...🌻Salam Cinta dari hati Penulis....
...Sebelum mulai membaca ... Mohon nilai karya ini, ya, Kakak yang baik. Mohon dukungannya, like, vote dll karena novel ini ikut serta dalam Lomba Pengkhianatan....
...TERIMAKASIH dan SELAMAT MEMBACA🌻...
🍁---------------🍁
"Dek, sebentar lagi Piala Dunia, tebak siapa yang menang?" Sean menyeruput es lilin rasa rujak.
"Mbape." Lena teringat situs resmi FIFA. Dia membuka hp untuk mengecek notifikasi, tetapi internet nya lemot. Es lilin yang masih utuh diseruputnya. Kemudian Lena tak sengaja menyemburkan kuah hingga mengenai wajah Sean. Lena kembali membaca layar ponsel dan memandangi latar rumah yang asri. "Qatar Qatar! Mbape aku datang. Allahu Akbar, Alhamdulillah."
8"Kalau nyembur ati-ati. Buset hidungku, pedes!" gerutu Sean. Sean makin penasaran, tetapi matanya terlanjur perih. Dia berlari tanpa alas kaki, melewati pelataran semen. Telapak kaki terasa terbakar hingga dia harus berjinjit, lalu membilas mata menggunakan air ledeng dengan tak sabar.
"Ibu! Bapak! Lena terbang ke Qatar!" Lena bolak-balik di tengah garis pintu. Dia gemetar dan berulangkali membaca surat elektronik.
"Lena bilang mau ke Qatar. Mau naik pesawat? mahal loh. Uang darimana, memang punya?" ujar ibu tetangga yang berambut keriting yang baru datang karena teriakan Lena. Dia tertawa dalam hati karena orang tua Lena hanya penjual keripik pisang.
"Bahaya lagi, anak gadis dilepas jauh-jauh. Ntar pulang-pulang-" Seorang ibu tetangga lain membuat gerakan di depan perut, yang artinya hamil. Namun, kata-katanya tidak dihiraukan penjual keripik, dan membuat kesal.
"Qatar?" Sujatmiko, ayah Lena yang baru keluar dari dalam rumah, langsung menerima ponsel yang diulurkan sang putri. Dia mengabaikan para tetangga yang julid. Sujatmiko bingung menatap layar ponsel karena tidak mengerti tulisan bahasa asing. Kemudian memandang khawatir pada mata Sean. "Sean, matamu merah sekali?"
"Mukaku disembur asinan, Ayah." Sean tidak melanjutkan kalimatnya, dia tertegun karena logo Favorit di ponsel milik sang adik. Dia mulai mencerna teriakan Lena tadi, lalu menatap adiknya. "Seriously ?"
Sean membaca surat Elektronik dengan seksama. "Buju gila. Lena jadi sukarelawan di Piala Dunia FIFA. Jadi, Lena masuk kloter pertama dari seluruh dunia yang akan berangkat ke Qatar. Wow!"
"Allahu Akbar, Alhamdulillah, Mashaallah!" Sujatmiko mengusap wajahnya dengan tak bisa berkata-kata.
"Sukarelawan!" teriak sang ibu yang baru datang, ikut histeris dan otaknya mulai berkelana. "Ke Qatar butuh uang, kan, Na? uangnya padahal bisa buat bapak umroh?" Sumarni mendapat tatapan cemberut dari sang putri. Jari-jari yang menghitam karena getah pisang, lalu menghapus air mata Lena. "Kamu mau berangkat ke Qatar?"
⚓
Dua minggu kemudian, surat keterangan baik dari polisi, paspor, visa dan tiket hotel untuk dua hari pertama telah siap.
"Ekhem!" Sean berdiri di garis pintu. Dia mengambil alih perhatian dan mendapat tatapan curiga dari adik dan Ibu. Sean duduk diantara mereka. Kaos putih kesayangan dan spidol yang disembunyikan dari balik punggung ditumpuk ke atas koper yang terbuka.
"Lena Paramita, titip." Sean memasang wajah termanis, lalu memeluk Lena. "Ayolah, Dik. Uangnya sebagian dari Kakak. Pokoknya kamu harus dapat tanda tangan. Messi, Mbape dan Ronaldo."
"Huh, iya-iya, Kaka. Kalau ketemu. Udah lepasin sesek tahu! Kakak bau kecut!" Dia merintih saat dagunya justru dicengkeram dan gigi Sean bergemertuk. "Abang, mah suka maksa. Baru L minjamin 25 aja!"
"Dek! itu tabungan Kakak. Uang lembur kakak! kepala jadi kaki- kaki jadi kepala. Kalau nggak terima, cepat balikin!"
"Kalau aku belum bisa balikin, potong warisan aja, ya." Lena langsung mundur ke belakang saat Sean akan memasukan kepala Lena, ke celah kaos dan perut Sean yang lengket. "Jijay! Ibu tolong!"
"Sudah, jangan banyak guyon. Periksa sudah semua apa belum? Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk bapak." Ibu Sumarni dalam gerakan cepat menarik Sean agar tidak menganggu adiknya.
Sejujurnya, ada perasaan tidak rela untuk melepas kepergian Lena. Walaupun, sudah berusia 26 tahun, Lena tetap perempuan lemah dan banyak gaya dan takut bila itu akan menjadi masalah.
Lena menyeret koper keluar dari rumah dengan dipandangi kakak, ibu dan ayahnya. Ini pertengahan November. Dia menatap ke langit biru tanpa awan sambil berdoa semoga pulang-pulang menemukan KEJELASAN HUBUNGAN DENGAN KEKASIHNYA.
Seminggu kemudian...
