NovelToon NovelToon

I'M Not Barren

1. Sebuah Pertanyaan

Keheningan terjadi di meja makan salah satu keluarga. Siapa lagi kalau bukan keluarga Kania. Namun, keheningan itu terpecahkan ketika mertuanya bersuara yang membuatnya tertegun diam seribu bahasa.

"Kapan kalian akan memberikan Mama cucu?" tanya wanita paruh baya dengan rambut di sanggul. Wanita itu begitu serius menatap silih berganti wajah anak dan menantunya.

Kania dan Vicky saling lirik, keduanya bingung harus berkata apa kalau sudah menyangkut soal anak. Sebab, sudah hampir 6 tahun menikah tak kunjung juga di berikan momongan. Lontaran pertanyaan yang di berikan Mama Sintia seakan menusuk relung hati seorang wanita berusia 30 tahun.

"Mama sudah ingin segera menggendong anak kalian. Mama juga malu sama teman-teman arisan Mama saat mereka membahas tentang cucu." Sintia sangat mendambakan seorang cucu. Terlebih wanita paruh baya itu menginginkan cucu laki-laki dan perempuan sekaligus, atau di sebut kembar. Dia begitu berharap bisa mendapatkan cucu laki-laki agar bisa mewarisi harta dari orangtuanya dan cucu perempuan agar bisa menemani dia shopping.

"Doakan kami semoga kita cepat di berikan momongan, Mah. Aku dan Mas Vicky pun sudah sangat menginginkan anak. Namun, Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami." Hanya itu yang selalu Kania ucapkan. Istri mana yang tidak ingin diberikan momongan? Tapi, semuanya kembali kepada sang pencipta pemilik segalanya. Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang mentakdirkan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, tapi Tuhan yang menentukan.

Kania sendiri sudah melakukan pemeriksaan terhadap keadaan rahimnya. Dokter mengatakan, kalau rahim dia baik-baik saja, dan juga sehat. Tidak ada penyakit apapun yang membahayakan ataupun prediksi kemandulan, semuanya subur. Hanya saja, hanya dia seorang yang melakukan pemeriksaan. Sedangkan Suaminya belum melakukannya dengan alasan yakin sehat.

Segala macam pengobatan pun sudah Kania lakukan demi mendapatkan momongan. Tetapi, hasilnya belum terlihat.

"Yang di katakan Kania benar, Mah. Kami sudah melakukan berbagai macam cara agar Kania bisa hamil. Tapi, Tuhan belum mengizinkannya," sahut Vicky malas membahas ini.

"Halah, usaha saja terus tapi hasilnya nihil. Atau, Kania mandul sampai sulit untuk hamil?" Sergah Mama Sintia teramat tak sabar ingin mendapatkan cucu. Dia yang sejak awal tidak menyukai Kania selaku menuduhnya mandul, sering memperlakukannya seperti pembantu, dan kadang sering menyuruhnya jualan.

"Mah!" Vicky dan Kania sampai terlonjak kaget atas pemikiran Mamanya.

"Bisa jadi kan? Coba kalian pikirkan baik-baik, kalian menikah sudah 6 tahun. Namun, tak kunjung juga di berikan anak. Apalagi namanya kalau bukan MANDUL." Sintia berkata begitu saja tanpa memikirkan perasaan menantunya, dan juga tanpa mengetahui yang pasti apa penyebab Kania tidak bisa hamil.

"Mama tidak mau tahu, pokoknya kalian harus memberikan Mama keturunan sebagai pewaris kita dan Mama menginginkan cucu laki-laki. Kalau dalam waktu dekat Kania tidak hamil, kau harus menikah lagi dengan wanita pilihan Mama yang pastinya tidak mandul!" Lanjut Sintia penuh penekanan seraya memerintah tegas tanpa mau ada penolakan.

Deg ....

Kania yang ingin menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya terlonjak kaget sampai dia menyimpan kembali sendoknya di piring. Begitupun dengan Vicky yang juga sampai tersedak makanan saking terkejutnya.

Ukhuuk... Ukhuuk...

Kania menuangkan segelas air minum kemudian memberikannya ke Vicky. Vicky meneguk airnya hingga habis dan berkata, "kenapa Mama bicara seperti itu? Sampai kapanpun Vicky tidak akan menerima jodoh dari Mama! Meskipun Kania tidak bisa hamil anakku, kita bisa mengadopsi anak di panti asuhan," jawab Vicky keberatan.

