"Selamat Tasya buat kelulusan kamu."
"Makasih, Sayang. Oh ya kamu jadi kuliah di Oxford?"
"Tentu, karena Papa sudah mendaftarkan aku di sana."
Tasya memegang tangan Enzo, seorang lelaki blasteran Eropa-Indonesia yang sudah tiga tahun ini dekat dengannya. Ia memang akan kembali lagi ke Inggris untuk melanjutkan studi. Maka dari itu Tasya sama sekali tidak ingin menganggu. Lagi pula ia juga akan kuliah di Paris, jika kangen mungkin nanti mereka akan janjian ketemu di sana.
"Oke, selamat tinggal. Sampai ketemu lagi."
Hanya itu kata yang mampu Tasya ucapkan. Di tambah lagi Enzo dan keluarganya sudah menyiapkan tiket kepergiannya hari ini juga. Tidak ada pelukan ataupun kecupan kasih sayang. Tasya memang berpacaran tetapi ia tidak mau bersentuhan secara fisik kecuali hanya sebatas pegangan tangan.
"Jaga dirimu baik-baik, ya Sya. Gue yakin sebentar lagi kita akan ketemu lagi."
Tidak perlu menunggu lama, mobil yang membawa Enzo pergi sudah tidak terlihat lagi di hadapan Tasya. Sementara itu ia sedang menanti keluarganya di halaman sekolah.
"Kapan papa sampai?"
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Tasya, hingga membuatnya hampir terjingkat. Ia melongokkan wajah untuk mengintip mobil yang belum pernah dilihatnya itu. Rupanya, mobil itu milik Papa Mama Karen, gadis cantik yang biasa gangguin Tasya di sekolah.
Sebenarnya mereka adalah sepupu, sayang kedua orang tua Tasya jauh lebih berhasil dan hal itu membuat Karen iri. Maka dari itu ia melampiaskan semua kekecewaannya dengan mengerjai Tasya.
"Papi ... Mami ... akhirnya kalian datang, buat Karen," ucapnya seolah menyindir Tasya yang sendirian.
Karen tampak senang memeluk kedua orang tuanya secara bergantian. Sengaja pamer, itu pasti.
Seolah ingin menjaga jarak dari mereka, Tasya melangkah pergi. Sambil sesekali melirik jam tangan hanya untuk memastikan apakah kedua orang tuanya akan segera datang ke sekolah atau tidak.
Di sisi lain, tepatnya di salah satu ruas jalan tol, terlihat sebuah kemacetan panjang karena salah satu mobil mengalami kecelakaan tunggal. Mobil yang dikendarai sepasang suami istri itu tiba-tiba saja meledak dan membuat kepulan asap tebal membumbung tinggi.
"Cepat hubungi pihak keluarganya! Dari plat mobil yang dipakai sepertinya ini nomor Tuan Matteo."
Nomor plat mobil yang digunakan oleh Keluarga Matteo memang memiliki nomor seri khusus yang memudahkan semua pihak untuk mengenalinya. Di tambah lagi Keluarga Matteo sangat terkenal di kota itu.
Ponsel di saku Tasya berdering, tidak perlu menunggu lama ia segera mengangkatnya.
"Hallo, maaf apa dengan Nona Tasya Matteo Rahardian?"
"Iya, ini betul saya, maaf Anda siapa?"
"Kami dari pihak kepolisian ingin mengatakan jika mobil yang dikendarai kedua orang tua Nona mengalami kecelakaan dan bisa dipastikan keduanya sudah meninggal di jalan tol."
"Apa! Kalian jangan berbohong, ya! Baru sepuluh menit lalu Mama mengirim pesan, ini tidak mungkin."
Rasanya Tasya tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Harusnya hari ini, Papa dan Mama akan bangga dengan pencapaian ini!"
