Dahulu kala, sebelum Skurendal tercipta, sebelum ruang dan waktu nyata adanya, sebelum segala sesuatu terjadi...
Ada satu sosok yang memiliki kekuatan yang luar biasa, yakni kekuatan untuk menciptakan segala sesuatu. Sosok itu adalah Nuldrac, Sang Divine Dragon.
Nuldrac menggunakan waktu sepuluh hari untuk menciptakan Skurendal beserta dengan isinya.
Di hari pertama, ia menciptakan matahari dan langit terang untuk menyinari dunia.
Di hari kedua, ia menciptakan tanah.
Di hari ketiga, ia melapisinya dengan angin dan udara.
Di hari keempat, ia melapisi tanah itu dengan es.
Di hari kelima, sebuah badai petir ia turunkan ke daratan es itu.
Di hari keenam, bara api muncul dari badai petir untuk mencairkan es tersebut.
Di hari ketujuh, es yang melapisi seluruh daratan telah mencair dan merendam sebagian tanah dengan lautan.
Di hari kedelapan, ia memberikan kesuburan pada tanah untuk menunjang kehidupan alam.
Di hari kesembilan, ia menciptakan makhluk hidup berupa manusia, hewan, dan tumbuhan yang akan memanfaatkan alam Skurendral.
Di hari kesepuluh, ia menciptakan bulan dan langit malam untuk membuat makhluknya bisa beristirahat.
Sadar bahwa dirinya tidak akan bisa mengawasi seluruh Skurendal sendiri, Nuldrac membagi kekuatannya pada Sembilan Naga yang akan ia ciptakan.
Pertama Suldruli, Sang Halo Dragon.
Lalu Mundique, Sang Earth Dragon.
Setelahnya Tormundr, Sang Sky Dragon.
Kemudian Rizzolith, Sang Frost Dragon.
Di tengah-tengah ada Dusstron, Sang Storm Dragon.
Tak lupa ada Odephin, Sang Inferno Dragon.
Berlanjut ke Atlanes, Sang Ocean Dragon.
Kedelapan ada Calldres, Sang Forest Dragon.
Terakhir Pensylon, Sang Shadow Dragon.
Kesembilan Naga itu mengawasi dan menjaga perdamaian seluruh makhluk hidup di Skurendal.
Hingga seluruh makhluk hidup di Skurendal menyembah dan mempercayai Kesembilan Naga itu.
Tetapi, Kesembilan Naga itu sama sekali tidak sempurna. Masing-masing dari mereka juga punya sisi buruk...
Suldruli yang ingin menjadikan dirinya nomor satu.
Mundique yang tak pandai meredam emosi.
Tormundr yang sangat tinggi hati.
Rizzolith yang terlalu peduli pada orang terdekatnya sendiri.
Dusstron yang terlalu ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-rahasia tersembunyi.
Odephin yang sangat cinta kehancuran.
Atlanes yang mengedepankan dirinya sendiri ketimbang makhluk lain.
Hanya Calldres dan Pensylon yang masih tidak diketahui sisi buruknya. Karena kesamaan itu, Kedua Naga itu saling merasakan jatuh cinta satu sama lain.
Namun suatu hari, Suldruli memanfaatkan pasifnya pasangan itu untuk menunjukkan pada seluruh Skurendal bahwa dirinya adalah nomor satu.
Ia merebut kekuatan Calldres dan mencabut nyawanya. Memanfaatkan sifat buruk dari Calldres sendiri. Yang ternyata adalah kekuatannya yang amat sangat lemah dibandingkan naga lainnya.
Setelah membunuh Calldres. Suldruli dengan bangga mengakui bahwa dirinyalah yang telah membunuh Calldres.
Sekaligus meledek naga lainnya yang "tidak seberani" dirinya dalam menjadikan diri nomor satu.
Kematian Calldres yang ia cintai dan ledekan dari Suldruli menumbuhkan sifat buruk dari Pensylon.
Pendendam.
Akibat dari sifat buruknya itu, Pensylon menyerang dan hampir memunahkan semua makhluk pengikut Suldruli.
Kehancuran itu memicu amarah Suldruli sehingga ia melakukan hal yang sama pada seluruh pengikut Pensylon.
Sifat Pendendam Pensylon semakin menambah tensi ketegangan hubungan Kedua Naga itu. Hingga tiba-tiba saja...