Kania sudah menunduk meremas dress-nya. Jiwanya terguncang, hatinya sakit, pikirannya kemelut, perasaannya sedih. Sedih tidak bisa hamil, sedih atas lontaran pertanyaan yang membuatnya dawn, sedih karena belum bisa menjadi wanita yang sempurna.

"Vicky, Mama itu menginginkannya anak kandung kamu bukan anak adopsi! Makanya, kalau kamu tidak ingin menikah lagi, suruh istrimu hamil. Nikah lama kok belum juga hamil, pasti istrimu mandul." Mama Sintia memojokkan Kania dengan sebutan mandul seraya menatap tidak suka pada menantu pilihan anaknya.

Sungguh, hati Kania tersayat perih akan lontaran ucapan mertuanya. Dia berusaha sabar dan menahan rasa kesal saat mulut ingin menimpali setiap perkataan ibu kandungnya suami yang ia cintai.

"Aku tidak mandul, rahimku baik-baik saja," ucap Kania hanya bisa menjawab dalam hatinya. Dia tidak berani menentang apalagi membela diri sendiri mengenai masalah yang terjadi pada hidupnya. Apalagi Vicky yang memang jarang membelanya membuat Kania selalu diam tidak membantah.

Vicky menghelakan nafasnya secara kasar. Bahkan dirinya sampai tidak berselera makan. Dia berdiri dari duduknya mengecup pucuk kepala Kania. "Aku pamit dulu."

"Ck, di kasih tahu malah nyelonong pergi. Mama pastikan kau mendapatkan istri yang kaya, dan bisa mengandung anakmu. Bukan wanita miskin yang hanya bisa menyusahkan seperti Kania," ucap Sintia setelah anak dan menantunya pergi meninggalkan meja makan.

******

Kania ikut mengantarkan suaminya ke depan, dia menyalami tangan sang suami sebagai salah satu bakti terhadap suaminya. "Mas, apa kamu tidak ingin mengabulkan keinginan Mama?"

Vicky terlonjak kaget, "Apa yang kamu katakan? Aku tidak mungkin mengabulkan permintaan Mama secepat itu." Terlihat sekali dari raut wajah Vicky jika pria itu tidak bisa menerimanya dan enggan membahas masalah anak.

"Tapi kenapa, Mas? Bukankah kita sudah menikah enam tahun tetapi kamu ...," ucapan Kania seketika terhenti oleh perkataan suaminya.

"Cukup! Aku tidak ingin membahas ini lagi. Meskipun kita suami istri, aku tidak ingin memiliki anak dulu," ujar Vicky meninggi tidak menyukai arah pembicaraan Kania yang akan mengarah pada hal yang paling tidak ingin ia dengar.

Deg ....

Untuk sekian kalinya Vicky menolak. Padahal, dia sangat berharap bisa memiliki anak untuk memperkuat rumah tangganya. Entah kenapa, sang suami selalu menghindari pembicaraan tentang anak. Vicky akan marah kalau sudah membahasnya. Entah apa yang menyebabkan suaminya enggan memiliki anak dulu? Dan entah kenapa perlakuan suaminya begitu berbeda dari pertama kalinya mereka bertemu.

"Sudahlah, aku malas berdebat masalah ini. Aku pergi dulu," pamit Vicky melangkah menuju mobil kemudian melaju pergi. Pria berusia 35 tahun itu tak ingin membahasnya. Baginya, itu adalah hal yang paling tidak ingin di dengarkan dan tidak penting.

Kania menghelakan nafasnya, ia bingung dengan pemikiran suaminya selalu menunda kehamilan bahkan jarang menyentuhnya. "Kenapa seperti ini, Mas? Aku juga ingin punya anak. Tapi kamu malah menolak," ucapnya dalam hati bertanya-tanya tentang sikap sang suami yang selama ini selalu menghindar saat berbicara anak.

Anak, suatu harapan yang seringkali suami istri inginkan. Namun, tak banyak pula yang tidak menginginkan kehadiran buah hati dalam keluarganya. Padahal, adanya anak mampu memperlengkap pernikahan.

2. Pertanyaan Tetangga

Rumah Vicky

Seperti biasanya, Kania akan mengantarkan pesanan makanan yang orang-orang pesan. Dia memiliki usaha katering kecil-kecilan. Dan selepas keluar mengajar sebagai guru honorer di salah satu paud, Kania ingin fokus pada usahanya ini.