Suhu di luar Stadion mencapai 29 derajat celcius. Lengan putih kemerah-merahan, terasa perih terbakar oleh matahari walaupun sudah dilapisi sunblock. Sekumpulan orang didepan yang memakai T-shirt merchandise belang-belang biru-putih, menghalangi pandangan. "Di mana dia?"
Saat Lena berlari, benturan keras tak terelakkan. Perut bidang kokoh dan berbau citruz menyatu dengan dadanya dimana tangan panas mencengkeram di bokong dan bahu mungil, membuat Lena gemetar. Pegangan kuat tangan besar itu berpindah dari bokong ke lengan mungil dan mendorongnya . Seragam Adidas milik Lena tersangkut di syal orang itu.
"Maaf, biar aku lepas." Lena mendongak sebentar untuk meminta ijin, lalu melepas pin-volunter dari syal bermotif merchandise Argentina. Aura kuat membuatnya tak fokus saat melepas pin, apalagi saat mau tak mau berpegangan pada perut bidang. Dia terdiam sejenak, dan kembali berusaha untuk mengeluarkan peniti yang tersangkut.
David melirik buliran keringat yang meluncur dari kening ke andeng-andeng di bagian pelipis. Poni yang basah mengumpul di sisi kening lain, begitu memikat. Sebenarnya David bisa melepas syal, tetapi melihat perempuan Asia dari dekat-dekat seperti ini, mampu menghipnotisnya.
David berlama-lama mengendus khas bunga Kenanga Indonesia. Dia tahu bau ini. Mamanya juga sangat suka bau bunga tropis ini. Saat wanita itu mengangkat dagu dan melirik ke arahnya. David terkesiap pada warna hazel yang begitu tajam, dan seolah dirinya tersedot ke dalamnya.
"Sudah terlepas pinnya." Lena memandang manusia tinggi menjulang. Dia sampai mundur tiga langkah untuk melihat lebih teliti pada mata biru yang sangat dingin dan rambut coklat ikal.
“Apa anda mau masuk stadium?” tanya Lena saat pria itu menatapnya, lalu melirik ke samping dimana ada dua orang berjas hitam yang baru datang. Lena masih terkesiap pada tinggi badan si turis karena posisi mata Lena setinggi dada kekar itu. Pria dipenuhi aura dominon, walau sangat tampan, tetapi misterius dan menakutkan.
“Ijinkan saya mengantarnya. Perkenalkan Saya Lena Paramita asal Indonesia." Lena mengangkat dua sudut bibir, tersenyum begitu tulus dari dalam jiwa. Visinya harus menebarkan kebahagiaan kepada semua penggemar.
Si Jakung mengayunkan kepala pada dua orang, yang mungkin pengawal. Pengawal yang lebih pendek, tetapi dari ototnya tampak mereka sangat kuat. Mereka lalu pergi begitu saja, ke arah berlawanan dari stadium.
Lena menggigit bibir bawah pada kepergian mereka dan memakluminya. Gadis itu menggedikan bahu. Calo tiket itu tak dapat ditangkapnya, niatnya dia mau nangkep biar dapat prestasi gitu. Mata Lena membeku dan bingung saat si Jakung menoleh ke belakang, lalu memandangnya selama 6 detik.
"Aku lupa!" Lena menghembuskan nafas kecewa karena jadi kehilangan si calo tiket. Dia masuk kembali ke bagian ticketing, mengabaikan tatapan pria penuh misteri itu. Lumayan juga bisa cuci mata dan menghibur hatinya yang bingung karena dighosting sang pacar.
⚓
Malam ini harusnya David bersenang-senang dengan teman-temannya. Setelah sore badannya tidak enak badan. Baru memasuki bar hotel, dia langsung mundur saat melihat sahabatnya memijat b0k0ng tunangannya. Rahang David mengeras, dia ingin menyusul lalu memukul Tara dan meminta penjelasan. Baru David akan melewati kerumunan dan matanya membeku saat Shinta menyentuh dagu Tara, lalu mencium dengan penuh semangat.
David, bagai lelaki bodoh yang hanya berdiri mengamati di suatu sudut saat dua pengkhianat itu kemudian duduk di sudut ruangan, saling mesra satu sama lain. Ketiga temannya menyambut dengan biasa saja. Mereka tertawa walaupun Tara menciumi pipi Shinta di depan mereka.
"Astaga." David mengepalkan tangan, dan menggebrak dinding di belakangnya. Walau dia paling tinggi disini, tetapi pencahayaan redup mungkin membuat mereka tak bisa melihatnya. Atau mereka terlalu mabuk. David mengikuti Tara yang membawa Shinta ke sudut gedung yang lebih gelap dan tidak ada orang.
Mata David terbakar dan hidungnya berkedut, dia mengintip saat Tara melepas gesper dan menurunkan resleting. ASTAGA! Shinta bahkan tampak buru-buru membantu untuk meloloskan celana inti wanita itu dan memegangi dress, lalu memekik di dalam kungkungan Tara. Dia menyaksikan sendiri perbuatan durjana mereka. Oh Betapa bersemangatnya mereka berdua, terengah-engah dan saling memagut seakan mereka lupa dimana mereka.
"J4lang!" des4h Tara makin menggeram.
"Lebih cepat,Tara! Kau terbaik!"
Perasaan David hancur tak berkeping saat Tara begitu bersemangat memegangi pinggang Shinta. David benar-benar merekam menggunakan mata dan telinga, bagaimana lalu Shinta dalam gendong Tara dan memanggil nama Tara. David berdecak, dia merasa jadi pecundang karena hanya bisa menangis dan bersembunyi di balik ruangan saat mereka lewat dan tertawa lepas.
"Kita bisa menghabiskan di sini lebih sering, sayang. Sejak malam pertama kita di sini, kamu makin membuatku bersemangat, itu tak pernah cukup dan akku semakin merindukanmu. Goyangan kamu di sini lebih hebat daripada di Italy," ucap Tara.
