"Febri! Mana kamu?" teriak Ibu Sella kepada sang menantu yang telah mengenakan pakaian kerja dan menuju pintu keluar.
Febri hanya mampu membuang nafas panjang dan mempercepat langkahnya, ia tidak menghiraukan sang ibu mertua yang berada di dapur tengah memanggilnya.
Ibu Sella yang tidak mendengar sahutan menantunya, segera menyudahi aktivitas mencuci dan mencari keberadaan sang menantu.
"Febri! Kamu budek, ya? Ibu panggil berkali-kali! Kamu gak menyahut!" pekiknya kesal, ketika melihat sang menantu tengah berada diambang pintu.
"Febri harus kerja, Bu! Ini, sudah jam berapa? Mas Yusuf dah berangkat dari tadi! Sedangkan, Febri?" jelas Febri Ayunda kepada sang ibu mertua, Marsella yang kini tengah berkacak pinggang di hadapannya.
Ibu Sella tidak menggubris apa yang dijelaskan oleh menantunya itu, ia langsung menarik Febri dan memintanya untuk mencuci piring.
"Jangan cari alasan! Kamu nyuci dulu! Baru, boleh pergi!" bentak Ibu Sella yang tidak mau dibantah.
"Dasar! Menantu Durhaka! Tunggu saja, Yusuf pulang! Ibu akan adukan kamu! Kalau, suka melawan dan tidak mau di suruh, Ibu!"
Kata-kata Ibu mertua yang membuat Febri tidak kuasa menahan tangisnya, cairan bening itu jatuh. Membasahi pipinya yang putih dan mulus. Selama sang ibu masih hidup, Febri tidak pernah diperlakukan seperti ini. Hanya, setelah ia menikah dan tinggal bersama ibu mertuanya. Febri diperlakukan seolah babu.
"Sabar, Febri! Ini memang pekerjaan seorang istri," gumam Febri memotivasi dirinya. Setiap hari, sarapan wanita itu hanyalah pekerjaan rumah. Dari memasak, hingga mencuci harus dilakukan. Jika, tidak? Maka, sang mertua akan ngomel-ngomel. Dari pagi, sampai malam hari.
Febri Ayunda yang tidak ingin berujung pada pertikaian antara dirinya dengan sang mertua, dia pun mengerjakan semuanya.
Setelah, mencuci. Ferbi segera pergi, dilihatnya sang mertua yang tidak ada. Ini adalah kesempatan emas untuknya.
Ketika, ia telah berada di depan gang rumahnya. Febri melihat ibu mertuanya tengah berbelanja sayur, ia pun segera mempercepat langkahnya. Menghindari wanita itu.
Namun, sayang. Ibu Sella melihat Febri yang jalan dengan tatapan lurus kedepan. Seolah tidak melihat keberadaannya, hal itu membuat Ibu Sella merasa tersinggung dan memaki menantunya itu.
"Febri! Kamu tidak mau pamit sama Ibu? Kamu memang, menantu durhaka!" pekiknya dan membuat perhatian para ibu-ibu yang lain. Mereka saling berbisik-bisik tentang sikap Febri pada ibu mertuanya sendiri.
"Menantu zaman sekarang, banyak yang tidak bisa menghormati mertuanya," ujar ibu yang memegang cabe.
"Memang begitu, apalagi yang sudah bekerja! Mertuanya dianggap babu," ujar ibu yang memilih ikan.
Semua kata-kata menohok itu, bisa Febri dengar dengan baik. Sedangkan Ibu Sella yang merasa dirinya dibela, semakin menyudutkan Febri.
"Febri! Kamu dengar tidak!" teriak Ibu Sella yang tidak digubris oleh menantunya itu. Dia malah mempercepat langkahnya dan berlalu begitu saja. Meninggalkan umpatan dari sang mertua.
"Dasar menantu durhaka! Tunggu Yusuf pulang! Ibu suruh ceraikan kamu!"
Kata-kata terakhir dari Ibu Sella membuat Febri begitu muak, seperti biasanya. Nanti, ia akan dimarahi habis-habisan oleh sang suami.
Namun, sebelum itu. Febri harus cepat sampai ke kantor, bisa dimarahi bos dia. Jika, terlambat terus. Andai saja, suaminya mau tinggal terpisah dari sang ibu. Mungkin, rumah tangga mereka akan damai.