Dusstron yang penasaran dan Odephin yang cinta kehancuran mulai ikut serta dalam rantai kebencian itu.
Rizzolith yang tak mau lagi ada seudaranya yang meregang nyawa dan Atlanes yang ingin menyelamatkan dirinya sendiri terpaksa terlibat dalam permusuhan itu.
Tak butuh waktu lama bagi seluruh Kedelapan Naga yang tersisa untuk terlibat, dan pada akhirnya...
Perang Naga pun meletus.
Delapan Naga terbagi dalam dua kubu, Kubu Suldruli dan Kubu Pensylon. Namun di akhir peperangan, kedua kubu itu sama-sama hancur pada akhirnya.
Tak ada pemenang sama sekali dalam Perang Naga tersebut. Malah, Perang itu membuat seluruh Skurendal menjadi amat sangat rusak dan kacau.
Akhir dari perang itu adalah kematian bagi Kedelapan Naga. Nuldrac, Sang Divine Dragon pun terpaksa membuat sebuah keputusan.
Yang tersisa dari Kesembilan Naga yang tewas akan dibagi menjadi tiga bentuk.
Jiwa Naga, Raga Naga, dan Kekuatan Naga.
Jiwa dari Kesembilan Naga tersebut akan tetap mengawasi Skurendal untuk selamanya dan tak akan bisa saling membunuh karena roh mereka telah dipisahkan dari kekuatan mereka.
Lantas kemanakah kekuatan Kesembilan Naga itu pergi?
***
"Sialan! Kenapa halamannya harus sobek di saat yang paling menegangkan, sih?!"
Hanya itu saja dapat kutemukan dari buku kakekku. Sebagian besar halamannya telah hilang, tak terbayang apa lagi yang bisa diceritakan jika halamannya masih utuh, bukan?
BRAK!
Ayahku menggebrak meja, tepat di buku yang sedang kubaca ini.
"Buku ini hanyalah sampah, Christopher." katanya sambil merebut buku kakek dari genggaman halus tanganku.
Sesaat setelah buku itu ada dalam penguasaannya, yang selanjutnya dia lakukan adalah melemparkan buku itu ke tungku api yang menyala tepat di sampingnya.
Alhasil, lembaran-lembaran ilmu yang ditulis kakek di buku itu harus puas wujudnya diubah menjadi abu. Sungguh ilmu yang terbuang sia-sia...
"Ayaahh!! Kenapa kau bakar buku itu?!" keluhku padanya.
Jujur saja, walaupun aku agak malas membaca buku, tetapi aku bahkan tidak ragu membaca buku kakek sebanyak mungkin.
Maka tak heran aku marah saat buku itu dibakar, kan?
"Christopher, kakekmu itu sudah gila. Apa kau mau mengikuti jejaknya untuk jadi gila?" kata ayahku.
Aku tetap diam sambil melihatnya melahap wortel yang baru saja ibu dan adikku Chris panen tadi siang seraya menyipitkan pandangannya.
"Tapi... Aku hanya penasaran pada dunia luar, Ayah. Maksudku jangankan keluar Pensylon, keluar Wheatville saja kita tidak pernah!" bantahku.
Krauk!
Ayah mengunyah wortel itu dengan kencang, seolah memaksaku untuk menutup mulut rewelku.
"Lupakan rasa penasaranmu, Christopher. Ingatlah yang terjadi pada Dus- Lupakan.
Intinya, rasa penasaran bisa membunuhmu. Ditambah kalau kita nekat keluar dari Pensylon tanpa izin, Lord Kris akan memajang kepala kita di dinding kamarnya. Paham?
Nah, daripada kau repot-repot memikirkan soal hal yang kau sebut 'dunia luar' itu, akan lebih baik jika kau menghabiskan makananmu dan tidur setelahnya." balasnya.
Aku kesal, kesal akan apa yang Ayah lakukan pada bukuku. Namun, pilihan terbaik untuk saat ini adalah untuk mendengarkan ucapannya.
Karena mau dilihat bagaimanapun juga, ayahku memang benar. Keluar dari Pensylon tanpa izin memang melanggar hukum.
Jadi yang akan kulakukan selanjutnya adalah kuhabiskan sup kentang milikku, minum, dan kemudian bergegas mengistirahatkan badanku ke tumpukan jerami yang diberi kain putih yang ibuku sebut, kasur.
