" Dinda, jangan lari-lari Nak, nanti jatuh!." Teriak seorang wanita yang tengah duduk dibangku taman bermain untuk memperingatkan putrinya. Pasalnya gadis kecil berusia 4 tahun itu terus berlarian tak kenal lelah. Membuat sang ibu khawatir putrinya akan jatuh.
Puspita lantas berlari menyusul sang putri yang justru pergi semakin jauh kearah jalan. Fokusnya hanya pada malaikat kecilnya itu, hingga sebuah mobil melaju kencang kearah putrinya.
" Dinda!!!." Teriak saat mobil hampir saja menyentuh putrinya, sebelum seorang pria datang dan menarik putrinya kesisi jalan.
" Alhamdulillah." Gumamnya, juga beberapa orang yang menyaksikan kejadian mendebarkan didepan mereka.
Segera ia berlari menghampiri putrinya, yang sedang berada dalam dekapan seorang pria berkemeja putih.
" Terima kasih." Ia mengambil alih Dinda yang tengah ketakutan. Sebuah pelukan ia berikan, guna menenangkan buah hatinya yang gemetaran.
" Tenang ya sayang, kamu gak papa." Ucapnya membelai rambut panjang putrinya. Dalam hati ia amat bersyukur, Allah masih berbaik hati pada mereka.
" Sekali lagi, terima kasih." Ucapnya dengan menunduk, pada pria yang telah menolong putrinya. Ia merasa pria itu adalah malaikat yang dikirim untuk menolong sang putri.
" Sama-sama." Pria itu sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor, kemudian menatap gadis kecil yang baru saja ia selamatkan.
" Lain kali lebih hati-hati ya..." Ucapnya lembut.
" Ayo, bilang apa sama Om-nya?." Ucap Puspita pada putrinya.
" Terima kasih Om."
Puspita dan pria itu kompak saling menatap, menciptakan raut keterkejutan diantara keduanya. Mereka tak menyadari kehadiran satu sama lain, hingga tak sadar jika mereka tengah bicara dengan orang dimasa lalu.
" Puspita."
" Mahesa."
Keduanya bergumam bersamaan, menyadarkan pandangan terkejut yang beberapa lama tercipta.
" Puspita! Ini sungguh kamu?." Mahesa bertanya dengan antusias, melihat wanita yang telah lama dirindukannya.
Dengan ragu, Puspita mengangguk, membuat binar bahagia diwajah Mahesa kian bersinar.
Mahesa lantas menatap Dinda, lalu beralih menatap Puspita.
" Dia?."
" Putri saya." Puspita menjawab singkat. Dengan cepat ia menggendong putrinya, dan berjalan pergi. Bagaimanapun, ia tak ingin berlama-lama bertemu Mahesa.
" Tunggu!."
Langkahnya terhenti saat Mahesa memanggil, pria itu menyusul Puspita.
" Terima kasih atas bantuannya, saya akan meminta asisten saya mentransfernya segera. Katakan saja padanya nomor rekening Anda." Ujar Puspita dingin, membuat Mahesa mengernyit heran.
" Apa maksud kamu? Kamu berpikir aku..." Mahesa tak melanjutkan ucapannya, ia justru menertawakan cara Puspita menilainya.
" Kamu pikir aku seburuk itu?." Tanyanya berdiri tepat dihadapan puspita yang masih menggendong Dinda, yang kemudian diambil alih seorang wanita yang baru datang, pengasuh Dinda.
" Tolong bawa Dinda kemobil, saya akan menyusul." Titah Puspita pada pengasuh putrinya sembari memberikan Dinda dalam gendongan pengasuhnya.
" Baik Bu."
" Apa kita seasing itu sekarang, sampai kamu bicara dengan formal padaku?." Raut kecewa jelas terlihat saat Mahesa bertanya, membuat Puspita merasa bersalah. Namun ia berusaha agar terlihat tak terpengaruh.
" Sebaiknya Anda melakukan apa yang Saya lakukan sekarang."
" Pura-pura asing? Maaf, tapi aku tidak bisa." Bantah Mahesa tak mau kalah.
" Saya tidak sedang berpura-pura." Balas Puspita tenang.
" Asing? Bukankah itu yang Anda inginkan 5 tahun lalu?."
Mahesa terdiam sejenak, ia tahu betul tak ada sangkalan dari apa yang Puspita katakan.