"Haruskah aku minta dibelikan rumah? Tapi, Mas Yusuf mana ada uang? Jangankan, untuk membeli rumah? Untuk beli skincareku aja belum bisa," gumam Febri yang terus berjalan hingga keluar gang rumahnya. Ketika dia sibuk melihat kekiri dan ke kanan untuk mencari kendaraan umum. Tiba-tiba saja sebuah mobil sport berwarna silver berhenti tepat di depannya.
"Butuh tumpangan?" tanya seorang pria tampan seraya menurunkan kaca mobilnya.
"Bisa terjadi fitnah ini," batin Febri.
Dia dilema sendiri, mau menolak ajakan Pak Martin. Akan tetapi, dia bisa terlambat.
"Mau atau tidak?"
Dengan berat hati, Febri menerima ajakan bosnya itu. Dia naik ke mobil dan duduk disamping pria tampan yang tengah duduk dibalik kemudi.
Ah… tidak ada kata yang mampu mengambarkan pria yang satu ini, tampan, kaya, dan yang pasti. Banyak wanita yang tergila-gila.
Namun, tidak dengan Febri. Dia telah berstatus istri Yusuf dan dia hanya menjalin hubungan bisnis dengan pria yang ada di sampingnya itu.
"Kenapa selalu telat? Kamu gak takut dipecat?" tanya pria itu tanpa mengalihkan perhatiannya.
Febri membuang nafas panjang, dia tidak mungkin menceritakan. Jika, disuruh menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu. Baru, boleh pergi bekerja. Apalagi yang menyuruhnya adalah sang ibu mertua, itu sama saja dengan membongkar aib rumah tangganya.
"Kenapa diam, saja?" tanya–nya lagi. Sebab, tidak mendapatkan jawaban dari wanita yang selama ini menarik perhatiannya. Dimana, wanita pada umumnya akan menjerit dan berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Namun, berbeda dengan Febri. Wanita itu terkesan dingin dan kaku, bahkan sangat sulit untuk diajak berbicara. Jika, bukan masalah pekerjaan atau hal yang mendesak.
"Jika, Anda keberatan membawa Saya? Tinggalkan, ditepi jalan," pinta Febri tanpa menoleh ke arah bosnya itu.
"Hahaha… mana bisa saya meninggalkan wanita cantik dipinggirkan jalan," gelaknya yang tidak habis pikir dengan ucapan Febri. Anak buahnya itu, sungguh menarik. Namun, sekali lagi sayang. Nasibnya tidak mujur, sebab menikahi Yusuf yang hanya bekerja sebagai office boy.
Pekerjaan yang paling rendah di perusahan yang Martin keola, sedangkan Febri. Menduduki tingkatan yang bisa dibilang tinggi. Dia bekerja dibagian marketing dan selalu berinteraksi dengan Martin sebagai pemilik perusahan tersebut.
Tidak terasa mobil yang dikendarai oleh Martin memasuki area kantor, Febri meminta diturunkan di depan gerbang. Sebab, takut menjadi pusat perhatian dan gunjingan karyawan lainnya. Sering kali, mereka yang iri dengan kedekatannya dengan Pak Martin. Membuat isu-isu yang mengatakan, jika dirinya menjadi simpanan pria tersebut.
Pada akhirnya, Febri akan bertengkar dengan sang suami yang merasa rendah diri dan makhluk paling tidak berarti. Dengan susah payah, Febri akan membujuk suaminya dan memberikan pengertian.
Bukan, suaminya. Bukan lagi mertuanya. Jika, mereka bertengkar. Maka, wanita itu akan memanas-manasi keadaan dan terjadi lah letusan gunung merapi. Hingga, Febri harus pulang ke rumah ayahnya. Guna menenangkan diri dan mencari solusi akan masalah yang tengah dihadapi. Hal, itu pula yang membuatnya enggan berurusan dengan Pak Martin. Kecuali, pekerjaan.
"Dek! Baru datang?" tanya Yusuf. Ketika, melihat istrinya yang berjalan mendekati area kantor. Dengan senyuman mengembang, seolah tidak memiliki beban. Febri mendekati sang suami dan menarik pelan tangan lelaki itu, lalu menciumnya lama. Dilanjutkan, dengan mengecup pipi Yusuf. Lelaki yang ia sayangi sepenuh hati, tanpa melihat harta atau tahta.
"Iya, Mas. Aku masuk dulu, ya? Mau absen," jelas Febri dan mendapatkan anggukan kepala dari sang suami.
