau jangan menganggapku remeh! Kalau masih sayang nyawa, fokuslah pada pertarungan di depanmu!" ejek Orc itu memanaskan hati Gilang.
"Bangsa perusuh! Ini masih tanah Bangsa Penyihir! Mau apa kalian di sini!" teriak Gilang marah.
"Sepertinya kau tak mendapat kabar terbaru. "Istana penyihir sudah kami kuasai!" ujarnya terbahak.
"Omong kosong! Itu hanya ada dalam mimpimu!" Gilang melompat tinggi sembari mengayunkan pedang ke arah pundak Orc di depannya.
"Kalau sedang bertarung, fokuslah. Terlalu banyak omong kosong, bisa membuatmu bodoh!"
Gilang menumpu tanah, kemudian melentingkan badan dan menjejak tingan di dahan pohon, untuk kemudian kembali melompat seperti terbang, ke arah Orc. Pedang besarnya mengayun sepenuh tenaga.
"Aaaahhhh ...!" jerit ngeri melengking, terdengar. Gilang berputaran sambil memegang gagang pedang dengan kuat agar tak jatuh. Sebab, Orc di bawahnya berputar-putar tak tentu arah. Pedang Gilang menacap telak di tengkuknya.
********
Orc sial itu jatuh berdebum di tanah, tanpa nyawa. Tubuhnya menggelepar sebentar, sebelum berhenti untuk selamanya.
Gilang menarik pedangnya yang penuh dengan darah. Di sekelilingnya orang-orang sibuk bertarung. Matanya sibuk mencari-sari bayangan Cristal di antara kerumunan.
"Tolong! Tolong ...!"
Pendengarannya menangkap suara teriakan kecil seorang wanita. Dilompatinya beberapa Orc sambil menebas dan melukai mereka. Akhirnya dia sampai di luar arena pertarungan.
"Tidak! Jangaan!"
Gilang mencari asal suara itu. Dia menemukan seorang Orc sedang melecehkan salah satu pelayan istana di balik pohon besar. Gilang mengejarnya dengan marah dan langsung melemparkan pisaunya pada Orc yang masih sejauh dua puluh meter, untuk menggagalkan rencana bejatnya.
Pedang itu hanya melukai tangan si Orc yang mencoba menepis senjata yang terbang ke arahnya hingga terpelanting.
Orc itu memukul si pelayan hingga pingsan, lalu berbalik dan menghadapi Gilang dengan gusar.
Kedatangan Gilang mendapat sambutan hangat berupa pukulan gada besar yang diayunkan Orc bertubuh raksasa itu.
Dengan lincah dia melompat tinggi untuk mengelakkan pukulan. Lalu menjejak batang pohon, kemudian lanjut melentingkan tubuh ke belakang si Orc sambil menetakkan gagang pedangnya dengan keras di kepala lawan.
Gilang mendarat di sebelah pelayan wanita yang pingsan. Dia melihat sekitar, tapi tak menemukan Cristal.
"Kau mencari gadis cantik itu?" ejek si Orc yg dapat menebak gelagatnya.
"Kalian bawa ke mana dia!" teriak Gilang marah.
"Dia sudah jauh dari sini. Dibawa sebagai persembahan untuk yang mulia pemimpin kami!" katanya dengan bangga.
"Keterlaluan! Kalian tak pantas menyentuh kulitnya!" murka Gilang.
Kali ini, pedang tajamnya sudah dihunus ke depan. Raksasa di depannya harus dihajar, barulah gadis pelayan dan Cristal bisa diselamatkan.
Orc itu bersiap dengan gadanya menyambut serangan pria dari bangsa Elf di depannya.
Pertarungan sengit tak terelakkan. Serangan gencar Gilang berkali-kali ditepis Orc itu. Sepertinya dia adalah Orc yang terlatih. Mungkin menjadi pimpinan dalam kelompok yang mencegat rombongan kecil Gilang.
Setengah jam berlalu. Kelompok prajurit banyak yang gugur. Komandan pasukan sudah terdesak. Dia harus menghadapi dua Orc sekaligus. Di dekatnya, seorang prajurit terlihat sudah hampir tumbang. Namun, tetap meneguhkan diri berdiri saling membelakangi untuk menghadapi empat orc yang terus mendesak.
Tak lama Gilang masuk dalam arena. Membuat pertarungan jadi lebih seimbang, tiga lawan empat.
"Kau! Lihat pelayan wanita itu. Bawa dia pulang dan laporkan kejadian ini!" perintah Gilang pada komandan yang terlihat masih cukup kuat untuk berjalan.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya sambil terus bertarung.
"Biar kubereskan mereka!" jawab Gilang teguh.
"Baik!" jawab komandan itu. Dia mencari kesempatan untuk keluar dari arena pertarungan brutal itu.
"Jangan lewat tanah tak bertuan. Pergilah lewat tanah Bangsa Peri!" pesan Gilang.
"Ya!"
Komandan itu menebaskan pedangnya kearah wajah Orc di samping, sambil salto. Orc itu terlalu dekat, hingga tak bisa mengelakkan tebasan pedang yang dengan deras mengoyak wajahnya.
