NovelToon NovelToon

JINGGA

Awal Kehiupan Baru

...Selamat datang di Novel baruku, terimakasih sudah memilih Jingga untuk mengisi waktu luang kalian....

Happy Reading teman-teman.

💞💞💕💞💞

“Bagaimana bisa pernikahan sudah di rencanakan dan siap untuk dilaksanakan harus kacau seperti ini?”. Desis Pak Angga, laki-laki paruh baya yang sedang duduk di ruang keluarga dengan raut wajah penuh kebingungan.

Semua anggota inti dalam keluarga tersebut hanya diam membisu tak dapat memberikan jawaban sama sekali.

Bu Lia, hanya bisa menangis sesenggukan, memikirkan kemana anak gadisnya yang hilang di hari pernikahannya.

“Aku tidak mau tahu, kalian harus tanggung jawab dengan kejadian ini! Aku tak mau malu dengan undangan yang sudah datang”, suara Pak Angga, semakin dingin kala mendapat laporan jika Dahlia telah melarikan diri di hari pernikahannya.

Diam.

Tak ada yang bergeming, suasana benar-benar sunyi. Hingga helaan nafas masing-masing dapat saling terdengar.

Semuanya tak ada yang bisa memberikan jawaban atas hilangnya Dahlia.

Sementara Fajar, tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa terbebas dari permintaan konyol sang Papa, yang ingin menikahkannya dengan anak sahabatnya.

Masih dalam ruangan yang sama, tiba-tiba Jingga, datang membawakan satu baki yang berisi melati segar dan beberapa bunga lainnya, melintas menuju kamar Dahlia. Jingga benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Ia dengan begitu tenang melangkah menuju kamar majikannya. Karena yang ia tahu semalam di tugaskan untuk merangkai melati dan meletakkan di kamar Dahlia.

“Tunggu!”. Seru Pak Angga, yang menghentikan langkah Jingga, menuju kamar Dahlia.

“Saya, Tuan”, jawabnya dengan sopan menundukkan kepalanya.

“Siapa kamu?”.

“Saya Jingga, Tuan”.

“Dia asisten rumah tangga di sini ini”. kini pak Hermawan, mulai memberanikan diri membuka suaranya.

“Baiklah karena majikan kamu telah kabur di hari pernikahannya, maka mau tidak mau kamu harus menggantikannya untuk menikah dengan anak saya sekarang juga”. Titah pak Angga yang begitu saja keluar dari mulutnya dan membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menganga, membulatkan mata secara sempurna.

“Saya tidak menerima penolakan apapun!”. Tukasnya kembali dengan tegas dan penuh penekanan.

Sementara Jingga, masih diam mematung, mencoba mencerna setiap kata yang di ucapkan oleh pak Angga, sahabat majikannya.

Semua begitu tiba-tiba, hingga tangannya terasa kebas tak berasa, membuat melati putih dalam genggamannya luruh seketika, bersentuhan dengan dinginnya lantai.

Dunianya sekaan berhenti berputar, masa depannya di renggut paksa, untuk menyelamatkan sebuah kehormatan keluarga.

Jingga, masih di tempat yang sama, lidahnya terasa kelu, suaranya tersendat dalam kerongkongan, seperti sedang kehilangan sebuah kata-kata. Jiwanya menjerit ingin menolak.

***

Dua jam kemudian.

“Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Sekar Ayu Kemuning binti Bramantyo, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seratus gram di bayar tunai”. Dengan satu tarikan nafas Fajar Dirgantara, sudah sah menjadikan Jingga wanita yang sama sekali tidak ia kenal menjadi istrinya. Begitu pula sebaliknya Jingga, gadis cantik itu juga sama sekali tidak mengenal Fajar yang kini menjadi suaminya.

Ini adalah pertemuan pertama mereka berdua. Pertemuan pertama yang sekaligus merubah status mereka menjadi sepasang suami istri.

Bagaimana para saksi? Tanya pak Hermawan yang saat itu menjadi wali nikah Jingga, karena Jingga anak yatim piatu dan tak memiliki sanak saudara.

“SAH”.

“SAH”, dengan lantang semua orang yang ada dalam ruangan tersebut mengucapkannya.

Semua undangan yang ada dalam ruangan tersebut lekas berdoa bersama, tak berselang lama, Jingga keluar dari kamar Dahlia, yang di dampingi Bu Lia dan juga Bu Nadin.