Setelah aku minum, aku langsung berjalan kaki ke arah sebuah pintu yang hampir rusak. Yap, itulah kamarku atau tepatnya kamarku dan adik-adikku.
Aku punya tiga adik dari empat bersaudara. Yang berarti akulah yang paling tua. Namun kurasa akan lebih baik jika ku perkenalkan mereka besok saja...
Tak hanya itu, ingin sekali kujelaskan isi dari ruangan ini, tapi... Hoaaahmmm... Aku ngantuk, besok saja lah.
Tanpa peduli sedikitpun, aku berjalan menuju tumpukan jerami dan segera menjatuhkan diriku ke sana.
"Ah, empuk sekali..." pikirku.
Tak lama setelah ku jatuhkan badanku, kupejamkan kedua mataku, bernafas dengan pelan. Sebelum aku benar-benar terlelap, aku hanya memikirkan satu hal...
"Apakah kakek memang benar, ataukah dia memang sudah gila?" lamunku dalam gelap.
***
*Wheatville Arc Begin*
"Kakak! Bangun!" teriak seseorang tepat di telinga kananku.
Karena teriakannya yang kerasnya sekeras suara petir itu langsung menghantam gendang telingaku, kedua kelopak mataku terbuka.
"Aduh! Telingaku!" seruku.
Saat nyawaku mulai berkumpul kembali ke tubuhku, saat itulah aku sadar kalau saat ini dua adikku sedang duduk di samping badanku yang baru saja bangun dari tidur.
"Tck! Hei! Chris! Christina! Apa kalian tak punya cara lain untuk membangunkanku selain dengan membuatku jadi tuli?!" hardikku pada mereka.
Christina yang masih tujuh tahun murung setelah kuteriaki, namun Chris malah berbalik meneriakiku.
"Habisnya kakak tak bangun-bangun!" katanya.
"Tapi tak begitu pula caranya!" teriakku balik.
"Lalu bagaimana? Kemarin-kemarin kakak juga marah saat kusiram air agar bangun!"
"Karena air yang kau gunakan adalah air untuk irigasi!"
"Memangnya kenapa kalau air irigasi?!"
"Kotor tahu!"
"Lagian juga kakak nantinya akan kotor juga kok!"
"DIAM!"
Tiba-tiba saja, seekor beruang berwujud manusia (kata ayahku, bukan aku) menggebrak pintu kamar kami. Membuat jantungku copot, dan aku yakin jantung Chris dan Christina juga sama.
Di sampingnya, ada anak kecil berumur empat tahun yang sedari tadi menggenggam pakaiannya sambil menatap wajahnya takut. Ialah Christa, adik bungsuku.
"Christopher! Bereskan kamarmu! Chris! Christina! Kalian berdua bereskan ruang makan! Mengerti?!" teriak ibuku.
"Mengerti!" kata Chris.
"Siap, ibu!" ucap Christina.
Aku mencoba untuk protes. Kenapa? Karena seharusnya hari ini adalah giliran Christina, bukan giliranku untuk membereskan kamar ini.
"Tapi..."
"Tapi apa?!"
"Sekarang adalah giliran Christina yang membereskan kamar ini!" protesku.
Aku berhasil mengutarakan keberatanku terhadap perintah dari ibuku padaku. Namun sayangnya, ibuku jauh lebih cerdas dalam berdebat ketimbang diriku.
"Kau mau membereskan kamar ini, atau membereskan kandang sapi? Yang mana?!"
...***...
Mau tak mau aku harus tetap membersihkan kamar ini. Bukan masalah aku malas membereskan kasur ataupun apalah itu, masalahnya adalah Chris sering sekali mengompol.
Usianya sudah sebelas tahun, tapi kandung kemihnya sama lemahnya seperti anak yang masih berumur dua tahun. Maksudku, bahkan Christa saja sudah tak pernah mengompol di kasur lagi.
Ditambah lagi fakta bahwa di kamar ini hampir tak ada sirkulasi udara karena tak ada jendela sama sekali disini. Sehingga, bau pesing dari ngompolnya Chris semakin tajam tercium.
Kamarku sendiri dindingnya terbuat dari rotan yang dianyam, udara dari luar masuk ke kamar kami lewat celah-celah kecil dari anyaman tersebut. Karenanya, kamar ini sesak sekali.
