NovelToon NovelToon

Girl Who Are You?

Pahitnya Kehidupan

...Untuk yang sudah mampir di sini Othor ucapkan Terima kasih ya ☺, tapi Othor juga mau mengingatkan bahwa di larang "PROMOSI" di novel ini. Kalian bisa promosi di novel Othor yang sudah tamat, sekian dan Terima kasih ☺...

...----------------...

Seorang gadis berseragam SMA terlihat berjalan kaki menuju ke sekolahnya. Ia salah satu pelajar yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk masuk dalam sekolah bergengsi.

Delia Safitri, gadis berumur 18 tahun. Ia menginjak kelas 12, jurusan IPA.

Tak ada yang istimewa darinya, namun gadis itu terlihat menyejukkan mata bila memandangnya.

Dari cara ia bisa masuk dalam sekolah tersebut, bisa di pastikan jika ia berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Bagaikan sebuah mimpi ketika dulu pertama kali tau jika dirinya masuk sekolah tersebut, tentu ia tidak akan menyia-nyiakannya.

Apalagi sekolah itu memang sudah tersohor di kotanya.

*

*

"Kenapa nggak nunggu aku?" Adi yang baru sampai di kelas dan mendapati Delia duduk di bangkunya.

Dia adalah teman Delia sejak kecil, namun berbeda dengan Delia. Adi termasuk anak orang kaya, tidak seperti dirinya.

"Kamu nya kesiangan." Delia melirik sekilas ke arah Adi sebelum matanya fokus kembali pada buku yang ada pada tangannya.

"Cuma sedikit."

"Setiap hari, kamu telatnya juga sedikit."

Namun Adi hanya tertawa mendengar itu, dan Delia yang berdecak.

Adi memang menyuruh Delia untuk menunggunya ketika akan berangkat sekolah, agar mereka bisa berangkat bersama. Tetapi Adi selalu telat datang, dan membuat Delia lebih memilih untuk berjalan kaki.

Ia tidak mau sampai telat karena akan mempengaruhi salah satu nilai kedisiplinan nya, dan berdampak pada beasiswa yang ia dapatkan.

"Oke, oke... lain kali nggak akan telat." kata Adi.

"Nggak percaya!" Delia tanpa melihat ke arah sahabatnya. "Orang setiap hari kamu nya juga ngomong kayak gitu."

Lagi-lagi membuat Adi tertawa.

*

*

"Delia! Ayo kita beli bakso!" Adi yang selesai merapikan peralatan sekolahnya begitu jam pelajaran usai.

"Nggak."

"Kenapa?"

"Nggak ada alasan!"

Adi mendengus, selalu saja sahabatnya itu menolak ajakannya. Sebenarnya ia juga tidak lapar, hanya saja ia ingin melihat sahabatnya itu makan.

Karena ia tau jika Delia saat istirahat hanya memakan sepotong roti dan sebotol air mineral yang di bawa dari rumah.

"Aku yang traktir!" Adi terus saja membujuk.

Delia menghembuskan nafasnya pelan. "Aku nggak lapar, Di."

Dan Delia juga tau, jika sahabatnya itu kasihan terhadapnya. Kasihan melihat nasib nya yang tak sebaik teman-teman lainnya.

Delia bukannya tidak mampu membeli makanan, tetapi ia memilih untuk menabung demi masa depannya nanti. Meskipun ia bisa masuk kuliah dengan beasiswa, tapi ia juga memerlukan untuk biaya penunjang lainnya.

Apalagi tidak ada yang bisa membantunya.

"Udahlah, aku balik duluan." Kemudian ia meninggalkan Adi yang hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.

*

*

Sebelum sampai di tempat kerjanya, seperti biasa Delia mampir ke toilet yang ada di pom bensin untuk sekedar mengganti baju dan membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar.

Butuh waktu 10 menit untuk Delia sampai di tempat kerjanya dengan berjalan kaki, hingga ia sampai di depan sebuah bangunan bengkel mobil.

Delia menjadi satu-satunya montir wanita dan termuda yang bekerja di sana. Tapi keahliannya tidak bisa di ragukan, ia sudah seperti montir profesional.

"Udah pulang sekolah?" Ujang, salah satu montir di sana.

"Sudah, Kang." sahut Delia. Ia segera ke dalam untuk menaruh tasnya sebelum ia memulai pekerjaannya.