Kebaya warna putih yang menjuntai hingga bawah, rancangan desainer ternama di Surabaya sekaan tak memiliki makna. Guratan sedih terpancar sempurna di wajah Jingga. Dadanya bergemuruh hebat, memikirkan segala asa yang belum terwujud. Bu Lia dan Bu Nadin lekas membawanya ke depan Fajar.

Keduanya saling berhadapan dan bersentuhan untuk yang pertama kali, semua terasa begitu hambar tak berarti. Jingga dan Fajar saling bertukar cincin, suatu adegan yang membuat Jingga harus mencium tangan Fajar, yang kini telah menjadi suaminya, di balas dengan Fajar yang mencium kening Jingga sekilas. Keduanya tampak sangat canggung.

Tak ada senyuman di antara keduanya.

Acara di lanjutkan dengan pesta pernikahan yang mewah layaknya seperti negri dongeng di salah satu hotel bintang lima yang ada di Surabaya. Acara di hadiri cukup banyak tamu undangan, baik dari kolega pak Angga maupun pak Hermawan, maklum keduanya sama-sama pengusaha terkenal.

Tak ada senyum tulus yang di pancarkan kedua mempelai yang sedang berada di atas pelaminan, tak ada interaksi yang berarti di antara keduanya sepanjang acara berlangsung. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Hanya sesekali Fajar, menyenggol lengan Jingga, menyuruhnya untuk pura-pura tersenyum ketika ada tamu undangan yang mengajak mereka berdua untuk berfoto.

Menjelang tengah malam acara sudah selesai, tamu undangan sudah pulang, hanya tinggal beberapa wedding organizer yang bertugas untuk merapikan sisa-sisa acara.

Fajar berlalu begitu saja meninggalkan Jingga di pelaminan, tanpa sebuah kata maupun asa.

Sedangkan Jingga, di buat canggung harus kemana dan apa setelah acara ini?.

“Ikutlah dengan suami kamu, kamar 505”. Ucap Pak Angga yang tampak mengerti kebingungan menantunya. Tak lupa Pak Angga juga menyerahkan kunci kamar pada Jingga.

Jingga, hanya menganggukkan kepalanya saja menuruti perintah Pak Angga, yang kini bergelar menjadi mertuanya.

Ceklek.

Pintu kamar hotel terbuka.

Sebuah kamar yang sangat indah. Kamar yang sudah di hias khusus layaknya untuk menyambut pasangan pengantin baru, dengan hiasan banyak bunga yang bertebaran di atas ranjang, tak lupa juga lilin yang dibuat sedemikian rupa untuk menambah kesan romantis kamar.

Jingga begitu tertegun melihat pemandangan yang ada, tanpa ia sadari sudut bibirnya terangkat namun tak bisa di pungkiri dia begitu ketakutan akan masa depan yang terjadi pada pernikahan ini.

Jingga, mulai masuk dalam kamar dan duduk di tepi kasur.

Tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka pertanda ada orang yang masuk, Jingga menundukkan wajahnya.

Sementara itu Fajar yang melihat Jingga, ada di kamar yang sama dengannya langsung menghampirinya, dan meraih tubuh kecil Jingga memojokannya di dinding kamar lalu mencekik lehernya dengan begitu kerasnya.

“Arkrrr”, teriak Jingga, yang merasa kesakitan karena perbuatan Fajar.

“Diam wanita bodoh!”, teriaknya dengan semakin mencekik leher Jingga.

“Karena kamu sudah mengacaukan rencanaku, karena kamu datang dengan tiba-tiba, aku harus menikah’imu, padahal aku sudah sangat senang ketika mendengar Dahlia kabur dalam perjodohan ini”.

Mata Fajar membulat sempurna, dengan tatapan yang merah berapi-api seakan ingin membunuh Jingga saat itu juga.

“Jangan harap kamu bisa bahagia, aku pastikan kamu akan menderita sepanjang menjalani pernikahan ini, lihat saja sampai kapan kamu akan sanggup menjalani pernikahan sandiwara ini”.

“Dasar upik abu yang bermimpi menjadi seorang Putri”. Kini Fajar melepaskan cekikannya dan melempar Jingga hinga tersungkur di atas lantai.

Jingga tak kuasa menahan air matanya, tangisnya lolos begitu saja kala mendapat perlakuan kasar pria yang kini menjadi suaminya.

“Ya Allah bagaimana bisa aku menjalani kehidupan pernikahan setelah ini?”, rintihnya lirih dengan tersungkur di atas marmer hotel yang mewah.

.

.