Sudah tak terhitung berapa kali aku membayangkan untuk meruntuhkan beberapa bagian di "tembok" ini agar udara masuk, namun pengetahuanku akan apa yang akan kudapatkan dari tindakan itu menghentikan imajinasi liarku.
Namun, kalau boleh jujur ini bukan satu-satunya tembok yang berniat ingin kuruntuhkan. Tembok lainnya adalah tembok yang menutupiku dari dunia luar.
Tembok Pensylon, tembok pembatas Kerajaan Pensylon yang kalau rakyat biasa sepertiku berani menyentuhnya, bisa-bisa hilang tangan (sungguh, aku tak mengada-ngada)
Namun tak perlu aku berpikir jauh-jauh kesana, menyentuh lesung di pojok kamar ini saja aku diancam hukum pasung.
Kamarku sendiri hanya terdiri dari tiga tumpukan jerami dengan alas kain putih bersama dengan lemari lapuk yang sekarang sepertinya sudah jadi sarang rayap.
Lantainya sendiri hanya tanah biasa. Bukan terbuat dari keramik seperti Kastil Raja Pensylon yang ada di Muson sana, bukan juga dari kayu atau batu. Benar-benar hanya tanah.
Bisa dibilang, kamarku, Chris, dan Christina dulunya adalah gudang penyimpanan hasil panen. Bukannya aku buruk sangka, tapi aku punya beberapa bukti.
Jerami yang diubah kasur, lemari yang sudah lapuk, lesung di pojokan, tak lupa dengan beberapa hama tanaman di kamar ini, semuanya hanya bisa ditemui di gudang penyimpanan hasil panen.
"Ah! Akhirnya selesai juga!" ucapku.
Setelah selesai kubereskan "kamarku", aku segera bergegas ke bak mandi untuk pada akhirnya menghilangkan bau pesing tak tertahankan yang pindah dari lantai ke pakaianku.
...***...
"CHRISTOPHER! Kau itu sudah empat belas tahun masih saja mengulang kebiasaan... Kalau kau habis mandi, lap badanmu hingga benar-benar kering. Nanti kulitmu gatal-gatal." omel Ibu padaku.
Aku kesal, aku marah, aku benci, setiap kali Ibu mengatakan itu padaku. Saat ini ibu sedang di ruang makan dan aku di pintu masuk ke kamarku, tapi Ibu bisa tahu.
"Iyaaa! Aku tahu! Sabarlah!" keluhku.
Aku masuk ke kamarku, sambil terkadang menggerutu dalam hatiku soal hal kecil itu. Aku hanya tidak mengerti, sehebat apa pengelihatan Ibu.
Jarak Ibu dariku terpaut dua jendela besar dari rumah ini, tapi dia bisa tahu dengan detail dan akurat di bagian mana saja badanku masih basah.
Tanpa panjang lebar, kubuka lemari reyot yang dari bunyi pintu lemarinya saja sangat jelas mengindikasikan sudah berapa abad ia ada ditempat ini. Tak lupa, kuambil pakaian favoritku.
Baju yang awalnya berwarna kuning, hanya saja sudah hilang warnanya karena pewarnanya luntur keseringan dicuci; dan celana panjang coklat dari hadiah ulang tahunku yang ke-12.
Tak lupa kusisir rambutku yang seringkali menusuk kedua mataku karena sudah panjang dan ayahku masih menolak untuk memotongnya.
"Ayah hanya bisa memotong bulu domba, Christopher. Kalau Ayah disuruh memotong rambutmu, Ayah takut malah tanpa sengaja memotong lehermu." itulah yang kuingat.
***
"Ayolah! Cepat maju, dasar sapi sialan!" umpat ayahku pada sapi di depannya.
Ayahku sedang membajak ladang karena keluarga kami baru panen minggu lalu. Sehingga saat ini, dia membajak tanah agar bisa ditanami gandum.
Namun, sapinya tak mau maju. Aku terkekeh karena tahu alasannya. Karena sapinya terdiam melihat sapi betina milik Tuan Rivers tetangga sebelah.
"Hehe, sudahlah Ayah..." kataku menenangkan Ayah.
Ayah yang pada awalnya kesal, berubah muka setelah melihatku. Ia tersenyum dengan lembut sampai-sampai aku hampir lupa kalau dia baru saja mengumpat.
