"Mikayla, sebaiknya kau jangan datang ke perjamuan Istana malam ini."
Mikayla dengan senyuman manisnya menatap ke arah Rosella, adik keduanya tanpa curiga. Gadis bersurai perak itu sedang sibuk memetik bunga di taman belakang kastil Stanley. Padahal cuaca terlihat enggan mendukung, terlihat awan hitam yang tebal menggantung di atas langit sudah bersiap untuk menumpahkan airnya ke muka bumi.
"Ada apa, Adik kedua? Apa akan ada masalah di istana?" tanya Mikayla dengan polosnya.
"Jangan panggil aku adikmu!" Rosella berdecih. "Jangan pura-pura tidak tahu!"
Mikayla mengernyit bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Rosella menghempaskan keranjang bunga milik Mikayla dengan keras ke atas tanah. Wajahnya selalu menunjukkan ekspresi yang sama, Rosella selalu marah bila berhadapan dengan kakaknya.
"Ah, maafkan aku yang lupa kalau kau itu bodoh. Begini saja," Rosella memelankan suaranya supaya pelayan pribadi Mikayla tak mendengar pembicaraan mereka. "Mau tau jawabannya?"
Mikayla mengangguk senang, tanpa mengetahui maksud dari Rosella.
"Pangeran Danial membencimu."
_______
Setelah ucapan Rosella pagi tadi, Mikayla selalu murung. Banyak pertanyaan yang melintas di otaknya yang baru mengerti. Apa selama ini Pangeran Danial terpaksa saat bersamanya? Ah, lagi-lagi Mikayla sulit mengerti.
"Bagaimana ini, Bibi Alie. Apa benar putra mahkota membenciku?"
Pengasuh Mikayla sejak kecil itu pun tersenyum tipis. Di umurnya yang tua, ia masih sanggup melayani Mikayla yang sudah ia anggap seperti putri sendiri. Mikayla sangat membutuhkan kasih sayang dengan orangtuanya, namun Duke dan Duchess Stanley tak menyukai Mikayla sejak gadis ini berusia dua tahun, saat semua kekurangannya satu-persatu mulai tampak.
Dan untuk Pangeran Mahkota ... Alie rasa pria itu sama saja seperti Duke Stanley yang membenci Mikayla hanya karena kepolosan Mikayla yang diartikan sebagai kebodohan oleh para bangsawan tingkat tinggi.
"Aku rasa kau harus membuktikannya sendiri, Lady Mikayla. Datanglah ke perjamuan malam ini sama seperti sebelumnya. Ingat, bila Pangeran Danial sering mengacuhkan mu, itu artinya dia membencimu."
"Oh, jadi itu tanda-tanda orang membenci kita!" seru Mikayla dengan berbinar. "Baik, aku akan berangkat malam ini. Siapkan semuanya, Bibi Alie!"
"Baik, nona."
__________
Mikayla sudah sampai di depan gerbang besar istana dengan gaunnya yang mewah berwarna merah muda dengan aksen keperakan yang sama seperti surainya. Beberapa bangsawan berdecak kagum saat Mikayla melintas di dekat mereka. Aroma tubuhnya yang khas gula-gula semakin digilai pria bangsawan.
"Lady Mikayla Stanley akan memasuki ruangan!"
Semakin banyak yang menoleh. Namun anehnya, putra mahkota yang duduk tepat di hadapannya tam menoleh sama sekali.
A
pa jangan-jangan....
"Lady Mikayla, senang bertemu dengan Anda," sapa putri pertama Marquis Torand, Lady Amora Torand dengan anggunnya sambil sesekali mengipas wajah dengan pelan. Malam ini Amora memilih untuk memakai gaun berwarna merah dengan renda hitam yang mencolok di kulit putihnya.
Mikayla melupakan tujuan awalnya untuk mendekati putra mahkota. Ia diseret langsung oleh Amora dan bangsawan lainnya setelah memberikan penghormatan kepada Raja dan Ratu.