"Iya, tetapi kamu jangan sering menatapku di depan David. Dia pencemburu. Sangat tidak menyenangkan. Belum apa-apa dia sudah membatasiku, melarangku bertemu teman-teman di club. Memang siapa mau jalan dengan dia, badan terlalu tinggi seperti itu, huh!" suara Shinta.
"Tapi kamu senang, kan, saat bermain dibalik pintu kamarnya saat ulangtahun dia sebulan lalu. Dimana kamu lagi pura-pura ngambek, sementara dia dengan bodohnya menunggumu di depan pintu. Kau tahu saat itu milikmu terus menggigitku!"
"Das4r nakal. Jangan lagi-lagi! untung saat aku membuka pintu dan bertemu dengannya, dia tidak mengenali bau cairan kelelakianmu!"
David bernafas pendek dan cepat, mencengkeram handel pintu-vertikal, perkataan itu makin menginfeksi rasa perih di dada David. Bagaimana bisa Shinta mencuranginya, bahkan dihari ulang tahunnya, di kamarnya. Air mata David jatuh, mengapa bisa ada manusia sekejam itu.
Shinta adalah calon istrinya. Pernikahan akan diadakan tahun depan setelah kelulusan Shinta. Semua telah disiapkan dan betapa gembiranya keluarga David saat akhirnya David melamar Shinta tahun lalu. Apa dialah pria paling menyedihkan yang hanya bisa menangis, tapi bagaimana dengan perasaan tulusnya yang suci?
Setelah tiba di kamar, dia menatap ke kamar mewah bernuansa emas. Dia ingat betul saat berulang kali Shinta memaksa agar dia menggagahinya. Namun, dia tidak bisa. Dia terlalu menghormati Shinta. Dia tak mengijinkan Shinta, walau melihat miliknya, karena dia sangat malu. Kini dia justru senang tak memberi kep3rjakaanya pada perempuan pengkhianat.
Tubuhnya terhempas di kasur Super King, matanya menilisik langit kamar. Apa kurangnya dirinya. Apa salah dengan tinggi badan 193, apa itu benar-benar memalukan?
David menoleh ke kiri pada TOPI VOLUNTER. Saat wanita itu melepas Pin yang tersangkut di syalnya. Topi wanita jatuhdan David menangkapnya. Dia sampai lupa dengan topi itu dan membawanya. Sampai dia sadar dan berbalik memandangi wanita itu untuk memanggilnya, tetapi wanita itu terlanjur pergi.
SAMA wanita itu sempat memandanginya penuh keheranan dari bawah ke atas sakan-akan dia adalah Alien. Terkadang David bangga, tetapi kadang juga tatapan orang-orang begitu mengganggunya. Hanya karena perbedaan sedikit, terkadang mereka berbisik terang-terangan. Apa wanita itu sedang mengejeknya. Sepertinya, Iya.
David menarik ponsel dan menghubungi asistennya. Matanya terus memandangi topi mungil, sampai panggilan tersambung, lalu bangkit dan duduk di pinggir ranjang, dengan membungkuk.
"Axel, Kamu ingat perempuan yang menabrak ku tadi siang?" David memilin kepalanya. "Relawan dengan rambut di kelabang, yang matanya hazel dan tahi lalat di pelipis."
"Oh, saya ingat, Tuan. Kenapa?" jawab Axel dari balik telepon.
Terlihat Lena menangis seperti anak kecil, di luar stadion. Lena tak tahu bahwa semua gerakannya terus diawasi David yang duduk manis dengan dipayungi dan dikipasi kipas elektrik oleh satu pengawal dan Axel.
“Tuan, Nona Shinta baru tiba di sebuah restoran bersama Tara.” Axel berdiri di belakang David, di sisi kanan, dengan tangan mengotak-ngatik tablet. Kepala Axel ikut berteduh di dalam payung besar untuk bisa melihat tulisan di layar. “Ah ini ada yang menarik. Sepertinya, Nona Lena juga diselingkuhi. Mungkin ini yang membuat dia menangis.”
David meraih tablet dari tangan Axel, lalu tertawa terbahak-bahak. Ternyata dia tidak sendirian. “Si4lan, pengkhianat ada dimana-mana. Apa Lena cocok untuk menjadi pendampingku, Axel?”
“Wow gila, sangat tidak cocok. Kakek Leora, nanti pasti menentang. Milyader perusahaan coklat terbesar di Italia dan mendunia. Justru cucunya berjodoh dengan pengusaha rumahan,” batin Axel lalu berdeham.
“Apa, Tuan, saya tidak mengerti arti kata ‘cocok’ yang anda maxud dalam hal pendamping untuk apa? Pacar, simpanan, nyonya atau yang mana?” Axel menggaruk punggung tangannya saat David melihat video pacar Lena yang melamar perempuan lain di dalam stadion.
“Menurutmu cocok yang mana dia?”
Axel melirik tuanya yang terus senyum-senyum sendiri, pasti tuannya sedang membayangkan salah satunya. “Nona Lena naif-menganggap semua orang baik, kekanak-kanakan dan menyedihkan. Masa Nona tidak tahu pacarnya pergi ke Qatar? Oh bahkan untuk sebagai simpanan sangat tidak cocok, Tuan.”
David dan Axel melihat Lena yang berdiri dengan menendang-nendang dinding, perilaku itu membuat David sulit menahan tawa karena dia jadi ingat pada dirinya yang juga naif semalam. Bukankah Lena seperti cerminan dirinya? Ya, cocok bagi David, dia tahu betul rasanya seperti apa itu diselingkuhi.