" Pergilah sejauh mungkin! Jika suatu saat kita bertemu, anggaplah jika kita tidak saling mengenal!." Terngiang kata-katanya 5 tahun lalu.
Tapi sungguh, ia tak bisa berpura-pura layaknya wanita didepannya. Puspita, tetaplah wanita yang dari dulu sampai sekarang masih mengisi ruang hatinya. Terlepas kemarahan yang pernah melahap sisi kemanusiaannya.
" Maaf."
" Anda tidak perlu minta maaf, justru saya harusnya berterima kasih." Ucap Puspita membuat Mahesa menatap heran.
" Karena Anda sudah menyelamatkan putri saya." Lanjutnya membuat Mahesa merasa kecewa, sedih, dan marah secara bersamaan. Terlebih saat Puspita menyebut 'putri saya'.
" Maaf, saya harus segera pergi." Jawabnya saat menyadari seseorang berjalan kearah mereka. Namun Mahesa langsung mencekal tangannya.
Pria itu menoleh kebelakang, mengikuti arah pandang Puspita, lantas mendapati Tania dan putri kecilnya, Salsa.
" Mas..." Panggil Tania dengan nada kesal melihat Mahesa menggenggam tangan Puspita. Pertanda meminta Mahesa melepaskan cekalannya dari Puspita.
Mahesa tak menghiraukan ucapan wanita yang telah melahirkan putrinya itu. Ia justru fokus pada Puspita.
" Bukankah ada banyak hal yang ingin kamu bicarakan? Terutama tentang Dinda." Tanyanya penuh harap.
Puspita tak menjawab, ia melirik Tania sekilas kemudian melepaskan tangannya dari cekalan Mahesa secara paksa.
" Tidak." Jawabnya singkat.
Mahesa menatapnya dengan putus asa, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Puspita hingga wanita itu bisa bersikap sedingin ini.
" Puspita yang kukenal ramah pada setiap orang." Ucapnya
" Puspita yang Anda kenal sudah pergi 5 tahun lalu." Sekuat tenaga Puspita mempertahankan nada bicaranya. Saat kini ia merasa ingin menangis sejadi-jadinya.
" Tolong akui semuanya kesalahanmu, maka aku akan langsung memaafkanmu dan kita bisa berdamai." Desak Mahesa berusaha meraih tangan Puspita, namun ditepis oleh wanita itu.
" Cih!." Puspita berdecih sinis, menatap dua orang didepannya secara bergantian.
" Kesalahan? Anda bahkan tidak tahu apa yang terjadi, bagaimana bisa Anda dengan mudah menyimpulkan?." Balasnya menatap Tania, wanita yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian. Sebuah rasa yang harusnya dimiliki olehnya.
Tak ingin semakin tersulut emosi, Puspita memilih pergi dari sana.
" Mas..." Tania mencekal Mahesa, mencegah pria itu mengejar mantan sahabatnya.
" Kamu tidak berhak mencegahku!." Sergah Mahesa melepaskan tangan Tania paksa, dengan cepat ia berlari menyusul Puspita. Namun sayang, ia terlambat. Mobil dimana wanita itu baru saja naik, telah melaju meninggalkan parkiran taman.
" Mas... Kenapa kamu harus kejar dia? Lihat, Salsa jadi sedih lihat Papa-nya ngejar wanita lain." Ujar Tania yang mengejar Mahesa.
Mahesa menatap Salsa yang berada dalam gendongannya, lantas mengambil alih gadis seusia Dinda itu.
" Kok Papa ninggalin aku sama Mama buat ngejar perempuan itu?." Dengan cemberut Salsa bertanya, membuat Mahesa melirik Tania dengan geram.
Menunjukkan jika ia marah karena Tania telah membuat putrinya berpikir seperti itu. Sedangkan wanita yang ditatapnya dengan tajam langsung menundukkan pandangan.
" Maaf ya sayang." Ucapnya pada Salsa dengan lembut. Semarah-marahnya dia, Mahesa tak akan menunjukkannya didepan anak kecil. Ia membelai rambut Salsa, namun langsung ditepis oleh gadis kecil itu.
" Em... Es krim rasa stroberi sama cokelat enak gak ya..." Mahesa sengaja menggoda Salsa. Tentu tak ada anak yang tak menyukai jenis es satu itu bukan?.