Tasya masih memegang piagam penghargaan yang menyatakan jika ia siswa paling berprestasi di sekolah itu. Seorang siswi dengan nilai kelulusan terbaik. Kedua matanya memanas, menahan gejolak air mata yang akan membanjiri kedua pipinya yang mulus.
"Tasya Sayang, teruslah tersenyum, meskipun nanti kehidupan tidak seindah anganmu. Berbuat baiklah kepada siapapun meski mereka menyakitimu. Tuhan akan selalu menunjukkan jalan terbaik untuk setiap hambanya yang beriman."
Tasya seolah tidak mampu membaca situasi. Langit yang semula cerah kini justru menggelap. Menyibak hamparan langit yang tadinya membiru kini berubah menjadi gelap gulita. Langit seolah menangisi nasib Tasya yang seketika akan menjadi gelap. Hujan pun turun membasahi bumi dan juga tubuh Tasya.
Kini gadis yang baru saja berusia delapan belas tahun itu harus menangis di depan dua pemakaman kedua orang tuanya yang masih basah. Ya, kemarin harusnya menjadi hari yang paling bersejarah dalam hidup Tasya Matteo. Akan tetapi, justru berita kematian kedua orang tuanya membuat dunia Tasya seketika hancur.
Lebih parahnya lagi, kini semua aset kekayaan Keluarga Matteo dikuasai oleh Keluarga Albert. Saat ini di depan matanya sendiri, Karen seolah tersenyum akan kemenangan yang diraih oleh keluarganya.
"Mampus lo! Dikira enak seketika jadi miskin. Sekarang kamu bukan lagi menjadi seorang putri melainkan hanyalah orang asing yang numpang tidur di rumah gue!"
Tasya yang sudah biasa ditindas oleh Karen tampak membiarkan temannya itu menindasnya. Ia ingin tahu apakah keluarganya mampu mendidik putrinya atau tidak.
Ya, Tasya terpaksa tinggal di rumah Keluarga Albert sejak rumahnya disita. Dari kabar yang beredar rupanya ayahnya terlibat bisnis gelap dan saat ini polisi sedang menyelidiki kasusnya. Sementara itu, perusahaan lainnya justru dialihkan kepada Tuan Albert seusai amanah Tuan Matteo Rahardian.
Tanpa Tasya sengaja, saat ia melewati ruang kerja Tuan Albert ia justru mendengar percakapan kedua orang di dalam sana.
"Mama tidak mau jika Karen dijadikan alat buat bayar hutang Papa. Sebaiknya Papa minta si Tasya saja yang melakukan semuanya."
"Tapi, Ma. Kamu tahu sendiri ia baru saja berduka. Lagi pula saat ini semua aset keluarganya kita yang pegang. Sepertinya hal itu sangat tidak manusiawi jika kita melakukan hal itu padanya."
"Terserah, pokoknya Mama nggak suka jika Karen yang Papa pilih. Ingat sebentar lagi Karen akan menyusul Enzo ke Inggris buat kuliah bareng dia. Bagaimana bisa kita kehilangan besan yang begitu potensial?"
Kedua mata Tasya tampak membola ketika mendengar nama Enzo juga disebut di sana. Rupanya ada sebuah permainan hati yang tidak diketahui Tasya selama ini.
"Gue nggak nyangka kamu bisa sejahat itu Enzo. Padahal cinta gue tulus ke elo!"
Tidak mau air matanya luruh dengan percuma, Tasya segera melangkah pergi menuju kamarnya. Sementara itu Nyonya Albert keluar dari ruangan suaminya.
"Bayangan siapa ya tadi? Ah, sudahlah mungkin ART yang ingin mengantarkan susu ke kamar Karen."
Ia langsung kembali ke lantai satu dan menuju kamarnya. Sementara itu Tasya sedang menyusun rencananya. Bagaimanapun ia harus kuliah di Paris dengan segera.
"Tapi gimana cara gue dapat uang? Sementara semua aset dipegang Om Albert?"