Raungan kerasnya, menghentikan tiga Orc lain. Mereka saling pandang. Kemudian merangsek makin ganas ke arah Gilang dan prajurit yang sudah tak berdaya di belakangnya.
Sang komandan melihat gadis pelayan yang dikatakan Gilang. Diangkatnya tubuh gadis itu ke atas kuda, lalu melompat naik dan menggebah kuda untuk pergi secepatnya. Tugasnya sekarang adalah pulang dan melaporkan kejadian penyergapan itu pada keluarga Pangeran Glenn.
Di arena pertarungan, praktis hanya Gilang seorang yang bertarung. Dia bahkan masih harus melindungi prajurit itu dari sambaran pedang Orc yang tak bermata.
Perlahan, tenaganya terkuras. Menghadapi satu Orc saja harus dengan tenaga besar. Apa lagi menghadapi tiga Orc sendirian. Prajurit yang ada bersamanya, sudah tumbang lima menit yang lalu.
"Kau yakin masih ingin melawan? Tinggal kau sendiri, dari puluhan orang yang datang," ejek salah satu Orc.
Di depan tiga Orc, Gilang memperkuat pijakan kakinya. Tangannya yang terasa basah keringat bercampur darah, menggenggam gagang pedang yang mulai licin, dengan kuat. Dia bahkan meremasnya, untuk mendapatkan sedikit kekuatan.
"Jika aku harus mati, maka aku akan mati dengan terhormat!" balas Gilang tanpa rasa takut.
"Aku bukan pengecut yang hanya berani melawan wanita!" ejek Gilang pedas.
"Kalian harusnya mengganti gada dan pedang itu dengan panci dan sendok masak!" tambahnya memanas-manasi.
"Tutup mulutmu!"teriak salah satu Orc dengan gusar.
"Lalu pulang dan memakai rok serta hiasan bunga di kepala dan layani tuanmu dengan manis!"
Gilang mengakhiri kecamannya dengan menusukkan pedang kearah Orc yang emosi dan menyerbu ke depan tanpa kewaspadaan.
Orc itu menggeram dan mengeluh seperti orang yang sedang tidur mengorok. Tusukan pedang Gilang tepat mengenai jantungnya.
Dengan wajah puas, Gilang menambah tusukan lebih dalam, sebelum menariknya lepas dan melompat menghindari serangan gada berduri yang akan menyambar kepalanya.
Orc sial tadi berdebum jatuh ke tanah dan membuat debu-debu naik ke udara.
Gelap malam yang hanya diterangi kelip bintang di langit, membuat pandangan Gilang sedikit terganggu. Yang menjadi patokannya hanya bayangan tubuh gelap para Orc saja.
Dengan insting kuat, dia dapat merasakan serangan cepat ke arah pinggang. Jadi dia melompat menjauh, kemudian hinggap dahan pohon.
Dapat dilihatnya dua Orc di bawah mencarinya ke mana-mana. Gilang ingin menuntaskan pertarungan itu untuk mengejar Cristal. Jadi dia segera melompat dan mengayunkan pedang ke leher salah satu Orc. Tindakannya berhasil. Orc itu melengking nyaring sambil menutupi luka menganga di leher yang membuat darah mengucur deras.
Teriakan itu membuat Orc yang satu lagi jadi mengetahui posisi lawannya. Saat Gilang hampir mendarat di tanah, gada berdurinya menyambut perut Gilang yang tak ayal lagi, membuatnya terpelanting jauh dengan perut terkoyak.
Brukk!
"Ugh ...." keluhnya saat punggungnya dihentikan oleh sebatang pohon besar. Gilang jatuh terduduk, antara sadar dan pingsan. Dia meraba perutnya yang sudah basah dengan darah. Mulutnya juga ikut mengeluarkan darah segar, yang membuatnya terbatuk-batuk dengan rasa asin dan bau amis yang khas.
"Angel, maafkan aku tak bisa menjaga putrimu dengan baik," gumamnya lirih.
"Tuhan, jika sampai waktuku, maka penjagaan Cristal kuserahkan padaMu!" lirihnya.
Matanya yang memburam, melihat Orc datang mendekat. Tangannya meraba-raba mencari pedang. Tapi dia tak tahu di mana pedangnya terlepas.
"Maafkan aku, Mama, Papa. Kuharap kalian bangga karena aku sudah menjadi orang yang berguna di sini." Matanya terpejam, menunggu ajal datang menjemput!
*
***
"Lepaskan aku!" teriak seorang gadis cantik dengan marah. Tangan dan kakinya terikat.
Tubuhnya terayun-ayun dalam posisi menelungkup di punggung kuda. Guncangan keras membuat perutnya mual dan sakit. Kepalanya pening. Dia bahkan sudah dua kali muntah dan muntahan itu kena hidung, mata, serta rambutnya yang berada dalam posisi terbalik.
Tak ada yang mempedulikan jeritan marahnya. Penunggang kuda itu menggebah kudanya untuk berlari lebih cepat lagi.
Ada dua kuda yang melintasi malam gelap di tengah hutan itu. Kedua orang itu masing-masing membawa satu wanita di kudanya. Yang satu sudah terdiam karena pingsan setelah mendapat pukulan. Yang seorang lagi, terus ribut dan minta diperlakukan dengan hormat.
**********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!