Yusuf melanjutkan pekerjaannya, dia ingin membuang sampah di bagian luar. Pekerjaannya sebagai office boy yang mengharuskannya datang lebih awal dari karyawan yang lain.
Namun, tanpa mereka sadari. Ada sepasang mata melihat adegan romantis tersebut, "Kapan, aku bisa diposisi Yusuf?"
Bab 2 Hari Bekerja
Febri segera melangkah dengan cepat, banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan hari ini. Bukan di rumah, bukan pula di kantor. Semua menyiksa untuknya, akan tetapi. Mau bagaimana lagi, dirinya masih memerlukan uang tambahan.
Disaat Febri tengah serius menatap layar komputernya, suara sang suami membuat ia mendongak dan menatap lelaki itu.
"Dek, diminum kopinya," pinta Yusuf kepada sang istri. Dia tahu, jika Febri belum sarapan. Sebab, sarapan setiap hari istrinya itu hanya lah pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya.
"Makasih, Mas," ucap Febri seraya tersenyum manis kepada sang suami. Senyum yang hanya diberikan kepada lelaki yang halal untuknya.
Yusuf mengelus pucuk kepala sang istri, membuat wanita itu menjadi cemberut.
"Jangan dikerucutkan, bibirnya! Nanti, Mas isap loh!" jelas Yusuf menggoda sang istri dan mendapatkan cubitan dari wanita itu.
"Aw!" pekiknya kesakitan.
Mona yang gemas akan tingkah pasangan pengantin baru tersebut, tidak tahan untuk menggoda.
"Ehem… yang suka isap–mengisap. Emangnya permen?" ledek Mona membuat wajah sahabatnya, Febri memerah seperti buah tomat. Sedangkan, Yusuf hanya diam dan berlalu. Membuat Mona merasa kesal akan sikap lelaki itu.
"Beb! Lihat, suamimu! Dia, main kabur aja," jelas Mona meminta bantuan dari Febri. Akan tetapi, tidak digubris oleh wanita itu. Membuat, Mona semakin kesal. Seraya menghentakkan kakinya.
"Gak suaminya? Gak istrinya? Sama-sama bikin darting!" ujarnya berlalu. Meninggalkan meja Febri dan menuju meja kerjanya sendiri.
"Dasar! Perawan tua," gumam Febri pelan dan mengisap kopi buatan suami tercinta.
Nikmatnya kopi, bagaikan minuman yang memabukkan. Membuat Febri semangat menjalani hari yang berat.
Ketika, Febri tengah fokus pada pekerjaannya. Dia dipanggil oleh Pak Martin, bosnya itu membuat Febri membuang nafas panjang. Bukan, berarti ia tidak berterima kasih telah diberi tumpangan gratis.
Namun, Febri merasa risih akan sikap overfosesif sang bos. Padahal, mereka hanya berstatus sebagai bawahan dan atasan saja. Tidak lebih, akan tetapi. Kedekatan mereka, terkadang disalah artikan oleh sebagian kariwayan lainnya.
Dengan langah gontai, Febri pergi menemui Pak Martin. Didapatinya lelaki itu tengah sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di tanga Pak Martin.
"Permisi, Pak. Anda, memanggil saya?" tanya Febri yang masih berada di ambang pintu. Sampai lelaki itu menatapnya sekilas dan menyuruhnya untuk masuk.
Degup jantung Febri berdebar dengan kuat, bagaimana bisa dipungkiri. Jika, Pak Martin adalah sosok lelaki idalam. Kaya, tampan, dan yang pasti. Dia adalah menantu idaman setiap mertua, tidak akan ada orang tua yang akan menolak anaknya untuk dipinang oleh Pak Martin.
"Tolong … kamu selesaikan berkas yang ini," pinta Martin seraya menyerahkan map berwarna merah kepada Febri. "Saya ada meeting siang ini!" tambahnya.
Febri hanya bisa menuruti perintah atasanya itu, hingga membuat Febri terlambat untuk makan siang. Ditambah mereka yang hanya berduaan diruangan tersebut, membuat perasaan Febri semakin tidak nyaman. Sebab, Pak Martin yang ingin agar Febri mengerjakan tugas yang ia berikan di dalam ruangannya.
"Pak! Ini sudah jam makan siang … dan pekerjaan saya sudah selesai. Jadi—"
"Pergilah!" perintah Pak Martin yang memotong ucapan Febri. Membuat, wanita itu mengambil langkah seribu. Sebab, ia yakin jika sang suami tengah menunggunya.