“Kamu salah Axel. Justru karena dia terlalu naif, aku menyukainya. Ikuti terus pacar Lena, aku mau setiap lokasi yang didatanginya,” titah David langsung dengan nada rendah serius dan Axel merinding saat mengambil tablet miliknya.
Jam tangan digital berwarna hitam, yang adalah sauvenir Volunteer, kini menunjuk pukul 11 siang. Lena menggosok mata yang basah, lalu mengamati para penggemar yang tertawa dan bersemangat di merchandise sebuah klub, tidak seperti dirinya. Lebih baik dia mendinginkan diri di dalam stadium, siapa tahu hatinya ikut dingin.
“Halo, cantik, tunggu!”
Lena memutar tumit 180 derajat. “Eh!” Topi yang sempat hilang tiba-tiba terpasang di kepala. Perempuan berjaket ungu itu mulai mengendus bau citruz yang familiar. “Ah Anda yang kemarin. Ternyata topi saya ada bersama Anda.”
“Ada apa dengan suara mu?” David menjumpai suara kecil yang seperti terjepit. Dia merentang kaki panjangnya saling menjauh hingga tinggi mereka kini sejajar.
Lena menahan tawa saat meneliti mata deep blue di depannya. “Apa aku terlalu pendek, Tuan? Biar aku mendongak saja, nanti kaki Anda lelah.”
“Ya! Kamu sangat pendek tetapi kamu cantik. Eh, jangan terlalu formal, dong?”
“Okey.” Lena masih tekikik, dan pipinya mulai menghangat. Siapapun perempuan pasti senang di bilang cantik, kan. Terlebih si jakung terus menatapnya seolah sedang mengamati fitur wajahnya. “Tuan?”
“Bagaimana dengan kabarmu hari ini? Kau bisa tidur nyenyak semalam?”
“Ya! Tentu aku dalam keadaan sangat baik dan aku semalam tidur nyenyak!” Lena berusaha tetap tersenyum walau di dalam hatinya sangat berantakan. “Lalu, bagaimana denganmu, apa kau mulai terbiasa dengan cuaca di sini?
“Bagiku tentu semua berjalan lancar, tetapi cuaca disini sangat ‘panas’ walau ada ac tetap saja aku tidak bisa tidur.” David menjadi teringat tontonan menjijikan semalam. Dia ingin mengganggu gadis ini untuk mencari hiburan.
“Hari ini aku kesusahan sekaligus beruntung bisa menemukanmu. Pasti kamu mencari-cari topimu untuk melindungi model rambutmu yang unik.” David menyipitkan mata karena tawa renyah dari bibir seksi didepannya. “Kenapa mata kamu merah, apa perlu aku membawa kamu ke dokter?”
Lena memutar mata ke samping, berpikir kenapa pria didepannya bisa sangat cerewet. Juga terlalu dekat. “Rambutku ada yang mengenai mata, jadi sangat gatal. Terimakasih untuk topiku. Ehm!”
“Huh!” David menarik Lena menjauh dari stadium karena wanita itu bohong. Jelas rambut dikelabang mana bisa menyentuh area mata.
“Tuan, dua jam lagi adalah jadwal shiftku.” Lena menggigit bibir bawah, begitu takut. Terlebih arahnya ke area parkiran. Aroma kuat Citrus terbawa angin dan menerpa hidungnya, Lena sangat menyukai aroma pria itu. Dia jadi lupa akan kemarahannya pada sang kakak yang membuat burung kesayangannya mati, dia sampai ingin menangis lagi teringat burung Falk Australia yang dinamai ‘Uik’.
“Itu masih sangat lama, Cantik. Apa kamu mau menjadi patung dengan duduk berjam-jam sambil menangis seperti orang yang menyedihkan?” David memejamkan mata sebentar, karena dia keceplosan. Untung, gadis itu masih tak bersuara. Kasian Lena pasti sedih karena pacarnya selingkuh.
Pintu mobil mewah Bugatti terbuka ke atas. Lena masih berdiri hingga tangan kekar itu mendorong pinggang mungilnya. B0k0ng mungil itu mendarat di jok yang sangat empuk, tetapi ketinggiannya sangat rendah, itu hampir menyentuh aspal. Kenapa untuk duduk aja susah? Dia memandangi banyak tombol di tengah. “UH!’ pekik Lena terkesima saat si bule masuk ke dalam mobil dan melirik Lena tajam, seolah tidak suka, atau hanya perasaanya saja.
Sepanjang perjalanan, Lena bolak-balik memandangi pria itu yang mengemudi dengan sorot mata sangat dingin. Tidak ada suara justru pria itu terlihat begitu seram, beda sekali dengan tadi yang sangat ramah. Lagu Celine Dion yang terus mendengung di dalam kabin, bau citrus dan dinginya AC membuat Lena terkantuk-kantuk.
Suasana begitu hening di kabin, semburan hangat di wajah Lena dan semakin jelas menerpa hidungnya. Lena semakin mengendus aroma hangat dan aroma enak dalam mata terpejam. Semburan itu semakin intens, dan area hangat kini menyelimuti semua area depan dada sampai mengurangi menggigilnya. Lena memerjapkan mata dan mata deep blue dipenuhi kilauan minyak hanya beberapa senti di depannya, bahkan hidung itu pas bersentuhan hingga dia menghirup seluruh udara panas yang keluar dari hidung mancung David. ”Ahhhh!!!”
“Hai, cantik, tenanglah.” David berdecak karena telingannya berdenging akibat teriakan di wajahnya. Dia mengendus-ngendus aroma khas kenanga yang memabukkan. David sedikit lagi berhasil mencium bibir pink itu, sialnya perempuan itu keburu bangun. Si jakung lalu menekan tombol saftey belt sebagai alasan dan menyeringai dengan masam. “Cantik, kita sudah sampai.”