"Ah, Christopher. Sudah makan?" tanya Ayah.
"Sudah." jawabku sambil berjalan ke istal.
"Ah, Puji Jiwa Pensylon. Lalu kau mau kemana?"
"Aku mau bermain bersama teman-teman, Ayah."
***
Kriet!
Aku membuka pintu Istal. Istal ini cukup megah untuk ukuran seorang petani. Bahkan terlalu megah.
Aku bisa merasakan bahwa istal ini lebih mahal seluruh isinya jika dibandingkan dengan rumahku.
Selama aku berjalan di istal, aku menyaksikan tiga buah kuda warisan dari kakek.
Pertama ada Shadow, ia diberi nama begitu karena warna kulitnya yang sangat gelap. Segelap bayangannya, bahkan lebih gelap.
Kedua ada Wood, nama itu diberikan dengan alasan yang sama dengan Shadow, warna kulit. Kulitnya yang coklat membuat ayahku memutuskan untuk menamainya Wood.
Nah, yang ketiga ini adalah kuda kebanggaan keluarga Hamilton. Yakni Spirit III, biasanya kusingkat Spirit saja.
Spirit adalah kuda warisan dari kakekku, Kristoff Hamilton. Hampir sama dengan namaku bukan?
Konon katanya, Spirit I memiliki warna kulit yang seputih bulu domba dan juga bisa berlari dari Muson (Ibukota Pensylon) ke sini hanya dalam 1-2 jam (dengan kuda biasa butuh waktu sekitar 3 jam, cepat bukan?)
Saat aku mengingat cerita kakekku (tertulis di buku), aku terkadang heran. Walaupun Spirit III memang secepat Spirit I, bagaimana bisa Spirit III justru sehitam langit malam?
Kraak!
Aku membuka pintu bilik tempat Spirit tinggal. Kemudian aku berucap.
"Hai, Spirit. Siap untuk ke sana?"
Tak lama berselang, aku sudah duduk di pelana Spirit. Sesudahnya, kami berjalan keluar dari bilik dan juga akan menuju ke luar.
Selama aku keluar dari istal, aku selalu merasa bangga sekaligus merasa bingung setiap kali memikirkan bagaimana bisa kakek membeli kuda sebanyak ini.
***
Saat aku keluar dari istal, ayahku sudah menunggu di depan pintu. Sambil menyilangkan tangannya, ia berkata...
"Kau mau main apa, sampai-sampai membawa Spirit? Kau tidak akan balapan kuda lagi, kan?" tanya Ayah.
Aku membalas dengan cepat.
"Tidak kok, aku hanya ingin membantu Victoria menjual pupuk kandang keluarganya..." jawabku.
Ayahku menurunkan tangannya, dan berkata...
"Oh, begitu. Semoga Jiwa Pensylon melindungimu, Christopher."
Ayah tersenyum padaku, dan kubalas balik senyumannya. Lalu, kubalas pula ucapannya.
"Iya, Ayah juga. Ayo, Spirit!!" balasku sambil membawa Spirit maju.
Kuda itu meringkik dan melaju ke jalan raya. Menuju ke satu tempat, tempat dimana teman-temanku sudah menunggu.
"Norman, Victoria, tunggu aku." batinku.
***
Wheatville, desa sederhana ini adalah tempat tinggalku. Jaraknya sekitar tiga jam naik kuda ke Muson, ibukota Pensylon. Wajar saja mengingat tempat ini adalah yang sangat dekat dengan tembok pembatas Pensylon.
Tempat ini sesuai namanya, adalah desa agraris yang isinya adalah ladang gandum dan tanaman lainnya sejauh mata memandang ditambah beberapa rumah sederhana dari kayu maupun rotan.
Penduduk desa ini menggantungkan nasib hidup mereka lewat tanaman gandum yang semakin lama semakin sedikit dan buruk hasilnya karena tanahnya mulai tidak subur, dan juga lahannya yang sedikit demi sedikit dialihfungsikan untuk kepentingan Kerajaan.
Angin sejuk mengusap wajahku hingga rambutku yang panjang berterbangan bagaikan potongan-potongan kertas hitam. Segar sekali rasanya, kuhirup dalam-dalam. Rasanya ingin sekali kuhabiskan semua udara segarnya untukku sendiri.