"Apa beberapa hari ini Anda sibuk? Saya tak melihat anda di pesta perjamuan teh pagi lalu," tanya Amora dengan akrabnya.
Mikayla tentu senang karena pada akhirnya ada orang yang mau menemaninya di pesta. Ia mengangguk dengan semangat. "Benar, Lady Amora. Beberapa hari ini aku sibuk sampai lupa waktu."
"Benarkah?" tanya Amora yang seolah terkejut. "Kalau boleh saya tahu, apa kesibukan Anda sampai-sampai tak bisa menghadiri pesta teh untuk bangsawan wanita?"
Mikayla tersenyum bangga. "Saya memetik dan membersihkan taman bunga di belakang kastil. Bunganya tumbuh dengan baik dan subur. Saya sangat menyukainya!"
Senyum palsu dari bibir Amora tak bisa lagi ditahan dan senyum palsu itu luntur seketika. "Dasar pelayan!" desisnya sinis.
"Permisi, Lady Amora. Aku ingin menyapa tunanganku dulu!" Mikayla cepat-cepat melepaskan rangkulannya dari Amora lalu ia berjalan menjauh.
Di sana. Putra mahkota duduk dengan gagahnya tanpa menatap Mikayla.
Mikayla dengan senyum manis yang terus bertengger di bibirnya itu berjalan menghampiri putra mahkota. Namun seperti biasa, laki-laki itu enggan untuk menoleh padanya. Apa yang dikatakan Bibi Alie itu benar?
"P-putra mahkota?"
Danial dengan tatapan malasnya mengarah pada Mikayla. Ah, gadis ini. Andai ia bisa memutuskan pertunangannya dengan Mikayla, pasti ia akan menikah dan hidup bahagia dengan Amora. Sudah sering Danial memberikan kode pada Mikayla bahwa ia menolak perjodohan ini. Tapi ingat bahwa itu Mikayla, ia tak mengerti apapun tentang politik dan tak pernah memahami kode dari Danial.
Namun tradisi di wilayah kerajaan Armovin berbeda. Pertunangan hanya bisa diputuskan oleh wanita nya saja dan laki-laki tak boleh membantah sama sekali. Karena tradisi itulah yang menyebabkan Danial selalu mengutuk raja dan ratu yang menjodohkannya dengan Mikayla, si gadis yang terkenal bodoh.
"Ada apa?"
"Saya ... Ingin bicara dengan Putra mahkota," jawab Mikayla dengan malu-malu.
"Bicara saja."
Mikayla menatap ke arah lain. Para bangsawan menatapnya dengan penuh keingintahuan sebab jelas saja putra mahkota menolaknya, namun gadis itu masih saja tak mengerti.
"Apa Anda ... membenci saya?"
Danial tiba-tiba menatap Mikayla dengan dalam. Ia tiba-tiba berdiri dari kursi mewahnya. "Kita bicara di taman saja," ucap Danial yang langsung pergi meninggalkan Mikayla.
.
.
Selama berjalan di lorong-lorong istana, tak ada satupun yang membuka percakapan. Mikayla yang merasa canggung, sedangkan Danial pria itu tidak peduli sama sekali.
Mereka berdua sampai di taman sebelah barat istana. Di sana tumbuh subur bunga Lili yang berwarna-warni, indah. Sama seperti hati Mikayla saat ini di tambah dengan remang-remang lampu bak kunang-kunang yang menambah kesan manis. Apa putra mahkota mencintainya?
"Katakan sekali lagi dengan apa yang kau ucapkan di Balairung istana," perintah Danial tegas.
Mikayla tersipu malu. Tak mungkin putra mahkota membencinya. "Apa Anda membenci saya?"
Danial menatap dalam dan lurus ke arah Mikayla. Wajahnya benar-benar terpahat sempurna, lalu surainya yang berkilau indah bak batu permata dan juga manik biru yang cerah bagai langit. Secara fisik Mikayla sangatlah sempurna, tapi kenapa ia bodoh? Danial tak bisa membayangkan kalau nantinya rakyatnya sendirilah yang akan menghina ratu bila itu Mikayla yang bodoh ini menjadi istri sahnya.