Dia sudah menyiapkan dua plastik besar makanan dan siap di antarkan.

"Hei, kau jangan lupa bagi yang hasil jualannya pada Mama. Sekalian makanannya juga jangan luba tinggalkan untuk orang-orang arisan Mama."

"Iya, Mah. Tapi untuk uangnya belum dapat, Kania saja baru mau berangkat mengantarkan makanannya."

"Gak peduli, Mama minta hari ini juga. Buruan!" Sintia menengadahkan telapak tangannya meminta sejumlah uang pada Kania. Padahal, Vicky sudah memberikannya dan juga sudah memberi jatah bulanan untuk mamanya.

Kania menghelakan nafas, lalu ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang. Tapi, semuanya malah di rampas oleh Sintia.

"Mah jangan di ambil semuanya! Itu yang buat belanja bahan makanan."

"Diam kamu!" lalu Sintia melemparkan dompet milik Kania. "Sudah pergi sana!" Sintia mendorong pelan bahu Kania. Kania menunduk sedih dan ia terpaksa berangkat tanpa pegangan uang.

*****

"Jeng, kemana menantu mu yang cantik jelita itu? Sekarang jarang kelihatan di rumah, ya?" tanya salah satu ibu-ibu arisan. yang kebetulan mengadakan arisan di kediamannya Vicky.

"Menantuku sedang bekerja, pagi jadi guru paud dan siang jadi kasir di boutique. Dia begitu sibuk sampai jarang ada di rumah," balas Mama Sintia sembari tangannya mengambil kue kering yang ada di atas meja.

"Wah, hebat sekali menantumu bisa di dua tempat. Tapi boutique mana dia bekerja?"

"Boutique Atmadja."

"Wah, hebat sekali. Itu boutique terkenal di kota kita. Anakku saja yang kelulusan desainer terbaik tidak lolos saat melamar kerjaan di sana," ujar Dewi membanggakan Kania.

Mama Sintia yang mendengar pujian tentang menantunya tersenyum senang merasa bangga dan tidak memalukan. Kania memang wanita cerdas, sopan, baik, jujur, dan juga setia. Itulah mengapa Vicky putranya memilih Kania untuk menjadi istrinya. Meski ia tidak setuju karena Kania berasal dari kalangan biasa. Namun, sekarang dirinya juga sedikit tidak menyukai Kania dikarenakan tak kunjung hamil juga.

"Mekipun menantu jeng Sintia hebat dalam bekerja, percuma saja kalau tidak bisa memberikan keturunan. Bukankah Vicky dan Kania sudah menikah selama enam tahun?" kata Ratna yang kurang menyukai Kania karena Vicky lebih memilih Kania si wanita biasa. Ratna sudah mengincar putra Sintia untuk di jadikan menantunya. Tentunya melihat dari bibit bebet bobotnya.

Senyum yang tadi mengembang di bibir Mama Sintia kini pudar setelah mendengar ucapan Ratna.

"Jeng Ratna benar juga ya. Anakku saja sudah mau memiliki anak dua. Padahal baru menikah tiga tahun, lho," balas Reni membenarkan.

"Jeng Ratna, Jeng Reni, anak itu titipan dari Tuhan. Kita tidak bisa memprediksi kapan akan punya anak? Akan punya anak berapa? Semuanya rahasia Tuhan." Sergah Dewi lebih bijak dalam bicara karena menurutnya, semua ada ti tangan Tuhan. Manusia hanya berencana namun Tuhan yang menentukan.

"Jeng Dewi, kita tahu kalau semua memang ada di tangan Tuhan. Tapi apakah kita akan berdiam terus tanpa melakukan apapun untuk memimiliki anak? Jeng Sintia itu butuh pewaris. Umur Vicky pun sudah 33 dan sudah patas memiliki anak dua," ucap Ratna mengompori Sintia.

"Enam tahun bukan waktu yang lama. Enam tahun tidak memiliki anak juga harus di pertanyakan apakah wanitanya mandul atau prianya yang mandu?" timpal Reni semakin mengompori Mami Sintia.

"Anak saya pasti tidak mandul. Saya yakin kalau Kania yang mandul," balas Sintia mulai termakan omongan Ratna dan Reni.