" Mau..." Rengek Salsa.
" Yakin?."
Salsa mengangguk cepat.
" Kalau gitu..." Mahesa menyodorkan pipi, yang kemudian langsung dicium oleh putri kecilnya itu.
Disisi lain, Puspita yang masih berada dalam perjalanan pulang, tak hentinya membelai rambut hitam putrinya yang sudah tertidur dipangkuannya. Seorang anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayahnya.
Jika dia boleh memilih, dia tentu akan mengatakan kebenarannya pada Mahesa, beserta bukti agar pria itu tau kebenarannya. Kemudian memberi tahu pada Dinda siapa ayahnya yang sebenarnya.
Namun, resikonya jauh lebih besar dibanding dia tetap diam. Bukan hanya dia tak bisa hidup tenang, bahkan mungkin nyawa putrinya juga bisa terancam.
" Maafkan Bunda sayang... Tapi ini yang terbaik untuk kita semua." Gumamnya, menahan sesak didada.
Tatapannya menerawang, saat teringat apa yang terjadi 5 tahun lalu. Dimana saat-saat terburuk dalam hidupnya terjadi.
Bersambung.
Flash Back
" Tolong percaya sama aku Mas, aku gak selingkuh..." Lirih Puspita ditengah isakannya. Tangannya memegang satu kaki suaminya yang tengah menatapnya penuh amarah.
" Lalu apa namanya jika bukan selingkuh? Ha! Kita baru menikah satu bulan, dan kamu sudah hamil 6 minggu. Kamu dengar? ENAM MINGGU!!!." Mahesa menendang Puspita yang sedari tadi bersimpuh dihadapannya. Ia tak peduli dengan perasaan wanita yang telah berselingkuh darinya itu.
Ia tak menyangka, wanita yang begitu dicintainya telah berkhianat. Wanita yang ia perjuangkan mati-matian untuk mendapat restu ibunya, ternyata hanya seorang pengkhianat.
" Kita bisa tanya sama dokter Mas, mereka pasti bisa menjelaskan." Balas Puspita berderai air mata, ia sungguh tak terima dituduh berselingkuh, padahal jelas-jelas Mahesa yang pertama kali menyentuhnya.
" Udahlah, gak usah ngeles!." Cibir Rita, kakak Mahesa menatap Puspita dengan pandangan menghina.
" Masa nikah baru satu bulan, hamilnya 6 minggu. Jelas kamu pasti berhubungan sama orang lain sebelum nikah sama Mahesa." Lanjutnya membuat seluruh keluarga yang ada disana menatap Puspita dengan pandangan jijik.
Puspita hanya bisa menahan agar tangisnya tak semakin menjadi. Dengan tubuh yang lemah karena menangis, ia bangkit, lantas menatap keluarga suaminya dengan tatapan tajam. Kemudian menatap sang suami yang telah terhasut ucapan kakak ipar dan sahabatnya.
" Kamu tau betul Mas, kamu yang pertama..." Lirihnya dengan putus asa. Ia tahu, tak akan ada yang mempercayainya. Semua dengan cepat termakan hasutan Tania, sahabatnya sendiri.
Yah, ia sendiri tak menyangka, jika seseorang yang telah ia anggap sahabat telah memfitnahnya dengan keji.
Ia tak menyangka, Tania telah menjebaknya untuk datang kerumah keluarga suaminya yang tengah merayakan ulang tahun keponakan suaminya. Keluarga yang tak pernah merestui hubungannya dengan Mahesa.
Benar, pernikahannya tak pernah mendapat restu dari ibu mertuanya. Karena Sinta, ibu mertuanya lebih menginginkan Tania sebagai menantu. Sinta tak pernah menginginkannya, karena dirinya hanya perempuan dari keluarga miskin.
Tapi Mahesa tetap kekeuh dengan pendiriannya untuk menikahi dirinya. Padahal ia sudah mengatakan berulang kali ia tak ingin menikah tanpa restu.
" Mereka udah nerima kamu jadi menantu kok, tenang aja." Tania berucap manis memaksanya menghadiri acara ulang tahun keponakan iparnya.
" Kamu yakin?." Tanyanya dengan ragu. Dan Tania, wanita yang didambakan mertuanya sebagai menantu itu mengangguk cepat.