"Ya. Aku membencimu."
Seolah ada petir di siang bolong, pernyataan tiba-tiba Putra mahkota menyakiti perasaan Mikayla yang sempat berbunga-bunga. Hatinya hancur seketika karena ia tak diharapkan dengan tiga kata pedas itu. Kenapa semuanya seperti ini?
"Mikayla, aku sering memberi kode agar kau mengerti maksudku bahwa aku tak menginginkanmu. Kau bodoh dan tak berbakat, bagaimana bisa orang sepertimu menjadi ratu? Kau ingin aku si tertawakan oleh rakyatku sendiri?
"Selama ini aku diam saja karena di sampingku ku selalu ada pengawas raja. Jika aku mengatakannya secara langsung padamu, bukankah sama saja dengan bunuh diri? Untuk kode yang kecil saja kau tak memahamiku, Mikayla."
"Dan apa maksudmu barusan. Menanyakan tentang perasaan di depan banyak orang? Bodoh!"
Danial berbalik. Menatap tajam ke arah air terjun kebanggan Armovin. "Sekarang keputusan di tanganmu. Memaksakan perasaan mu, atau memberikan yang terbaik bagi kerajaan."
Setelahnya Danial pergi tanpa sepatah katapun.
Dan tak ada yang tahu bahwa di taman itu air mata pertama Mikayla jatuh dengan pilu dan sesak. Lagi, dirinya tak pernah diinginkan.
"Kita kembali ke kastil."
Tanpa menjawab, kusir memecut kudanya hingga kereta dengan lambang tameng tembaga berlatar putih khas keluarga Stanley itu bergerak ringan. Semilir angin malam menerbangkan beberapa anak rambut Mikayla yang berpendar pucat. Namun itu tak penting, hal yang paling mengganggunya adalah hati yang tak bisa diobati.
Mikayla terisak sedih. Tak ada lagi yang tersisa selain Bibi Alie di sisinya, mendampinginya dimana pun dan kapan pun, melindunginya bila ada bahaya, dan menyayanginya. Cukup. Bagi Mikayla itu semua cukup.
Bukankah lebih baik dicintai oleh satu orang yang tulus daripada banyak orang yang munafik?
Kereta berhenti. Mikayla baru tersadar bahwa tempat yang ia datangi saat ini bukanlah kastil Stanley, tapi hutan belantara yang gelap dan mencekam.
"Kita ke kastil Stanley, tuan Kusir. Bisakah Anda mengantarku ke sana?" tanya Mikayla yang sudah takut bukan main. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.
"Nona pertama, turunlah dulu. Ada seseorang yang menunggu Anda di sana," ujar kusir itu sambil menunjuk hutan yang lebat, sangat jauh dari keramaian. Wajahnya tersenyum, namun di dalamnya mengandung sesuatu yang keji.
Mikayla mengangguk. Gadis itu turun dari kereta kudanya, dan setelah ia benar-benar turun, kusir pergi tanpa sepatah kata padanya. Meninggalkan Mikayla sendirian.
"JANGAN TINGGALKAN AKU!" Terlambat. Kereta kuda telah berlari menjauh. Mikayla menatap keretanya dengan nanar. Terperangah tak percaya.
"Apa aku harus berjalan kaki menuju kastil? Tapi aku tak hafal jalan," gumam Mikayla pada dirinya sendiri sambil menggosok lengannya untuk mengusir sedikit hawa dingin yang menyeruak. Rasa takut perlahan menyusupi dirinya.
"Ah, Anda sudah sampai, Lady Mikayla?"
Mikayla berbalik. Di hadapannya ada Marquis Torand dengan seringai kejamnya yang tak terlihat sama sekali di mata Mikayla.
"Tuan Torand? Syukurlah ada Anda disini. Kereta kuda meninggalkan saya di tengah hutan belantara seperti ini. Kalau tidak keberatan, apa saya boleh ikut dengan Anda menuju kastil Stanley?" Mikayla dapat bernapas lega saat mengetahui kalau pria itu adalah Marquis Torand, sahabat ayahnya.