"Alhamdulillah, bengkel hari ini rame." Ujang memberitahu begitu melihat Delia kembali dan akan memulai pekerjaannya.

"Alhamdulillah." Delia juga mengamini. Ia memulai mengerjakan mobil yang berada di sebelah Ujang.

Bengkel siang menjelang sore itu memang terlihat ramai, terbukti dari jejeran mobil yang di tinggalkan oleh pemiliknya untuk di perbaiki.

Terkadang, mobil-mobil itu hanya butuh pengecekan rutin setiap bulannya.

Di bengkel, memang hanya Ujang yang terlihat akrab dengan Delia. Karena sebenarnya Delia gadis yang tidak banyak bicara, terkecuali jika seseorang itu benar-benar dekat dengannya.

"Kamu kenapa nggak bareng aja sama Adi, dari pada jalan kaki. Capek!" tanya Ujang sembari memperbaiki mobil.

"Nggak lah Kang, nggak enak sama Bapak." sahut Delia tetapi matanya tetap fokus pada mesin mobil yang ia otak atik.

Bapak yang di maksud Delia adalah sang pemilik bengkel, yang tak lain adalah ayah dari Adi sahabatnya. Ia sudah di berikan pekerjaan saja rasanya sudah lebih dari cukup, karena itu ia tidak mau menimbulkan berita-berita yang nantinya akan mengecewakan.

"Bapak orangnya baik." Ujang mengingatkan.

"Tau, tapi tetap saja Kang."

"Siapa tau kamu jodoh sama Adi."

Delia terkekeh mendengarnya.

"Lah... malah ketawa."

"Masih kecil Kang, jangan ngomongin jodoh."

"Jodoh tidak ada yang tau kapan datang nya," sahut Ujang.

Delia tersenyum samar. "Lalu kenapa Kang Ujang sendiri belum menikah?" Ia membalikkan pertanyaan untuk pemuda berusia 24 tahun itu.

Ujang yang tadinya tertawa kini langsung terdiam. "Belum ada jodohnya." jawabnya lirih.

Diam-diam Delia tertawa tanpa sepengetahuan Ujang, tentu saja agar tidak melukai hati pemuda itu.

*

*

Sembari melangkah berjalan pulang, sesekali Delia meregangkan punggungnya yang terasa kaku. Hari ini, di bengkel benar-benar ramai hingga malam. Terbukti ia yang pulang lebih dari jam biasanya.

Sayangnya ia tidak bisa langsung menikmati gaji dari pekerjaannya, karena ia akan menerima upah setiap di akhir bulan.

Dan untuk itu ia harus pintar-pintar mengatur keuangan.

Jalanan ibu kota malam ini ternyata masih ramai, meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Tangannya, meraih botol minum yang berada di tasnya. Tadi sebelum pulang ia mengisinya dengan air isi ulang, menjadi teman berjalannya hingga rumah.

"Ah..." Delia menghabiskan setengah isi di botol minumnya. "Air putih pun akan terasa enak jika meminumnya di saat benar-benar haus." gumamnya.

Di saat seperti inilah ia terkadang ingat dengan sosok mendiang Ayah dan Ibunya. Sosok yang begitu menyayanginya, namun harus pergi terlebih dahulu karena Tuhan lebih menyayangi mereka.

Terkadang Delia juga berpikir, kenapa ia tidak ikut dengan kedua orang tuanya saja. Dari pada ia harus merasakan pahitnya kehidupan, berjuang mencari uang untuk menyambung hidup.

Hingga ia merasa, apa Tuhan tidak menyayanginya? Hingga hanya kedua orang tuanya saja yang Tuhan ambil.

Tanpa terasa buliran bening mengalir begitu saja dari matanya.

"Astaga... kenapa selalu seperti ini!" Delia tersenyum getir dan cepat-cepat mengusap air matanya.

*

*

Ketika sudah di depan pintu rumahnya terdengar suara keributan dalam rumah, Delia menghembuskan nafasnya kasar.

Kejadian seperti ini menjadi hal lumrah di hidupnya, suara pertengkaran yang hampir setiap hari di dengarnya.

Namun apa daya, rumah inilah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.

Delia segera membuka pintu yang tak terkunci, dan kedua orang yang berada di dalam rumah itu segera menatapnya. Seorang pemuda berusia 22 tahun dan seorang wanita paru Bayah.