"Makanya jeng, suruh menantumu periksa apakah rahimnya baik-baik saja atau bermasalah! Kita-kita saja sudah memiliki cucu, masa Jeng Sintia belum," ujar Reni semakin menambah bara api di hati Lusi ingin memiliki cucu.

"Punya cucu itu asik lho, Jeng. Bisa main bersama, bisa jalan-jalan bareng cucu, lelah bekerjapun terobati saat bertemu cucu," kata Ratna menimpali membuat otak Sintia tambah panas bagaikan tersiram air panas.

"Jeng Sintia tidak perlu memikirkan masalah cucu. Nanti, kalau Tuhan sudah mengizinkan pasti akan di berikan cucu," saran Dewi lebih bijak karena menurutnya, semua adalah kehendak Tuhan.

Sintia hanya diam memikirkan perkataan mereka-mereka yang ada benarnya juga. Semua memang ada di tangan Tuhan. Namun, Sintia tak dapat memungkiri jika dirinya menginginkan cucu. Dia juga berpikir kenapa di usia pernikahan enam tahun Kania tak kunjung hamil? Apakah mandul? Pikiran Sintia mulai bertanya-tanya.

*****

Di tengah pekerjaan menunggu bakery yang ia kelola, Devano tidak terlalu fokus. Pikirannya tertuju terus pada wanita itu, wanita yang ia sukai saat pertemuan pertama. Wanita yang mampu menarik hatinya setelah kepergian sang istri. Wanita yang kini berhasil mengusik pikirannya dan relung hati terdalamnya.

"Kurang ajar, pikiran ku terus tertuju padanya. Tidak bisa di biarkan ini mah, setiap saat ku terbayang wajah cantiknya yang bagaikan boneka hidup itu," ucap Devan memukul pegangan kursi yang ia duduki. Lalu ia melepaskan kacamata anti radiasi nya lalu membereskan semua berkas di atas meja kemudian melangkah keluar ruangan.

"Bos, kau mau kemana? Ini beberapa pelanggan yang ingin berbicara mengenai kue yang hendak di pesan buat acara nikahan nanti, Bos." ucap Vicky mencegah langkah Devan yang hendak keluar ruangan.

Vicky Prayoga, suami dari Kania itu bekerja di perusahaan milik Devan sebagai sekertaris Devan. Setiap pembeli yang masuk maupun pengeluaran, Vicky lah yang lebih dulu menanganinya dan setelahnya dilaporkan ke Devan. Devano memiliki toko kue Bakery CITARASA, usahanya sudah terkenal di kotanya dan memiliki banyak cabang di beberapa kota.

"Lain kali saja, ada hal yang jauh lebih penting dari ini. Ini masalah masa depan saya. Tapi, kau urus semuanya, nanti kalau audah selesai, kau kirimkan laporannya ke saya." Devano melanjutkan langkahnya yang sempat terhalang. Dia belum mengetahui jika wanita incarannya adalah istri dari sekertaris nya sendiri.

"Tapi, Bos."

Devan memberhentikan lagi langkahnya, ia membalikan badannya ke belakang ada hal yang harus Vicky kerjakan. "Vicky, besok aku minta kamu ke daerah Kuningan, pantau toko kue di sana dan aku ingin laporan secepatnya mengenai toko yang ada di daerah itu! Seperti biasanya, saya akan memberikan kamu bonus uang jajan sebesar 1 juta," ucap Devan sebelum melangkah lagi.

"Siap, Bos. Akan aku kerjakan sesuai yang kau perintahkan. Dan akan ku pastikan jika apa yang Anda perintahkan semuanya aman terkendali." Dengan semangat yang membara, Vicky menerima perintah atasannya dengan senang hati. Ada hal lain yang ingin ia temui selain pergi berkunjung ke toko-toko.

'Sayang, aku akan datang menemuimu di sana. Tunggu aku,' ucap Vicky dalam hati akan menemui seseorang. Entah siapa itu, Vicky tidaklah tahu.

"Aku percaya 'kan pada dirimu, Vicky." Devan pun kembali melanjutkan niatnya.

Di sepanjang jalan, Devan tersenyum membayangkan wajah cantik wanita yang ia taksir. Dan ia kembali terbayang pada kejadian beberapa hari yang lalu.

FLASHBACK.