Lena masih terkesiap pada si jakung yang tadi melepas safety belt dengan cara yang menguji spot jantung. Sampai perilaku pria itu yang kini menunggu dipintu mobil dengan gagah, setelah membukakan pintu. Jelas si tampan ini memiliki daya pikat yang sangat mencolok. Lena seperti mau gila karena nafas aroma mint itu masih membekas di pipinya. Perempuan yang tingginya sedada David itu, mulai mengekor di belakang dengan sedikit berlari menyesusaikan langkah David.
Dengan ragu-ragu Lena berhenti tepat di garis pintu restoran. “Tuan, aku tidak akan makan soalnya masih kenyang.” Lena tersenyum tipis, jika dia makan di sini terus nanti uangnya bisa langsung ludes. Dia takkan melakukannya.
“Hei, aku akan mentraktir makan siangmu. Dengar, lagian menolak adalah hal yang sangat tidak sopan. Mau kan, gratis, loh?” David sampai menunggu beberapa saat dan gemas karena wajah mungil itu terlihat berpikir, padahal bisa tinggal terima saja. “Kita sudah sampai sini, kau yakin tidak mau?”
“Lumayan si, dari management kan dapatnya hanya sarapan. Untuk makan siang dan malam pakai uang sendiri, harus berhemat. Kenapa perutku jadi laper banged uh! Bau daging domba sampai kesini. Enak banged keliatannya,” batin Lena sambil melirik ke dalam dengan mata berseri-seri.
Pria itu menarik Lena dengan tidak sabar sampai ke ruangan kedua bernuansa gold dan mewah. Seorang pelayan pria berjubah salem, lalu menjulurkan buku menu. Lena kebingungan pada tiap harga yang paling murah setengah jutaan. Dia menelan saliva pelan karena mendadak langsung kenyang. Didorongnya buku menu hingga menyentuh tangan berjam tangan mahal, Lena menggelengkan kepala.
“Kamu mau makan apa? Pilih sesukamu, jangan melihat harganya dan kamu harus makan yang banyak biar kamu memiliki banyak tenaga untuk mondar-mandir nanti.” David tertawa ringan, lalu mengedipkan satu mata membuat Lena langsung tertunduk dan jelas menghindari tatapan genit David.
Pria berjas silver itu memandang Lena yang baru melepas topi. Betapa imut dua rambut kelabang itu setelah semakin diamati-amati memang jelas dagu itu begitu menggoda. Nah, kan, dia sempat melupakan rasa sakitnya pada Shinta. Apa Lena mau jadi pacar sementaraku? Sampai aku melupakan Shinta sepenuhnya?
Pelayan itu pergi setelah David harus memilihkan menu untuk Lena. Pandangannya lalu diedarkan ke sekeliling pada turis manacanegara. Meja ini sepertinya Landscape paling bagus, siapapun bisa melihat jelas ke sini. Pria itu mengetuk-ngetuk telunjuk ke meja, menunggu Lena sampai tidak bermain ponsel. “Siapa namamu? Perkenalkan aku David Leora, 30 tahun, panggil saja aku David.”
“David, kemarin aku sudah memperkenalkan diriku, namaku Lena Paramita. 26 tahun asal Indonesia dan panggil saja Lena. Darimana asalmu?” Lena menggaruk pelipisnya karena tatapan David yang lebih gelap hingga bulu kuduknya meremang dan mau tak mau menaruh ponsel di meja.
“Apa kamu tahu darimana asal Valentino Rosi?” David berpindah duduk ke samping Lena.
“Ya saya tahu. Oh! Jadi kamu dari Italia?” Ketakutan Lena mulai luntur pada anggukan dan tatapan percaya diri David di sampingnya. “Ehm MotoGP Kebetulan aku pernah jadi Marshal MotoGp di Mandalika.”
“Bagus!” David tertawa bangga, ya, tidak salah dia memilih wanita itu. “Kau suka MotoGP? Mengapa kau tidak bertemu denganku di Mandalika saat itu. Astaga, Lena! Padahal aku di sana selama seminggu!”
“Woow!” pekik Lena berseri-seri, hangat langsung menyebar di pipinya. “Dan sekarang kita baru bertemu di sini.” Lena menunduk untuk menghindari tatapan tajam David, tetapi dia melihat postur tegak pria itu dari samping dan membuatnya kian terlena.
“David, aku bertemu langsung dengan pembalap Marques di sana.” Lena bekaca-kaca pada ingatan sangat emosional itu dan melanjutkan ceritanya dengan menatap dada kekar itu.
“Maksudku saat balapan pas warm up, di tikungan 7 aku bejaga dipinggir lintasan. Marques mengelami kecelakaan dan aku melihatnya langsung di depan mataku! Dia terbalik. Lalu aku dan temanku membantunya untuk menepi, betapa kasiannya dia-“
David tak tahu mengapa jempolnya menyentuh tepat di bawah kelopak mata Lena yang basah oleh air mata. Dia kini membeku karena mata hazel yang terbelalak membuat jantung David makin tidak karuan. Baru dia menarik jari kurang dari sesenti, tetapi tarikannya tertahan.
“Tuan, saya berhasil memanas-manasi Nona Shinta dan dia menuju ke arah Anda. Arah pukul 9,” suara Axel yang terdengar dari earpiece yang dipakai David. Sekarang David ingin tertawa apa reaksi Shinta?
“Apa, ini, jika aku menangis di depan Niko, apa Niko akan seperti ini? Atau tipe orang luar memang sangat lembut?” batin Lena semakin tak karuan karena jempol hangat di pipinya yang mulai mengusap dengan perlahan ke arah telinga.
“David!”
Mata Lena membelalak karena suara bentakan dari sisi kiri yang cukup jauh, tetapi pipinya tertahan tangan David. “Ada yang memanggil namamu?” Jantung Lena terpompa pada kecepatan maksimal.