...----------------...

...Alhamdulillah, bisa kembali lagi nulis di sini. Dan kali ini dengan kisah Ariel ya, jangan lupa untuk dukungannya ya 🙏☺...

Keluarga

...Buat kalian yang baru mampir, biar nggak bingung siapa Ariel? Kalian bisa baca novel Othor "KAWIN GANTUNG DENGAN KETOS dan KU KEJAR CINTAMU"...

...----------------...

"Kamu masih ingat rumah?" Eva menatap tajam begitu putri tirinya itu memasuki rumah kecil mereka.

Eva adalah Ibu tiri Delia, yang di nikahi ayahnya setelah lima tahun ibunya meninggal. Dia seorang janda dengan satu anak yang bernama Dandi.

Awal pernikahan dengan ayahnya keadaan mereka masih baik-baik saja, bisa di bilang mereka seperti keluarga normal pada umumnya. Namun di saat Delia menginjak umur 13 tahun semuanya berubah.

"Tadi di bengkel ada banyak mobil yang masuk," Delia menjawab sembari berjalan ke arah kamarnya.

"Kamu nggak usah bohongi Ibu, tadi Kakak kamu bilang bengkel tutup seperti biasanya."

Ucapan Eva membuat langkah Delia berhenti di ambang pintu kamarnya.

Ia menoleh ke arah Dandi yang tersenyum miring, ternyata lagi-lagi Kakaknya itu membuat ulah.

Tidak jarang Dandi mengadu pada Eva yang tidak-tidak tentang dirinya, dan itu membuat Eva semakin membencinya.

"Dan Ibu percaya?" Delia memandang Eva sekilas, kemudian masuk dalam kamarnya.

Ia melemparkan tas nya ke lantai, lalu ia merebahkan tubuhnya pada kasur lantai yang sudah tidak empuk lagi keadaanya.

Delia mencoba memejamkan mata, meski rasanya sulit. Karena selain perutnya yang terasa lapar, dari luar kamarnya juga terdengar Eva yang sedang mengomel.

Sebenarnya tidak jarang Dandi juga terkena amukan dari Eva, itu semua di sebabkan oleh Dandi yang tidak mau bekerja.

Pemuda itu hanya tau makan, tidur dan meminta uang saja.

Sehingga tidak sering uang yang di berikan Delia untuk Eva tidak cukup untuk biaya makan mereka bertiga.

Tapi bagaimanapun Dandi adalah anak kandung Eva, jadi meskipun Eva sedang marah dengan putranya itu hanya sementara. Sedangkan dirinya?

*

*

Keadaan sudah larut malam, dan keadaan benar-benar sepi. Sepertinya semua orang sudah terlelap dalam mimpi indah mereka.

Delia membawa baju ganti yang ia ambil dari lemarinya, ia akan membersihkan diri. Tidak peduli dinginnya air di malam hari, yang penting tubuhnya tidak lengket dengan keringat.

Tidak butuh waktu lama, ia sudah selesai dengan ritual mandinya. Dan sekarang waktunya ia mengisi perutnya yang sedari tadi terus berbunyi.

Penutup saji ia buka, dan terlihat di sana ada sedikit nasi yang sudah sedikit mengering juga dua potong tempe goreng.

Tidak ada alasan untuk Delia tidak memakannya, bukankah ini juga sering ia alami! Jadi rasanya sudah tidak heran lagi. Asalkan masih bisa ia telan dan mengenyangkan perutnya kenapa tidak.

Tersiksa?

Tentu saja ia pernah merasakan itu, karena bukan sehari dua hari ia rasakan. Namun sudah bertahun-tahun ia rasakan dalam keadaan seperti ini.

"Akhirnya bisa tidur." Delia menaruh piring bekas makannya yang sudah ia cuci.

"Mudah-mudahan hari esok akan lebih baik dari pada hari ini." Harapan sederhana yang selalu Delia ucapkan sebelum tidur.

Hingga kemudian ia mulai memejamkan mata, untuk memulai mengarungi mimpi yang mungkin lebih indah dari pada kehidupan nyata.

*

*

Matahari sudah begitu terik, namun seorang laki-laki masih tertidur dengan pulas nya.

Matanya seakan enggan untuk terbuka, setelah ia menikmati kesenangannya semalam.