Sebenarnya ia bisa dengan mudah meminta hal itu pada pamannya, sayang kedua wanita yang berada di sisi Albert membuat Tasya tidak dapat mengatakan dengan mudah keinginannya.
"Baiklah, sebaiknya gue ikut kerja di Bar sama Raya. Lagi pula ia selalu dapat uang banyak dengan mudah dalam satu malam."
Tasya yang masih polos tentu saja tidak tahu bagaimana kejamnya dunia luar. Kedua orang tuanya selalu memanjakan dengan semua hal. Sehingga Tasya menjadi anak rumahan dan bagaikan seorang putri.
Tasya meraih ponsel dan segera mengetikkan pesan pada Raya. Raya yang kebetulan sudah selesai membersihkan diri di toilet segera menyambar ponselnya.
"What's? Tasya pengen kerja bareng gue! Mana bisa ia kerja di sini? Dia 'kan anak orang paling kaya di negeri ini?"
Raya yang tidak tahu kabar terkini tentang sahabatnya itu hanya menganggap angin lalu pesan yang dikirim oleh Tasya. Lalu ia pun meneruskan pekerjaannya.
"Om, aduh ... pelan-pelan dong ...." rintih Raya dengan suara merdunya.
Sementara itu Tasya uring-uringan karena Raya mengabaikan pesannya.
"Kenapa nggak dibalas sih? Apa dia sibuk? Lalu kenapa masih sempat baca pesan!"
Belum sempat Tasya menekan tombol call, pintu kamarnya terbanting dengan keras.
"Tasya, cepat kemari!"
"Karen! Ada apa?"
"Argh! Sa-sakit!"
Tangan kecil itu justru menjambak rambut Tasya dengan kencang. "Kamu mau tahu kesalahan kamu, hah!"
Tangan kecil itu justru menjambak rambut Tasya dengan kencang. "Kamu mau tahu kesalahan kamu, hah!"
Tasya merengkuh tangan Karen yang menjambak rambutnya dengan keras. Ia menggunakan tangan kanannya untuk membalikkan keadaan hingga membuat Karen terbanting ke lantai.
"Argh!" pekiknya kesal.
Ia bahkan sampai mengusap beberapa kali punggungnya yang terasa panas dan memar.
"Dasar gadis gila! Beraninya kau! Tunggu Papaku datang dan mengusirmu!"
Bagaimana pun Tasya tidak pernah diperlakukan dengan kasar di dalam Keluarga Matteo. Namun, Karen seorang gadis yang sepantaran dengan usianya justru bersikap terlampau kasar.
"Kamu kira, kamu bisa lolos setelah menguping pembicaraan Mama dan Papa!" gertak Karen.
"Ma-maksudnya?"
"Melihatmu berdiri cukup lama di depan ruang kerja Papa membuatku curiga. Jangan-jangan kamu simpanan Om-om, ya! Mau rebut Papa dari kami, jangan mimpi!"
"Kalau ngomong pakai otak, dong! Jangan taruh dengkul!" hardik Tasya.
"Kamu kira hanya mulut dan sikap kamu yang bisa bersikap kasar!"
Dalam sekejap Tasya mengigit tangan Karen.
"Argh! Sialan Lo!" umpat Karen kesal sambil mengibaskan tangannya yang terasa panas karena terkena gigitan Tasya.
Entah mendapat kekuatan dari mana, Tasya berhasil membuat Karen semakin marah. Bekas gigitan yang masih panas di lengan Karen membuat ia harus melepaskan Taysa malam itu.
Kali ini Karen merasa kalah. Akan tetapi tidak akan ada lain kali.
"Ingatlah, sebentar lagi kamu akan diusir!"
Di sisi lain seorang gadis yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaannya, kembali memainkan ponsel. Tubuh yang polos tanpa busana itu belum juga dibersihkan dan masih berlapiskan selimut hangat. Seorang lelaki dewasa masih tertidur pulas di sampingnya.
"Kenapa justru memikirkan Tasya?" gerutu Raya.