.

.

.

Hay teman-teman semua, Author bulan ini ulang tahun Lo, jadi Author minta hadiahnya ya, jangan lupa untuk tinggalkan jejak kalian, like, komen dan subscribe, vote juga. Trimakasih.

😊

Rumah Utama

Menyadari perbuatan suaminya yang begitu kejam tak menginginkan dirinya, Jingga perlahan mundur dan menuju kamar mandi menumpahkan segala kekesalan dan kesakitan yang ada.

“Aku tidak tahu apa-apa, tapi kenapa aku harus terjebak dalam pernikahan semacam ini”, tangisnya tersedu-sedu di bawah guyuran air yang membasahi tubuhnya.

“Hentikan tangismu wanita bodoh, kamu sungguh sangat berisik dan menggangguku”. Teriak Fajar dari atas ranjangnya yang sudah bersiap untuk tidur.

Sedang Jingga mendekap mulutnya dengan tangannya sendiri untuk menutupi suara tangisan nya.

***

Pagi harinya keluarga dari pihak Fajar masih berkumpul bersama untuk sarapan di Resto hotel tersebut. Setelah sarapan mereka semua akan kembali ke mansion utama, Fajar dan Jingga juga akan turut serta tinggal di sana nantinya, maklum Fajar adalah anak tunggal dalam keluarga tersebut.

Jingga memberanikan diri untuk menyusul suaminya yang sudah lebih dulu turun ke bawah dan turut bergabung untuk sarapan bersama di resto itu.

Hening tak ada suara yang terlontar sepanjang makan siang, semua fokus pada hidangan yang ada di depan masing-masing. Jingga juga tampak sangat canggung dengan hal ini, maklum sebelumnya dia adalah pelayan yang setiap hari harus menyajikan makanan namun kini dia bisa merasakan makan satu meja dengan sahabat majikannya.

“Bagiamana tidurmu nak?”, tanya pak Angga pada Jingga di tengah-tengah dentingan sendok dan piring yang sedang beradu.

“Huk..huk...”, Jingga tersedak mendengar pertanyaan mertuanya.

“Maaf-maaf, tak seharusnya saya bertanya seperti itu”.

Sedang Fajar lekas menghentikan aktifitas mengunyahnya dan meletakkan sendok serta garpunya. Tatapannya begitu dingin dan mencekam.

“Bersiaplah nak Jingga setelah ini ikut dengan kami untuk pulang”, titah Pak Angga yang kembali terucap.

Jingga hanya mengagungkan kepalanya saja menuruti setiap perintah yang di berikan padanya.

***

Pukul sembilan pagi keluarga Fajar bersiap untuk kembali ke mansion utama pak Angga yang letaknya lumayan jauh dari hotel mereka menginap saat ini.

Tak ada persiapan khusus yang di lakukan Jingga, bahkan ia hanya membawa beberapa potong baju saja yang ia kemas dalam tas ransel miliknya. Bukan tanpa alasan karena memang Jingga juga tak banyak memiliki baju sebelumnya.

Dua jam perjalanan di dalam mobil yang terpisah dengan mertua dan suaminya, akhirnya Jingga terhenti di sebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat luas sekali. Jingga menahan diri agar tak terlihat kampungan melihat kemewahan ini. Sebenarnya rumah Pak Hermawan majikannya juga mewah namun rumah Pak Angga jauh lebih mewah berkali-kali lipat.

“Silahkan Nona”, seseorang membukakan pintu mobil untuknya.

Beberapa asisten rumah tangga berseragam putih dan hitam mulai menyambut kedatangan Pak Angga dan Bu Nadin.

Kali ini Jingga tak dapat menahan rasa kagumnya melihat kemewahan yang ada di depan matanya.

Matanya membulat dengan mulut yang menganga.

“Jadi seperti ini rumah rang kaya”,ucapnya dalam hati, dengan mata yang memindai setiap sudut rumah tersebut.

“Biasah saja lihatnya, ini baru bagian luarnya”, suara Bu Nadin, ibu mertuanya membuyarkan lamunan Jingga.

Ia hanya tersenyum kikuk mendengar perkataan mertuanya.

“Pergilah istirahat nak Jingga, kamu pasti lelah sekali”. Lagi-lagi Pak Angga memberikan titah yang tak dapat ia bantah.

Sementara bu Nadin pergi melangkah begitu saja meninggalkan mereka, sepertinya bu Nadin sama seperti Fajar suaminya yang tak menginginkan kehadirannya di rumah ini.