"Mas Yusuf, pasti sudah menungguku," gumam Ferbi seraya mempercepat langkahnya, menuju ke kantin kantor. Dia melihat sang suami yang tengah duduk bersama dengan Mona, rekan kerjanya.
Walapun Febri dan Yusuf satu kantor, akan tetapi mereka memiliki perkejaan dan tinggatan yang berbeda.
Dengan suara lembut Febri memanggil suaminya. "Mas, dah lama disini?" Febri mengusap bahu Yusufi dan mengecup sekilas pipi sang suami, baru kemudian dia duduk disamping lelaki itu.
Mona yang melihat adegan tersebut, langsung pura-pura mau muntah. "Ugh… makananku baru masuk! Jangan, kalian racuni," ucapnya mendramatiskan keadaan.
Febri tidak menanggapi apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu, dia memilih membukakan rantang makanan suaminya. Lalu, mulai menyantap bekal makanan yang dia masak untuk sang suami bersama.
"Dek, kata dia." Yusuf menunjuk Mona membuat wanita itu melotot. "Kamu… lagi mojok dengan Pak Martin?" tanya Yusuf yang ingin tahu kebenarannya.
Membuat Febri mengendus kesal, akan apa yang diadukan oleh suaminya. Kemudian menatap sekilas Mona, lalu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Adek tadi, cuma mengantar berkas, Mas. Itu pun Pak Martin yang minta! Lain kali … jangan dengarkan bisik-bisik tetangga," jelas Febri seraya mengusap tangan suaminya dan mendapatkan anggukan kepala dari lelaki tersebut.
Sedangkan Mona hanya mampu mengendus kesal, dia tidak menyangka jika Yusuf akan menanyakan apa yang ia katakan sebelumnya kepada Febri.
Mereka bertiga makan siang dengan diselingi candaan, walaupun hanya Mona yang sering tertawa. Sedangkan Yusuf hanya diam dan menjadi pendengar. Hingga jam makan siang berlalu, mereka pun kembali pada pekerjaan masing-masing.
Karena pekerjaan Febri yang banyak dan menumpuk ketika di akhir bulan seperti ini, membuatnya agak terlambat untuk pulang. Untung suaminya dengan sabar menemani, sampai mereka tidak sengaja bertemu dengan Pak Martin yang sudah hendak pulang.
"Beb! Kenapa belum pulang, juga?" tanya Martin seraya mengusap dahinya.
Febri menjelaskan jika ada beberapa berkas yang belum siap, hingga Pak Martin memerintahkan Febri untuk segera pulang dan menyelesaikannya besok.
Yusuf hanya diam mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Pak Martin kepada istrinya, sampai lelaki itu pergi dan mereka pun memilih bersiap-siap untuk pulang.
Sebenarnya, ada perasaan cemburu yang menyeruak di dalam hatinya. Yusuf memang bekerja dibagian rendah, berbeda dengan sang istri. Namun, ia tidak menyukai akan sikap perhatian yang Pak Martin berikan kepada sang istri. Terlebih, panggilan lelaki itu yang bisa disalah artikan oleh orang yang mendengar.
"Dek, Pak Martin itu galak, ya?" tanya Yusuf ketika mereka berada diarea pakiran, dia ingin mencari informasi tentang kedekatan sang istri dengan Pak Martin.
Bukan, Yusuf tidak percaya dengan apa yang dijelaskan oleh istrinya. Namun, ia bisa melihat. Jika, ada gurat kekhwatiran yang tersirat dari wajah Pak Martin. Ketika, menyapa Febri dan menanyakan tentang tugas yang belum istrinya selesaikan.
Febri yang duduk di jok belakang motor, memeluk erat pinggang sang suami dan mendekatkan wajahnya ke telinga lelaki itu. Lalu, menjawab pertanyaan sang suami.
"Pak Martin tidak galak! Dia cuma tegas, Mas! Nanti, aku jelasin bagaimana karakternya. Setelah sampai di rumah!" jelas Febri
"Seberapa dekat, mereka?" batin Yusuf.
Suami mana yang tidak cemburu, ketika sang istri bekerja dan memiliki hubungan dengan sang bos. Dimata orang-orang, pasti akan menanyakan hal yang nengatif. Begitupun dengan Yusuf, akan tetapi ia sadar. Jika, gajinya tidak seberapa dan tidak mampu memberikan yang lebih untuk snag istri.
"Maafkan, aku Mas. Telah, berbohong."