Salah satu tangannya mematik api untuk menyalakan rokok miliknya. Tangan lainnya menggeser layar ponsel hingga terlihat banyak pesan dari Tasya. Dahinya mengernyit lalu karena penasaran ia pun membuka pesan tersebut.
"Gue mohon, kamu harus membantuku mendapatkan pekerjaan. Please gue butuh uang!" ~Tasya
Raya masih sibuk membaca satu persatu pesan dari Tasya, tiba-tiba saja muncul iklan dari sebuah web yang memberitahukan tentang kematian sepasang suami istri dari Keluarga Matteo.
Tangan Raya menggulir satu persatu berita itu dan membacanya dengan teliti.
"Rupanya Papa Mama Tasya sudah meninggal dalam kecelakaan itu?"
"Innalilahi, pantesan Tasya sampai mendesak gue!"
"Mana harta kekayaan Matteo jatuh ke tangan Albert. Haruskah menolong Tasya saat ini?"
Pikiran Raya berkecamuk. Ada sebuah rasa yang mengharuskan ia bisa membantu Tasya, tetapi ia takut pandangan Tasya akan berubah sama seperti teman lainnya yang sudah mengetahui pekerjaan Raya yang sesungguhnya.
"Persetan kamu mau anggap dosa, yang jelas sebentar lagi kamu bisa menilai bagaimana pekerjaan ini."
Jari jemari Raya dengan cepat mengetikkan pesan untuk Tasya.
"Oke, gue bantu kamu. Besok datang ke alamat ini dan pakai pakaian yang sudah dipersiapkan di loker A21."~Raya
Meskipun ragu, tetapi Raya tidak ingin membuat Tasya semakin kesulitan. Sebisa mungkin ia akan membantu Tasya sama seperti keluarga Matteo yang pernah membantu keluarganya.
Keesokan harinya.
Mendapati luka lebam di tubuh putrinya, Nyonya Albert marah besar.
"Bagaimana bisa, anak miskin itu melukai putri kita!"
"Mana mungkin Tasya melakukan hal ini?"
"Kalau Papa nggak percaya, buka saja CTTV di kamar Tasya dan lihat bagaimana ia bersikap anarkis."
Tuan Albert yang sangat menyayangi putrinya segera memeriksa rekaman CCTV, betapa terkejutnya ia ketika melihat sendiri bagaimana Tasya melukai Karen. Tangan tuanya terlihat mengepal. Otot-otot di tangannya terlihat.
"Panggil Tasya kemari!"
"Dengan senang hati!"
Tasya yang baru saja selesai mandi begitu terkejut ketika menyadari ada dua pelayan yang memaksanya pergi ke ruang kerja Albert.
"Paman, Tante ... Karen," sapanya ramah.
Tuan Albert tampak melemparkan sebuah map ke arah Tasya yang dengan segera ia pungut.
"Kau ingin kuliah? Sebaiknya kamu cari sendiri biaya untuk kehidupanmu!"
"Tapi, Paman. Ayah sudah mewariskan hartanya untukku!"
"Cih, enak saja. Di dalam surat warisan tertulis dengan jelas jika harta tersebut akan jatuh ke tanganmu setelah kamu berusia dua puluh tahun, paham!"
Tasya tampak mengepalkan tangannya. Dengan terisak ia menyeret koper keluar dari rumah pamannya. Sementara itu Dave baru saja bertengkar dengan istrinya. Tuntutan dari sang istri membuatnya muak.
"Jadi istri bukannya memanjakan suami, justru semakin suka marah-marah. Dia kira sudah hebat! Kalau bukan karena perjodohan dari kakek mana mungkin kita menikah!"
Dave tampak memukul stir kemudinya. Sementara itu Tasya tidak terlalu memperhatikan jalan. Justru ia menyeberang jalan ketika mobil Dave lewat.