" Bagaimana Mas?." Tanya Puspita pada sang suami, yang juga diasingkan oleh keluarganya karena menikahi dirinya.
" Terserah kamu saja." Jawab Mahesa.
" Baiklah, aku akan datang. Semoga ini akan menjadi awal yang baik untuk kita semua."
Dan kini, bukan awal yang baik yang terjadi. Namun justru peristiwa yang menjadi titik balik kehidupannya. Ia telah dihina dan dipermalukan hanya karena kesalahpahaman, atau lebih tepatnya sebuah fitnah.
" Aku ada kejutan lho untuk kalian semua." Ditengah acara, Tania memberikan selembar kertas pada Sinta. Yang tak lain adalah hasil lab yang menyatakan Puspita hamil.
Tadinya Puspita ingin memberitahukannya sendiri. Ia tak tahu, jika Tania mengambil laporan kehamilan itu tanpa sepengetahuannya.
Namun, usia kehamilan yang lebih lama dibanding usia pernikahan membuat kesalah pahaman. Tentu saja karena kurangnya penjelasan dokter.
" Bagaimana bisa kamu hamil 6 minggu? Pernikahan kaliankan baru 1 bulan?." Tanya Santi setelah melihat laporan kehamilan Puspita.
" Ada apa Ma?." Tanya Mahesa penasaran.
" Lihat saja sendiri." Santi memberikan kertas labnya.
" Sebenernya aku gak tega mengatakan hal ini disaat momen yang bahagia seperti ini. Tapi kalian harus tau_" Tania menghentikan ucapan sejenak, lantas melirik Puspita dengan senyuman licik.
" Dia pasti hamil sebelum menikah dengan Mahesa." Lanjutnya membuat semua orang tercengang.
Puspita mencoba menjelaskan, namun teriakan dari suaminya membuatnya bungkam seketika.
" Apa-apaan ini! Dengan siapa kamu melakukan ini!." Teriak Mahesa emosi. Dia tak tahu jika istrinya sedang mengandung, bahkan sudah 6 minggu dipernikahannya yang belum genap 1 bulan.
" Siapa lagi kalau bukan Revan, temen deketnya itu." Tania kembali bicara, yang tentu saja membuat suasana semakin panas.
Puspita terus mencoba menjelaskan apa yang dokter katakan padanya, namun tak ada yang mau mendengarkannya sedikitpun. Terlebih, suaminya sendiri sudah kalap oleh emosi. Ia hanya bisa terisak menatap Tania, sahabat yang telah tega memberikan fitnah keji padanya.
" Wanita miskin seperti dia selalu menginginkan uang. Dia pasti merayu Mahesa hanya demi mendapat harta. Tak heran jika dia sekarang hamil anak orang lain." Ujar Santi, ibu Mahesa sekaligus mertua Puspita.
Puspita semakin terisak, harga dirinya sungguh telah direndahkan. Jika ia tahu akan begini jadinya, ia tak mungkin menerima ajakan Tania yang memaksanya datang.
" Kalau aja dulu kamu dengerin kita, pasti hal ini gak akan terjadi. Mau taruh dimana muka kita, nama keluarga kita sudah tercoreng gara-gara wanita murahan ini." Ujar Rita membuat Mahesa semakin terbakar emosi.
" Kalau aja dulu kamu nurut sama Mama dan nikah sama Tania, pasti kita tidak perlu merasakan hal memalukan ini." Ujar Santi merangkul Tania, wanita yang diinginkannya sebagai menantu.
" Puspita Maharani, detik ini... Aku Mahesa Adinata, menjatuhkan talak padamu."
Jedduar!!!
Terkejut mendengar apa yang baru saja ia dengar. Puspita menatap suaminya penuh kebingungan.
" Mas?."
" Sekarang kamu bukan istriku lagi. Pergilah sejauh mungkin! Jika suatu saat kita bertemu, anggaplah jika kita tidak saling mengenal!."
Puspita menatap suaminya dengan peradaan kecewa. Ia tak menyangka cinta suaminya begutu dangkal, hingga dengan mudah percaya pada orang lain tanpa menyelidiki kebenaran lebih dulu.
" Kamu menalakku hanya karena sebuah kesalah pahaman, bahkan tanpa mendengarkan penjelasanku?. Baiklah, aku akan terima talakmu dengan senang hati."
Mahesa menatap mantan istrinya dengan heran.