“Jangan menoleh, Lena, percayalah padaku, tetap seperti ini.”
“Tapi kenapa?” bisik Lena dengan wajah semakin pucat pasi.
“Bantu aku Lena, kau hanya perlu diam dan menurutiku. Dan kamu akan aman.”
Lena terhipnotis netra biru lautan dalam saat jempol pria itu kini berhenti di bibir bawahnya yang bergetar. Ini sangat asing bagi Lena, pacarnya saja tak pernah seperti ini. Sekarang seolah ada lapisan kasat mata mengurungnya. Dia tidak bisa mengalihkan dirinya pada David yang semakin dekat sampai memblokir bibirnya dengan bibir lembut pria itu.
“Daviid!”
David menyeringai sekali tepuk dua lalat tertangkap. Dia mendapatkan bibir Lena dan juga murka Shinta. "Ah."
Kelopak mata David itu memerjap dan bibirnya menambah jarak dengan Lena. Tangan kekar itu menahan tas Shinta, yang tadi hampir mengenai kepala Lena.
Dalam gerakan cepat si jakung menarik Lena untuk berdiri. Tas Hermes ditangannya di banting dengan penuh kebencian yang sudah mendarah daging. Kemudian dia memeluk pinggang Lena begitu lembut dan menatap tajam Shinta. "Wah, ada Shinta rupanya?"
"David apa yang kamu lakukan dengan dia?" Shinta memandang jijik bergantian pada David, dan volunteer, setelah memandang tas kesayangannya yang teronggok di lantai karena bantingan David.
"Dia pacarku, Shinta." David tersenyum masam. "Sejak hari ini dan seterusnya."
"Oh David, kamu sangat gila. Pacar? Bagaimana jika pacarku sampai mendengar ini dan salah paham!" batin Lena.
Shinta tertawa. "Kau serius? Dengan dia? kita mau menikah loh, David. Beraninya kau mengkhianatiku."
"Karena itu, aku mengakhiri hubunganku denganmu."
"TIDAK BISA."
"Mengapa tidak bisa, Shinta?"
"Aku yakin kamu akan meninggalkan dia segera setelah Liga ini selesai." Shinta geleng-geleng kepala dan pergi begitu saja.
David melonggarkan pelukan dan bibirnya terus berkedut atas kepergian Shinta. Lena langsung melepaskan diri. Makanan baru diantar pramusaji, tetapi Lena yang akan duduk kemudian ditarik David.
"David, itu makanannya sayang," lirih Lena. Alisnya menyatu dan bibir itu mengkerut. Gagal makan enak. Kapan lagi bisa makan domba mahal.
Lena menoleh ke makanan enak itu. Dia mendengus karena David tetap membayar, tetapi perutnya tetap lapar, dan makanan itu tak dibungkus. Gadis yang kelaparan itu berulangkali mengulangi pertanyaan dengan kesal, bahkan sampai di dalam mobil.
"Kau tidak lihat aku sedang sedih?dan kau memikirkan makanan?"
"Loh, bukankah kau bawa aku kesini untuk makan? Kalau kamu sedih, kamu harus isi perutmu, baru setelah itu kau lanjutkan sedihmu itu. Kau juga perlu tenaga. Aku lelah sudah menunggu, masih hampir dipukul pula. Setidaknya nasi itu tadi dibawa pulang. Ngak usah pake lauknya. Nasi saja. Jadi, nggak kan rugi-rugi banged-"
Pria itu justru memajukan kepala di depan wajah Lena yang mau menangis hingga membuat mulut yang mengerucut itu diam. Gerutuan perempuan itu benar-benar membuat David menggeram, sialnya terus mendengung di dalam pikiran. Dia membuka pintu mobil dengan tatapan memercikan racun. "Tunggu, Nona Lena Paramita, aku bungkus!"
Lena langsung tertunduk setelah David pergi. Dia meringis sambil menggetok kening sendiri berulangkali, tetapi lalu tersenyum dengan perasaan malu. Kenapa tatapan deep blue itu galak, tetapi menggemaskan.
Di dalam restoran, David memesan lagi menu seperti tadi. Kasir minta David menunggu karena makanan yang sudah dibayar tadi sedang dibungkus. Dari pada menunggu, David bergegas ke toilet dan bertemu Axel. Di sana lagi-lagi menemukan Shinta, kali ini ada Axel yang sedang merekam mereka.
"Kau lihat, kan, Tara? Dia selalu mengikuti kemana pun aku pergi. Sekarang dia mulai berani memamerkan gadis di depanku." Shinta terhimpit Tara di tembok walau tak saling bersentuhan.
"Aku tahu gadis itu bukan seleranya David, tapi kamu perlu menawarkan uang pada gadis itu agar menjauh, sayang? Jadi posisimu aman dan tak terkalahkan. Lalu, kau akan tetap menjadi menantu satu-satunya kesayangan Leora," balas Tara.
David menggertakan gigi dan berbalik lagi, membatalkan diri ke toilet. Dia tak habis pikir perempuan seperti itu benar-benar bisa membuatnya kecewa. Sialnya dia masih berharap pada Shinta.
Tiga kantong makanan diraih David dari kasir. Bergegas Alex mengambil alih kantong. Padahal tuannya biasanya si paling anti membungkus makanan.
"Bawa kami ke hotel."
Axel berjalan terburu-buru dan segera membukakan pintu belakang sedan hitam BMW. Dia menaruh makanan di bagasi belakang, dan tangannya terkepal karena suara tak bertenaga tuannya.
Anak buah Axel telah membawa Lena dari mobil Super car yang tidak jauh. Lena kini duduk di belakang bersama David, tetapi jauh-jauh. Super Car itu diambil alih anak buahnya. Axel melajukan kendaraan BMW hitam dalam kecepatan tinggi, karena tidak mau ditembak tuannya yang siap m3mbunuh siapa saja sekarang.