“Pelayan antar Jingga ke kamarnya”.

“Baik tuan”, dengan sigap salah satu pelayan yang kebetulan bernama Susi mengantarkan Jingga ke kamarnya untuk beristirahat.

Ceklek

Pintu terbuka

Kamar dengan ukuran sangat luas sekali dan bagus, melebihi kamar tempat ia menginap semalam.

Lagi-lagi Jingga di buat takjub dengan pemandangan yang ada, interior dan desain kamar itu sungguh sangat sempurna, perpaduan warna putih dan biru muda mendominasi kamar itu.

Kamar yang di desain khusus untuk seorang pria, begitu rapi dan wangi di setiap sudut sisi kamar. Tak ada kotoran ataupun sebutir debu yang bersarang di sana.

“Silahkan istirahat nona”, pamit Susi yang meninggalkan Jingga di kamar tersebut.

Perlahan Jingga mulai memasuk ke dalam kamar itu, mencoba mengenal lebih dekat kamar tersebut. Matanya mengamati satu persatu hiasan yang terpajang di dinding kamar itu.

Ranjangnya begitu besar dengan tema modern, meja rias yang cukup besar dengan segala peralatan cowok di sana. Kamar mandinya sangat luas sekali, ada beberapa hiasan miniatur mobil-mobil kecil yang berjajar rapi di sudut ruangan.

Di samping ranjang ada satu set tempat duduk empuk, tak lupa karpet mini yang ada di bagian bawahnya. TV LCD berukuran cukup besar tepat berada di depan ranjang. Kamar di lengkapi dengan AC dan penghangat ruangan yang dapat di sesuaikan dengan kondisi yang ada.

Spot yang paling membuat Jingga tertarik dalam kamar ini adalah balkon yang bisa melihat pemandangan taman bawah di luar sana.

Jingga kembali menyusuri kamar Fajar.

Senyumnya kecut.

Kala melihat foto yang terpanjang dalam ukuran besar sekali di ada di sudut kamar tersebut.

“Foto itu?, pasti dia wanita pujaan hati tuan Fajar”, ucapnya dalam hati dengan tersenyum getir.

***

Apartemen Maura.

Sementara itu di apartemen mewah yang berada lumayan jauh dari rumah utama pak Angga, Fajar sedang bermesraan dengan kekasihnya Maura.

Ya Maura adalah seorang model terkenal, yang kini kebetulan sedang menjalin kasih dengan Fajar sejak tiga tahun yang lalu. Keduanya saling mencintai satu sama lain hanya saja restu dari orang tua Fajar tak kunjung ia dapat.

Papa Fajar dengan jelas-jelas menentang hubungan mereka berdua dan mengancam akan mencoret Fajar dari daftar penerima hak waris jika masih saja berhubungan dengan Maura. Sementara sang Mama juga sama tak merestui hubungan Fajar dengan Maura namun juga tak rela jika anaknya menikah dengan Jingga seorang upik abu.

“Honey jadi bagaimana dengan hubungan kita?”, tanya Maura dengan bergelayutan manja di pangkuan Fajar siang itu.

“Tenanglah honey, di hatiku hanya ada satu nama, aku hanya milikmu seorang”. Jawab Fajar menyakinkan kekasihnya.

“Aku mana percaya sama kamu honey, jika kalian setiap hari tinggal satu atap bukan tidak mungkin cinta di antara kalian akan tumbuh dengan mudahnya”.

Kini Maura sedikit merenggangkan pelukannya pada tubuh Fajar dan mulai melepaskan untuk pergi menjauh memandang kota dari balik kaca besar apartemen.

“Tidak honey, tidak akan pernah terjadi di antara kita, akan aku pastikan dia menderita dan lekas memohon cerai dariku”.

“Aku akan lekas menceraikannya dia, kala mendapat restu dari Papa untuk menikahimu”, kini Fajar mulai melingkarkan tangannya di perut ramping kekasihnya.

“Tapi bagaimana caranya?”.

“Bersabarlah dengan keadaan yang ada saat ini honey”. ajar kembali mencium kekasihnya.

“Berjanjilah satu hal padaku untuk tidak pernah menyentuhnya”. Mata Maura berkaca-kaca menatap lekat wajah Fajar kekasihnya.

Sedang Fajar hanya menganggukkan kepalanya saja.

“Demi kamu aku berjanji”, keduanya kembali berpelukan.