"Kau bisa ikut," ujar Marquis Torand sambil menarik pedangnya dari sarung. "Tapi ku pastikan bahwa jenazah mu saja yang boleh ikut!"
Mikayla terkejut bukan main. Apakah pria ini berkhianat? Marquis Torand, pria yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga keamanan negara dan lihai dengan pedang tiba-tiba saja menyerangnya yang sama sekali tak pernah memegang pedang sama sekali. Mikayla berkelit, pedang panjang milik Marquis hanya mengenai tudung rambutnya yang langsung terbelah menjadi dua.
"Kau!"
Marquis semakin murka. Tak membuang kesempatan, Mikayla lari secepat mungkin dengan gaunnya yang berat untuk menghindari Marquis dan pedang ganasnya yang hampir mencincang separuh lengannya jika ia tak bergerak cepat. Marquis tak tinggal diam, ia segera mengejar Mikayla yang berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan.
"Jangan lari, Nona Bodoh!"
Mikayla tak menghiraukan apapun lagi. Kakinya yang sehalus porselen pun diacuhkan saat terkena goresan ranting hingga darahnya bertetesan di tanah. Berkali-kali ia terjatuh, tanpa melihat ke belakang, ia terus berlari sekuat tenaganya.
Berhenti. Mikayla mengambil jalan yang salah, jalan buntu. Jangan salahkan dia yang tak pernah hafal peta kerajaan Armovin yang penuh dikelilingi hutan dan perairan. Tak ada jalan dan celah sama sekali, dan di belakangnya Marquis Torand tersenyum seram.
"Mau ke mana kau?!"
"Ap-apa mau mu?" tanya Mikayla dengan takut-takut. Ia tak mengerti, selama ini Marquis Torand adalah pria yang baik padanya saat berkunjung ke kastil Stanley. Tapi malam ini, pria itu telah berubah menjadi sosok monster yang akan Mikayla ingat selamanya.
"Mau ku?" Beo Marquis lalu setelahnya ia tertawa keras. "Apa kau tidak sadar kalau putra mahkota dan putriku, Amora saling mencintai? Apa kau menyadari hal itu?!"
Nyali Mikayla semakin menciut mendengar gertakan dari Marquis. Ia terduduk lemas.
"Kenapa ... Kenapa kau tak memutuskan hubungan mu dengan putra mahkota?!" desis Marquis lalu menatap mangsanya dengan tatapan mematikan. "Keinginanku mudah. Amora dan Pangeran Danial menikah, dan Amora akan mendapatkan ambisinya selama ini, menjadi ratu! Tapi kau!" Marquis menunjuk Mikayla dengan pedangnya. "Kau selalu menjadi penghalang diantara mereka!"
Mikayla menggeleng pelan. Ia harusnya mengerti dari awal bahwa Pangeran Danial dan Amora saling mencintai. Seharusnya ia sudah memutuskan hubungannya dengan Pangeran Danial sejak lama, dan banyak lagi penyesalan dalam diri Mikayla. Ia tak mengira jika akhirnya seperti ini. Apakah dia sudah tak layak untuk hidup?
"Kalau kau ku bunuh sekarang, maka kesempatan Amora untuk mendapatkan kursi ratu akan mudah tercapai," Marquis mengelus pedangnya dengan santai namun sarat akan kebencian. "Akan ku habisi kau malam ini!"
Mikayla tak ada pilihan lain. Tidak ada semangatnya untuk melawan Marquis. Walau nantinya ia sudah tak bernyawa, apakah Duke Stanley akan mencarinya? Tidak. Tentu saja pria itu tidak peduli sama sekali. Tanpa kehadirannya, kehidupan ayahnya sama saja seperti hari biasa. Mungkin dengan beginilah cara agar Mikayla mampu mengurangi beban Duke Stanley. Ia berhutang banyak pada pria itu.
Blesh!