Suara dering ponselnya berbunyi nyaring di kamar hotel itu, dan sang pemilik mulai terganggu.

"Astaga... siapa yang pagi-pagi begini berani menggangguku?" Tapi tangannya tak urung juga menggapai ponselnya yang berada di atas nakas.

Matanya membola begitu mengetahui siapa yang menghubunginya, panggilan video dari nomor telepon Raka. Yang kemungkinan besar adalah si pengganggu kecil.

"Om Ariel.... " Suara anak kecil terdengar nyaring begitu Ariel mengangkatnya, wajah cantik segera mendominasi di layar ponselnya.

"Ya ampun... kenapa dia mirip sekali dengan ibunya!" Ariel menggumam kesal. "Apa kamu tidak sekolah? Pagi-pagi sudah menganggu orang tidur!"

"Ini sudah siang, Om. Sekolah Alma hari ini sedang libur, gurunya ada rapat katanya." Celoteh gadis kecil berusia lima tahun itu dari seberang sana.

Ariel menoleh ke arah jendela kamar hotelnya dan sinar matahari memang sudah terang benderang.

Mata bulat Alma mengerjab beberapa kali, ia baru menyadari sesuatu. "Om Ariel tidak pakai baju?" katanya kemudian.

Dan setelah itu wajah Alma tergantikan oleh wajah Raka yang langsung mengambil ponsel dari putrinya. "Kau jangan meracuni penglihatan putriku!"

Ariel mendengus. "Nanti Alma kalau sudah besar juga akan melihatnya." Membuat Raka menatapnya tajam.

"Papa... kenapa?" Alma heran melihat Raka.

Jelas saja ekspresi Raka seketika berubah, ia tersenyum dan mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Tidak apa-apa." katanya. "Om Ariel sebentar lagi mau bekerja," ia memberikan pengertian.

"Ok," sahut Alma. "Oh ya, Om Ariel masih di Bandung? Nanti kalau pulang Alma mau oleh-oleh."

Ariel mendengar percakapan anak dan ayah itu memutar bola matanya malas. "Aku sudah dengar!" Begitu ia melihat Raka ingin mengatakan sesuatu.

"Ya sudah." Setelah itu Raka memutus panggilannya.

"Dasar!" Ariel tidak percaya, jika sahabatnya itu ternyata masih saja datar. Dia akan berubah ramah jika dengan anak dan istrinya saja, ah... dan juga pada pasiennya.

"Kenapa pengganggu kecil itu tau saja jika aku sedang di luar kota! Kenapa kebiasaannya mulai dari dalam perut ibunya sampai sekarang tidak bisa hilang."

Ariel terus menggerutu.

*

*

Malam sudah tiba, setelah menyelesaikan pekerjaan terakhirnya di Bandung Ariel menuju club malam seperti kemarin.

Selain dia terkenal sebagai pemimpin perusahaan yang hebat, ia juga terkenal sebagai sang Casanova. Penakluk para wanita.

Bahkan ia tidak perlu susah payah untuk mengejar seorang wanita, karena para wanita itu sendiri yang akan datang padanya.

"Pak!" Arga sang asisten memanggil begitu Ariel akan memasuki club.

Ariel menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Arga.

"Lebih baik Bapak menjauhi wanita semalam, karena dia milik penguasa daerah ini." Pria berusia 25tahun itu mengingatkan. Sebagai sang asisten tentu ia harus tau seluk beluk siapa saja yang dekat dengan bos nya.

Tapi Ariel hanya tersenyum tipis. "Kembalilah dulu ke Jakarta, dan jangan lupa bawa hadiah untuk pengganggu kecil itu. Besok pagi aku baru kembali." Ia lalu berjalan masuk.

"Kenapa jika di luar jam kantor dia keras kepala sekali." Arga kemudian pergi dari sana.

Di dalam club Ariel mulai menikmati kesenangannya, di ruang VIP yang sudah di temani beberapa botol minuman keras juga tak lupa beberapa wanita cantik.

Klek.

Pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok wanita cantik dengan gaun kurang bahan. "Maaf sayang, aku terlambat." Wanita yang di maksud Arga itu datang.

Ia segera menghampiri Ariel, lalu duduk di pangkuannya. "Tadi aku ada urusan sebentar." katanya manja, ia bahkan mulai menggoda.