Suara klakson tidak dihiraukan oleh Tasya hingga akhirnya moncong mobil Dave justru membuat Tasya terjatuh berguling di aspal. Tanpa Dave sadari ia lalai dalam berkendara dan justru menabrak Tasya.
Kening Tasya berdarah, ia pun pingsan di tempat. Dave dengan segera membuka pintu mobil dan mengecek keadaan Tasya.
"Astaga, dia pingsan atau sudah mati!"
Tanpa ragu Dave mendekati Tasya dan menyibak rambut poninya.
"Cantik," gumam Dave.
Sejenak ia terpikat akan kecantikan alami dari Tasya. Bibir ranum berwarna merah muda itu tampak sekali menggoda. Belum lagi kulit putih bersih miliknya membuat Dave menelan salivanya dengan susah payah.
"Astaga, apa yang kupikirkan!"
Tidak perlu menunggu waktu lama lagi, Dave segera mengangkat tubuh mungil milik Tasya dan membawanya ke Rumah Sakit. Di tengah perjalanan, lagi-lagi istrinya menelpon.
Dave sempat mengintip sebentar lalu segera kembali fokus pada kemudi.
"Cantik, kamu luka-luka kamu diobati dulu, ya."
Hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit, mobil Dave sudah masuk ke area Rumah Sakit dan sesudah itu ia akan langsung menuju tempat suster jaga.
"Percayalah pada tenaga medis kami, akan kami lakukan yang terbaik."
"Terima kasih."
Tubuh Tasya langsung diperiksa dan setelah berhasil ia segera dipindahkan ke dalam ruang rawat. Sementara itu, Dave segera pergi ke kantor karena ada rapat penting.
Hanya beberapa saat, Tasya sudah bangun dari tidurnya. Rasa pusing masih menderanya.
"Argh!"
"Pelan-pelan, Nona. Luka Nona masih belum kering."
"Saya kenapa, Sus?"
"Nona baru saja tertabrak dan saat ini luka-luka Nona sudah dijahit. Tenang saja, dua hari lagi sudah boleh pulang, Kok."
"Ha-ah!"
"Satu lagi, Non. Luka Nona tidak akan berbekas kalau pakai salep ini."
Dengan tersenyum dan tanpa rasa curiga, suster itu langsung memberikan salep itu pada Tasya, lalu permisi pergi. Taysa tampak memegang kepalanya.
"Untung tidak diinfus!"
Setelah dirasa aman, Tasya segera menyelinap keluar dari Rumah Sakit. Tanpa lupa ia membawa serta koper miliknya. Diliriknya jam tangan miliknya.
"Untung masih sempat!"
Saat melihat taksi, Tasya segera melambaikan tangan dan masuk ke dalam.
"Antar ke alamat ini, ya Pak."
"Baik, Non."
Raya tampak mondar-mandir di depan mini bar.
"Lo kenapa, Ray? Lagi dapet?"
"Enggak, cuma lagi nunggu teman."
Dalam sekejap, Tasya sudah sampai di tempat yang dimaksud. Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di hadapannya.
Ditepisnya pikiran buruk yang berkecamuk di dalam kepala Tasya. Dihirupnya udara dalam-dalam lalu ia bergegas masuk.
"Ya Tuhan, lindungi hamba, Aamiin."
Setelah berdebat dengan hati kecilnya, Tasya memantapkan hati untuk tetap pergi menemui Raya. Apalagi ia baru saja kabur dari Rumah Sakit.
Entah mengapa, meskipun begitu Tasya tetap berdoa agar ia tidak ketemu dengan lelaki yang menabraknya itu.
Tasya merutuki sikapnya karena tidak terlalu memperhatikan jalan ketika menyeberang hingga secara tidak sengaja ia justru diserempet mobil hingga beberapa meter. Alhasil keningnya sobek dan dijahit.
Tangan Tasya terulur untuk mengusap bekas jahitannya. Masih nyeri sih iya, tetapi ia sangat menginginkan agar segera mempunyai banyak uang. Yaitu salah satu caranya dengan menemui Araya.