Pedang yang sering Marquis gunakan untuk berperang kini menancap di perut Mikayla.
Dan gadis itu langsung ambruk berlumur darah tanpa perlawanan.
__________
"Tuan Stanley, tuan! Tolong bukakan pintu untuk hamba!" panggil pelayan yang kalang kabut di depan ruang kerja Duke Stanley yang tengah sibuk. Sejak pagi-pagi sekali Duke Stanley sibuk memeriksa dokumen kerajaan dan ia memerintahkan pengawalnya agar tak mengizinkan satupun orang yang boleh masuk. Tapi mendengar keributan yang tak biasa seperti ini di kastilnya membuat Duke Stanley sedikit resah.
Pria berusia kurang lebih lima puluh tahun itu melirik pengawal yang berada di depan pintu. "Suruh salah satu dari mereka masuk," yang langsung diangguki oleh pengawal di situ.
Seorang pelayan paruh baya memasuki ruangan. Wajahnya sembab, bagai tak bertenaga, pelayan itu jatuh bersimpuh di depan meja kerja Duke Stanley.
"Ampuni hamba, tuan. Hamba pantas mati!" raung nya sambil menangis tersedu-sedu.
"Bicaralah!"
"Nona pertama, tuan!"
Duke Stanley menghela napasnya. Lagi-lagi Mikayla. Gadis itu selalu saja membuat perkara dengan bangsawan lain. Baginya, Mikayla sama sekali tidak-
"Dia dinyatakan mati terbunuh, Tuan!" raung pelayan pribadi Mikayla sejak bayi, Alie.
Duke menggebrak meja kerjanya dengan keras sampai dokumen-dokumen berhamburan si atasnya. "Lancang sekali kau mengatakan hal seperti itu tentang putri ku! Apa kau tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan untuk pelayan yang berbohong?!"
"Ampun, Tuan. Berita itu benar," jelas Alie dengan air mata yang tak berhenti keluar. "Pagi tadi berita itu sudah tersebar ke mana-mana," ia masih membungkuk di hadapan Duke Stanley.
"Jika kau berbohong, aku tak akan segan-segan memotong lehermu!" ancam Duke Stanley dengan keras. Duke Stanley berjalan cepat ke luar untuk memastikan bahwa pelayan itu memberikan berita bohongan.
Duke Stanley menuruni tangga ulir ganda di sisi kanan dan kiri bangunan yang menghiasi kastil dengan cepat. Wajahnya sarat akan ketakutan. Ia berjanji untuk tak segan-segan membunuh pelayan sialan itu bila berita yang ia sampaikan ternyata bohong belaka.
"Ayah!" Rosella tersenyum manis hari ini. Ia mengenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari kain sutra super lembut berwarna biru langit dengan riasan yang menawan. "Kita akan merayakan hari ini, kan?"
Duke Stanley semakin bingung. "Merayakan apa, Anakku. Ayah tidak mengerti," ucap Duke Stanley dengan ramah, namun tak urung ucapan pelayan di ruang kerjanya tadi masih menghantui pikirannya.
"Ayah belum menerima kabar? Pagi tadi ada pengumuman di kerajaan bahwa Mikayla terbunuh!" ucap Rosella menggebu-gebu. "
"Rosella!" Duke Stanley menaikkan suaranya beberapa oktaf sampai pelayan yang hilir mudik meringkuk ketakutan. "Kau senang dengan kematian kakakmu, iya?!"
Nafas Rosella tercekat. Semua ini diluar bayangannya. Ia kira Duke Stanley akan senang dengan berita ini sebab ayahnya pun membenci gadis bodoh itu. Tapi—
"Pengawal, tangkap Rosella dan kurung dia di penjara bawah tanah selama tiga hari!" Duke Stanley menatapnya dengan ekspresi terluka. "Biarkan dia merenungi semua dosanya."
Rosella tak bisa melakukan apapun lagi saat pengawal menyeretnya pelan, tak ada yang bisa ia lakukan selain menitikkan air mata.