Lena melirik ke David yang duduk dengan tatapan kosong ke tablet. Perempuan itu ingin berbicara pun tak berani. Lena juga menjumpai tangan David yang terkepal sampai jari-jari memutih di pangkuan.
Sesampai di depan pintu kamar hotel, Lena berhenti. Dia bersikeras untuk menunggu Axel datang, baru Lena mau masuk. Alhasil David ikutan berdiri di lorong dan moodnya semakin buruk.
Begitu Axel datang dengan tubuh gemetar karena tatapan maut tuannya.Lena pun mau masuk ke dalam kamar. Mata hazel berseri-seri karena dapur mini dan kolam renang pribadi. Dia ingin menyiapkan makanan tadi, tetapi Axel memintanya tetap duduk.
David seperti ingin menelan hidup-hidup siapapun orang di depannya. Rencana liburan yang digadang-gadang indah, gagal total. Namun, tidak bisa kembali karena Kakeknya akan bertanya-tanya. Paling tidak dia harus pulang dengan Shinta.
David makin menebarkan tatapan maut karena Lena mengundang Axel untuk makan bersama. Dalam sejarah, David baru kali ini makan dan berbagi meja dengan bawahan. Meski Axel sudah menolak, tetapi David mencengkeram roti dan meremukan sampai menjadi remahan membuat Axel pun menurut.
Siapa di sini tuan rumahnya? Sumpah demi apa Axel menjadi tumbuh dendam pribadi pada Lena yang kurang ajar. Dia sampai merasa kikuk karena duduk dengan tuannya, satu sofa hanya gara-gara arahan Lena. Selesai makan siang, David memberi isyarat dan Axel keluar untuk mengambil sesuatu.
"David sudah jam satu, aku bisa telat. Perjalanan ke stadium memakan waktu setengah jam." Lena duduk dengan memandangi David yang berdiri di dekat jendela kaca dengan tirai terbuka.
Axel telah kembali ke dalam kamar. Sebuah map premium berwarna emas dijulurkan ke tangan mungil. Dia menyuruh Lena untuk membaca dan menyetujui.
"David apa ini ... 13 Hari Menjadi Pacar, dan aku harus berhasil mengalihkan pikiranmu dari perempuan bernama Shinta?" Lena menaruh maps itu di atas meja. Dia meraih tasnya, lalu bergegas berdiri. "Aku tidak mau!"
David menyeringai karena Lena yang membuka pintu, langsung dijegal. Dua pengawal di depan pintu membawa Lena masuk lagi. Teriakan minta tolong Lena sungguh sia-sia.
Tentu saja ini lantai khusus Precident suit. Semua lantai di sini areanya, hingga takkan ada yang mendengar suara Lena. Sekalipun mereka mendengar dari cctv depan, mereka takkan ikut campur. Tentu saja, ini hotel miliknya! Siapa yang berani?
"Anda tidak akan bisa keluar sebelum Anda menandatangi ini, Nona." Axel masih berdiri di tempat awal. Sementara Lena kini menjadi fokus tontonan tiga pasang anak buah. Sedangkan David masih memandang jengah ke bawah pada jalanan yang lenggang.
"David, kumohon, kau tidak bisa seperti itu. Aku masih memiliki pacar," pinta Lena dengan sopan.
Perempuan itu menunduk dan suaranya makin mengecil, "kamu sudah lancang mengambil ciuman pertamaku, aku tak memaafkanmu." Lena kemudian mendapati dua pengawal di pintu yang berdiri seperti patung, tetapi cekalan mereka begitu sakit sampai sekarang.
David terkekeh, mata itu masih menikmati pemandangan di luar jendela yang terik. "Oh kamu punya pacar? Lena, aku tak peduli kau punya pacar atau tidak. Aku takkan melepaskan mu."
"Kenapa kau tidak melepaskanku? Apa salahku dan bukan kewajiban untuk harus menurutimu." Wajah Lena membeku karena pria itu kini menatap dengan tajam.
Perempuan itu tak tahu kenapa dua pengawal dan Axel keluar saat David terus mengurangi jarak. Lena langsung mengejar mereka para anak buah. Tangannya menarik gagang pintu yang baru saja tertutup tetapi kini ditahan dari luar. "Tuan Axel, tolong buka!"
Lena merasakan gerakan cepat dari arah belakang, tepat di atas kepalanya, dan tangan kekar itu menghantam pintu. Mengapa itu membuat tubuhnya gemetar dan kepalanya pusing. "David Leora, kamu terlalu dekat," lirihnya, lalu tertunduk. Dia melihat ujung sepatu Pria itu yang menempel pada sneaker hijau Lena.
Dada Lena lalu tersentak hingga tertekan pintu kayu di depannya. Mata hazel membelalak karena usapan lembut di lengan. Dia menyesal karena jaketnya dilepaskan saat waktu makan. Hanya memakai kaus biru laut, sangat tidak menguntungkan dan terjebak pilihannya sendiri. Pikiran buruk langsung merajalela dan membuatnya mulai terisak.
"Tolong David, jangan lakukan itu padaku!"
"Aku sudah bilang takkan melepaskanmu dariku. Kau tidak mengerti?" David menggertakkan gigi. "Jika aku bilang begitu, maka selamanya kau akan di sisiku."
"Leluconmu keterlaluan, Dav! Baru satu hari kau mengenalku."
"Len, waktu bukanlah tolak ukurku mengenal perempuan. Yang lama saja bisa menyelingkuhi. Damit ! Kau ingin pulang ke negara tercintamu, kan, Cantik? Kau masih mau melihat Papa Burhan, Mama Sumarni dan Sean-si Sulung?"