3. Pertemuan pertama

Hari itu, hari dimana Devan sedang mencari pengendara lain guna mempercepat perjalanan yang terjebak macet. Bukan alasan Devan rela meninggalkan kendaraan beroda empatnya, melainkan hanya untuk segera sampai di sekolah sang putri. Jika dia terlambat datang ke pentas seni yang diadakan oleh pihak sekolah sang putri, maka putrinya bakalan marah besar.

Devan berlarian menyusuri jalan seraya memperhatikan pergelangan tangannya. Jam terus berputar di saat dia di kejar waktu dan berharap sampai tepat waktu.

"Kalau aku tidak cepat sampai bisa-bisa Naina marah sama aku. Ini kan pentas dia, jadi aku sebagai ayahnya harus segera sampai ke sekolahnya," gumam Devan celingukan mencari kendaraan bermotor.

Matanya terus mencari ojeg tapi ia tak bisa menemukan satupun pengendara ojek online di sekitaran sana. Tapi Devan tidak pernah menyerah dan dia terus mencari hingga matanya menemukan satu pengendara motor kosong di bagian belakangnya. Motor merah dengan helm berwarna merah juga tengah berhenti di lampu merah.

Tanpa banyak tingkah dan tanpa banyak bicara, Devan menepuk-tepuk pundak orang itu.

"Bang, saya minta tolong antarkan saya ke sekolah PAUD Tuna Sakti sekarang juga! Ini penting sekali, Pak." Devan langsung menaiki motor itu tanpa izin terlebih dulu dari sang pemilik kendaraannya.

Orang itu menoleh ke belakang merasa heran karena ada orang asing yang tiba-tiba saja naik tanpa permisi, "Dia siapa main asal naik saja kendaraan ku?" batin orang itu mengerutkan keningnya tidak kenal pada pria tampan ke bule-bule'an itu.

"Bang buruan jalan! Anak saya sudah menunggu di sekolah. Ini sangat penting sekali buat saya."

"Oh, dia mau bertemu anaknya. Hmmm ... ayah yang sayang anak," balasnya dalam hati lagi.

Karena merasa kasihan, orang itu mengangguk dan menarik gas motor setelah lampu hijau menyala.

"Dari sini belok kanan!" ujar Devan memberikan instruksi kepada pengendara yang ia sangka anak muda ataupun pria dewasa. Dan lagi-lagi orang itu hanya mengangguk saja dan mengikuti perkataan Devan. Dan tibalah di depan sekolah.

Devan segera turun dari motor itu dan merogoh kocek saku celananya mengambil sesuatu. Di saat Devan sedang mencarinya, orang itu memarkirkan kendaraan beroda dua yang ia tumpangi di area parkir yang tersedia.

"Eh, tunggu sebentar!" Devan melangkah lebar mendekati pengendara itu, "Ini uang sebagai tanda terima kasih saya karena kau sudah membantu saya." Devan menyodorkan dua lembar uang berwarna merah kehadapan pengendara itu. Tetapi, orang itu malah diam melihat uangnya dan beralih menatap Devan.

Devan mengurutkan keningnya, Dia pikir jika orang itu tidak mau menerima karena merasa kurang. Maka dia kembali menambahkan beberapa lembar bawang merah dan memberikannya lagi, "Apa segini cukup?" ujar Devan menatap orang itu.

Orang yang masih ada di atas motor membuka helmnya dan itu diperhatikan oleh Devan. Seketika mata Devan terbelalak melotot sempurna saat melihat wajah di balik helm itu.

Ternyata seorang wanita, dan orang itu melepaskan helmnya lalu menggerakkan kepalanya hingga rambut itu tergerai begitu indah. Devan tak bergerak sedikitpun, ia menatap penuh pesona wajah wanita cantik yang bagaikan Barbie hidup itu.

Hidung mancung, mata bulat sedikit besar berwarna hazel kecoklat-coklatan, alis hitam tersusun rapi tanpa sulam, pipi tirus nan putih mulu, bibir tipis berwarna merah ceri bervolume terlihat begitu ****.

"Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna dan nyata. Sempurna," gumam Devan penuh kekaguman bahkan dadanya berdebar-debar tak karuan hanya melihat wajah cantiknya.

"Jantungku berdetak kencang." Devano terus saja memperhatikan wanita yang ada di atas motor tanpa mengalihkan pandangannya. Untuk sesaat dia terpesona dengan kecantikan wanita itu. Tangan yang masih memegang beberapa uang merah masing menggantung di udara belum turun ke bawah.