"It's ok," Ariel sendiri tidak mempermasalahkan nya. Karena baginya para wanita yang pernah ia tiduri hanya untuk kesenangan sesaat, apalagi ia juga tidak pernah memaksanya. Ia melakukannya atas dasar suka sama suka.

Sedangkan sang wanita ingin menggoda Ariel karena ia tau jika dia adalah pengusaha sukses, apalagi Ariel orang bebas yang kemanapun ia pergi tanpa ada pengawal yang menjaganya. Jadi mungkin ia bisa memikatnya tanpa tau siapa dirinya, apalagi Ariel tentunya lebih tampan dari kekasihnya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, terlihat Ariel dan wanita itu sudah di pengaruhi oleh minuman keras.

"Lebih baik kita ke atas," ajak sang wanita. Ia akan memulai malam panas mereka.

"Apa kamu sudah tidak sabar?" Ariel kemudian berdiri, dan beranjak dari sana. Setelah memberikan beberapa lembar uang pada wanita yang tadi menemaninya lebih dahulu.

Saat berjalan menuju kamar yang ada di club, beberapa orang tiba-tiba menghadangnya.

"Berani sekali kau!" geram salah satu dari mereka.

Wanita yang bersama Ariel, seketika menajamkan pandangannya. Disaat ia mengenali suara itu. Dan matanya segera membulat, saat apa yang di khawatirkan itu benar. Yaitu kekasihnya yang sekarang sedang menatapnya tajam.

"Kalian siapa?" Ariel merasa tidak mengenali mereka, namun ia merasakan jika tubuh wanita yang ia rangkul tiba-tiba gemetaran. Ia melihat wajah cantik itu sekarang memucat.

"Ah... apa kau kekasihnya?" Ariel teringat ucapan Arga.

Wanita itupun langsung menoleh ke arah Ariel. "Kamu tau?" ia tidak menyangka.

Ariel hanya tersenyum tipis.

Dan di detik berikutnya perkelahian pun terjadi, Ariel yang sendirian berusaha keras untuk mengalahkan mereka semua. Tetapi, ia sudah menumbangkan beberapa tapi selalu datang lagi yang lainnya.

"Si"l, kalian beraninya keroyokan." Ariel mulai kewalahan, apalagi efek alkohol yang semakin lama membuat pandangannya mengabur. Dan ia juga mulai terkena pukulan beberapa kali.

Akhirnya ia memilih untuk lari keluar dari club, di rasa tenaganya sudah tidak sanggup lagi.

Di jalanan yang memang sudah sepi, Ariel sesekali menoleh ke arah belakang. Rupanya beberapa orang masih mengejarnya.

Karena ia tidak fokus pada jalanan, dirinya hampir saja tertabrak mobil yang melintas. Untung sang pengemudi dengan cepat menginjak pedal rem nya.

Kesempatan itu di gunakan Ariel untuk meminta tolong kepada sang pengemudi. "Hei... tolong aku!" Ia menggedor kaca mobil itu.

Sedangkan pemilik mobil masih belum mengerti dengan situasi yang di alami Ariel.

"Hei... bantu aku, aku sedang di kejar preman." ucap Ariel lagi.

Hingga kemudian pintu mobil itu terbuka, dan Ariel segera masuk. "Terima kasih," katanya. "Lebih baik kita pergi sekarang."

Tapi sebelum mobil itu melaju, orang-orang yang mengejarnya sudah menghadang mobil itu.

Terlihat salah satu dari mereka mengambil sebongkah batu dan siap di lemparkan ke arah mobil karena Ariel tak kunjung turun.

Benar saja, kaca mobil itu seketika retak parah setelah di hantam oleh batu.

Si pemilik mobil menghembuskan nafasnya kasar.

"Hei... kamu mau kemana?" Ariel melihat pemilik mobil bersiap keluar.

"Keluar!"

"Kamu tidak akan bisa menghadapinya, mereka banyak. Dan kamu sendiri." Ariel mencegah. "Perempuan juga," imbuhnya.

Meskipun Ariel tidak bisa melihat wajahnya karena memakai masker, tapi karena ia ahli dalam urusan wanita. Tentu ia akan mengetahui hanya dari melihat gestur tubuhnya.