Mikayla terbangun namun bukan di tempat yang terakhir ia ingat. Gadis itu mengerang pelan dan mengerjap-ngerjap karena sinar matahari yang menembus dinding kamar sederhana yang terbuat dari kayu linden.
Tunggu, kamar?
Mikayla baru tersadar kalau tempat ini sungguh sederhana, jauh dari kastilnya yang serba mewah walau terasingkan dari dunia luar. Ia menatap ke sekeliling ruangan. Sebuah tempat tidur, tungku api yang tidak lagi menyala, sebuah meja, dan lemari. Ah, sederhana sekali.
Mikayla memilih untuk duduk namun ia urungkan saat perutnya terasa kram dan mati rasa. Ia mengerang. Benar, Mikayla ingat kalau dirinya hampir saja dibunuh oleh Marquis bermuka dua itu jika seseorang tidak menyelamatkannya hingga sampai di tempat ini.
Lalu siapakah orang yang sudah membantunya?
Banyak pertanyaan di dalam otak Mikayla yang belum terjawab sampai bunyi pintu dibuka dari luar sontak mengagetkan Mikayla dari lamunannya.
Orang itu tak bersuara sama sekali. Seorang laki-laki dengan wajah yang luar biasa tampan membuka pintu, menatap sekilas ke arah Mikayla tanpa ekspresi terkejut, lalu di tangannya juga terdapat baki berisikan obat-obatan dari daun dan akar.
"Kau yang menyelamatkanku?" tanya Mikayla setelah menyadari keadaan.
Lelaki berwajah dingin itu meletakkan baki yang ia bawa di atas meja. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanya laki-laki itu dengan ketusnya. "Kau tak sadarkan diri selama seminggu hanya karena tusukan pedang di perutmu."
Mikayla jadi geram. Selama ini ia tak pernah marah pada orang lain, tapi baru di pertemuan pertama nya dengan lelaki bersurai emas ini, ia sudah emosi. Ia hanya memerhatikan pria itu menumbuk beberapa tanaman yang dibawanya hingga halus tanpa berkata sepatah katapun.
"Kau mau aku pakaikan salep ini atau kau mau memakainya sendiri?"
Wajah Mikayla memerah seperti kepiting rebus. Jadi selama ia tak sadar, laki-laki itu mengobatinya dan membuka perutnya? Ah, Mikayla rasanya malu sekali. Dengan cepat ia menerima salep pemberian orang asing itu. "Terimakasih."
"Asal kau tahu saja, walau wanita sepertimu harusnya lebih kuat," Mikayla menoleh lalu menatap laki-laki itu dengan bingung. "Resiko sebagai anggota keluarga bangsawan Duke. Kau harus siap untuk melindungi diri sendiri di saat tak ada siapapun di sisimu."
Mikayla termenung. Laki-laki bersurai emas ini benar. Kejadian tragis yang dialaminya beberapa waktu yang lalu menyadarkannya bahwa ia lemah, bodoh, dan mudah ditipu. Menyebalkan!
Tanpa menyadari bagaimana pria asing dihadapannya bisa tahu dengan mudah identitasnya sebagai anggota keluarga Duke yang terkenal.
"Aku akan berusaha keras!" ucap Mikayla dengan tekadnya yang bulat.
"Sekeras apapun kau berusaha saat ini, sama sekali tak ada gunanya." Lelaki bersurai emas itu terkekeh geli. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Bakatmu dikunci sepenuhnya. Sepertinya ada sihir hitam yang bekerja itu semua," ujarnya serius. "Jadi jangan heran kalau kau dikenal menjadi gadis yang bodoh. Sihir hitam telah mencegah kinerja otakmu supaya tak bekerja dengan baik."
Laki-laki itu mendekat. "Selain itu, sihir kebencian juga merasuki tubuhmu. Setiap orang yang melihatmu pasti akan benci dan semakin benci." ucapnya pelan diiringi seringaian kecil. "Aku benar, kan?"
Ucapan si emas ini sedikit menyinggung perasaan Mikayla. Gadis itu mencebikkan bibirnya. "Baik, sebelumnya kita belum berkenalan. Siapa namamu, tuan?"