"Maaf, pak. Saya bukan tukang ojek. Kebetulan saya memang mau kesini dan kebetulan juga mau menghadiri pentas seni keponakan saya," ucap wanita cantik bermata indah itu.

Namun, Devan belum sadar dari kepercayaannya. "Ya Tuhan, bolehkan aku mengagumi ciptaan tuhan yang paling cantik ini. Setelah sekian lama mendiang istriku tiada barulah saat ini aku mengagumi wanita lagi. Apa ini saat nya aku membuka hatiku dan mencari mama baru untuk Putri ku?" Devano masih betah dalam lamunannya sendiri dan masih belum sadar dari ketertarikannya pada wanita yang ada di hadapan dia.

"Pak, apa Anda mendengar saya?" wanita itu melambaikan tangannya ke hadapan wajah Devano. Berhubung Devan belum sadar juga dari lamunannya, maka wanita cantik itu menjentikkan jarinya hingga berbunyi. Barulah Devan tersadar dari pikirannya sendiri.

"Eh, hmmm ... ini uangnya," ujar Devan malu dengan wajah bersemu merah.

"Maaf, saya bukan tukang ojek. Lebih baik Anda menyimpannya lagi atau memberikannya kepada yang lebih membutuhkan," ujar wanita itu sambil turun dari motor gedenya.

Devan makin terpesona dan kagum menyaksikan seorang wanita yang mampu menggunakan motor gede. Dia di buat takjub oleh wanita itu.

"Hmmmm ... tapi saya naik motor Anda dan ini sebagai rasa terima kasih saya karena Anda sudah mengantarkan saya. Mohon di terima," balas Devan masih setia menyodorkan tangan yang memegang uang.

Wanita itu tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi dan gigi gingsul nya yang menambah kecantikan wanita itu.

"Aduh Gusti, Masyallah cantiknya mahluk ciptaan tuhan ini," gumam Devan dalam hati seraya memegang dadanya yang berdebar tak karuan.

"Papa buruan!" pekik seorang gadis cilik mengalihkan perhatian Devano. Pria tampan dengan kuping memakai anting satu itu menoleh dan tersenyum.

"Naina, iya sayang. Tunggu sebentar!"

"Papa sebentar lagi pentasnya dimulai." Naina gadis cantik berusia 5 tahun itu berlari mendekati Devano. Di belakangnya sang wanita paruh baya menyusul Naina.

Gadis manis yang mengenakan baju Putri itu menarik tangan Devano, "Papa ayo. Aku udah nunggu dari tadi tapi Papa lama banget masuknya. Ayo, Pah."

"Van, kamu lama sekali. Buruan masuk, bentar lagi Naina akan tampil," timpal wanita paruh baya itu.

"Iya, Mah. Tunggu sebentar saja." Devano menoleh ke tempat wanita yang mengantarkan, tetapi dia sudah tidak menemukan wanita itu.

"Kemana dia? Cepat sekali hilangnya. Padahal aku hanya ingin mengucapkan kata terima kasih padanya. Kalau perlu tahu namanya siapa," gumam Devano dalam hati celingukan kesana-kemari.

Wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya dan ikut celingukan, "Kamu cari siapa, Van?"

"Hah, tidak, Mah. Tidak cari siapa-siapa. Ya sudah ayo, kita masuk sekarang juga."

"Iya, Papa buruan."

*****

Pentas seni anak Paud pun sedang berlangsung meriah, tetapi hati Devano malah gelisah ingin ketemu lagi dengan wanita itu. Pikirannya terus tertuju pada wanita cantik yang sudah berhasil mencuri hatinya hanya dalam pandangan pertama.

"Hadirin sekalian, tibalah saatnya kita mengumumkan pemenang lomba. Untuk lomba pentas seni drama putri dan pangeran di menangkan oleh kelompok ... Naina."

Tepuk tangan pun terdengar meriah. Dan Devano tersenyum kelompok putrinya menang.

"Untuk ibu Kania Dwi Ariyanti, di persilahkan maju ke depan memberikan hadiahnya!"

Dan semua mata pun tertuju pada sosok wanita yang sedang tersenyum melangkah maju ke atas panggung. Devano tertegun melihat siapa orang itu.

"Wanita itu ...!"

FLASHBACK END

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!