" Tapi ingat! Cepat atau lambat kebenaran pasti akan terungkap pada waktunya. Pada saat itu, jangan pernah menyesali keputusanmu."
Raut wajah penuh keyakinan pada Puspita membuat Mahesa gelisah. Tiba-tiba, ia merasa telah membuat keputusan yang salah.
" Pria yang lebih mempercayai orang lain dari pada istrinya, tidak layak menjadi ayah dari anakku." Puspita memegang perutnya, seakan menegaskan jika anak dalam kandungannya hanya miliknya seorang.
Ia menatap semua orang yang ada disana dengan tajam, menunjukan jika dirinya tak lemah. Dia tak bisa diinjak-injak, terlebih hanya karena omong kosong seseorang.
" Gak usah belagu, kami gak akan pernah menyesali perceraian kalian. Beruntung kalian baru nikah 1 bulan. Oh ya... Jangan harap kamu dapat sebagian harta Mahesa. Kamu tidak akan mendapatkannya." Ucap Rita.
" Kamu tidak perlu khawatir. Sepeserpun, aku tidak akan membiarkan anakku makan dari uang kalian."
" Ya jelaslah, anak dari hasil hubungan kamu sama Revan, ya minta uangnya sama dialah." Tania semakin menikmati pertunjukkan. Ia begitu puas menyingkirkan Puspita dari Mahesa, pria yang sudah lama ia cintai.
" Setiap perbuatan memiliki timbal baliknya sendiri." Balas Puspita, menatap tajam mantan sahabatnya itu.
" Maksud kamu apa, ha? Kamu do'ain aku dapet karma?." Sentak Tania tak terima.
" Sudah kukatakan, setiap perbuatan memiliki timbal baliknya sendiri. Aku tak perlu susah-susah melakukannya."
Hari itu, ia telah menjadi janda dengan pernikahan satu bulan. Ia pergi, membawa luka yang tak akan pernah ia lupakan. Berjanji merawat calon anaknya sepenuh hati. Ia akan menjadi ibu, sekaligus ayah bagi anaknya.
Bersambung.
" Bu!."
" Ah iya?." Puspita tersentak saat asistennya memanggil. Ia terlalu fokus mengenang masa lalu yang harusnya dikubur dalam-dalam.
" Kita sudah sampai."
" Baiklah." Puspita menatap putrinya dengan penuh kekhawatiran. Ia takut Dinda akan tau siapa ayahnya yang sebenarnya. Bagaimanapun, ia tak ingin berhubungan dengan keluarga itu lagi.
" Apapun yang terjadi, kamu tetap putri ibu seorang."
Ia lekas menggendong Dinda yang masih pulas tertidur. Membawa putrinya kedalam rumah mewah berlantai dua. Rumah yang telah ia bangun dengan kerja kerasnya selama lima tahun.
Tentu, ia tak bekerja sendiri. Revan, pria yang telah difitnah juga oleh Tania telah membantunya selama 5 tahun terakhir. Dimana masa-masa tersulitnya datang.
Jika bukan karena pria itu, mungkin ia tak akan menjadi Puspita yang sekarang. Yang menjadi seorang designer yang dikenal dunia.
" Maafkan Bunda ya Sayang." Puspita membaringkan Dinda dengan hati-hati.
Gadis kecil itu menggeliat saat Puspita mengecup rambutnya. Wanita itu menyelimuti putrinya dengan hati-hati.
" Kamu hanya punya Bunda dan Uncle Revan, tidak ada yang lain." Gumamnya menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah menggemaskan putrinya.
Tak dapat dipungkiri, garis wajah Mahesa terukir diwajah putrinya. Namun ia tak akan membiarkan Mahesa mengetahuinya. Sudah cukup Dinda dihina saat masih dalam kandungannya, dan bahkan tak diakui ayahnya sendiri.
" Saya akan kebutik lebih dulu. Jika Dinda bangun, Bibi bisa bawa dia kebutik." Ucapnya pada Bi Ani, wanita berusia 65 tahun yang telah menjaga Dinda sejak bayi.
" Baik Bu."
Puspita bergegas menuju butik, sebuah butik terkenal yang berada dipusat kota. Hanya salah satu dari beberapa cabang butiknya diluar negeri.
" Selamat siang Bu." Beberapa karyawan menyapa ramah, yang dibalas anggukan serta senyuman darinya.