"Aidenloz. Panggil saja aku begitu, Nona Mikayla."
Mikayla terkejut dan baru menyadari hal penting seperti itu. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aidenloz tersenyum miring. "Mudah," jawabnya enteng dan singkat. "Sehatkan dirimu. Sore ini aku akan membantu melepaskan sihir hitam dari kepalamu."
Mikayla yang tak mengerti hanya menganggukkan kepalanya dengan kaku.
"Kau pasti tak mengerti!" desis Aidenloz seolah bisa membaca isi pikiran gadis dungu didepannya. "Sudahlah. Aku pergi dulu. Bahan untuk membuat makanan sudah tersedia di dapur. Masaklah sendiri!"
Lagi, Mikayla hanya mengangguk. Hei! Dia ini putri seorang Duke, mana mungkin ia bisa memasak sendiri. Namun pria itu sudah terlalu baik padanya, sangat tidak etis untuk meminta hal kecil seperti makanan walau keadaannya sekarang sangat tidak memungkinkan."Baik. Terimakasih, Aidenloz."
Lelaki bermanik samudera itu mengangguk singkat lalu keluar dari kamar yang ditempati Mikayla. Setelahnya sosok itu tak terlihat akan datang lagi sampai sore dan menepati janjinya.
__________
Di kastil Stanley, beberapa orang masih sedih akan kepergian mendadak dari nona pertama mereka. Duke Stanley sudah tersadar dengan kesalahannya selama ini dan memilih untuk memberhentikan pengerjaan dokumen kerajaan, pria tua itu merasa berdosa pada putri pertamanya yang kini dikabarkan tanpa nyawa. Tubuhnya tidak ditemukan karena posisi kematiannya tepat di tengah hutan yang mungkin saja telah dicabik-cabik oleh binatang buas . Menurut pihak kerajaan yang berusaha menyelamatkan nama Armovin, Mikayla bunuh diri karena wanita itu sakit hati dengan penolakan langsung dari pangeran dan membunuh dirinya sendiri di hutan Augoria.
Ya. Bukan pembunuhan. Tapi bunuh diri. Hanya orang bodoh yang percaya akan hal itu. Mikayla adalah gadis bodoh dan penakut, mana mungkin ia berani bunuh diri di dalam kegelapan hutan. Lebih masuk akal bila ia bunuh diri di dalam kamarnya sendiri.
Begitu pun dengan Duchess Stanley. Lady Azaleah. Wanita itu sangat menyesal karena telah menyia-nyiakan permata pertamanya. Setiap hari Azaleah habiskan dengan menangis dan menyesali perbuatannya. Walau Mikayla bodoh, bukankah ia masih darah dagingnya? Putrinya sendiri.
Sedangkan Rosella semakin membenci saudarinya yang telah tewas tersebut. Ia tak pernah berhenti mengutuk Mikayla di dalam penjara bawah tanah. Mikayla selalu menyusahkannya, dan setelah kematiannya pun ia kembali menyusahkan Rosella. Rosella berjanji, bahwa ia akan menghukum Mikayla dengan membakar jenazahnya jika nanti ditemukan. Ia tak akan segan-segan untuk melakukan hal itu.
Lain di istana. Pangeran sedang sibuk membolak-balik kertas perjanjian di ruang kerjanya bersama Marquis Torand untuk membahas keuangan kerajaan.
"Paduka Pangeran. Maaf menyela, apa menurut Anda tindakan saya itu benar?"
Danial langsung mengetahui arah bicara pria itu lalu ia menatap Marquis dengan tajam. "Kau meragukan keputusanku? Apa kau tak ingin putrimu jatuh ke tanganku?"
"Mohon maaf, pangeran. Saya tidak berani," ucap Marquis ketakutan. "Duke Stanley dan keluarganya masih berduka. Semua ini akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk diselesaikan jika Duke of Stanley tak ikut campur tangan." ucap Marquis tua itu sambil melirik tumpukan kertas yang semakin banyak saja setiap jam nya.