Setelah pulang ke rumah, Febri harus dihadapkan oleh pekerjaan yang menumpuk. Dari mengepel dan menyapu, hingga menyetrika baju. Tidak lupa pula, memasak untuk makan malam mereka.
Mau menangis, akan tetapi tidak bisa. Febri hanya mampu menjalani ini semua dengan ikhlas. Sebab, memang tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik.
Yusuf yang tahu jika istrinya seharian ini bekerja keras, tidak tega dan berniat ingin membantu. Mengurangi pekerjaan sang istri, akan tetapi niat sebaiknya dihentikan oleh sang ibu.
"Mau ngapain, kamu, Suf?"tanya Ibu Sella. Ketika melihat putranya beradaa didapur.
"Mau masak, Bu," jelas Yusuf dengan celemek yang melekat dibadan bidangnya dan mulai memotong-motong sayuran.
Ibu Sella mengendus kesal dan meminta agar putranya itu meninggalkan pekerjaan tersebut, lalu menyuruh istrinya untuk mengerjakannya.
Namun, Yusuf membujuk ibunya dan memberikan pengertian. Jika, ia ingin memasakan sang ibu makan malam yang spesial.
Jurus jitu Yusuf berhasil, Ibu Sella membiarkan putranya itu memasak dan memilih duduk di ruangan tamu, lalu menonton televisi.
Acara drama koreanya selalu di sore hari, membuat Ibu Sella malas melakukan apapun dan memilih uring-uringan di depan televisi. Lalu, menonton acara favoritnya itu.
Sedangkan Febri harus mengusap keringat yang terus bercucuran, seperti keran bocor. Kemeja putihnya, menjadi basah dan kotor. Baju yang dulu amat dibanggakannya, sebab bisa bekerja di perusahaan besar di tempatnya sekarang tidaklah mudah. Banyak, perjuangan dan kerja keras yang diabaikan untuk berada di posisi sekarang.
Suara sang suami, menghentikan aktivitas mengepelnya. "Dek, kamu mandi dulu. Sudah senja ini! Tidak baik untuk perempuan menunda mandi hingga malam!" perintah Yusuf dan langsung dikerjakan oleh istrinya itu.
"Dek, semoga semua perbuatanmu dibalas Tuhan berlipat ganda," guamam Yusuf berharap seraya memandang punggung istrinya yang telah menjauh.
***
Malam harinya.
Setelah makan malam bersama, Ibu Sella mulai memancing pembicaraan dengan sang putra.
"Suf, istrimu tidak patuh sama Ibu!" adunya dengan nada yang dibuat-buat sedih. Seolah dirinya yang dizalimi. Sedangkan Febri hanya mampu membuang nafas panjang, drama indosiar dimulai.
Yusuf tidak langsung menanggapi apa yang dikatakan oleh ibunya, dia menanyakan hal itu kepada sang istri terlebih dahulu.
"Benar, Dek?"
Dengan raut wajah masam, Febri menjelaskan. Jika, ia lupa pamit sama Ibu Sella. Karena, dia tidak mau mengganggu waktu ngerumpi mertuanya ditempat abang sayur.
Yusuf berusaha untuk selalu bijaksana dalam menghadapi suatu permasalahan, dia kembali menanyakan hal tersebut kepada sang ibu. Menjadi perantara yang menyambung hubungan antara ibunya dan sang istri, sebab Yusuf tahu. Jika, ibunya tidak pernah menganggap sang istri seperti anaknya sendiri.
"Apa benar yang dikatakan oleh, Febri, Bu?"
Ibu Sella merasa kalah saingan dengan menantu–nya dan mencari-cari alasan, agar Febri dimarahi oleh Yusuf.
"Dari pagi, Suf! Sebelum Ibu ke tempat Amang sayur. Istrimu mau nyelonong aja, gak mau bantuin, Ibu."
Febri tidak terima akan apa yang dikatakan oleh mertuanya itu dan langsung protes.
"Aku harus kerja, Bu! Lagian, hanya nyuci piring? Masa Ibu gak bisa ngelakuinnya sendiri?" jelas Febri kesal akan drama yang dimainkan oleh mertua–nya itu.
"Dek, jangan tinggikan suaramu di depan Ibu," pinta Yusuf lemah–lembut. Namun, diartikan lain oleh Febri. Dia merasa jika suaminya lebih memilih sang ibu daripada dirinya.
Febri berlalu begitu saja, meninggalkan sumai dan ibu mertuanya. Dia memilih mengurung diri dikamar, sedangkan Yusuf berusaha memberikan pengertian kepada ibunya. Agar mengerti akan keadaan Febri yang memiliki pekerjaan diluar.