Walaupun segarnya udara ini harus tercampur dengan aroma kotoran sapi dan asap dari rumah Tuan Miller yang sedang membakar daun kering, tapi tidak terlalu kuambil pusing karena aku terfokus pada tembok besar yang menghalangi cakrawala.
"Andai saja aku bisa melihat apa yang ada dibalik tembok sana..." pikirku.
Namun, Spirit meringkik dengan keras sehingga aku kembali melihat kedepan, dan...
"Demi Jiwa Pensylon!" ucapku terkejut.
Segera kutarik tali kekang Spirit, aku bisa melihat bekas gesekan tanah karena berhentinya Spirit secara tiba-tiba. Setelah kuberhenti, aku melihat apa yang ada dihadapanku.
Di hadapanku adalah kerumunan warga yang sedang berkumpul untuk melihat, atau tepatnya mendengarkan sesuatu. Karena aku sedang naik kuda, aku bisa melihat sesuatu yang mengundang perhatian mereka.
Sesuatu itu adalah adanya dua orang dengan baju besi dan sebuah pedang dan tombak raksasa di masing-masing punggung mereka. Tak lupa dengan lambang Kerajaan Pensylon di dada mereka.
Sudah jelas, mereka adalah anggota Knights of Pensylon. Para tentara yang rela mati demi nama Sang Raja dan demi keamanan rakyat Pensylon.
Tapi dipikir-pikir, mau apa tentara mulia seperti mereka jauh-jauh datang ke desa kumuh seperti Wheatville?
"Hei, nona. Apa yang para Knights of Pensylon itu lakukan disini?" tanyaku pada salah satu penduduk di dekatku.
Wanita tua itu tidak ingin melihatku sama sekali, tentu saja karena dirinya terlalu tertarik pada kedua anggota Knights of Pensylon itu. Sambil melihat, ia berkata...
"Entahlah, tapi mereka sempat menyinggung soal para pengguna kekuatan sihir." jawabnya.
Pengguna kekuatan sihir? Maksudnya penyihir? Setelah semua orang yang ditangkap ataupun dibunuh karena sihir, sungguh?
Aku ingat kalau Ayah dulu pernah cerita kalau saat dirinya muda, ada seorang penyihir yang dipenggal dan kepalanya ditendang Sang Algojo mengelilingi Pensylon seperti permainan sepak bola.
Kenapa demikian? Karena orang itu terbukti bersalah atas pembunuhan Lord Karl, alias Raja Pensylon sebelumnya dan juga ayahanda dari Lord Kris yang menjabat saat ini. Hukumannya memang terlalu kejam sih, tapi percayalah.
Jika Ayah dibunuh oleh seseorang, aku akan senang jika si pelaku diperlakukan sama seperti itu. Bahkan aku akan lebih senang lagi jika aku sendiri yang melakukannya.
...----------------...
Semenjak pembunuhan terhadap Lord Karl, Lord Kris memerintahkan semua orang yang punya kendali akan kekuatan sihir untuk dieksekusi atau setidaknya ditahan di penjara.
Tua maupun muda, pria maupun wanita, bangsawan maupun rakyat jelata, semua pengguna sihir jadi korban dari keganasan aturan itu.
Kurasa ada pengecualian bagi mereka yang sudah terlanjur bergabung dengan Knights of Pensylon. Karena aku pernah melihat adanya anggota Knights of Pensylon yang punya kekuatan sihir.
Tapi apapun itu, Puji Jiwa Pensylon aku bukan pengguna sihir...
...----------------...
Tanpa perlu kujelaskan, aku terlambat ke tempat kumpul biasaku dengan teman-temanku.
Tentu saja karena adanya anggota Knights of Pensylon berusan, aku harus melewati jalan lain yang lebih jauh untuk kesini.
Tempat kumpulku saat ini terletak di sebuah pohon apel yang ketinggian tanahnya sedikit melebihi tanah Wheatville.
Tanahnya dihiasi rumput hijau yang menyejukkan mata dan bunga daisy yang seringkali memikat kupu-kupu dan lebah.
Udara yang ada ditempat ini sejuk karena sinar matahari yang harusnya menusuk tanah hijau ini terhalang oleh pohon apel besar itu.