Ariel langsung mendapat tatapan tajam darinya, tapi ia tetap turun karena kesal kaca mobilnya telah remuk oleh preman itu.

...----------------...

...Bang Ariel ada-ada aja kelakuannya, nggak bisa lihat yang bening-bening 😁....

...Seperti biasanya, jangan lupa dukungannya 🙏🥰...

Balapan

Suara klakson mobil mengagetkan Delia yang sedang berjalan, ia menoleh dan mengetahui jika mobil itu adalah milik Adi.

"Ayo masuk, aku nggak telat kan!" Begitu Adi menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Ck." Delia berdecak. "Nggak telat, tapi aku jalan kaki sudah mau nyampek sekolah."

Karena kurang beberapa meter lagi sudah memasuki wilayah sekolah mereka.

Adi tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.

"Ya udah sana!" Delia melanjutkan langkahnya.

"Beneran nggak mau bareng?" Adi melajukan mobilnya perlahan.

"Iya."

"Nggak nyesel?"

Delia berhenti dan menatap tajam ke arah Adi, hingga membuat sahabatnya itu tertawa kemudian benar-benar pergi dari sana.

*

*

"Nih... " Adi meletakkan sekantong kresek makanan pada meja Delia, ada beberapa roti juga kemasan minuman dingin. Ia lalu duduk di kursi depan meja sahabatnya.

Delia meletakkan buku yang tadi ia baca. Ia menatap heran kepada sahabatnya.

"Aku males istirahat di kantin." Adi mulai memakan sebungkus roti. "Kamu juga sekalian makan."

"Temen kamu kan banyak yang lainnya, lagi pula aku juga udah makan."

"Ya makan lagi aja, aku tadi beli banyak."

"Udah kenyang, Di."

"Ya udah kalau gitu kamu simpen aja." Setelah mengambil satu minuman kemasan, Adi menyodorkan sisanya kepada Delia.

Delia menghembuskan nafasnya pelan.

"Oh ya, belum ada balapan lagi?" Delia bertanya.

Adi menatap wajah sahabatnya. "Kamu perlu uang?"

"Sedikit."

"Untuk apa? Kamu perlu berapa? Aku ada?"

Bukanya menjawab, justru Adi memberikan rentetan pertanyaan.

"Di... ada balapan atau nggak?" Delia mendengus. "Aku perlu buat beli buku tambahan." Sebenarnya ia bisa saja mengambil dari buku tabungannya, tapi jika ia ada balapan kan lumayan jika ia bisa memenangkan maka tak harus berkurang tabungannya.

Karena selama dua tahun ini Delia mulai menggeluti balap mobil, meskipun itu hanya balap liar. Tapi uang yang di dapatkan dari kemenangan lumayan untuk menambah saldo tabungannya.

Selama ia mampu bekerja, maka ia akan mengambil kesempatan itu.

Adi menghela nafasnya, ia lalu mengotak atik ponselnya untuk mencari tau ifo balapan. "Hari ini kamu libur kerja?"

"Hm..."

"Ini ada, nanti malam." Setelah Adi mendapatkan informasi dari sosial medianya. "Tapi di Bandung."

"Ok, nanti kamu kirim aja alamatnya."

"Tapi aku nggak bisa anter, sudah terlanjur ada janji sama Ayah mau ke rumah Nenek." Biasanya ia yang selalu menemani Delia bertanding.

"Nggak apa-apa, aku berangkat sendiri."

"De... kenapa sih nggak mau nerima tawaran aku aja, dari pada kamu jauh-jauh ke Bandung."

"Nggak apa-apa Di, anggap aja aku sekalian healing mumpung libur kerja."

"Healing kepalamu, ini tuh balapan. Bukan bersantai di pantai."

Tapi Delia justru tertawa mendengar sahabatnya yang mulai over protective terhadapnya.

"Nggak usah ketawa, kamu tambah jelek."

"Lagian... siapa juga yang bilang aku cantik." ujar Delia. "Ya udah nanti aku berangkatnya pulang sekolah aja langsung."

"Terus orang rumah gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana."

"Ha..." Adi tak habis pikir dengan sahabatnya satu itu. Padahal dari parasnya, Delia terlihat perempuan yang cantik dan anggun meskipun rambutnya hanya di gelung dan di tusuk yang lebih mirip seperti sumpit menurutnya.