Tidak serta-merta, menjadikan istrinya. Harus menyelesaikan pekerjaan rumah, sedangkan Febri juga memiliki pekerjaan yang lain.
"Jadi, kamu belain Febri? Daripada ibu, gitu? Yang selama ini membesarkanmu dengan susah–payah. Hingga, kamu bisa lulus sekolah dan bekerja? Jadi, ini balasan yang Ibu dapat untuk semua pengorbanan yang telah Ibu lakukan?"
Pertanyaan-pertanyaan menohok tersebut, membuat Yusuf tidak mampu berkata apa-apa lagi dan memilih untuk menyusul istrinya ke kamar. Meninggalkan omelan panjang kali–lebar sang ibu. Daripada dia melawan yang akan berujung jadi Maling Kundang? Lebih baik, ia menghindar.
Yusuf mendorong pelan daun pintu dan masuk kedalam, serta mengunci pintu kamar mereka. Takut-takut, jika ibunya tidak puas marah-marah sendiri dan menghampiri mereka.
Didekatinya sang istri yang tengah berbaring dengan menyelimuti seluruh badannya, dipanggilnya lembut wanita itu. "Dek … kamu masih marah?"
Isak tangis yang susah payah Febri tahan akhirnya pecah juga, dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan langsung memeluk sang suami. Tangisnya pecah didalam dekapan hangat suaminya, tempat paling nyaman yang ia miliki setelah sang ayah.
"Dek, maafkan Ibuku, ya? Dia memang suka berbicara kasar, tapi hatinya baik ko'," jelas Yusuf seraya mengusap rambut panjang sang istri dan menghirup aroma sampo yang masih melekat di setiap helai rambut.
Bagaikan aroma terapi yang menenangkan jiwa, menjadi candu untuk Yusuf.
"Mas, kenapa Ibu seperti itu? Aku dah berusaha keras untuk menjadi istri yang baik untukmu. Tapi, seolah semua itu tidak ada artinya bagi Ibu," jelas Febri menumpahkan perasaan sakitnya. Dia merasa usahanya selama ini sia-sia, sebab sang ibu mertua selalu saja mencari-cari kesalahannya.
Disaat seperti ini, membuat Febri rindu akan almarhum ibundanya. Ibu Mariana sangat lemah–lembut dan penuh kasih sayang dalam mendidiknya. Bahkan, tidak pernah memaksakan kehendaknya pada Febri.
"Sebab … Ibu Yana, Ibu kandungmu. Sedangkan ini, ibuku, Dek. Walaupun sama-sama ibu? Mereka orang yang berbeda," jelas Yusuf yang mengira jika istrinya menangis. Karena, merindukan almarhum ibunya.
Febri mengusap air mata yang membasahi pipinya dan menatap lekat wajah sang suami dan menanyakan hal yang menohok.
"Aku tahu, Mas. Jika, dia ibumu! Bukan, ibuku. Tapi, boleh tidak? Jika, aku meminta dia menjadi seperti ibuku? Mas, tahu sendiri! Jika, Ibu pernah mengakui aku anaknya! Dia selalu mengatakan, jika aku hanya menantu!" jelas Febri merasa kecewa dengan sikap Ibu Sella kepadanya.
Yusuf mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan, dia menanyakan apa yang diinginkan oleh istrinya ketika nanti dirinya gajian.
"Mas, mau kasih beliin kamu hadiah? Jadi, kamu mau apa?" tanya Yusuf dengan antusias. Namun, berbeda dengan Febri. Dia hanya tersenyum kecut mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya. Memang benar, besok mereka akan gajian.
Akan tetapi, gaji suaminya dibawa gaji miliknya. Ditambah, harus dibagi tiga. Antara dirinya, sang mertua dan suaminya. Gaji pokok seorang office boy hanya dua juta per–bulan, dibagi tiga. Hanya menyisakan enam ratus sekian.
Febri hanya mampu gigit jari, untung rumah yang mereka tempati milik orang tuanya. Sedangkan, rumah dinas untuknya ditinggali oleh sang ayah. Jika, tidak? Febri tidak mampu membayangkan apa yang terjadi dalam rumah tangganya yang baru berusia sejagung.
"Dek, jadi kamu mau apa?"
Pertanyaan sang suami membuatnya, terkejut dan salah tingkah, "Hah … mau yang itu!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!