Lena memukulkan kening ke pintu. Bisa-bisanya David tahu seluruh keluarganya. Perempuan itu bernafas sering dan pendek. "Kau memiliki pacar yang cantik, jadi nggak perlu repot-repot mengenalku."
Lena merinding dan kepalanya miring ke kiri karena belai4n di leher kanan. Dia bersumpah takkan mengelabang rambut lagi karena ini. "Jangan asal menyentuh! Aku akan melaporkanmu."
"Ssst .... Kamu sangat menggoda, Lena. Jauh lebih menggoda daripada si tukang selingkuh yang kau sebutkan tadi," serak David disertai seringai masam. "Aku mau menemukan kelebihan mu yang tersembunyi, Lena."
"David! Menjauh!" Lena mendes4h karena bel4ian terlarang. Dia menyipitkan mata saat terdongak dan menangkap tatapan deepblue yang lebih gelap, seolah ada kilauan minyak membara. "Tidak, ku mohon. Aku memiliki pacar."
"Uh'hu Pacar?" David menggeram.
Pria itu menunduk penuh, karena perbedaan tinggi yang jauh membuat dagunya tak bisa menempel di pucuk kepala Lena. "Berapa tinggimu? Kurang dari 160? Mengapa kau kecil sekali, Lena. Kau membuatku kesusahan saja."
"156!" sentak Lena dengan kegeraman.
Jari telunjuk David membel4i bahu Lena dengan pola sensu4l. Menyebabkan merinding menjalar di bawah kulit Lena. Tak tertahankan hingga mata wanita itu sampai terpejam.
Kaki pun saling merapat, jari-jari kaki saling mencengkeram. pinggulnya keram, tersiksa. Terjebak oleh Kungkungan panas beraroma Citrus membuat Lena mabuk. Nafas David kini menyembur di belakang telinga dan suara nafas mereka saling bersahutan.
"Aku tidak mau menandatangani itu! Aku memiliki pacar! dan tidak akan mengkhianatinya," isak Lena yang masih berusaha tetap waras.
BUK. David meninju pintu tepat di samping telinga Lena. "DIAM, kura-kura!"
Gadis itu terasa menyusut di dalam hingga loyo dan merosot ke bawah. Lengan kekar David, melingkar di bawah dada empuk hingga perempuan itu tidak sampai jatuh.
Lena melayang di udara. Kaki Lena menjejak-jejak ke bawah, dua tangannya mencengkeram tangan David. Memukul Menarik. Dia berusaha membebaskan tangan kekar itu dari perutnya. Lena baru tahu, tidak baik berurusan dengan orang terlalu tinggi. Dia kalah tenaga telak dan seperti semut. "Kamu mau apa!"
Tubuh Lena terlempar dan terhempas tengkurab ke kasur empuk bersprei dingin. Dia lalu terlent4ng untuk mencari tahu. Pria jakung itu sudah melepas jas, menarik beberapa kancing kemeja silver. Dengan gagah meloloskan kemeja dari tubuh dengan otot yang kekar tak berlebihan.
"Berhenti, David," lirih Lena gemetar.
Lena memandang dada berotot diselimuti tato hijau-merah, lalu menjadi mengerikan begitu dia sadar situasinya. Ini lebih mengerikan dari bau kecut ketiak milik sang kakak. Tato itu bergambar wajah cewek cantik di sisi dada kanan.
"Cup, sayang, aku takkan melukaimu. Kau tahu itu," serak David dengan nafas memburu.
Embun bening mengalir ke pelipis Lena. Aura mendominasi. Tubuh kekar berkilauan di bawah lampu terang kamar. Tatapan gelap David itu, Lena sangat meyakini bila tubuhnya akan hancur remuk. Pingsan masih lebih baik, bagaimana jika dia mati?
Berjuang dengan sikut dan lutut, Lena berputar. Dia terisak terus merangkak sekuat tenaga, secepatnya ke kepala tempat tidur. Kesuciannya hanya untuk sang kekasih. Kedua pergelangan kaki mungilnya terjepit tangan catok besar.
"Tidak! Jangan! Pergi! Nikoo!" Lena merengek, berenang menggunakan tangan dan meraih selimut. Selimut dicengkeram kuat-kuat, tetapi selimut ikut tertarik terbawa dengannya. Dia menarik sprei dan berpegangan kuat, tetap dia meluncur bebas ke tempat semula dengan sprei terlepas dari spring bed, kusut berantakan.
Berikutnya Lena sudah dibalik menghadap langit dalam kengerian. Usahanya sia-sia. Dia mengingat kekuatan tangan itu sudah seperti beruang!
"Lena, kau mau kemana," geram David tersinggung. Mengapa Lena lebih takut padanya daripada si tukang selingkuh, Niko.
"Niko, tolong. Abang Sean! Ayah! Ibu. " Lena menangis histeris saat tubuh panjang itu merangkak di atasnya. Perempuan itu menggelengkan kepala. Sekelabat nasehat semua orang, muncul dalam potongan ingatannya, agar tidak mempercayai orang asing, walau sebaik apapun. "Ibuuu.... "
Tangan mungil itu meraih tangan besar itu di pahanya. Dia menyesal tak mendengar nasehat Ibu.. "David, aku percaya padamu, kau memiliki nurani. Kau tidak suka diselingkuhi! Pacarku juga tak suka jika di posisi kamu."
Lena mencekal tangan kekar . Dia percaya David tidak akan meneruskan. "Jangan, David, aku akan menandatangani itu dengan syarat."
"Kau janji?" lirih David saat Lena memegangi kuat tangannya..
Kini suara putus asa David dapat ditangkap Lena, dan Lena mengangguk dengan yakin. "Kumohon, Dav, percayalah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!