Sebuah Kenyataan

“Bagaimana kalau kita bersenang-senang saja malam ini?”, bisik Maura tepat di telinga Fajar, dan sedikit memberikan gigitan kecil di sana yang membuat ia tak bisa menolak permintaan kekasihnya.

“Ayo”, dengan senang hati Fajar membawa Maura ke tempat hiburan malam.

Mereka berdua akan menikmati malam bersama, bersenang-senang, melupakan sejenak peristiwa yang sedang menerpa hubungan mereka. Malam itu Fajar, hanya ingin menikmati malamnya dengan Maura. Keduanya berdansa dan minum bersama, hingga benar-benar mabok bersamaan.

Dengan sengaja di sisa-sisa kesadarannya, Maura membawa Fajar ke salah satu kamar hotel yang ada di club malam. Maura membopong Fajar yang sudah teramat sangat teler. Sedang Fajar hanya bisa pasrah kala Maura, membawanya kemana.

“Sayang, aku cinta sama kamu”.

“Sayang, kamu cantik sekali”, rancaunya saat mabuk.

Maura, tersenyum licik sedang merencanakan sesuatu untuk Fajar.

Ya benar saja, Maura ingin menjadikan Fajar, malam ini miliknya seutuhnya, agar ia bisa menekan Fajar, untuk lekas menikahinya. Selama ini meskipun mereka berdua saling mencintai, keduanya masih menjalin hubungan dalam batas wajar.

Fajar memang mencintai Maura, tapi Fajar laki-laki berprinsip, dia tak akan menyentuh wanita jika bukan istrinya, dan Fajar hanya akan menjadikan wanita yang dia cintainya sebagai istri bukan yang lain.

Itulah sebabnya Fajar slalu menolak Maura, ketika mereka hampir saja melakukan kegiatan yang terlarang. Ia akan menghindar dan berakhir dengan Maura yang kecewa.

Malam itu Maura, akan menjalankan rencana membuat Fajar, menidurinya meskipun dengan cara yang licik, asalkan Fajar bisa menjadi miliknya seutuhnya.

Langkahnya semakin di percepat, kala membopong Fajar.

“Tunggu”. Suara laki-laki muda menghentikan langkah Maura, yang sudah hampir masuk ke dalam kamar hotel tersebut.

“Biar saya bawa pulang Tuan Fajar”.

“Ais, biar saya saja. Fajar, sudah dalam keadaan mabuk”, ucapnya dengan kesal pada laki-laki itu.

Ya laki-laki itu adalah Reza, asisten khusus yang di siapkan Pak Angga, untuk mengawasi setiap gerak Fajar, dan membantu Fajar setiap dalam kesulitan.

“Biar saya bawa tuan Fajar pulang!”, tanpa menunggu jawaban, dengan sigap Reza, lekas mengambil alih tubuh Fajar, dan lekas membawanya ke dalam mobil untuk membawanya pulang.

Lagi-lagi Maura, harus kecewa di buatnya.

Fajar sudah tak peduli dengan siapa dia harus pulang dan menikmati malam, kepalanya benar-benar pusing tak tertahankan malam itu.

***

Rumah Pak Angga.

Sesampainya di rumah, Reza lekas membawa Fajar, ke dalam kamarnya, rumah dalam kondisi sepi karena memang tak banyak penghuni di sana dan rumah dalam ukuran yang teramat sangat luas.

Tok..tok...

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Jingga, yang kala itu sedang menunggu kedatangan suaminya.

“Astaga apa yang terjadi?”, tanyanya kala melihat Fajar, yang berjalan sempoyongan dengan di papah oleh Reza.

“Tuan muda, sedang mabuk nona”, jawabnya singkat.

Dengan sigap Jingga, mempersilahkan pada Reza untuk membawanya masuk dan menidurkan Fajar, di atas kasurnya. Jingga begitu panik, sepanjang usianya yang sudah menginjak dua puluh tahun, ini adalah pengalaman pertama melihat seorang dalam keadaan mabuk.

“Saya permisi nona”, pamit Reza undur diri.

Jingga bingung harus berbuat apa, berada satu kamar dengan pria yang sedang tak sadarkan diri di bawah pengaruh minuman alkohol.

Panik dan gemetaran menjadi satu.

Perlahan Jingga, mendekati suaminya, membuka sepatu yang melekat pada kakinya lalu membukanya, kemudian menyimpan di antara jajaran koleksi sepatu mahal suaminya.