Ia lantas masuk kedalam ruangannya, ketika seseorang mengetuk pintu.
" Masuk!."
" Siang Bu." Sapa Riska, salah satu karyawati paling setia padanya.
" Siang. Apa ada pesanan baru-baru ini?." Tanya Puspita sembari mulai membuka laptopnya.
" Ada pesanan baru yang ingin beberapa model dipadukan menjadi satu."
Riska memberikan catatan design seperti apa yang diinginkan pelanggan.
" Seragam keluarga?." Tanya Puspita setelah melihat ada beberapa catatan ukuran.
" Benar Bu. Yang memesannya adalah salah satu orang terkaya dikota ini, mereka cukup berpengaruh. Mereka ingin seragam keluarga dengan kualitas terbaik. Tak masalah berapapun yang harus mereka bayar."
" Mereka bahkan sudah mengirimkan uang mukanya." Lanjut Riska.
Puspita mengangguk tanda mengerti.
" Kapan hari-H nya?."
" Tanggal yang sama bulan April."
" 2 bulan lagi."
" Benar."
" Apa kau sudah mengukur mereka?."
" Pengukuran dilakukan dikediaman mereka baru 2 orang, tersisa 4 orang lagi, dan seorang gadis kecil seusia Non Dinda."
" Hem..." Puspita kembali mengangguk mengerti.
" Lalu kenapa mereka tidak diukur sekaligus?."
" Mereka sedang pergi saat saya datang."
" Lalu kapan pengukuran selanjutnya?."
" Besok."
" Baiklah, aku serahkan mereka padamu. Kamu boleh keluar."
" Tapi Bu..."
" Ada apa?."
" Mereka ingin Ibu datang secara langsung, karena ingin rancangan mereka pada pakaian mereka bisa direalisasikan dengan tepat."
" Baiklah, kepuasan pelanggan adalah yang utama. Kamu akan ikut bersamaku."
" Baik Bu, permisi."
Riska membungkuk hormat, lantas keluar dari ruangan bosnya.
Puspita mulai mengkombinasikan beberapa design. Bagaimanapun ini adalah pesanan yang besar. Ia harus bekerja sebaik mungkin.
Apalagi, waktu tujuh bulan adalah waktu yang singkat untuk membuat beberapa pakaian. Ia tak boleh mengecewakan pelanggan.
Sementara itu, Mahesa tak bisa melupakan pertemuannya dengan Puspita. Ia hampir tak mengenali wanita yang pernah menjadi istrinya selama sebulan itu. Puspita benar-benar berubah.
" Udahlah Mas, jangan mikirin dia lagi. Buat apa sih mikirin pengkhianat itu?." Gerutu Tania kesal. Pasalnya Mahesa terus mengabaikan dirinya dan Salsa sejak kembali dari taman.
Mahesa tak mengindahkan ucapan Tania. Ia justru terbayang wajah gadis kecil yang bersama Puspita.
" Dinda." Gumamnya teringat saat Puspita memberikan anak itu pada pengasuhnya.
Ia baru menyadari, jika Puspita mampu membayar seorang pengasuh, artinya wanita itu telah hidup dalam kecukupan. Terlebih, penampilam mantan istrinya itupun sangat berbeda. Meski tanpa meninggalkan kesan sederhana yang selalu menjadi ciri khasnya.
" Apa dia sudah hidup bahagia bersama Revan?." Gumamnya dengan rasa yang ia sendiri tak mengerti. Harusnya itu sudah menjelaskan jika Puspita benar-benar berselingkuh darinya, tapi sisi lain hatinya menolak mempercayainya.
" Papa!." Salsa langsung duduk dipangkuan sang ayah dengan manja. Membuat Mahesa seketika melupakan apa yang berada dalam pikirannya.
" Iya sayang?."
" Kapan Papa nikahin Mama?".
Terkejut? Itu pasti. Bagaimana gadis kecil berusia tiga setengah tahun itu bisa menanyakan hal semacam ini?.
" Mama sedih karena Papa gak nikahin Mama." Lanjut Salsa menatap ayahnya penuh harap. Sementara yang ditatap justru menatap tajam Tania yang justru masuk kekamar.
Bukan tanpa alasan gadis itu bisa menanyakannya. Tania, wanita itu terus meminta putrinya agar mendesak Mahesa menikahinya.