Tasya sangat berharap banyak pada pertemuan kali ini. Banyak hal yang ingin segera ia capai agar bisa bertemu dengan Raya. Akan tetapi uang yang dimiliki olehnya hanya mampu mengantarkan Tasya di lampu merah. Dari sana Tasya harus berjalan kaki menuju tempat kerja Raya.
"Huft, kayak gini ya susahnya cari kerja. Andai saja Papa dan Mama belum pergi, sudah pasti Tasya tidak akan terlunta-lunta seperti ini bukan?"
Meski ragu, tetapi Tasya tetap melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat tersebut. Saat ini yang dipikirkan adalah bagaimana caranya agar mendapatkan uang secepatnya.
"Semoga saja semuanya berjalan lancar, Aamiin," doa Tasya di dalam hati.
Pikiran yang berkecamuk ditepisnya perlahan. Meski seolah hati dan pikiran tidak sejalan, tetapi sepertinya hanya jalan ini yang terbuka lebar untuknya. Kaki Tasya terasa berat ketika melangkah masuk, tetapi seiring langkahnya ia terus berdoa agar semuanya lancar.
Semakin memasuki bar tersebut, suara dentuman musik terdengar semakin memekakkan telinga. Jelas menganggu dan membuat jantungnya memompa semakin cepat.
"Aduh, dimana Raya? Bodoh, 'kan kamu disuruh ke loker buat ambil seragam. Bukankah itu artinya kamu sudah diterima?"
Saat kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Matanya memindai setiap wajah yang dilihat, akhirnya ia berhasil menemukan Raya. Reflek ia malambaikan tangannya.
Raya yang melihat Tasya datang segera menghampiri. Mengulas senyum palsunya agar Tasya tidak curiga.
"Semoga dia nggak terlalu curiga dengan hal-hal seperti ini."
"Kamu apakabar?"
"Baik, kamu?"
"Alhamdulillah, ya sudah ayo ikut aku."
Kini Raya segera mempercepat langkahnya agar tidak banyak karyawan yang curiga. Di tambah lagi malam itu ada seorang tamu spesial yang menunggunya.
Beberapa saat lalu, Raya telah berganti pakaian dengan yang lebih rapi. Hal itu agar Tasya menganggap dia bekerja sebagai pelayan di bar tersebut. Padahal kenyataannya tidak sama sekali, Raya hanya berkedok manis agar Tasya tidak terlalu curiga.
Kini keduanya sudah berada di dalam loker untuk berganti pakaian. Raya mempersiapkan dirinya sebaik mungkin dalam mendadani Tasya.
"Cantik, kamu memang cantik sekali."
"Makasih," ucap Tasya dengan tersenyum manis.
"Maaf, jika tempat kerjaku tidak sebagus bayangan kamu. Ya, beginilah suasana tempat kerjaku."
Tasya menggeleng seraya berbisik, "Nggak apa-apa yang penting tetap dapat uang."
Raya merengkuh tubuh Tasya dan meminta maaf karena tidak tahu jika keluarga Tasya telah meninggal.
"Turut berduka cita ya, Beb. Sorry, gue benar-benar tidak tahu dengan nasib papa mama kamu."
"Iya, Beb. Sudahlah semua udah berlalu. Kini gue harus bangkit lagi."
"Setuju, semangat Beb."
Meskipun memaksakan tersenyum hasilnya sama saja, wajah Tasya masih terlihat sendu. Bagaimana pun kematian kedua orang tuanya belum lama sehingga apapun yang terjadi belum sepenuhnya normal.
"Ya sudah, kita siap-siap kerja aja!"
"Siap."
Raya membantu Tasya untuk mengganti baju seragam pelayan di bar. Sesaat kemudian ia mengajaknya ke tempat dimana ia harus mengambil minuman dan mengantarkan pada tempat yang dituju.