Danial berdiri dari kursi kebesarannya. "Kau tidak boleh ragu, Torand. Atau semuanya akan ketahuan!" desis Danial dengan liciknya. "Aku sudah berkorban atas tragedi ini, bila mereka menggali lebih dalam, akulah yang di kambing hitamkan. Dan jika kau membuka mulut, aku tak akan segan-segan padamu, Torand!"
"Saya mengerti, pangeran." Marquis Torand menunduk dalam. "Saya hanya mengkhawatirkan kalau ada yang mengetahui kejadian sebenarnya. Bukan saya saja yang menanggung dosa ini, tapi semua keturunan saya akan dibabat habis oleh Yang Mulia Raja. Ah, tidak. Pasti saya akan langsung dihukum oleh Kaisar Javier."
"Kau tenang saja," pangeran Danial menatap air mancur kerajaan barat dari balik jendela. Tempat terakhir ia bertemu dengan Mikayla. Senyuman curang terlihat jelas di wajahnya. "Pembunuhan seharusnya tak akan diselidiki lagi." Ujarnya begitu yakin. "Tentu saja kasus ini tak akan diselidiki lebih lanjut. Siapa yang berani menangkap dan memenjarakan keluarga bangsawan kelas atas?"
_________
"Hya!" Mikayla menebas kayu dengan pedangnya dengan sekali ayun. Dendamnya belum terbalas sampai ia sendiri yang akan mencari dalang konspirasi pembunuhan berencana yang dilayangkan untuknya.
Semenjak Aidenloz melepaskan sihir hitam yang meracuni otaknya, Mikayla berubah. Ia menjadi gadis tangguh dan cerdik. Semua yang ada pada dirinya semakin bertambah. Mikayla semakin cantik, bahkan sulit untuk menolak pesona gadis itu. Sihir hitam sudah bersarang di otaknya sejak balita dan pengirimnya belum ditemukan.
San di usia itulah semua yang ia miliki hilang satu persatu.
Mikayla merasakan kehadiran seseorang dibelakangnya. Dengan cepat Mikayla berbalik dan menangkis pedang yang hampir saja menggores lehernya. Ternyata Aidenloz. Laki-laki itulah yang akan mendatangi Mikayla setiap sore dan akan kembali ke rumahnya lagi saat tengah malam. Selalu seperti itu.
"Bagus. Rasakan orang-orang yang datang tiba-tiba di sekelilingmu," ujar Aidenloz dengan santainya menangkis kilatan pedang Mikayla. Gadis bodoh ini telah berubah, ia tak mudah termakan berita bohong lagi saat Aidenloz mengetesnya. Mikayla bahkan bisa menghabiskan sepuluh buku setebal telapak tangan orang dewasa dalam sehari. Pengetahuan dan bela dirinya sangat mengesankan dan mungkin akan sangat bermanfaat saat berada di medan perang. Aidenloz yakin kalau kemampuan Mikayla dapat mengalahkan kemampuan berpedang Marquis yang hampir membunuhnya itu.
Setengah jam kemudian, Aidenloz sudah bisa mengalahkan Mikayla sampai pedang yang digunakan gadis itu menancap di atas tanah.
"Bagus sekali. Aku harap kau bisa meningkatkan cara berpedang mu lagi saat kembali ke Kastil Stanley."
Mikayla yang tadi terengah-engah tiba-tiba terhenti. Ia melongok ke atas dan saat itulah Aidenloz menikmati manik sejernih kristal itu menatapnya polos. "Apa aku harus kembali?"
Aidenloz mengangguk. "Tentu saja. Di sana rumahmu."
Mikayla menggigit bibirnya. "Aku tak ingin kembali."
"Dengar!" Aidenloz mencengkeram kedua bahu Mikayla, lalu menatapnya dalam. "Semua orang di kastil Stanley menginginkan kepulanganmu."
Aidenloz menghela nafas. "Cepat atau lambat, keberadaan mu di sini akan diketahui pihak istana."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!