“Astaghfirullah”. Jingga menutup hidung dengan jari, kala mendekat pada suaminya, bau alkohol begitu menyeruak rasanya sungguh tak tertahankan dan membuatnya ingin muntah saat itu juga.

Jingga menahan sekuat tenaga.

Jingga mengambil selimut yang ada di kamar itu, hendak memakaikan pada Fajar suaminya. Sekilas Jingga tertegun kala melihat wajah suaminya. Tuan Fajar begitu tampan, hidungnya mancung, alisnya tebal, kulitnya putih dengan memiliki garis rahang yang tegas. Tubuhnya sempurna tak ada cela.

“Siapakah aku”, ucapnya dalam hati, yang lekas sadar akan statusnya yang hanya sebagai istri tak di anggap.

Tangannya meraih selimut dan memakaikan pada sang suami.

Sementara itu, Fajar yang merasakan tubuhnya gerah mulai membuka matanya dan begitu kaget, kala melihat ada wanita di depannya.

Samar-samar mata Fajar, menatap lekat wajah wanita di depannya mencoba memastikan dengan sepenuh ingatannya siapa wanita yang ada di depannya itu.

“Kamu siapa? ngapain ada di kamarku?”, teriaknya dengan membuang selimut tersebut ke sembarang arah.

Jingga begitu ketakutan, dengan perlakuan Fajar malam itu.

“Oh iya kamu Jingga kan? Wanita pilihan Papa untuk jadi istriku, wanita matre, upik abu yang sedang bermimpi untuk menjadi seorang ratu dalam istana ini”.

Jingga mundur dari tempat ia berdiri sekarang, sebisa mungkin menahan butiran bening agar tak jatuh membasahi pipinya. Sungguh hati Jingga teramat sangat sakit kala mendengar tuduhan suaminya.

Ingin rasanya ia berteriak pada semesta.

“Apa salahku harus berada dalam posisi ini? Menikah, bahkan dengan orang yang sama sekali tak aku kenal, tak memberikan kesempatan padaku untuk memberikan sebuah jawaban”.

Fajar bangkit dari tidurnya, dan mulai berjalan mendekati Jingga.

“Kau upik abu sini”, teriaknya dengan menarik satu tangan Jingga, dengan sangat kasar lalu menghempaskan di atas kasur.

Senyumnya sungguh sangat menakutkan, seakan ingin menerkam Jingga malam itu.

“Layani aku sekarang!”. Perintahnya dengan tubuh yang mulai mendekat pada Jingga.

Jingga semakin ketakutan di buatnya, seharusnya ini memang sudah menjadi kewajibannya, tapi ia tak ingin melakukannya dalam kondisi seperti ini. Jingga hanya ingin melakukan ketika mereka sama-sama saling menerima keadaan yang ada di antara mereka berdua.

Fajar semakin mendekat.

Semakin dekat.

Jingga menutup matanya membayangkan sesuatu hal buruk ada di depan matanya.

Bruk...

Fajar terjatuh tepat di atas kasur, dalam posisi tengkurap.

Kesadaran Fajar belum kembali sepenuhnya masih dalam pengaruh alkohol, ia tak berani bergerak sedikitpun untuk menggeser posisinya, hingga beberapa saat kemudian ia mendengar dengkuran halus dari fajar yang menunjukan jika pria itu sudah tertidur.

Jingga beranjak dari ranjangnya perlahan, memperbaiki bajunya dan mencoba menghirup udara sebanyak yang ia mampu. Kejadian baru itu membuat tubuhnya bergetar hebat sangat ketakutan.

Perlahan Jingga melangkahkan kakinya keluar dari kamar, untuk mengambil minum untuknya dan juga suaminya.

.

.

.

.

.

Semua ini salah kamu Mas, yang memaksakan kehendak mu, untuk menikahkan Fajar dengan wanita upik abu itu, lihat sekarang Fajar kembali mabuk-mabukan padahal sudah lama sekali ia meninggalkan dunia malam itu!”. suara Mama mertuanya dengan begitu lantangnya mengejutkan Jingga, yang sedang berada di dapur untuk mengambil minum.

Tangannya semakin gemetaran, hampir saja gelas dalam genggamannya jatuh ke lantai.

“Kalaupun memang Fajar harus di jodohkan, kenapa harus dengan Jingga seorang upik abu yang tak tau asal usulnya dengan jelas, apa Papa pikir Jingga layak berada di tengah-tengah keluarga kita? Hem!”.

DEG

.

.

.

.

.

Jangan lupa like, komen dan subscribe teman-teman 😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!