Bahkan ia mengambil pekerjaan yang kebanyakan perempuan tidak mau. Montir, yang setiap harinya bertemu dengan oli juga bensin.

Selain balapan juga ada satu pekerjaan lagi yang penuh resiko, tapi bukanlah Delia jika ia tak mengambil kesempatan itu.

*

*

"Udah beres!" Adi melihat Delia selesai mengecek keadaan mobil yang nantinya akan di pakai balapan.

Mobil itu sebenarnya milik Adi hanya saja tidak pernah di pakai dan hanya tersimpan di sudut bengkel. Dari bodi mobil memang seperti pengeluaran tahun lama, tapi mesin sudah Delia dan Adi rombak hingga bisa membuat Delia menang di setiap balapan.

"Udah, semuanya masih ok."

"Kamu beneran nggak mau berubah pikiran?" Adi masih berat membiarkan sahabatnya itu pergi sendiri.

"Nggak, do'ain aja kali ini aku menang."

"Itu pasti." sahut Adi. "Ingat, meskipun nggak menang yang penting selamat."

"Hm..." Delia tersenyum. "Ya udah aku berangkat sekarang biar nggak kemalaman."

Mobil yang di gunakan Delia akhirnya perlahan melaju dan meninggalkan bengkel.

*

*

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, kawasan yang biasanya di jadikan ajang balap kaum muda mudi itu terlihat ramai.

Tiga mobil sudah berjejer di garis start, dengan suara mesin yang meraung raung memekakkan telinga. Beberapa saat lalu mereka sudah melakukan pemanasan untuk mengetahui jalanan yang akan menjadi lintasan mereka.

Dan Delia menjadi peserta perempuan satu satunya.

Di dalam mobil, Delia sejenak memejamkan mata. "Ayah, Ibu... tolong doakan Delia kali ini." ucapnya dalam hati. Ia lalu memeriksa saku celana jinsnya jika ia tidak pernah lupa membawa barang yang selalu ia bawa. Sebuah cutter kecil, untuk berjaga jaga jika ada sesuatu. Meskipun hanya cutter kecil, tapi mempunyai ketajaman yang luar biasa. Delia bahkan harus sedikit menguras sedikit tabungannya ketika membelinya.

Mobil Delia berada di tengah, di apit oleh kedua mobil yang pengemudinya adalah laki-laki.

Keduanya tampak meremehkan Delia, apalagi penampilan Delia yang mengenakan celana jins dan hanya mengenakan hoodie. Kaca mata bulat menyamarkan mata indahnya, dan masker yang menutupi bibir semerah Chery. Tidak lupa rambut indahnya yang panjang tergulung sedikit berantakan, meninggalkan beberapa helai terjuntai. Hingga mereka berpikir, Delia hanya gadis kuper yang hanya ingin coba-coba ikut balapan.

Delia sama sekali tidak memperdulikan lawannya, ia menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.

Di detik berikutnya, tiga mobil itu melesat kencang secara bersamaan begitu wanita cantik pemberi aba-aba selesai dalam hitungannya.

Tiga mobil melesat dengan kecepatan tinggi, berusaha saling mendahului untuk menjadi sang pemenang.

Delia berusaha tetap tenang dan pandangannya fokus ke depan, ia sesekali melirik ke arah spion. Di mana ada satu mobil berada di belakangnya, dan ia berada di urutan nomer dua.

Kecepatan mobil Delia sama sekali tidak turun, bahkan ia justru semakin menambah kecepatan.

Sudah beberapa kilometer mereka lalui, tapi posisi mereka masih sama.

"Delia kamu pasti bisa!" Delia menyemangati dan meyakinkan dirinya sendiri.

Dua mobil akhirnya melesat terdepan, memberikan jarak yang cukup jauh dengan mobil ke tiga.

Terlihat tikungan di depan setelah itu mereka mencapai finish, ini kesempatan Delia untuk menyalip mobil di depannya.

Dan, ketika di tikungan Delia menggunakan tehnik drifting setelah memperkirakan jarak mobilnya aman dengan mobil di depannya. Ia melakukan itu agar tidak perlu mengurangi kecepatan mobilnya.

Terlihat sedikit asap keluar dari ban mobil Delia yang bergesekan dengan aspal, di detik berikutnya ia berhasil mendahului mobil di depannya kemudian melesat jauh.