Salah seorang bartender mendekati Raya setengah berbisik kepadanya, "Siapa gadis itu, sepertinya dia masih polos gitu!"
"Syut, jangan banyak tanya, dia gadis baik-baik. Kondisi sulit membuatnya dibuang dan harus menghidupi dirinya sendiri. Gue harap Lo bisa jagain dia selama gue kerja."
"Berani bayar berapa sama gue?"
"Satu juta!"
"Oke, deal!"
David yang notabene sudah menguasai bar itu, masih terus mengawasi Tasya yang sudah mencuri hatinya. Baginya Tasya adalah gadis idamannya. Body yang aduhai, wajah cantik dan semuanya perfect membuat kedua matanya tidak bisa dialihkan darinya.
"Fix, lu harus jadi pacar gue!"
Bagaimana pun Tasya bergerak, banyak pasang mata yang memandang dengan penuh naf-su, bahkan tidak jarang pula mereka menyentuhkan barang pribadi ke area tubuh Tasya. Dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan ia bekerja sepanjang malam.
"Semoga tidak ada yang menyakitinya," gumam Raya dari kejauhan.
Dave yang kebetulan sedang badmood lebih memilih pergi minum ke bar milik sahabatnya, Louis. Sudah beberapa kali ia menghabiskan malam hanya dengan minum-minum di sana. Bahkan Dave mempunyai ruang VIP spesial untuknya.
Mobil Mercedes Benz C-Class berwarna hitam itu telah sampai di depan Bar. Dengan kaki jenjangnya ia lebih cepat sampai di dalam. Beberapa karyawan menunduk hormat kepada Dave. Bahkan ada beberapa pegawai wanita yang memakai pakaian tipis menawarkan diri untuk menemaninya minum.
Sayang, Dave bukanlah orang sembarangan yang mudah disentuh. Ia teringat gadis kecil yang ditabrak dan sialnya, siang hari Dave mendengar kabar jika gadis itu kabur dari Rumah Sakit.
"Sial, kenapa belum ada kabar, ya?"
"Gila, gadis itu benar-benar menyihir gue!"
Dave menghilangkan rasa kesalnya dengan menenggak sebuah botol minuman spesial diimpor dari Italy. Baru saja ujung gelas terlepas dari bibirnya, sekelebat bayangan gadis itu melintas di hadapan Dave.
"Gadis itu ... mana mungkin?"
Meskipun hatinya menampik hal itu, tetapi matanya terus mengawasi gerak-geriknya.
"Bukankah dia gadis cupu yang tadi pagi?"
Seberapa besar ia menajamkan matanya tetap saja bayangan Tasya tidak pernah bisa terhapus. Bahkan sampai kedua tangannya bergantian mengucek matanya hasilnya sama.
"Ya, itu benar dia! Gue harus bisa menangkapnya malam ini!" ucap Dave dengan semangat.
Tasya yang tidak sengaja melewati meja Dave memang tidak mengetahui jika pemilik meja tersebut adalah orang yang menabraknya tadi pagi. Sehingga ia tetap menjalankan tugasnya dengan baik tanpa rasa kewaspadaan.
Lagi pula mereka juga tidak memesan minuman kepadanya, sehingga Tasya lebih mementingkan siapa yang mau order minum kepadanya dan mengantarkannya secara langsung agar pekerjaannya lebih cepat selesai malam itu.
"Nggak nyangka jadi pengantar minuman aja capek gini, terus apa yang dilakukan Raya ya? Kok dia uangnya lebih cepat banyak daripada gue?"
"Ah, biarin aja yang penting dia udah ngebantu gue untuk kerja di sini itu sudah lebih dari cukup. Untuk hal lainnya itu adalah privasi Raya."
......................
Menangkap, dikira Tasya penjahat kali ya, pake ditangkap.
Selamat datang para readers setia, jangan lupa terus dukung karya othor ya, terima kasih. Jangan lupa mampir ke karya teman othor yang pastinya akan membuat kalian suka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!