Ingin sekali aku tidur di bawah pohon ini karena udaranya yang sejuk. Tapi sayangnya di rumput hijau ini, akan ada ratusan semut yang akan menggigitku jika aku benar-benar melakukannya.
Tempat ini sangatlah nyaman untuk siapapun berkumpul. Oleh sebab itu, aku dan teman-temanku bermain disini. Walaupun kalau boleh jujur, temanku itu sedikit.
Hanya dua anak seusiaku di Wheatville yang mau berteman denganku, dan mereka berdua cemberut saat aku tiba di tempat biasa.
Raut wajah dan gerak tubuh mereka menunjukkan bahwa aku membuat mereka menunggu terlalu lama. Bahkan seekor kuda yang mereka bawa juga nampak membenciku.
Benar saja, tepat setelah aku turun dari Spirit, mereka memarahiku.
"Kau terlambat, Kristoff!" hardik seorang anak dengan pakaian ungu.
"Namaku Christopher, sialan!" balasku padanya.
Huh, kebiasaan sekali orang ini memanggilku dengan nama itu. Aku selalu kesal tiap kali temanku yang satu ini memanggilku begitu.
Namanya adalah Norman Alexander, putra dari kepala desa Wheatville. Aku bertemu dengannya saat ibuku tengah mengandung adikku, Chris.
Saat umurku empat tahun, aku ikut bersama Ayah mengantarkan Ibu ke rumah Tn. Alexander karena dia merasa perutnya sangat sakit. Ternyata, Chris sudah tak sabar melihat Skurendral.
Jadinya, Tn. Alexander bersama Ayah mengantar Ibu ke Muson. Meninggalkanku di rumahnya bersama Ny. Alexander, dan anak semata wayang mereka. Itulah saat pertama kali aku kenal dengan Norman.
"Kemana saja kau ini?!" teriak Victoria.
Lalu temanku yang ini bernama Victoria Hendrickson, gadis ini tinggal bersama pamannya, seorang penjual pupuk kandang. Gadis ini adalah sahabatku sekaligus tetangganya Norman.
Aku berkenalan pertama kali dengannya saat aku dan Ayah bersama-sama menjual hasil panen keluargaku ke pasar. Aku ingat kalau dulu dia menghardik kami karena kami "merebut" lapaknya.
Rupanya gadis ini salah orang, atau tepatnya salah lapak. Karena lapaknya yang sebenarnya adalah lapak kosong yang ada di sebelahku. Karena itu, dia minta maaf padaku dan saat itulah kami berkenalan.
Walaupun jujur, aku pernah melihatnya bermain bersama Norman sebelum aku mengenalnya. Saat aku mengunjungi Norman, terkadang aku melihatnya sedang bermain dengan Victoria.
"Maaf, tadi di jalan ada halangan." jawabku.
"Alasan." bantah Victoria menatapku dengan tajam dan menyilangkan tangannya.
"Aku serius, bodoh. Tadi ada anggota Knights of Pensylon yang menghalangi jalan. Jadinya aku harus memutar." bantahku balik.
Ceritaku membuat Victoria membuang pandangannya dariku, namun membuat Norman tertarik pada ceritaku. Saking tertariknya, dia seperti lupa kalau dia baru saja menghardikku.
"Anggota Knights of Pensylon? Di Wheatville? Mau apa mereka?" Norman tertarik.
Victoria juga tak dapat menyembunyikan ketertarikannya terhadap ceritaku. Walaupun wajahnya cemberut dan tangannya masih ia silangkan, namun sesekali gadis itu melirikku.
"Aku tak tahu. Tapi kata salah satu warga yang kutanyai di jalan, mereka datang karena adanya seorang pengguna sihir yang kurang mahir dalam bersembunyi." jelasku.
Norman bergumam tanda mengerti maksud ceritaku dan memakluminya. Victoria juga mulai menurunkan tangannya.
"Pantas saja. Lagi-lagi penyihir." kata Norman.
"Apa yang mereka lakukan pada si penyihir?" Victoria bertanya.
"Aku tak tahu. Setelah aku tahu alasan kedua anggota Knights of Pensylon itu datang ke Wheatville, aku langsung putar balik dan melewati jalan lain untuk kemari.
Bahkan kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak melihat pengguna sihir barusan. Yang kulihat hanyalah kedua anggota Knights of Pensylon tersebut." jawabku jujur.