Ia sungguh sudah tak tahan, hidup seatap selama 5 tahun tanpa ikatan pernikahan. Kalau tidak ada Salsa, ia jelas tak akan bisa mengikat pria itu bersamanya.
" Bi!." Teriak Mahesa memanggil pengasuh putrinya.
" Iya tuan?."
" Bawa Salsa kekamarnya."
" Baik tuan." Bi Salma lantas membawa Salsa kedalam kamar.
" Wanita itu!!!." Mahesa tak habis pikir, bisa-bisanya Tania meracuni pikiran Salsa dengan hal yang tak seharusnya.
Tanpa pikir panjang ia segera menuju kamar wanita itu.
Brakk!!!
Pintu terbanting keras saat Mahesa membukanya. Membuat sang empunya kamar tersentak.
" Apa yang kamu katakan pada putriku!." Teriaknya menggema keseluruh ruangan, membuat Tania merasa sangat ketakutan. Terakhir kali, ia melihat Mahesa semarah ini 5 tahun lalu.
" Gak ada." Tania memalingkan pandangan.
Mahesa semakin geram, mencengkram wajah wanita itu dengan erat.
" Auwh!!! Sakit Mas..." Ringis wanita berusia 27 tahun itu.
" Jangan racuni pikiran putriku lagi." Pelan, namun penuh penegasan. Mahesa kemudian menghempaskan cengkramannya begitu saja.
" Dia juga putriku, Mas. Apa salahnya aku mengatakan keinginanku pada putriku sendiri!." Tak terima, Tania meninggikan suaranya.
" Salahnya, adalah kamu mengatakan hal yang tak akan pernah terjadi." Mahesa berusaha menahan amarahnya. Bagaimanapun wanita didepannya adalah ibu dari putri kecilnya.
" Tega kamu ya Mas! Aku ini ibu dari Salsa, putri kamu. Udah seharusnya kamu tanggung jawab nikahin aku Mas!."
" Tanggung jawab?." Mahesa mengangguk-angguk.
" Dimana kamu tinggal? Dari siapa kamu makan? Dan berasal dari siapa pakaianmu?." Tanyanya mengintimidasi.
Tentu saja, Tania terdiam mendengarnya. Karena ia telah hidup dengan uang Mahesa selama 5 tahun.
" Itu gak cukup Mas! Yang aku butuh itu status. Status!." Teriaknya tak mau kalah.
" Status? Bahkan meski aku menikahimu, aku tak akan bisa menjadi wali saat Salsa menikah nanti." Pelan dan datar, namun jelas penuh penegasan.
Ia sangat menyesali, bagaimana bisa dirinya menghamili wanita itu. Wanita yang pernah menjadi sahabat dari wanita yang begitu ia cintai, mantan istrinya.
" Itu urusan nanti Mas. Aku ini ibu dari putrimu, tapi aku bukan istrimu. Bukankah itu sangat memalukan?." Tania sungguh tak ingin terus berada dalam hubungan tak jelas ini. Ia ingin menjadi Nyonya Adinata.
" Memalukan? Lalu kenapa kamu tak pikirkan itu saat membawaku yang sedang mabuk kedalam kamar hotel?." Tenang, Mahesa bertanya. Namun jelas tak dapat mengurangi situasi tegang antara mereka.
" Aku menolongmu Mas, lalu kenapa kau yang menyalahkanku atas kesalahanmu sendiri?."
" Banyak pelayan pria dibar itu, lalu kenapa kamu tak meminta mereka yang mengantarku?."
" A-aku..." Tania kehilangan kata, ia tak tahu harus menjawab apa.
" Sudahlah. Aku peringatkan sekali lagi, jika kamu masih mencoba meracuni pikiran Salsa, maka aku tak akan segan meski kamu adalah ibu dari putriku." Mahesa menunjuk Tania tepat didepan wajahnya, lantas pergi begitu saja.
" Sial! Ini semua gara-gara wanita itu. Kenapa dia harus kembali!!!." Teriak Tania frustasi.
" Aku harus bisa menyingkirkan Puspita, lagi. Dulu, itu adalah hal yang mudah, dan sekarangpun begitu. Wanita itu tak akan bisa mengambil Mahesa dariku. Sepertinya aku harus meminta Mama untuk membujuk Mahesa menikahiku."
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!