Suara teriakan bergemuruh ketika mobil Delia menjadi yang pertama menginjak garis finish.

*

*

Delia segera pergi setelah mendapat hadiahnya, ia senang ternyata peserta yang lainnya sportif dalam pertandingan. Yang paling penting mereka mau menerima kekalahan.

Ia memutuskan untuk mencari makan sebelum kambali perjalanan pulang, setidaknya ia malam ini bisa makan enak dengan uang yang baru saja ia dapatkan.

Mungkin nasi pecel dengan lauk ikan sudah menjadi makanan mewah bagi Delia, karena jika di rumah tentu ia tidak akan mendapatkannya.

Bukannya Eva tidak pernah memasak lauk enak, namun jika ada tentu Dandi yang akan mendapatkannya. Sedangkan Delia akan mendapatkan tahu dan tempe.

Di persimpangan jalan, Delia tiba-tiba saja menginjak rem mobilnya. Seorang laki-laki hampir saja tertabrak olehnya.

Laki-laki itu kemudian menggedor-gedor kaca mobilnya untuk di bukaka, tapi ia masih belum faham apa yang sebenarnya terjadi.

Ia melihat laki-laki itu dengan pakaian berantakan dan beberapa lebam di wajahnya.

Delia menoleh ke arah laki-laki itu menunjuk, ternyata ada beberapa orang yang kemungkinan mengejarnya. Ia memutuskan untuk menolongnya dengan membuka pintu mobilnya.

"Terima kasih," ucapnya setelah masuk ke dalam mobil. "Lebih baik kita pergi sekarang."

Delia bersiap untuk menginjak pedal gas mobilnya, ia sendiri sedang tidak ingin berkelahi.

Tetapi ada beberapa orang tadi yang mengejar laki-laki yang di tolong nya sudah menghadang mobilnya.

Prangg

Terlihat kaca mobil Delia yang retak parah setelah di hantam batu oleh mereka.

Delia menghembuskan nafasnya kasar, jika sudah begini rasanya ia harus memberi mereka sedikit perhitungan.

*

*

"Ternyata perempuan!" salah satu dari mereka setelah melihat Delia keluar mobil. "Apa kamu ingin bersenang-senang dengan kami?" Mereka tertawa.

Pandangan mereka seolah menelan*angi Delia.

Tidak banyak bicara Delia memberikan bogem mentah kepada salah satu mereka, dan perkelahian pun terjadi.

Empat pria yang tadi menghadang satu persatu mulai tumbang.

Delia mulai mengeluarkan cutter nya, ia hanya menggoreskan ke bagian yang tidak fatal agar mereka teralihkan saja hingga ia bisa memegang kendali dan memberikan pukulan kembali.

"Ha...!" Nafas Delia tampak begitu memburu. Perkelahian yang baru saja terjadi cukup menguras tenaganya.

Baru saja ia akan kembali ke mobilnya, ternyata datang beberapa orang lagi. Dan terlihat ada yang membawa mobil juga.

"Astaga!" Ia tidak habis pikir, orang macam apa yang di tolong ya malam ini. Kenapa banyak sekali musuhnya, ia langsung masuk ke dalam mobilnya. "Pasang sabuk pengaman!" ujar Delia kepada laki-laki yang di tolong ya, dan laki-laki itu hanya bisa terdiam.

Ia langsung tancap gas, untuk pergi dari sana. Mobilnya melesat begitu saja.

Delia seakan bersahabat dengan jalanan yang di lalui, jalanan yang memiliki tikungan tajam ia lalui dengan mulus. Ia bahkan begitu tenang mengendarai mobilnya, matanya sesekali melirik ke arah kaca spion.

Rupanya mobil yang tadi mengejarnya sudah tidak terlihat.

Setelah di rasa aman Delia menoleh ke arah laki-laki di sampingnya. "Mau di antar kemana?"

Namun laki-laki itu hanya diam saja.

Delia berdecak melihatnya, ia tahu apa yang di rasakan laki-laki yang di tolong ya. Wajah pucat, tangan memegang perut dan pilih sedikit mengembung.

Ia menepikan mobilnya, laki-laki itu segerah keluar dan...

Huek

Huek

...----------------...

...Astagah... Udah di tolongin, nyusain lagi 🤦‍♀️...

...Ok guys, seperti biasa jangan lupa dukungannya 🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!