Jawabanku mengakibatkan adanya reaksi kekecewaan dari wajah Norman. Sedangkan Victoria tak ada angin maupun hujan, malah murung dan duduk memeluk lututnya.
"Hei, Victor. Kau ini kenapa?" tanya Norman pada Victoria.
Victoria yang awalnya murung menaikkan kepalanya dan menyipitkan bola matanya ke arah Norman yang baru saja memanggilnya "Victor"
"NAMAKU VICTORIA!!" teriaknya pada Norman.
Percaya padaku, teriakan itu dapat membuat siapapun yang mendengarnya takut (atau berdebar-debar tepatnya). Maksudku, burung-burung yang hinggap di dahan pohon apel di belakangnya terbang semuanya.
"Mengerikan sekali..." pikirku.
Kalau aku saja takut setelah melihat tajamnya pandangan dan kerasnya teriakan Victoria, bagaimana dengan Norman?
"Santai saja, Victor-ia." kata Norman tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Orang ini sudah gila. Aku yang hanya mendengar dan melihat Victoria marah seperti itu saja sudah takut, kenapa dia yang jelas-jelas jadi orang yang dimarahi malah tenang dengan wajah tanpa dosa?
"Hmm..." Victoria cemberut.
Gadis ini kenapa sih?
"Hei, kau ini kenapa sih?" tanyaku.
"Dia memanggilku Victor, Christopher! Victor kan nama laki-laki!"
Ucap seseorang yang terkadang ikut-ikutan memanggilku Kristoff, dasar munafik.
"Aku tahu itu, maksudku sebelumnya. Kenapa kau tiba-tiba cemberut?" kutanyakan kembali.
"Ya, Victoria. Kenapa kau mendadak murung?" Norman sependapat denganku.
Victoria diam saja. Namun tidak untuk waktu yang lama. Beberapa saat kemudian, gadis itu angkat bicara.
"Tidakkah kalian merasa kalau diskriminasi terhadap para pengguna sihir di Kerajaan Pensylon itu sudah kelewatan?"
Aku merenungkan pertanyaannya. Benar juga apa yang Victoria katakan. Apakah memang yang dilakukan Kerajaan Pensylon terhadap para pengguna sihir itu sudah terlalu berlebihan?
"Tak perlu mengasihani para pengguna sihir. Mereka memang pantas menerima hukuman dan perlakuan seperti itu.
Maksudku, sudah berapa kali para penyihir hina itu membuat masalah di Kerajaan Pensylon?" jawab Norman dengan dingin.
Victoria nampak kesal saat Norman berkata seperti itu. Memang benar, Norman berucap seolah-olah tidak peduli akan nyawa para penyihir.
"Norman! Sebagian dari mereka hanyalah anak-anak!" bantah Victoria.
"Lalu kenapa kalau mereka anak-anak? Apa kita harus membiarkan anak-anak yang akan membuat lebih banyak masalah di masa depan?
Kau mungkin bisa kasihan pada mereka, Victoria. Tapi maaf, tidak denganku." Sembari mengepal tangan, Norman membuang mukanya.
Aku mengerti dinginnya sikap Norman terhadap para penyihir. Karena kejadian naas menimpa kedua orang tuanya saat pergi ke Kruelfeld (Kota yang terletak di dekat Muson, namun lebih jauh).
Seorang penyihir tiba-tiba saja menyerang kedua orang tuanya. Ayahnya selamat, namun tidak dengan ibunya. Yang paling parahnya, pelakunya berhasil kabur dan masih belum ditemukan hingga sekarang.
"Apa karena itulah kau ingin mendaftarkan dirimu ke Knights of Pensylon hari ini?" tanya Victoria yang nada bicaranya semakin menurun.
Temanku ini yang sebelumnya menatap Victoria dengan dingin berubah jadi menatapnya dengan murung. Jujur, aku jadi sedih juga melihatnya.
"Kalau boleh jujur, iya. Itulah alasanku." katanya pelan.
Sial, aku hampir lupa.
Norman akan meninggalkanku dan Victoria di Wheatville karena dia akan mendaftarkan diri menjadi anggota Knights of Pensylon mulai besok.
Kami bertiga sedih karena semua yang telah kami bertiga lakukan selama ini akan berubah jadi kenangan, dan mungkin hari ini akan menjadi hari terakhirnya bersama kami.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!